Rabu, 17 November 2010

Mengingat Hakikat Ajal untuk Tanggap

Di hari peringatan Sumpah Pemuda yang lalu, akhirnya hujan abu mengguyur Jogja pada dini hari. Warga yang bermukim di utara berbondong-bondong ke selatan untuk menghindari guyuran yang berbau belerang ini. Ketika langit terang, terlihat jalanan, dedaunan, hingga atap tertutup abu tebal. Sejak itu warga selalu dihimbau untuk mengenakan masker jika berada di luar ruangan.

Kenyataan bahwa di atas sana ada ribuan pengungsi dengan kondisi yang serba darurat seolah terlupakan. Tak terkecuali yang bermukim di bawah pun kebagian ketar-ketir juga. Gunung Merapi terus menyemburkan isinya yang seolah tak habis-habis. Dari waktu ke waktu semakin keras saja letusannya. Ada desas-desus dari seorang kawan yang relawan bahwa awan panas dikhawatirkan melanda hingga kawasan UGM, bahkan hingga ke Kalasan. Jogja dan Klaten bisa saja jadi kota mati. Desas-desus yang bisa saja mewujud nyata ini serasa bagai seruan untuk lekas packing barang-barang penting seperlunya—kalau sewaktu-waktu harus mengungsi.

Pada 3 November 2010, terjadi letusan yang mengakibatkan lokasi pengungsian diturunkan. Dikepung hawa dingin sehabis hujan, sembari menikmati sajian hangat di Kedai Bambu, saya dan seorang kawan mendengarkan laporan perkembangan aktivitas Merapi seharian itu di RRI. Cemas hati kami dibuatnya sementara Sherina kecil—melalui tape kedai—mengajak kami untuk senang dan riang. Menapaki becek kala menuju jalan pulang ke kosan, kami bertanya-tanya apa yang bisa kami lakukan dalam kondisi mencemaskan ini. Tak terhindarkan bahwa kecemasan dapat melumpuhkan kita hingga tak kuasa melakukan apapun. Dan jawaban yang bisa kami simpulkan hanyalah menunggu dengan sabar, terus berdoa, dan menjalani kehidupan sebagaimana biasa.

Saya telah dengar beberapa ajakan, baik dari kajian maupun siaran RRI, untuk menghikmahi bencana ini. Baik utara, selatan, barat, maupun timur, semua tak luput dari pemberian Merapi. Ialah limpahan mineral yang terkandung dalam abu vulkanik. Setelah ini lewat, niscaya suburnya tetumbuhan yang akan menggantikan kelabu di lereng gunung. Tak hanya itu, rasanya ingin memuji Tuhan ketika sadar bahwa kita sedang diajari-Nya untuk sabar dan banyak berdoa.

Tuhan, apakah selama ini kami kurang sabar dan kurang banyak berdoa?

Ransel yang berisi barang-barang penting seperlunya—kalau sewaktu-waktu harus mengungsi—belum lagi dibongkar. Dada berdebar-debar menanti apakah benar lokasi pengungsian akan semakin turun ke bawah. Mungkin saja akan terjadi pengungsian besar-besaran, apalagi jika kawasan UGM sudah kena. Berapa puluh ribu mahasiswa UGM yang harus diungsikan?

Rundungan dari peristiwa Merapi ini membuat ajal jadi terasa bisa menyambangi kapan saja. Barangkali kita semua takut akan ajal. Kita enggan meninggalkan kenikmatan dunia yang fana ini. Kita tak bisa memastikan setelahnya kita akan masuk ke dalam surga atau neraka. Kita tak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Sementara itu setiap saat para pengungsi di lereng Merapi bisa saja terserang ISPA atau wedhus gembel dan tewas.

Namun jika hakikat ajal ditilik lagi, ia bisa datang tidak hanya di saat Merapi tengah beraksi seperti ini. Ia bisa datang kapan saja, di mana saja, pada siapa, dengan berbagai cara. Dengan tsunami, misalnya, bagi para penduduk Mentawai baru-baru ini. Ia bahkan bisa menyapa orang yang berada di tempat teraman di dunia sekali pun. Ia bisa datang lewat penyakit jantung, tabrakan kendaraan bermotor, kecelakaan konstruksi, dan lain-lain. Kita semua mungkin ingin hidup lama namun kedatangan ajal tak bisa dipastikan.

Kita semua mungkin ingin hidup lama namun kedatangan ajal tak bisa dipastikan. Memahami hakikat ajal ialah keniscayaan bagi kita untuk selalu mempersiapkan diri dalam menyambutnya. Namun ingat pula bahwa Tuhan tak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mengubahnya—termasuk menghindarkan diri dari ajal.

Kita semua tahu atau bisa memperkirakan bahwa jika kita lengah akan lingkungan sekitar, itu bisa mendekatkan diri kita pada ajal. Maka dalam kondisi dirundung bencana seperti ini, di mana ajal bisa saja diam-diam membonceng, adalah keniscayaan juga bagi kita untuk selalu waspada dan tanggap.

Biasanya kepanikan tak terhindarkan apabila tanda-tanda bencana terjadi. Menurut KBBI, panik ialah bingung, gugup, atau takut secara mendadak sehingga tak dapat berpikir dengan jernih. Tanggap sendiri diartikan sebagai mengetahui keadaan dan memerhatikan dengan sungguh-sungguh. Bagaimana kita bisa tanggap apabila pikiran tak jernih?

Sebagai akronim dari panik, tenang dapat menjadi kunci untuk tanggap. Masih menurut KBBI, tenang ialah tidak gelisah, tidak rusuh. tidak kacau, tidak ribut, serta aman, dan tentram  perasaan hati dan keadaan. Mempersiapkan ajal sejak dini namun membentuk laku waspada untuk menghindarinya bisa jadi satu cara untuk tenang. Dengan ketenangan, kita akan siap untuk tanggap.

ditulis sekitar 3-4 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain