Jumat, 07 Februari 2020

Jagalah Kesehatan Mentalmu Sendiri!

Siang 2 Februari 2020, di Auditorium Rosada Balai Kota Bandung, ada acara talkshow bertajuk "How to Take Care Our Mental Health" yang diselenggarakan Pemuda Peduli Kesejahteraan Sosial Dewan Pimpinan Cabang Bandung. Sembari menunggu acara dimulai, pada layar di depan diputarkan sebuah film yang memotret penderita depresi. Benar saja, film tersebut dapat saya temukan di Youtube.


Film ini menarik sejak awal, karena si penderita depresi bangun tidur dengan riasan yang cukup tebal. Mungkin, saking depresi, ia sampai lupa atau terlalu malas untuk copot bulu mata sebelum tidur.

MC memeriahkan suasana dengan mengajak peserta berbagi pengetahuan mereka soal kesehatan mental. Ada yang berpendapat bahwa masalah kesehatan mental yang marak belakangan ini di antaranya disebabkan oleh media sosial. Ada juga yang menceritakan tentang temannya yang "depresian banget", mudah galau hanya karena hal kecil. Ketika ia berkunjung ke rumah temannya itu, rupanya keluarganya juga sama-sama "sensitif" dalam pengertian suka main bentak. Ia pun mencoba membawa si teman ke lingkungan yang positif, seperti komunitas.

Tujuan acara ini sendiri--menurut MC yang coba saya kemas dalam bahasa sendiri--yaitu hendak mensosialisasikan kepada para pemuda cara-cara untuk mengatasi permasalahan diri berikut upaya preventif terhadap gangguan mental. Memang tampaknya semua peserta yang hadir di ruangan yang hampir penuh ini berusia muda, mahasiswa atau pelajar. Memang pemuda lah yang rentan terkena penyakit mental. Dengar-dengar, kebanyakan orang yang bunuh diri berusia 15-29 tahun. Kesehatan mental itu sendiri diartikan sebagai ketenteraman batin sehingga dapat beraktivitas dengan baik.

Ketiga pembicara mewakili bidang yang berlainan tapi sama-sama mendukung kesehatan mental: 
  • Dr. Sri Maslihah, M.Psi, psikolog
  • Dorang Luhpuri, SIP, Ph.D, pekerja sosial profesional dan dosen, serta 
  • Nur Hikmah Maulidyah, pegiat komunitas ISmile4You
Jadi, sesungguhnya kesehatan mental itu bukan cuma urusan psikologi dan psikiatri, melainkan berbagai bidang seperti kesejahteraan sosial. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial atau Politeknik Kesejahteraan Sosial--yang rupanya merupakan perguruan tinggi kedinasan berlokasi di Dago--seolah-olah menjadi "sponsor" acara ini. Ibu Dorang selaku salah satu pembicara adalah dosen di kampus tersebut. Demikian juga dengan mas moderator, yang ternyata duta mahasiswa kampus itu #ehem.

Dari sudut pandang psikologi

Pembicara pertama, Ibu Sri, yang notabene dosen Psikologi UPI, memberikan kuliah berjudul "Kesehatan Mental: Pengertian, Upaya Preventif dan Kuratif Berbasis Masyarakat". Beliau membuka dengan memutar cuplikan film yang cukup menghebohkan belum lama ini, Joker. Alhamdulillah, video tersebut juga bisa saya temukan di Youtube. 


Beliau lalu memaparkan tentang permasalahan kesehatan jiwa di Indonesia, contohnya yaitu banyaknya penderita skizofrenia yang tidak tertampung di rumah sakit jiwa.

Kemudian ada pengertian-pengertian. 

"Mental" diartikan sebagai cara berpikir dan berperasaan menurut nurani yang tecermin pada perilaku. Dalam dunia Islam, urusan "mental" ini agaknya menyangkut soal "hati". Kalau dalam istilah Aa Gym, sepertinya kesehatan mental berarti manajemen kalbu. 

Penggunaan kata "jiwa" masih banyak digunakan dalam urusan kesehatan mental. Misalkan, kesehatan mental disamakan dengan kesehatan jiwa, psikiater disebut sebagai dokter ahli jiwa, dan seterusnya. Ibu Sri menerangkan bahwa dalam dunia psikologi sendiri istilah "jiwa" sudah tidak digunakan, sebab rupanya "mental" tidak sama dengan "jiwa". 

Bagaimanakah orang yang sehat mental atau "normal" itu? Menurut WHO, yang diadaptasi ke dalam undang-undang atau peraturan pemerintah kita, kurang lebih berarti: dapat menyadari kemampuan sendiri, mengelola stres kehidupan yang wajar, bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan dalam komunitas. Dikutip juga pendapat Assagioli (: psikiater Italia yang baru saja saya googling), yang menyatakan bahwa sehat mental berarti memiliki integritas kepribadian, keselarasan jati diri, pertumbuhan ke arah realitas diri, serta hubungan sehat dengan orang lain.

Sebetulnya ada banyak poin menarik lainnya yang hendak dijabarkan, apalagi yang bersifat praktis, seperti upaya keluarga/masyarakat, upaya pencegahan individual, cara yang tepat maupun yang tidak tepat dalam menangani, langkah-langkah untuk membantu, dan sebagainya. Sayang, saya tidak sempat mencatat semuanya. Satu yang paling saya ingat dari upaya pencegahan individual ialah dengan tetap berpartisipasi aktif dalam pergaulan serta melakukan aktivitas yang disenangi.

Dari sudut pandang kesejahteraan sosial

Kalau Ibu Sri cenderung menyorot kesehatan mental secara umum, Ibu Dorang agaknya mengkhususkan pada contoh kasus yang berat, yaitu skizofrenia. Skizofrenia bisa dibilang sebagai jenis penyakit mental paling berat. Penderitanya kerap mendapat julukan "orang gila". Belakangan, pemerintah tampak mulai mensosialisasikan sebutan yang menghaluskan, yaitu Orang dengan Skizofrenia (ODS) atau Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Sebelum Ibu Dorang memperkenalkan istilah tersebut kepada peserta acara ini, saya sudah pernah mendengar iklan layanan masyarakat di radio mengenai hal itu.

Siapa pun bisa menjadi ODGJ, akibat gaya hidup jaman now yang semakin sulit, sarat akan tekanan dan persaingan. Awalnya cemas, yang bila parah menjadi depresi, kemudian timbul halusinasi, dan akhirnya menderita skizofrenia; dari Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) menjadi ODGJ. Karena itu, Ibu Dorang bilang, unek-unek sekecil apa pun mesti dibuang secara ikhlas--seperti yang kita lakukan kala duduk atau jongkok di kloset. Ya, Ibu Dorang mengibaratkannya kurang lebih begitu--yang dalam tulisan ini saya kemas dalam bahasa sendiri. Memang penampilan pembicara satu ini sangat kocak, bak stand-up comedian.

Seperti yang sudah diangkat sedikit oleh Ibu Sri, banyak ODGJ yang tidak tertampung di rumah sakit jiwa (RSJ). Ada batas waktu mereka boleh berada di sana. Lewat dari itu, mereka dipulangkan ke keluarga masing-masing. Perawatan di RSJ mungkin kondusif bagi si penderita. Tapi, begitu kembali ke keluarga dan lingkungannya semula, kemungkinan ia kambuh. Sebab, boleh jadi penyebab dia mengidap gangguan tersebut adalah keluarga dan lingkungannya sendiri. Apabila keluarga dan lingkungannya tidak berubah, maka kesembuhannya pun sulit diharapkan.

Satu ODGJ dapat melumpuhkan tiga-empat anggota lainnya dalam keluarga. Tidak mungkin seorang ODGJ dapat pergi berobat sendiri, sehingga dia mesti diantarkan oleh anggota keluarganya, katakanlah ibunya. Jika ibunya mesti pergi mengantar si ODGJ, apabila mereka punya anak kecil, siapakah yang mengurusnya? Maka anggota keluarga yang lain mungkin mesti tidak masuk kerja agar bisa mengurus si anak kecil. Kira-kira begitu.

Dengan keadaan begitu, apabila dalam setiap desa terdapat 20-30 ODGJ, bisa dibayangkan dampaknya. Karena itulah, sesungguhnya gangguan mental merupakan fenomena gawat yang mengancam kesejahteraan bangsa.

Kalau psikiater memberikan obat, sedangkan psikolog terapi, maka pekerja sosial ambil bagian dalam aspek sosiologinya. Sayangnya, pekerjaan tersebut tidak dideskripsikan secara terperinci. Saya hanya bisa membayangkan mereka turun ke lapangan untuk memberikan penyuluhan, meninjau lingkungan, dan sebagainya, di samping berhubungan langsung dengan penyintas beserta perawat ODGJ yang memiliki komunitas tersendiri.

Ibu Dorang mencontohkan cara menangani ODGJ secara tepat, menurut yang diberitahukan oleh seorang penyintas kepada beliau. Yang pertama, kita harus memberikan mereka sentuhan, misalkan di bahu. Sentuhan tersebut untuk menyadarkan mereka pada kenyataan. Kita juga perlu memahami dunianya. Menurut penyintas, ODGJ melihat halusinasi berupa sosok-sosok yang mengoceh tidak keruan. Kita bisa berpura-pura ikut melihat halusinasi tersebut, dengan menyuruh sosok-sosok itu pergi atau berhenti mengganggu si ODGJ. Selain itu, kita mesti memastikan ODGJ patuh minum obat. Sering kali terjadi, di bawah kolong tempat tidur ODGJ ditemukan obat-obat yang tidak terminum. Padahal obat itu krusial sekali bagi pengidap skizofrenia, seperti insulin pada penderita diabetes.

Ibu Dorang juga memberikan langkah-langkah praktis lainnya, sebagai berikut:
  • Menjadi pendengar yang baik.
  • Menghindari stres, dengan selalu mengekspresikan perasaan kita kepada orang yang tepat.
  • Menemui orang yang tepat dan mencari bantuan apabila merasa ada tanda-tanda "tidak beres".
  • Memahami karakteristik ODGJ.
  • Menghindari stigma, yang sepertinya berarti tidak memberikan label negatif terhadap gangguan tersebut ataupun penderitanya.
  • Memberikan dukungan dan memenuhi hak penderita secara terkendali.
Dari sudut pandang komunitas

Pembicara berikutnya punya panggilan akrab Teh Umi. Ia pegiat komunitas ISmile4You, yang salah satu misinya (CMIIW) adalah membawa senyum sebagai perubahan positif. Komunitas ini memiliki tim pendengar (listener), yang merupakan orang-orang pilihan. Tim tersebut punya prinsip hear to listen, not listen to answer. Yang saya tangkap, "listen" berarti "memvalidasi emosi". Misalkan, ada orang yang curhat sama kita. Memvalidasi emosi dia berarti kita mengatakan bahwa kita memahami perasaannya, "tapi" ... kita mesti dapat menyertakan saran yang konstruktif.

Apabila ada orang yang mengatakan hendak bunuh diri, kita juga perlu mengenali penyebabnya. Soalnya, bunuh diri itu bisa dikarenakan beberapa faktor, yaitu biologis (yang berarti hormon serotonin di otaknya sedang turun atau tidak ada), psikologis, atau sosial. Dengan mengenai penyebab tersebut, sepertinya kita bisa memikirkan cara penanganan yang tepat. Misal, apabila penyebabnya biologis, boleh jadi dia perlu diberi zat tertentu yang mengandung hormon serotonin dan oleh karena itu membawanya ke psikiater mungkin tindakan yang tepat. Apabila penyebabnya psikologis, psikolog mungkin dapat menjadi sarana yang pas. Apabila penyebabnya sosial, mungkin kita perlu membawa dia ke lingkungan lain yang positif.

Menurut Teh Umi, yang katanya bersumber dari WHO, hanya perlu 40 detik untuk mengalihkan emosi. Misalkan, ada orang yang bilang hendak bunuh diri kepada kita. Dalam 40 detik itu, apabila diberikan cara yang efektif, dia dapat berubah pikiran.

Tidak banyak yang saya catat pada segmen ini, di samping tidak ada slide. Setelah saya googling, tampaknya sudah ada cukup banyak informasi tentang komunitas ISmile4You ini apabila masih penasaran.

Sesi tanya jawab

Bagaimana cara menangani teman yang punya masalah mental sementara teman-teman lain sudah pada menyerah dengan dia?

Kalau mau menyelamatkan orang lain, kita mesti terlebih dahulu melihat keadaan diri sendiri. Jangan sampai kesehatan mental kita sendiri terancam. Kalau masalahnya serius, sebaiknya langsung saja mendatangi pihak yang profesional. Cuma psikiater yang dapat mendiagnosis apakah seseorang memang mengalami depresi.

Kampus tertentu seperti Universitas Padjajaran (Unpad) dan Politeknik Kesejahteraan Sosial menyediakan layanan konseling. Untuk Unpad yang berada di Jatinangor, layanannya khusus untuk mahasiswa dan tidak berbayar. Layanan dari Unpad yang berbayar tampaknya bisa diakses masyarakat umum, letaknya di Dago, dekat Hotel Jayakarta. Apabila memerlukan psikiater (berbayar), bisa mendatangi Grha Atma di Jalan Riau 11.

Apakah dibentak-bentak dalam masa orientasi siswa baru dapat memengaruhi kualitas mental?

Menurut Teh Umi, tidak ada penelitian bahwa bentakan dapat memberikan manfaat.

Adakah cara coping yang bukan dengan menghindari, melainkan menyelesaikan?

Ada berbagai cara untuk coping, dari mulai berkompromi sampai menarik diri. Bahkan memaafkan pun termasuk cara coping. Satu cara yang baik dicoba adalah assertive training, yang berarti meraih kemampuan untuk menyampaikan secara apa adanya namun proposional dan santun, tanpa merendahkan orang lain ataupun diri sendiri.

Simpulan dan kaitan dengan pengalaman pribadi

Kesehatan mental merupakan isu yang menarik buat saya pribadi. Sebelum isu tersebut ramai di media, saya sudah penasaran untuk mendatangi pihak yang profesional. Ketika saya benar-benar mengalami suatu masalah yang tidak dapat saya tanggung lagi sendiri, saya pun mencoba mencari informasi.

Singkat cerita, dalam kurun waktu tertentu, saya mendatangi dua tempat. Di satu tempat, saya menemui seorang psikolog sampai beberapa kali. Tempat yang lain yaitu Jalan Riau 11. Sewaktu saya masih kecil, lokasi yang kedua ini kerap menjadi bahan olokan anak-anak karena identik dengan "rumah sakit jiwa". Memang, kalau tidak salah, Grha Atma merupakan nama baru untuk menghaluskan stigma yang kurang enak itu.

Di Grha Atma, saya menemui psikiater beberapa kali dan psikolog satu kali. Terus terang, saya tidak meneruskan datang di samping karena keterbatasan biaya, juga karena meragukan efektivitasnya. Sebenarnya, biaya untuk psikiater dan obatnya cukup murah. Obat yang mahal paling-paling yang sejenis mood stabilizer, tapi dalam kunjungan berikutnya resep saya diganti sehingga tidak perlu membelinya lagi. Yang lebih mahal justru psikolognya, untuk terapi, tes, dan segala macam.

Meski begitu, pengalaman tersebut bukan berarti tidak berharga sama sekali. Sedikitnya, saya jadi mendapatkan gambaran akan cara kerja mereka. Saya juga mengamati dan menguping percakapan atau gerak-gerik pasien lain yang cukup "unik". Ada yang bicara sendiri, seolah-olah ada makhluk kecil di depannya. Ada yang sedikit-sedikit meledak sambil memaki-maki. Ada yang mengaku kembali mendengarkan suara-suara setelah lama tidak, dan ia menyebutnya sebagai "suara Tuhan".

Selain itu, obat-obatan yang diberikan psikiater agaknya memang memiliki efek tertentu yang walaupun tidak sesuai dengan harapan, namun secara tidak langsung memberikan hasil yang di luar dugaan. Bingung? Intinya kurang lebih, setelah sekitar dua bulan saya berhenti minum begitu saja, mengalami efek yang luar biasa, sehingga menimbulkan perubahan tertentu dalam hidup saya.

Setelah menceritakan pengalaman ini secara garis besar kepada teman-teman, tidak disangka, ada beberapa di antara mereka yang kemudian bertanya lebih lanjut. Tampaknya diam-diam mereka juga memiliki masalah dan penasaran ingin meminta penjelasan atau bantuan dari pihak lain. Saya hanya bisa memberitahukan tentang tempat-tempat yang pernah saya datangi, serta saran untuk mengunjungi psikolog terlebih dahulu alih-alih langsung ke psikiater. Kepada psikolog, barulah kita bisa menanyakan apakah masalah kita perlu sampai dikontrol oleh obat. Soalnya, kemungkinan psikiater pasti akan memberikan obat yang belum tentu cocok untuk kita. Saya sendiri sempat mengalami semacam efek samping sehingga memeriksakan diri lagi ke puskesmas dan diberikan obat lainnya.

Selain itu, mendatangi pihak yang profesional sudah pasti membutuhkan biaya. Kemungkinan masalah kita tidak akan terpecahkan hanya dengan sekali kunjungan. Boleh jadi mereka akan menganjurkan kunjungan berkelanjutan, yang berarti pengeluaran terus-terusan. Meski begitu, kalau ada rezeki, bisa saja kita coba datang barang sekali-dua kali sekadar untuk memupus penasaran. Hanya saja, persiapkanlah mental yang kuat kalau-kalau tanggapan dari mereka justru malah semakin menjatuhkan alih-alih mengangkat. Aneh, bukan? Kita mendatangi mereka karena merasa mental kita bermasalah, tapi untuk mendatangi mereka kita perlu mental yang kuat.

Nah, pengalaman pribadi saya tersebut adakalanya relevan dengan yang diungkit dalam talkshow ini. Misalnya, ketika Ibu Dorang mengungkapkan bahwa banyak pasien yang tidak berobat karena berasal dari keluarga berpenghasilan rendah. Pihak yang profesional pun tidak memiliki kesempatan untuk mengulik permasalahan kita sampai ke akarnya. Padahal, bisa jadi yang bermasalah itu bukan hanya si penderita, melainkan juga lingkungannya (dan di sinilah peran pekerja sosial).

Atas kenyataan itulah, penting untuk bisa menjaga kesehatan mental pribadi. Tapi, bukan berarti kita hanya mengurus diri sendiri. Secara langsung atau tidak langsung, boleh jadi kita sendiri berperan terhadap kesehatan mental orang lain. Mungkin saja, tanpa disadari, kita memiliki perilaku yang menjadi sumber tekanan batin bagi orang lain. Para pembicara talk show ini pun berpesan agar tidak meninggalkan mereka yang tidak mampu mengatasi masalahnya sendiri, sebab kitalah harapan mereka. Jadi, sepertinya kita perlu saling menjaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain