Pekan film Jepang oleh Kine Klub Jakarta menyuguhkan film-film baru yang mencerminkan kehidupan sehari-hari, dan datang dari para sutradara yang sudah jenuh dengan TV dan video.
KETIGA penculik yang masih remaja itu memutuskan meminta 50 juta yen sebagai tebusan untuk nenek usia 82 tahun itu. Nyonya Yanagawa, pemilik tanah kaya raya yang menjadi korban penculikan itu, memelototkan matanya mendengar jumlah tersebut. Ia pun membentak, "Kalian tidak tahu siapa diriku! Mintakan 10 miliar yen. Tidak kurang!"
Itulah Daiyukai (Anak-anak Pelangi) karya Kihachi Okamoto, sebuah film komedi yang segar, lincah, dan menyenangkan, satu dari tujuh film dalam Pekan Film Jepang Terbaru di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki, pekan ini. Film-film produksi tahun 1990-1991 ini sudah mengikuti festival-festival internasional, dan hampir semuanya berkisah tentang anak-anak atau remaja Jepang.
Anak-anak Pelangi adalah kisah tentang anak-anak jalanan yang biasa hidup dari mencuri atau mencopet dan tiba-tiba suatu hari mendapatkan ide untuk menjadi kaya mendadak: menculik Nyonya Yanagawa, nenek terkaya di kawasan pegunungan Semenanjung Kii di Jepang Tengah.
Tapi, seperti tersirat di awal tulisan ini, suatu kejutan yang kocak terjadi. Akhirnya para penculik remaja yang lugu dan amatiran itu malah menjadi "anak buah" Nyonya Yanagawa. Soalnya, sang nyonya, yang belakangan ini merasa telah tua dan sia-sia, seperti mendapat penyegaran dalam hidupnya karena diculik. Ia merasa, penculikan dirinya adalah sebuah petualangan yang merangsang.
Penculikan ini pun dimanfaatkan oleh Nyonya Yanagawa untuk menguji keempat anaknya, apakah mereka akan bersedia bersusah payah mengumpulkan uang tebusan 10 miliar untuk ibunya. Inilah film yang karikatural, kocak, dan penuh kejutan.
Yanagawa (diperankan dengan baik oleh aktris teater terkenal Tanie Kitabayashi), nenek baik hati yang kesepian, menjelma menjadi seorang wanita perkasa yang kaya strategi. Pada akhirnya, Sutradara Okamoto bukan menceritakan kejahatan dan keserakahan. Uang 10 miliar yen yang dikirimkan dalam karung itu pada akhirnya tak bernilai apa-apa bagi para penculik. Tanpa khotbah moral apa pun, mereka bertiga malah menjadi "orang baik-baik".
Satu-satunya film dalam acara Pekan Film ini yang tidak mempersoalkan remaja dan anak-anak hanyalah Shi no Toge (Duri Kematian) karya Kohei Oguri. Inilah film terbaik dari semua film yang diputar dalam acara tersebut. Toshio (Kazunori Kishibe), komandan muda angkatan laut di masa Perang Dunia II, hidup bahagia bersama istrinya, Miho (Keiko Matsuzaka), dan dua anaknya. Kebahagiaan itu runtuh ketika keterlibatannya dengan wanita lain, Kuniko (Midori Kiuchi) terungkap. Sejak itu rumah tangganya menjadi neraka yang terbentuk dari pertengkaran, kecemburuan, dan kecurigaan. Meski Toshio telah memutuskan hubungannya dengan Kuniko dan bersumpah setia pada Miho, ia tak bisa mengembalikan kepercayaan istrinya.
Kisah sederhana ini menjadi sebuah drama yang getir dan mencekam. Sang suami diteror terus-menerus oleh dua pihak: istri yang terluka hatinya, dan sang kekasih yang masih mencintainya. Yang membuat film ini lebih kelabu, Sutradara Oguri hanya menggunakan tiga orang aktor (ditambah dua pemain kecil) hingga fokus cerita terpusat pada perubahan karakter Miho yang semula lembut dan penurut menjelma menjadi destruktif dan agresif. Film yang ditutup dengan Miho, istri yang malang, dirawat di rumah sakit jiwa itu mendapatkan penghargaan Grand Prix Festival Film Cannes, Prancis, tahun 1991.
Dibandingkan dengan Shi no Toge, film yang lain, Batashi Kingyo (Ikan Tak Bersirip) karya Joji Matsuoka, Torajiro No Kyujitsu (Tora-san Ambil Cuti), dan Tsugumi karya Jun Ichikawa yang menceritakan persoalan-persoalan remaja Jepang adalah film-film yang jauh lebih ringan. Namun, film-film yang sudah dikirim ke berbagai festival film internasional ini digarap dengan kedalaman dan kesungguhan, jauh di atas rata-rata film-film remaja Indonesia yang populer di tahun 1980-an. Benar, sinematografi ketiga film ini tidak istimewa. Tapi karakterisasi para tokoh dan bagaimana mereka menghadapi persoalan masing-masing digarap dengan sungguh-sungguh. Bataashi Kingyo, yang berkisah tentang seorang anak lelaki yang gigih untuk mendapatkan cinta seorang wanita di sekolahnya. Tsugumi adalah cerita seorang gadis berpenyakit jantung yang sangat temperamental dan hanya berpikir tentang kematian. Torajiro No Kyujitsu adalah serial Tora-san, seorang tokoh "Kabayan" Jepang, yang mencoba membantu masalah yang dihadapi oleh keponakan dan kekasihnya yang berasal dari keluarga yang berantakan.
Dalam sejarah perfilman Jepang, film-film dalam festival ini merupakan trend baru: para sutradaranya mula-mula berkecimpung dalam film untuk televisi atau video, dan film iklan. Mereka tak puas dengan film layar kecil, melangkahlah mereka ke layar bioskop. Menurut kritikus film Jepang, Kyoichiro Murayama, ciri para sutradara yang bertolak dari layar kecil itu: menyuguhkan tokoh-tokoh cerita yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dan kabarnya, film yang menyajikan tokoh yang "realistis" itulah yang kini digemari di Jepang. Suatu potensi yang bisa saja mengembalikan kejayaan perfilman Jepang, yang sejak 1960-an mengalami masa surut tersaingi oleh televisi dan kemudian video.
Leila S. Chudori
Film Jepang terbaru
Tujuh film Jepang terbaru akan diputar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, atas kerja sama Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta dan Pusat Kebudayaan Jepang. Di antara film-film produksi tahun 1990-1991 yang akan disajikan itu ada Shi No Toge (Duri Kematian), yang memperoleh penghargaan Grand Prix pada Festival Film Cannes 1991. Karya Sutradara Kohei Oguri itu mengisahkan kemelut rumah tangga dan konflik kejiwaan seorang wanita setelah Perang Dunia I. Film lainnya adalah Shonen Jidai (Masa Kecil), karya Masahiro Shinoda, tentang pengungsian massal pada masa Perang Dunia II yang menumbuhkan persahabatan di antara dua anak lelaki; Otoko Wa Tsurai Yo: Torajiro No Kyujitsu (Tora-san Ambil Cuti), film komedi situasi seri terbaru dari sutradara senior Yoji Yamada; Daiyukai (Anak-anak Pelangi), film komedi suspense tentang penculikan seorang wanita tuan tanah makmur, yang disutradarai Kihachi Okamoto; Bataashi No Kingyo (Ikan Tak Bersirip), disutradarai Joji Matsuoka, yang bertemakan cinta segitiga antar-anak remaja; lalu film Tsugumi, karya Jun Ichikawa, yang mengisahkan liburan musim panas seorang gadis manja berpenyakit jantung ke Teluk Izu; serta Harukanaru Koshien (Seruan Penonton), kisah perjuangan anak-anak tunarungu melawan keterbatasannya.
Film-film tersebut, dilengkapi teks bahasa Indonesia, diputar di Teater Tertutup, 11 sampai 18 Januari ini. Dua kali pertunjukan setiap harinya, pukul 17.00 dan 19.30 WIB. Tanda masuk bisa diperoleh secara cuma-cuma di Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta atau di Pusat Kebudayaan Jepang.
Sumber: Tempo Nomor 46 Tahun XXIII - 15 Januari 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar