Rabu, 19 Februari 2020

Perempuan dan Politik

Di Indonesia jumlah politikus wanita masih kecil. Mengapa mereka enggan berpolitik, padahal mestinya masalah wanita lebih tajam disorot? Sebuah penelitian dari Pusat Kajian Wanita Universitas Indonesia.

MASIH ada yang bilang dunia ini milik lelaki, apalagi banyak yang mendominasi posisi strategis. Di arena politik, misalnya, dalam kebijaksanaan dan peraturan pemerintah mengalir rancangan dan keputusan dari politikus pria. Maka, tak aneh jika dalam penerapannya pria lebih banyak diuntungkan daripada wanita.

Gambaran ini tercermin dalam makalah Smita Notosusanto, 32 tahun, dari Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia, dalam seminar bertema "Potret Wanita Indonesia-Australia: Persepsi Sosial, Budaya, dan Politik" di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Rabu pekan lalu (lihat Menghapuskan Potret Muram). Meski setengah penduduk dunia wanita dewasa, demikian laporan United Nations Development Program 1993, di parlemen kontribusinya hanya 10%, dan kurang dari 4% yang duduk di kabinet. 

"Padahal, kontribusi wanita di dunia politik itu penting," kata Smita, yang kini mengadakan riset tentang wanita Indonesia dalam politik. Peran wanita dalam politik diharapkan akan menolong masalah-masalah wanita yang selama ini dianggap tidak penting oleh pria.

Misalnya soal cuti haid atau upah buruh yang lebih minim ketimbang buruh lelaki. Master dari California State University, AS, itu menambahkan, ketika dulu buruh menuntut cuti haid, ada anggota DPR menyarankan agar tidak mempersoalkannya karena bisa disalahgunakan pemilik perusahaan--yakni menggantinya dengan lelaki. Cuti haid dianggap mengganggu proses produksi. Padahal, cuti haid ada dalam Undang-Undang Tenaga Kerja dan GBHN, tapi tidak diterapkan. "Penyalahgunaan memang ada di mana-mana, tapi tidak berarti hak perempuan dicabut," kata Smita.

Sementara itu, di Indonesia jumlah politikus wanita masih kecil. Di lembaga DPR, hanya ada 59 wanita, sedangkan anggota pria 441. Namun, apakah jika jumlah wanita di parlemen bertambah nasib perempuan Indonesia akan lebih baik? Belum tentu. "Dalam pekerjaannya, wanita di DPR mengalami benturan," kata putri mendiang Menteri P dan K Nugroho Notosusanto itu. Pendapat mereka cenderung tidak subjektif.

Menurut Smita, yang akan melanjutkan S-3 di Sekolah Hubungan Internasional Fletcher School, di Boston, AS, perempuan Indonesia menghadapi berbagai hambatan untuk mengubah nasib (baca: maju). Adanya kultur patriarchy--sistem yang menempatkan ayah sebagai induk silsilah--misalnya, terbawa sampai di luar rumah. Perempuan cuma jadi orang nomor dua.

Dalam rekrutmen pegawai memang tidak ada perbedaan syarat antara laki-laki dan perempuan. Tapi, secara operasional, untuk tugas teknis, pria lebih dipercaya. Padahal, wanita juga mampu. Yang juga sering terjadi, perempuan harus mengalah untuk mengikuti tugas suami. Di Departemen Luar Negeri, misalnya, diterapkan peraturan tak tertulis. Yakni, bila sepasang diplomat menikah, istri--karena ikut suami--harus mencopot karier diplomatnya.

Dominasi lelaki hampir di semua bidang pekerjaan memang besar. Untuk menghapuskan dikotomi perempuan-lelaki itu diperlukan waktu panjang. Kalau pekerjaannya juru rawat, sekretaris, atau perias kecantikan, tidak jadi soal. "Soalnya jadi berat bila pekerjaan itu diminati mayoritas lelaki, umpamanya jadi menteri luar negeri," kata Smita.

Sri Pudyastuti R.



Menghapuskan Potret Muram

MENURUT sejarahnya, perempuan di Australia menyimpan potret muram. Dalam rekaman terhadap mereka itu, sampai pertengahan abad ke-19, mereka masih dijuluki pelacur terkutuk (damned whores). 

Posisi perempuan masa itu, demikian tertuang dalam makalah Ketua Pusat Kajian Australia Universitas Indonesia, Wardiningsih Soerjohardjo, dalam seminar di Jakarta pekan lalu, sangat tidak menguntungkan. Nestapa itu berawal dari keputusan Kerajaan Inggris menjadikan benua ini sebagai tanah buangan para narapidana. 

Dibandingkan dengan napi perempuan, napi lelaki masih mendapat keistimewaan. Jika masa hukuman habis, mereka boleh pulang ke Inggris. Tiket kapal dibayar dengan bekerja di kapal selama perjalanan pulang. Napi perempuan tak boleh pulang. Akibatnya, ya, melacur, agar bisa mendapat uang dan pulang.

Sampai 1841, napi perempuan ada 9.422 (napi laki-laki 78.077). Sebagian besar melacur sehingga dijuluki damned whores tadi. Cacian bermunculan, misalnya dari Thomas McQueen--bekas napi, lalu menjadi hakim. "Pelacur itu objek paling menjijikkan yang pernah dialami perempuan," katanya.

Pada masa itu, secara seksual, wanita kerap diperlakukan tidak senonoh. Misalnya, ada istri yang dijual suaminya demi satu ons emas atau sebotol minuman keras. Sejak di kapal, napi perempuan menjadi objek seks para pelaut. Tak jarang mereka menceburkan diri ke laut karena malu.

Situasi berubah setelah penemuan emas tahun 1851. Imigran bebas (bukan napi) berdatangan dan menikah dengan wanita Australia. Kehidupan normal mulai dikenal. Julukan damned whores berganti menjadi god's police--wanita menjadi polisi moral bagi suami dan anak-anaknya.

Pada masa Perang Dunia II, wanita punya kesempatan menduduki posisi pria yang pergi berperang. Misalnya, mereka bekerja di pabrik senjata ataupun menjadi sopir taksi, operator, atau portir kereta api. Dan sampai perang usai, mereka tak mau meninggalkan posisinya sehingga protes muncul. Wanita harus ditarik pulang.

Protes itu tak bersambut walau muncul masalah, seperti anak-anak tidak terkontrol. Kenakalan remaja, seks bebas, dan minuman keras di kalangan remaja merajalela. Sampai pertengahan abad ke-20, kaum wanita di Australia makin mantap bekerja. Kendati lelaki memegang berbagai kedudukan penting, wanitanya sudah tak bisa lagi dipulangkan ke rumah. 

SPR



Sumber: Tempo Nomor 40 Tahun XXIII - 4 Desember 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain