Minggu, 28 November 2010

enam

(kau terbangun dari tidur panjang yang lelahkanmu/ sesali wajahmu merenta, kisahmu terlupa/ kau sadari semua yang berjalan tlah tinggalkanmu/ dan tak dapat merangkai semua dekat di khayalmu/ kau harapkan keajaiban datang hadir di pundakmu/ kau harapkan keajaiban melengkapi khayalmu/ kau biarkan mimpi tetap mimpi yang melengkapi khayalmu/ kau terhenyak dan terbangunkan/ dan harapkan keajaiban datang hadir di pundakmu/ kini waktu meninggalkanmu/ peter pan - tertinggalkan waktu)

.

Kepala Zia terangkat sejenak dari layar laptop Kang Detol. Hembusan angin mengisi pandangan yang redup karena mentari mulai turun panggung. Lari, ya, lari, nggak usah pake jerit-jerit… Zia menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum… Dasar Lutung... Lagi-lagi gelak tawa Mas Imin dan Kang Detol merambati rongga telinganya. Kata Mas Imin, stres itu harus dilampiaskan dengan cara positif. Ini adalah kali kedua Zia mampir ke SORGA dalam sebulan dan Zia belum berminat melampiaskan stres dengan cara Mas Imin. Hanya menemani Mas Imin beraksi saja sudah cukup menjauhkan stresnya untuk sementara waktu.

Kepala Zia turun kembali. Ia menggerutu. Lemot nian modem Kang Detol ini. Sedari tadi layar hitam di hadapannya masih ditimpa oleh potongan gambar yang tak kunjung lengkap. Membuka situs lain sembari menunggu hanya akan semakin memperlambat akses saja. Zia mengetuk-ngetukkan bantalan jemari pada kibor. Pandang dilemparkannya lagi pada sirkuit merah SORGA. Namun yang mengisi kepalanya adalah memori beberapa hari lalu. Saat ia baru sampai rumah dari persinggahannya di rumah Regi. Beruntung sekali didapatkannya Zaha tengah tidur-tiduran di hadapan TV, jadi ia tidak usah mendobrak paksa kamar adiknya itu. Bertubi-tubi gertak langsung ia kerahkan.

Dimulai dari, “Jelek banget sih gambar kamu di situ! Temen-temenku tadi pada ngeliatin tau, kalo mo di-publish cuma-cuma tuh yang bagusan sekalian kek!”, yang dijawab dengan, “Ya gimana lagi, aku kan gambarnya cuman pas lagi emosi…”, yang segera dipotong dengan, “…diedit dulu kek…”, dan disambut dengan, “…males banget, cuman cerita tentang kamu doang ini… Masih untung ada yang mo baca!”

Dan diakhiri dengan, “…aku tuh nggak pernah ngejadiin foto kecenganku screensaver di ponsel ya, jangan dusta kamu!”, yang ditukas dengan, “Seniman tuh menunjukkan kebenaran dengan kebohongan. Kamu aja yang nggak bisa ngapresiasi!”, lalu, “Trus apa-apaan itu, TV di kamar mandi?”, lalu, “Hah, selera humor aku aja yang kamu nggak ngerti!”, lalu, “Humor? Humor apaan? Nggak lucu tau! Belajarlah menerima kenyataan, Fazaha!”, dan pemungkasnya adalah, “Diem kamu!”

Kala itu Zia memang diam sebentar. Bukan karena Zaha menyuruh, melainkan agar Zaha tahu bahwa apa yang akan dikatakan Zia kemudian adalah sungguh-sungguh, bukan sekedar peramai adu mulut, “Yang judulnya ‘KDRT’ dihapuslah. Ngingetin sama yang nggak enak. Denger kamu, Zaha?”

Zaha diam saja. Zia berharap anggapannya selama ini benar; Zaha pasti selalu mendengarkan kata-katanya agar bisa membalas dengan kepedasan yang lebih maknyus.

“Eh, besok aku pinjem ankle shoes kamu, yah!” Zia menutup percakapan hangat malam itu sembari menaiki tangga menuju kamarnya. Ia sudah berencana memamerkan barang tersebut di sekolah esok hari. Didengarnya balasan Zaha, “Dasar miskin, pinjem-pinjem barang mulu!”

Adapun strip dengan judul yang Zia singgung malam itu adalah strip di mana tampil inisiatif karikatur Zaha untuk tanggap pada KDRT. Zaha tahu ada tetangganya yang demikian. Ia berniat melaporkannya pada KOMNASHAM. Tapi lalu disadarinya bahwa KDRT di keluarga sendiri saja tidak berani ia laporkan. Pada panel berikutnya Zaha menampilkan Zia dan mendiang Mama.

Setelah Mas Imin menempuh tiga putaran lagi, barulah Zia mendapat kepastian bahwa strip tersebut sudah tidak ada. Zia menghela nafas lega. Jarinya mendorong-dorong scroll mouse. Diam-diam ia mengagumi karya Zaha yang sewaktu dibuat dalam emosi saja sudah oke.

Terasa Mas Imin menghempaskan tubuh di sampingnya. “Zia, handuk dong…” Zia melemparkan barang yang Mas Imin minta. “Minum…” Lagi. Kang Detol menyusul kemudian dengan lidah terjulur dan nafas ngos-ngosan. Ia duduk bersandar pada bangku dengan berselonjor kaki. “Eh, Lutung, jangan langsung duduk kayak gitu…”

Mas Imin menurut apa kata sobat lengketnya itu. Tubuhnya merosot dari bangku. “Berapa, Det?”

“Dua puluh…” Kang Detol menerima botol yang diserahkan Mas Imin.

“Aargh… Penghinaan!” Mas Imin berlagak membanting handuk.

“Mana ada stopwatch baru saya berdusta, Min… Eh, Lutung… Beuh, saya bingung nama panggilan kamu banyak pisan…” Kang Detol menaruh botol di sampingnya seraya mendongakkan kepala. Megap-megap mencari udara.

“Ya udah, panggil yang biasa ajalah…”

“Yang biasa yang mana?”

“Dulu manggilnya apa?”

“Emang kalian nggak pernah saling manggil pake ‘sayang-sayang’-an ya?” timpal Zia. Kang Detol memberinya tatapan aneh.

“Eh, nggak bener tuh, cuman dua puluh. Ulang lagi ah!”

Kali ini tatapan aneh Kang Detol melayang pada Mas Imin. Mas Imin menangkapnya. Sesaat mereka tak bersuara sebelum kemudian bertukar tawa kecil. Mengamati hal tersebut, Zia menggeleng-gelengkan kepala sembari mengarahkan mata kembali pada layar laptop. Hendak membaca strip komik Zaha lainnya.

“Serius, Danang!”

“Edan, capek ah, Luthfi!”

“Tapi nggak mungkin itu dua puluh, Dito. Harusnya dua puluh dualah!”

“Ah, kamu mah maksa aja, Muhai!”

“Eh, Zia, lagi buka apaan?”

Zia refleks menarik diri dari Mas Imin. Lekas ditutupnya blog Zaha meski sepertinya Mas Imin tidak akan sampai seniat itu ingin tahu apa yang tengah dilihatnya. Kang Detol mengamatinya dengan tampang tanpa ekspresi. “Lagi ngecek Twitter aja…” Zia menukas segera. Dua cowok tersebut mengangguk-angguk seraya mengalihkan mata mereka ke arah lain. Menutupi kebohongannya tadi, Zia memunculkan tab baru untuk mengakses akun Twitter-nya.

“Eh, Zia, tulisan kamu nggak muncul di majalah LEMPERs lagi?”

Zia baru menyadari bahwa Kang Detol yang kini tengah meneguk minum kembali adalah seorang pemantau media LEMPERs. Bukannya Zia tidak tahu sebelumnya, Kang Detol kerap mengomentari media apapun yang dihasilkan LEMPERs. Mulai dari font tulisan, lay out, judul, sampai model foto. Kang Detol juga yang menguak identitas Mas Imin sebagai Madam SMANSON.

Pada tahun pertamanya di SMANSON, Mas Imin bertahan beberapa bulan di LEMPERs sebagai pengasuh rubrik “Dear Madam SMANSON”, sebuah rubrik curhat di mading mingguan LEMPERs. Mengasuh rubrik ini memberikan kepeka­an awal baginya untuk lebih memerhatikan keadaan orang-orang di sekitarnya. “Saya jadi tahu masalah anak-anak di sekolah. Beberapa kadang terlalu parah buat dimu­at di mading, jadi saya simpan aja. Kalau saya bisa ngasih solusi, saya bakal ngasih tau yang bersangkutan diam-diam, kalau-tau-orangnya,” kenang Mas Imin pada suatu ketika.

Berdasar kesepakatan yang dibuat saat rapat AD/ART LEMPERs, hanya pengasuh ru­brik tersebut yang boleh membuka surat curhat yang di­tujukan untuknya. Hanya ia juga yang berhak me­nentukan apa­kah surat itu akan dimuat di mading a­tau tidak. Madam SMANSON menjamin kerahasiaan identi­tas pengirim, yang me­mang biasanya me­ngirim surat tanpa iden­titas.

Mas Imin memutuskan hengkang dari LEMPERs sejak Kang Detol tahu-tahu mendatanginya dan bilang, “Kamu, ya, si Madam SMANSON itu?” Lagi-lagi berdasar AD/ART LEMPERs, rubrik itu pun tidak lagi diadakan karena identitas pengasuhnya ketahuan siswa non anggota LEMPERs. “Sebenarnya rubrik itu saya yang ngusulin pas rapat redaksi. Karena nggak ada yang mau megang, akhirnya sama sa­ya deh. Nggak nyangka, ternyata yang mi­nat lumayan juga. Pas saya keluar dari LEMPERs, nggak ada yang sanggup nerusin sebaik saya, hehe…” begitu pengakuan Mas Imin. “Lagian capek ah jadi madam-madam. Ngelawan kodrat.”

Kang Detol juga yang bilang pada Zia bahwa Mas Imin masuk LEMPERs karena mengejar cewek berinisial LTR yang dikecenginya sejak SMP. Mereka bertemu di suatu lomba yang pernah dia­dakan SMAN Ujunggerung. Cewek itu ju­ga yang menjadi alasan Mas Imin masuk SMAN­SON. Seiring berjalannya waktu, Mas Imin sudah tidak lagi mengecengi cewek terse­but. Sampai sini Zia kecewa. Mas Imin menyuruhnya untuk tidak percaya begitu saja omongan Kang Detol karena Kang Detol memang suka mengarang cerita. Cerita tentang Mas Imin hanyalah satu yang tidak absurd dari koleksi karangan absurd Kang Detol.

“Nantangin kamu tuh, si Detol,” teguran Mas Imin mengunggah kesadaran Zia kembali. “Kapan nulis lagi, Zia?”

“Iya, nantang, nih, nantang.” Kang Detol berlagak menyingsingkan kedua lengan jumper-nya bergantian. Zia mengernyit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain