Kamis, 13 Februari 2020

Awal bertemu Risky

“Kenalan dong.”

Tiba-tiba saja ada yang menjejeri langkahnya. Rosa menyingkap rambut yang melekati sebagian wajah. Barusan ia meninggalkan keran dari mencuci muka.

Tampak seorang cowok berbadan gempal, sedikit lebih tinggi daripada dia; helai-helai acak di antara hidung dan ujung-ujung bibirnya yang berkedut.

Rosa mengembalikan pandang pada aspal yang melandai. Ia mempercepat langkah, namun sepasang kaki di sebelahnya itu menyesuaikan. Kepalanya yang semula sejuk oleh air, kini bertambah dingin merayapi badan.

Cowok itu berdeham. “Namaku Risky. Kamu?”

Dada Rosa menggemuruh. Lari! Lari! Lari!, tapi kakinya berbuat sebaliknya. Apa daya, tertahan oleh selembar kartu yang mencantumkan nama panjang berikut cap gajah duduk.

“R—R—R—Raisa …” cetus Rosa.

“Raisa? Hm …. Boleh aku panggil … Ica?”

“Heh?” Rosa menahan kerling.

Icantiiik …!” Cowok itu tergelak-gelak, Rosa membeku.

“Kamu mahasiswa sini, kan? Jurusan kamu apa?” tanya cowok itu lagi.

“Mmm … Bahasa … Je—Je—Je—Jerman ….” Rosa menggeser kakinya perlahan-lahan, melepaskan diri dari jangkauan cowok itu yang ia tahu percuma saja. Mata cowok itu runcing memakunya.

“Cocok dong kita. Aku Teknik Mesin.” Cowok itu terseret oleh gerakannya.

“Oh.”

Cowok itu terdiam, seperti yang mencari hendak mengatakan apa lagi. Berdeham, lalu, “Minta nomornya dong.”

Seperti yang ditodong pisau, Rosa membuka tas, mencari kertas, lalu menuliskan nomor telepon rumah indekos yang ditempatinya. Dua angka terakhir ia tukar posisinya.

“Makasih, Raisa.” Dua jari tangan cowok itu mengapit kertas yang diberikan Rosa. “Ica.”

Rosa terus memerhatikan cowok itu berjalan mundur beberapa langkah. Setelah berbalik pun, cowok itu tetap menoleh kepada Rosa sembari tersenyum. Rosa kembali menatap aspal di hadapan kakinya. Sekuat tenaga ia menahan gelenyar, kalau-kalau cowok itu masih memandanginya.

.

Cowok itu terlihat lagi di kampus Rosa. Mereka bersitatap. Tapi, alih-alih menghampiri Rosa, cowok itu bergeming. Duduknya di sisi segerombol cowok yang sedang mengobrol. Ada satu orang dalam kawanan itu yang dikenal Rosa karena gedung fakultas mereka berdekatan, sedang yang lainnya tidak.

Cuma tatapan cowok itu saja yang mengikuti Rosa. Begitu lekat dan intens, sampai-sampai seolah-olah menarik sudut-sudut bibirnya hingga menggerenyot. Rosa lekas membalikkan badan. Langkahnya dipercepat, bahkan setelah keluar dari jangkauan pandang cowok itu.

.

Telepon di rumah indekos tidak pernah berdering untuk Rosa, dan ia suka itu. Tiap kali telepon berdering, ia tahu pasti itu bukan untuknya. Ia anteng saja di kamarnya, berlatih menulis huruf-huruf kanji. Saking menghayati tarikan garis demi garis, dering telepon benar-benar tak terdengar lagi. Gedoran di pintu baru menyadarkan setelah diiringi teriakan, “Rosa! Ada telepon!”

“Halo?”

Sambungan diputus. Rosa tidak heran lama-lama. Sekembalinya di kamar, ia larut lagi menatahkan garis-garis pada kertas. Sampai gedoran kembali mengentak.

“Telepon!” nada yang lebih kesal daripada sebelumnya, dari penghuni yang pintu kamarnya tepat di samping telepon.

“Halo?”

“Tut tut tut ….”

Setelah tiga kali lagi dalam satu jam, beberapa orang yang kamarnya di sekitar telepon berkerumun. Lampu ruang depan dinyalakan. Rupanya sudah tengah malam, Rosa juga baru tersadar. Wajah-wajah suntuk merubunginya.

“Siapa sih?”

Rosa menggeleng.

Telepon berdering. Rosa sigap mengangkat.

“Halo?”

“Ada Rosa?” suara lelaki.

“Saya—“

“Tut tut tut ….”

Rosa ditinggalkan bersama gerutuan. Kembali ia ke kamar. Tak lama, dering dan keluhan bersambung hardikan kepada si penelepon.

Satu kali lagi dering itu memecah malam. Tapi semua telah masa bodoh dan menganggapnya sebagai ninabobo. Rosa bergeming mendengarkan dering yang gigih itu, memencarkan garis-garis yang hendak disusunnya di kertas. Suara lelaki itu dipanggilnya ke ingatan, diulang-ulangnya. Pernahnya ia mendengar suara itu sebelumnya?

.

Teror itu berlangsung berkali-kali dalam sehari; berhari-hari lagi. Warga indekos tidak bisa tidak mengacuhkannya karena sebagian ada yang memang menanti telepon. Tapi, begitu ternyata Rosa yang dicari oleh suara lelaki yang itu lagi, makian terlontar.

Mereka menyebut si penelepon gelap sebagai “penggemar” Rosa. Ketika berpapasan dengan Rosa di luar kamar, para penghuni lain nyinyir melapor, “Penggemarmu tadi nelepon tuh!” Mereka juga menganjurkan supaya Rosa pindah ke ruang depan, menjadi resepsionis.

“Dari tiga belas telepon yang masuk hari ini, sebelasnya dari penggemar kamu!” sembur si penghuni yang pintu kamarnya tepat di samping telepon. Pelototannya seperti yang hendak mencelat, membentuk tangan mencekik Rosa. Memang hari-hari itu ia berdiam saja di kamar, menyelesaikan skripsi. Betapapun kerasnya ia mengentak tuts-tuts mesin tik, dering telepon tetap tak terkalahkan.

“Kamu tahu kan orangnya?” tanya penghuni lain yang pintu kamarnya tepat di seberang telepon.

Rosa menggumam tidak yakin.

Tidak bisa membedakan malam dengan siang, si penelepon gelap sungguh biadab. Jangan-jangan ia tidak bisa melihat telepon tanpa memencet nomor rumah indekos ini.

Timbul wacana untuk melapor kepada pemilik rumah supaya menghubungi Telkom dan meminta agar si penelepon gelap diblokir. Tapi, seolah-olah mengetahuinya, si penelepon gelap menghentikan aksinya sampai warga indekos melupakan rencana itu, barulah ia memulai lagi dengan lebih gencar.

Timbul wacana itu lagi, dan si penelepon gelap berhenti lagi lebih lama sampai warga indekos berpikir ia sudah insaf, sebelum kembali membombardir tanpa ampun.

Warga indekos mulai tahu polanya. Ini suatu permainan psikologis yang bikin mereka ragu melangkahkan kaki ke Telkom. Alih-alih, ketika datang lagi musimnya si penelepon gelap, bila telepon berdering, para penghuni lain yang rata-rata lebih senior daripada Rosa meneriakkan namanya agar cepat-cepat mengangkat.

Secara tidak langsung, Rosa terusir dari oasenya. Selama ini, usai kuliah, ia ingin cepat-cepat pulang ke kamarnya untuk belajar menorehkan huruf-huruf kanji sampai lupa waktu. Sekarang, ia memelas agar boleh “lari” sejenak ke rumah temannya. Tapi, tentu tidak nyaman berlama-lama di rumah teman.

Tiba giliran si teman mampir ke rumah indekos Rosa. Telepon berdering, dan penghuni lain berlomba-lomba meneriakkan nama Rosa.

Hanya untuk mendapatkan teror yang itu lagi.

“Kenapa sih?” Temannya membaca ada yang tidak beres, sekembali Rosa ke kamar.

Rosa bercerita. Temannya tertegun.

“Jangan-jangan orang itu lagi?”

“Siapa?”

“Temannya si Ken,” yang adalah teman si teman saat SMA. Belakangan ini, entah kenapa Ken suka menongkrong di kampus mereka, padahal kampusnya sendiri agak jauh di kawasan yang agak bawah. Ken biasa membawa serta temannya,” yang kayak beruang kutub itu.”

Si teman lupa-lupa ingat namanya, yang jelas itu nama pasaran. “Waktu itu, dia lihat aku lagi jalan sama kamu.” Rosa ingat. Saat itu di kejauhan ia melihat cowok itu bersama kawanannya. Rosa ingin cepat pergi, namun temannya malah dipanggil oleh salah seorang dari kawanan itu. Mereka pun berpisah, dan Rosa tidak menengok ke belakang sama sekali. “Dia ngebet banget pengin tahu nama sama nomor telepon kamu. Ken ikut maksa, lagi. Maaf, ya, Cha. Aku enggak nyangka ternyata dia psikopat.”

Rosa diam. Tapi, semakin dipikirkan, ia lebih marah kepada cowok itu ketimbang temannya. Ia tidak bisa kehilangan temannya, sedangkan cowok itu ….

.

Telepon berdering.

“Ada Rosa?” suara itu.

“Hei!” Rosa sudah menanti-nantinya.

Sambungan diputus. Dari seberang sana, Rosa bisa mendengar cekikikan yang berangsur-angsur menjadi kekehan, dan cowok itu pun akhirnya terpingkal-pingkal: puas telah menyalurkan dendamnya.

.

“Itu dia!” Temannya menunjuk kepada cowok-cowok yang duduk di bawah pohon randu kapuk. Baru saja Rosa dan temannya itu keluar dari gedung fakultas mereka. “Biar aku kasih tahu—“

Namun, Rosa menahan temannya. Dengan muka tertekuk dan langkah menggebu, ia menghampiri si cowok dan tawa riang kawanan itu pun seketika surut. Ia serahkan secarik lipatan kertas yang sudah lecek—saking lamanya menunggu kesempatan ini—kepada cowok itu. Tidak segera disambut, ia melemparkannya begitu saja ke pangkuan si cowok. Lantas ia berbalik dan mengajak temannya pergi.

.

“Lu lagi!” Seorang warga indekos membentak kepada gagang telepon. “Dasar maniak!” Dibantingnya gagang telepon.

Dering lagi.

“ROSA!”

Rosa tergopoh-gopoh ke luar kamar.

“Halo?”

“Hai, Rosa.”

Rosa tak menyahut, waspada akan mendengar sambungan diputus seperti biasanya.

“Ketemuan yuk.”

Rosa tercekat.

“Gue tunggu Minggu besok jam delapan di patung badak. Datang, ya. Kalau enggak …” cowok itu sepertinya sengaja menggantung kalimatnya, “gue tahu kosan lu,” dengan nada mengancam yang disusul tawa tertahan.

“Patung badak?” gumam Rosa.

“Yang deket BIP.”

“BIP?”

“BIP!”

“Hah?”

“Enggak tahu BIP?!”

“Eeeh ….”

“Orang mana sih lu?! Pokoknya gue enggak mau tahu!”

Sambungan diputus.

Rosa meletakkan gagang telepon pada tempatnya, yang seketika memunculkan dering.

“Halo?”

“Datangnya sendirian, ya. Awas kalau rame-rame.”

“Tut tut tut ….”

.

Kalau bukan karena ada kuliah, berat benar Rosa bangun sepagi itu. Membayangkan akan bertemu cowok itu membuatnya lebih berat lagi. Terpikir untuk bawa temannya, meminta agar bersembunyi dan mengawasi. Tapi, itu pun terlalu berat untuk dia lakukan. Dengan hati teremas-remas, Rosa membuka tas mencari pakaian yang tersisa. Yang ia temukan hanya selembar baju terusan warna putih kusam dengan kerutan di sana-sini yang modelnya sudah ketinggalan zaman—lungsuran kakaknya. Apa boleh buat, pakaian lainnya yang layak untuk di luar rumah masih pada direndam.

Setelah keramas, mengeringkan rambut sekadarnya, lalu bersisir, Rosa mengenakan baju itu. Ia mengamati wajahnya di cermin. Biasanya juga ia tidak berias bila ke kampus. Tadi ia hanya membasuhnya bersih-bersih dengan air. Lalu ia menjauh dari cermin agar tampak sebagian bajunya yang berlengan panjang dengan rok sebetis itu. Mematut diri. Cukuplah sekadar untuk bertemu cowok itu, tak perlu melebihkan diri. Dibawanya juga tas kecil untuk menyimpan buku bacaan, keduanya pinjaman: satu nomor Candy Candy dari taman bacaan dekat rumah indekos dan satu novel Kawabata Yasunari dalam bahasa asli dari perpustakaan kampus biarpun dia baru hafal sedikit kanji.

Jam dinding di ruang depan rumah indekos menunjukkan pukul setengah delapan lebih sedikit ketika Rosa keluar. Sepertinya ia akan telat. Biarlah. Pasrah sajalah.

Rosa pun naik angkot ke BIP, mengikuti petunjuk yang diberikan temannya. Baru sekali ia main ke mal itu sehingga belum mengakrabinya, apalagi daerah sekitarnya. Terasa lama waktu yang ia habiskan untuk berputar-putar, mencari sendiri patung badak itu, sebelum memberanikan diri untuk bertanya kepada orang di jalan. Rupanya patung itu berada di dalam sebuah taman.

Ketemu!

Celingukan ia mencari sosok itu. Tidak ada. Belum. Sayang sekali ia tidak punya jam tangan. Tapi mestinya sekarang sudah jam delapan lewat banyak.

Terlintas untuk menanyakan pada orang yang memakai jam tangan. Tapi ditahannya.

Terlintas bahwa jangan-jangan ini cuma cara lain cowok itu untuk mengerjainya, membalas tipuannya; dendam tak berkesudahan. Tega. Tidak cukupkah teror telepon itu? Rosa mengingat-ingat tampang dan suara si cowok, kelihatannya memang seperti yang suka usil. Tega, tega. Rasanya ingin menangis saja.

Rosa menenangkan diri dengan mengingat buku bacaan yang telah dibawanya. Bukankah menghabiskan Minggu pagi dengan membaca buku di taman terdengar menyenangkan? Iya, kan? Biarpun tamannya ramai. Ia akan bisa berkonsentrasi di tengah hiruk-pikuk banyak orang. Iya, begitu saja. Tidak ada ruginya kesempatan ini.

Namun kedua tangannya tetap terlipat di depan tas, sedang kepalanya menjulur ke sana kemari.

Ah! Cowok itu benar-benar datang!

Tapi, dia tidak sendirian. Tangannya menggandeng—atau lebih tepatnya menyeret—seorang anak kecil yang sepertinya berusia TK. Wajah anak itu berkerut-kerut: bibir mencebik, pipi menggembung, dan mata memerah.

“Katanya mau bakso …” lirih anak itu.

“Iya, nanti,” tukas cowok itu.

“Mana baksonya enggak ada ….”

“Nanti,” si cowok menggeram, “pagi-pagi belum ada.”

“Mau bakso …. Aku tuh mau bakso!” anak itu mulai menangis.

“Aku mau ketemu orang dulu!”

Kedua tangan yang berkait itu tarik-menarik, tapi tentu saja yang besar yang menang. Anak itu terseret-seret sementara tangisnya berderai. Rosa turun dari undakan dan mendekati keduanya. Tatapan mereka bertemu.

“Hei,” cowok itu menyengir.

Terpantul di wajah Rosa. Tatapan Rosa turun kepada si anak kecil, yang begitu menyadari keberadaannya lantas meneguk tangisnya dalam-dalam. Kali ini, tidak ada perlawanan dari anak itu saat digiring mencari tempat duduk—tidak, sampai,

“Itu ada cuanki! MAU CUANKI!”

Mereka pun duduk di dekat tongkrongan penjaja cuanki.

“Sori ya sambil ngasuh,” cowok itu tersenyum risi, lalu nada berikut raut wajahnya berputar seratus delapan puluh derajat kepada si anak kecil, “Salim.”

Anak itu pun mencium punggung tangan Rosa, yang lalu menjadi agak basah.

Semangkuk cuanki siap dalam sekejap. Cowok itu menerimanya, menaruhnya di antara dia dan si anak kecil, yang lalu mangap lebar-lebar. “Makan sendiri, udah gede, kan,” sepelan mungkin suara si cowok pada anak itu, yang tertangkap juga oleh Rosa. Anak itu tidak memprotes. Dengan garpu, ia mencomot potongan demi potongan sembari mengamati mereka berdua.

Perhatian Rosa pada anak itu pun teralihkan saat cowok itu mengulurkan tangan. “Maaf, ya. Sekarang kita impas kan.”

Rosa menyambutnya. Tangannya dijabat erat.

Setelah itu, mereka berdiam-diaman.

Hingga, “Kak, udah,” kata si anak. Ia mengelap seputar mulutnya yang belepotan oleh kuah dan remah cuanki dengan punggung tangan. “Sekarang bakso.”

“Belum kenyang?”

Anak itu menggeleng seraya mengisap ingus yang sebagian telah telanjur berleleran. “Mau bakso yang deket BIP.”

Cowok itu bersungut-sungut. Namun begitu tertangkap oleh Rosa, tampangnya berubah lagi. “Mau ikut … ngebakso?”

Rosa mengangguk. Matanya kemudian tidak lepas dari kedua orang itu, yang sepanjang jalan bergandengan tangan.

“Kamu tuh kalau kebanyakan ngebakso entar melendung lo,” kata si cowok.

“Aku tuh pengin basonya yang segede bola basket,” kata si anak kecil.

“Mana ada.”

“Aku tuh pengin jadi emang bakso. Entar baksonya aku bikin yang segede bola basket. Terus nanti aku main. Terus nanti kalau udah main, baksonya aku makan.”

“Jorok, udah kena tanah, kali.”

“Tapi kalau yang belinya suka main pingpong mah aku bikinnya yang segede bola pingpong aja ah.”

“Bikin yang segede bola dunia dong.”

“Hah! Bola dunia? Mana ada,” si anak kecil menirukan nada si cowok tadi.

“Aku pesen yang segede planet Jupiter, bikin sana!”

“Planet Jupiter,” si anak mengulang lagi. “Aku mau bikin yang segede matahari.”

“Bisa?”

“Terus nanti tuh bolanya aku taruh di deket mataharinya. Jadi bakso bakar deh.”

Si anak menoleh kepada Rosa di belakang, yang serta-merta tersenyum. Cepat-cepat anak itu berpaling ke depan. Lalu ia menoleh lagi ke belakang, kali ini lambat-lambat dan malu-malu. Cowok itu menyadari, tapi hanya mengusap-usap kepala si anak—mungkin sekalian mengarahkannya agar tidak pecicilan.

.

Sesampai di emang bakso, keduanya terus berdebat. Si anak kecil itu ingin ada sebanyak-banyaknya bakso di mangkuknya, yang dia sebut sebagai bakso papa, bakso mama, bakso kakak, bakso adik, dan seterusnya, sepertinya mencakup tetangga-tetangganya juga. Sepertinya dalam imajinasi anak itu, mangkuk ibarat mobil sedangkan bakso adalah orang, dan ia menghendaki konvoi. Cowok itu membatasi pesanan adiknya sampai dua mangkuk saja, yang sepertinya tidak akan habis sehingga ia sendiri tidak pesan. Rosa memesan menu bakso yang biasa.

Rosa terus mengamati cowok itu membantu si anak kecil memotong-motong bakso besar di salah satu mangkuk dan menuangkan kecap. Ketika si anak minta sambal, si cowok melarang. “Entar mules!”

Barulah perhatian cowok itu kembali pada Rosa yang duduk di hadapannya. Mereka kembali berdiam-diaman dengan canggung. Rosa tidak biasa memulai percakapan. Untung si cowok berusaha, dan kali ini Rosa insaf untuk menjawabnya dengan bersungguh-sungguh.

Mengetahui bahwa sebenarnya Rosa kuliah Pendidikan Bahasa Jepang, cowok itu menegur, “Doro kara kita no?” Asalnya dari mana?

Rosa membelalak. Cowok itu bisa berbahasa Jepang! Sewaktu pertemuan pertama, memang Rosa menghindari wajah itu. Sekarang, kalau dilihat-lihat, dengan mata sipit dan kulit terang begitu, bolehlah dia dimirip-miripkan dengan orang Jepang.

“Karawang,” jawab Rosa.

“Oh. Bukan asli Bandung.”

Rosa mengangguk.

“Sama. Aku juga.”

“Dari Jepang?”

Cowok itu menyengir. “Sempet di sana. Tapi sebelumnya aku tinggal di Jakarta.”

Rosa mengangguk disertai senyum tipis.

Tanya jawab ringan berlanjut.

Shumi wa?” Hobinya apa?

Kanji o manabu.” Belajar kanji.

Suki na tabemono wa?” Makanan kesukaannya apa?

Shiranai.” Enggak tahu.

Begitu lancar, sampai-sampai ketika si anak minta dipotongkan bakso dalam mangkuk satunya, cowok itu cuma menoleh sedikit dan membisik—walaupun masih terdengar oleh Rosa—“potong sendiri, udah gede kan.”

Sampai,

Tsukiatteru hito, iru?” Sudah punya pacar?

Rosa mencerna, lalu tersipu, dan menggeleng. “Iie.” Belum.

Terepashii no chikara, arun da yo.” Aku punya kekuatan telepati lo.

“Eh?”

Baru saja cowok itu hendak mencoba kekuatan telepatinya, sekadar pertanyaan iseng, “Mau jadi pacar aku?” yang sampai ke kepala Rosa malah potongan bakso berikut kuahnya. Cowok itu sendiri terciprat namun refleks mengangkat lengan untuk menghalangi wajahnya.

Rosa mengejap-ngejap sementara poninya mengalirkan tetes-tetes kuah, sebagian meresap ke bagian depan baju putihnya.

Mata cowok itu bolak-balik antara panik pada Rosa dan murka pada si anak kecil, sebelum mencabuti tisu lalu menepuki gadis di depannya, mulai dari poni, wajah, dan lekas-lekas menarik tangannya begitu hampir menyentuh area dada.

“Adek …!” cowok itu mendesis kepada adiknya.

Melihat sorot anak itu yang hampir menangis lagi, dan demi menurunkan nada suara cowok itu, Rosa buru-buru mengucap dengan halus, “Enggak apa-apa.” Ia menarik beberapa lembar tisu untuk lanjut membersihkan bekas bakso.

“Minta maaf!”

“Katanya enggak apa-apa ….”

“Tetep harus minta maaf!”

“Kak Iki enggak mau motongin sih …. Kan susah …. Huaaa ….” Mulut anak itu terbuka lebar-lebar, menyuarakan tangis.

“Udah, udah, enggak apa-apa,” Rosa berusaha meredakan.

“Bilang maaf!”

“Maaf … Haaa ….”

Rosa menyeringai.

Cowok itu menjambret mangkuk anak itu ke dekatnya, memotongi bakso yang tersisa, lalu melahapnya, seraya menjaga pandangannya tetap ke samping—seakan-akan hendak menghindari anak itu dan Rosa. Anak itu menggoyang-goyang lengan cowok itu. “Itu bakso aku ….!” Namun si cowok mengedikkannya, terus mengunyah sampai tidak ada potongan daging yang tersisa dalam mangkuk. Entah kenapa Rosa merasa pemandangan ini sangat lucu. Ia mengulum senyum.

.

Agaknya masih merasa tidak enak dengan kejadian tadi, cowok itu menawarkan untuk mengantar Rosa pulang ke rumah indekos. Rosa mengiyakan. Cowok itu membawa motor. Si anak kecil duduk di depan.

Mereka memasuki daerah Gegerkalong. Rosa terheran ketika cowok itu menanyakan arah. Ia ingat sewaktu di telepon yang terakhir kali itu si cowok mengatakan tahu rumah indekosnya. Karena pernyataan bernada ancaman itulah, mau tidak mau Rosa berangkat pagi itu. Tapi Rosa diam saja, hanya mengarahkan sampai ke muka gang menuju rumah indekosnya.

Setelah Rosa turun dari motor, mereka bertukar senyum. Rosa terkejut ketika tahu-tahu tangan cowok itu menjangkaunya, rambutnya. Sontak matanya terpejam erat, bahunya naik, badannya berjengit agak ke belakang—disergap kewaspadaan yang sama dengan sewaktu pertemuan pertama mereka.

Ia baru membuka mata ketika dirasakannya tangan cowok itu telah terangkat dari rambutnya. Tampak wajah itu menyengir, kedua jari tangannya mengapit sepotong kecil seledri. Rosa mendengus lega, senyumnya melebar.

.

Rosa menceritakan pertemuan Minggu itu kepada temannya. Namun temannya curiga keduanya ternyata bukan kakak beradik.

“Jangan-jangan itu anaknya lagi, tapi diaku adik.”

“Masak sih,” gumam Rosa.

“Iya!” dan temannya pun menceritakan tentang si anu dan si itu yang kebablasan saat berhubungan semasa SMP atau SMA. “Apalagi tampangnya kayak bajingan gitu.”

Rosa meringis.

Enggak mungkin.

Tapi ia diam saja.

.

Sudah berkali-kali Rosa mengucek bajunya. Sudah direndam lama-lama dalam cairan pemutih, noda bekas bakso itu masih membandel juga! Rosa lelah. Dijemurnya pakaian itu, setelah kering diseterikanya.

Setelah membasuh mukanya bersih-bersih dengan air, keramas, mengeringkan rambut sebisanya, dan bersisir, Rosa mengenakan baju itu dan mematut diri di depan cermin.

Padahal waktu itu ia merasa penampilan begini sudah cukup. Tapi sekarang, ia menyadari wajahnya kurang pelembap dan bedak, bibirnya kurang lipgloss. Mungkin semestinya ia ganti sampo juga agar rambutnya terlihat lebih halus dan berkilau.

Lalu ia memerhatikan area dadanya. Ia meraba bekas noda itu: kenang-kenangan dari hujan telepon yang telah reda, mungkin kali ini untuk selamanya, menjadikan rumah indekos tenang kembali.

Terdengar dering telepon, cepat-cepat Rosa keluar kamar. Sudah ada yang mengangkat panggilan itu, yang rupanya bukan untuk dia.

Mungkin memang sebaiknya lain kali, setelah ia pulang ke Karawang dan minta lungsuran pakaian yang lebih baik dari kakaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain