[Kontak Pembaca]
Rektor ITB dan RCTI
Sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), saya sangat kecewa melihat penampilan Rektor ITB dalam tayangan "iklan" pada televisi swasta, RCTI Bandung. Tayangan itu dalam sebuah wawancara. Tapi, karena cara penayangannya (sebuah potongan pendek yang ditayangkan dalam satu paket corporate image RCTI, dipilih pendapat rektor yang bernada positif, ditayangkan berulang-ulang), wawancara itu tak ubahnya seperti sebuah iklan.
Saya tak tahu apakah RCTI telah meminta izin lebih dulu kepada yang bersangkutan untuk penayangan itu. Bila belum, sangatlah tidak etis dilihat dari sisi hak dan kepentingan pribadi figur yang digunakan.
Selain masalah etika, saya juga menyayangkan pernyataan Rektor ITB bahwa RCTI sangat bermanfaat karena memberikan informasi untuk mahasiswa ITB. Itu merupakan pernyataan yang tidak kritis. Kita bisa mempertanyakan: Apa kriteria dari "manfaat"? Bagaimana kaitannya dalam konteks mahasiswa?
Sebagian besar acara RCTI lebih bersifat hiburan. Bahkan, nilai hiburannya itu sendiri masih bisa dipertanyakan: Berapa banyak yang bermutu?
Karena itu, saya sebagai seorang penonton dan mahasiswa ITB mengimbau pada Rektor ITB dan RCTI untuk tidak menayangkan kembali pesan itu.
[Duniasiana]
Rektor ITB dan RCTI
Sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), saya sangat kecewa melihat penampilan Rektor ITB dalam tayangan "iklan" pada televisi swasta, RCTI Bandung. Tayangan itu dalam sebuah wawancara. Tapi, karena cara penayangannya (sebuah potongan pendek yang ditayangkan dalam satu paket corporate image RCTI, dipilih pendapat rektor yang bernada positif, ditayangkan berulang-ulang), wawancara itu tak ubahnya seperti sebuah iklan.
Saya tak tahu apakah RCTI telah meminta izin lebih dulu kepada yang bersangkutan untuk penayangan itu. Bila belum, sangatlah tidak etis dilihat dari sisi hak dan kepentingan pribadi figur yang digunakan.
Selain masalah etika, saya juga menyayangkan pernyataan Rektor ITB bahwa RCTI sangat bermanfaat karena memberikan informasi untuk mahasiswa ITB. Itu merupakan pernyataan yang tidak kritis. Kita bisa mempertanyakan: Apa kriteria dari "manfaat"? Bagaimana kaitannya dalam konteks mahasiswa?
Sebagian besar acara RCTI lebih bersifat hiburan. Bahkan, nilai hiburannya itu sendiri masih bisa dipertanyakan: Berapa banyak yang bermutu?
Karena itu, saya sebagai seorang penonton dan mahasiswa ITB mengimbau pada Rektor ITB dan RCTI untuk tidak menayangkan kembali pesan itu.
ARIEF ADITYAWAN S.
Mahasiswa FSRD-ITB
Bandung
Keracunan Siaran TV di Amerika
SEBUAH serial film kartun di layar kaca bikin sewot penduduk Amerika Serikat. Sebab, di Morraine, Negara Bagian Ohio, ada kejadian seorang anak berusia lima tahun membakar rumahnya, sampai menghanguskan adik perempuannya. Si bocah tenang saja mengaku bahwa apa yang dilakukanya disebabkan oleh menyimak tayangan film kartun itu. Seantero Amerika pun geger.
"Anak itu bilang, dia membakar rumah setelah menonton film kartun Beavis & Butt-head," kata Harold Sigler, kepala pemadam kebakaran di kota itu. Ucapan Sigler segera menghiasi hampir semua koran di AS. Sebab, film kartun yang ditayangkan MTV sejak tahun silam ini memang tengah jadi pembicaraan publik. Bahkan, majalah Newsweek edisi lokal mengangkatnya sebagai laporan utama pertengahan Oktober lampau.
Beavis dan Butt-head adalah nama dua remaja pelakon film kartun tersebut. Keduanya berperangai brutal. Suka memaki, membakar, dan gemar menganiaya hewan. Misalnya, mereka berandai-andai menaruh petasan di pantat kucing. "Apa yang bakal kejadian jika sumbunya disulut?" kata mereka.
Lima hari kemudian ternyata ada pemirsa yang keracunan obrolan tokoh kartun itu, yakni di Kota Santa Cruz, California, dan membinasakan seekor kucing yang tidak berdosa. Ini mengundang banyak protes. Yang paling serius datang dari Dick Zimmermann, manajer stasiun TV yang pensiun setelah menang lotre 10 juta dolar AS lima tahun silam.
"Yang membuat saya kesal, Beavis & Butt-head mempromosikan perbuatan kriminal, dan saya khawatir dampaknya bagi anak-anak," ujarnya kepada Bambang Harymurti dari TEMPO. Ia mengaku membuka nomor telepon khusus untuk melakukan kampanye antiserial kartun yang satu ini sejak tiga bulan lalu. "Sejak itu kami telah menerima 6.000 keluhan dari orang tua di seluruh dunia," tuturnya.
Sementara itu, pihak MTV menyatakan tak bertanggung jawab atas kejadian nahas tadi. "Film kartun itu dirancang untuk remaja dan pemuda yang jadi pemirsa utama kami," kata Carole Robinson, Senior Vice President MTV. Ia menyesalkan tragedi di Morainne itu dan berjanji menghapuskan adegan yang menyebut-nyebut soal api.
Ini jelas suatu kemenangan bagi Zimmermann. "Tapi jangan keliru, saya tetap mendukung amandemen pertama konstitusi, jadi tidak ingin adanya sensor," katanya. Yang diinginkannya ialah kesadaran pemirsa akan bahaya film ini buat anak-anak. "Sebab, penayangannya tiap pukul tujuh malam, selain pukul 11 malam dan pukul dua pagi," katanya.
Dan begitu tahu bahwa siaran MTV kadang-kadang ditayangkan pula di Indonesia, Zimmermann menggeleng-geleng. "Saya prihatin mendengarnya," katanya.
Sepersepuluh Warga Dunia Sakit Jiwa
AKIBAT pengaruh film serial TV atau lantaran musabab lain, sedikitnya 500 juta orang kini dilanda penyakit jiwa di seantero dunia. Laporan WHO (Badan Kesehatan Dunia PBB) dari markas besarnya di Jenewa, Swiss, itu menjelaskan rinciannya sebagai berikut.
Sekitar 155 juta jiwa mengidap neurosis. Gejalanya termasuk berupa kecemasan yang tidak berkeruncingan dan selalu dalam perasaan tertekan. Sekitar 120 juta jiwa dirundung keterbelakangan mental. Seperti disiarkan koran The Philippine Star, yang mengutip Associated Press, awal Oktober lampau, lebih jauh disebutkan bahwa sedikitnya 50 juta penduduk dunia dilanda sakit jiwa dahsyat, termasuk skizofrenia alias gila berat. Sementara itu, 100 juta lainnya dihadang aneka problem emosional.
Ini memang gawat. Jika hitungan penduduk dunia kini sekitar 5 miliar jiwa, berarti sedikitnya satu dari sepuluh orang di sekitar kita tidak beres kondisinya. Jadi, jangan heran kalau di bawah kolong langit ini keadaannya rusuh melulu.
Ed Zoelverdi
Sumber: Tempo, Nomor 35 Tahun XXIII - 30 Oktober 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar