Selasa, 18 Februari 2020

"Panic Disorder" Penyakit Gangguan Kepanikan

SETIAP orang pada hakikatnya tidak bisa menghindari dari kondisi stres. Stres dapat menjadi salah satu pencetus penyakit gangguan kepanikan, meski pada umumnya serangkaian panik ini tidak terjadi pada stres. Bahkan panik bisa terjadi dalam keadaan di mana pasien tidak dalam kondisi stres. Panik juga bisa muncul seiring dengan atau setelah pasien mengalami gangguan fisik/klinis yang hebat, setelah kecelakaan, atau kematian.

Banyak para pekerja, guru/pendidik, pengusaha, bisnisman, atau eksekutif menderita panic disorder disebabkan oleh kesibukan-kesibukan, rasa was-was, dibayangi oleh setumpuk pekerjaan, perubahan situasi dan kondisi kerja di samping perubahan-perubahan sosial atau keluarga. Tetapi mereka ini hanya sebagian kecil dari lima juta penderita gangguan kepanikan yang sejak tahun 1987-an sudah melanda masyarakat Indonesia, menurut Dr. Yul Iskandar Ph.D dari kelompok studi psikiatri biologik Jakarta.

Serangan panik sebenarnya suatu fakta klinis dan sudah lama diketahui, tetapi gangguan panik (diagnosis klinik) di Indonesia terasa baru. Kepanikan bukan penyakit yang berciri sendiri akibat gangguan psikologis semata, namun juga terkait dengan biologi dan masalah sosial budaya. Oleh karena itu perlu pendekatan, pertimbangan bio-psiko, sosio-kultural untuk penyembuhan.

Gejala Penyebabnya

Gejala serangan panik yang sifatnya somatik seperti sesak napas, dada terasa sakit, perut perih, gemetaran, dan sebagainya. Juga tidak lepas dari pengaruh latar belakang sosial budaya penderitanya, sebab itu diperlukan integrasi pendekatan antara bidang psikiatri biologi dengan bidang yang terkait.

Gangguan panik yang disebabkan oleh faktor biologi menurut Prof. Burrows dari Universitas Melbourne Australia dalam simposium penganggulangan 'anxietas panic disorder' terjadi pada lokus ceuruleus yang mengatur sistem saraf simpatikus di otak atau tempat lain yang mengatur tingkat keasaman dan kebasaan suatu cairan tubuh. Kelainan pada girus parahipocampal di otak (15-25%) dapat terpantau oleh peralatan PET-Scan.

Gejala panik yang khas umumnya berupa ketegangan, kegugupan, dan tingkah laku menghindari atau senang menyendiri. Gejala dapat bervariasi tergantung sosiokulturnya.

Di Indonesia gejala kepanikan prevalensinya sekitar 0,6-3%. Penderita kebanyakan wanita, sekitar 3:1 dengan laki-laki. Serangan pertama umumnya muncul pada usia 20-an.

Sulit dibedakan penyakit (gejala) gangguan kepanikan dengan penyakit jantung koroner. Karena gejala kedua penyakit ini hampir sama, yaitu serangan pertama muncul dengan keluhan nyeri di dada (cepat atau lambat berdebar-debar, sesak napas) dan makin lama makin menghebat dalam waktu 10 menit. Akan tetapi untuk penyakit gangguan kepanikan nyeri di dada hanya berlangsung 20-30 menit yang kemudian intensitasnya akan menurun.

Sedangkan pada penyakit jantung, nyeri di dada makin lama semakin menghebat. Dari hasil penelitian, pasien dengan keluhan nyeri di dada, tanpa ada kelainan arteri koroner, 30%-nya menderita gangguan kepanikan.

Penyakit gangguan kepanikan ini merupakan gangguan biologis yang sifatnya herediter (menurun). Ada 4 reaksi dasar terjadinya gangguan kepanikan tersebut, yaitu: Reaksi fisiologik yang terjadi pada seluruh sistem organ tubuh manusia termasuk sistem kekebalan. Reaksi kognitif, yaitu adanya rasa bahwa seseorang hampir mati atau takut menjadi gila, respon ini paling tidak menyenangkan pada serangan panik. Reaksi behavioral, yaitu segala hal untuk mengembalikan keadaan semula. Suatu reaksi yaitu melarikan diri dari berbagai trauma. Banyak pasien yang menganggap rumah adalah tempat yang aman dan tidak berani keluar rumah, ada pula yang menganggap rumah sakit atau dokterlah yang paling aman.

Kini penangkal penyakit gangguan kepanikan ini telah ada, (seperti 'Alprazolam' yang telah diakui oleh FDA di Amerika. Obat ini mempunyai khasiat khusus anti panik). Stadium stres menurut Prof. Burrows yaitu pertama, mereka akan mengalami/ditandai adanya sering cemas-takut atau was-was. Kedua, tanda-tanda adanya resistensi atau perlawanan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Ketiga, ditandai dengan hilang kontrol diri dan perilaku yang bersifat merusak lingkungan.

Namun demikian kepanikan jangan membuat rendah diri sebab segi positifnya, orang yang tidak pernah mengalami stres, tidak pernah was-was atau cemas, khawatir atau takut, sehingga sulit diharapkan darinya akan produktif atau prestasi terjadinya tinggi. Eksplansinya sangat sederhana terhadap fenomena ini. Kalau orang tidak pernah cemas, khawatir dan seterusnya, berarti memang ia tidak tahu mengenai apa yang harus dikhawatirkan atau dcemaskan. Dengan kata lain sebenarnya ia tidak tahu apa-apa mengenai pekerjaan yang harus dilakukannya.

Kecemasan dan kekhawatiran terhadap apa yang dikerjakan merupakan indikator yang hakikatnya orang yang bersangkutan memahami persoalan pekerjaan yang sedang dihadapinya. Oleh sebab itu stres awal atau tingkat ringan akan membantu, memacu produktivitasnya kerja seseorang. Sebaliknya stres yang berkelanjutan atau yang berat, justru akan menurunkan produktivitas kerja bahkan bisa merusak.

Karena stres berat akan dapat mengganggu mekanisme dan proses kognitif yang ada pada diri seseorang. Untuk mencegahnya dan upaya untuk meringankan efek stres berat tersebut diperlukan penyegaran baik fisik maupun psikis, perlu komunikasi dan iklim yang baik dan hindari pertentangan atau perdebatan sengit. [] 

Dipl. Ing. Muhtadi Puradinata



Sumber: Panasea Nomor 63 26 Agustus - 8 September 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain