(kau terbangun dari tidur panjang yang lelahkanmu/ sesali wajahmu merenta, kisahmu terlupa/ kau sadari semua yang berjalan tlah tinggalkanmu/ dan tak dapat merangkai semua dekat di khayalmu/ kau harapkan keajaiban datang hadir di pundakmu/ kau harapkan keajaiban melengkapi khayalmu/ kau biarkan mimpi tetap mimpi yang melengkapi khayalmu/ kau terhenyak dan terbangunkan/ dan harapkan keajaiban datang hadir di pundakmu/ kini waktu meninggalkanmu/ peter pan - tertinggalkan waktu)
.
Kepala Zia terangkat sejenak dari layar
laptop Kang Detol. Hembusan angin mengisi pandangan yang redup karena mentari
mulai turun panggung. Lari, ya, lari,
nggak usah pake jerit-jerit… Zia menggeleng-gelengkan kepala sambil
tersenyum… Dasar Lutung... Lagi-lagi
gelak tawa Mas Imin dan Kang Detol merambati rongga telinganya. Kata Mas Imin,
stres itu harus dilampiaskan dengan cara positif. Ini adalah kali kedua Zia
mampir ke SORGA dalam sebulan dan Zia belum berminat melampiaskan stres dengan
cara Mas Imin. Hanya menemani Mas Imin beraksi saja sudah cukup menjauhkan
stresnya untuk sementara waktu.
Kepala Zia turun kembali. Ia menggerutu.
Lemot nian modem Kang Detol ini. Sedari tadi layar hitam di hadapannya masih
ditimpa oleh potongan gambar yang tak kunjung lengkap. Membuka situs lain
sembari menunggu hanya akan semakin memperlambat akses saja. Zia
mengetuk-ngetukkan bantalan jemari pada kibor. Pandang dilemparkannya lagi pada
sirkuit merah SORGA. Namun yang mengisi kepalanya adalah memori beberapa hari
lalu. Saat ia baru sampai rumah dari persinggahannya di rumah Regi. Beruntung
sekali didapatkannya Zaha tengah tidur-tiduran di hadapan TV, jadi ia tidak
usah mendobrak paksa kamar adiknya itu. Bertubi-tubi gertak langsung ia
kerahkan.
Dimulai dari, “Jelek banget sih gambar
kamu di situ! Temen-temenku tadi pada ngeliatin tau, kalo mo di-publish
cuma-cuma tuh yang bagusan sekalian kek!”, yang dijawab dengan, “Ya gimana
lagi, aku kan gambarnya cuman pas lagi emosi…”, yang segera dipotong dengan,
“…diedit dulu kek…”, dan disambut dengan, “…males banget, cuman cerita tentang
kamu doang ini… Masih untung ada yang mo baca!”
Dan diakhiri dengan, “…aku tuh nggak
pernah ngejadiin foto kecenganku screensaver di ponsel ya, jangan dusta kamu!”,
yang ditukas dengan, “Seniman tuh menunjukkan kebenaran dengan kebohongan. Kamu
aja yang nggak bisa ngapresiasi!”, lalu, “Trus apa-apaan itu, TV di kamar mandi?”,
lalu, “Hah, selera humor aku aja yang kamu nggak ngerti!”, lalu, “Humor? Humor
apaan? Nggak lucu tau! Belajarlah menerima kenyataan, Fazaha!”, dan
pemungkasnya adalah, “Diem kamu!”
Kala itu Zia memang diam sebentar. Bukan
karena Zaha menyuruh, melainkan agar Zaha tahu bahwa apa yang akan dikatakan
Zia kemudian adalah sungguh-sungguh, bukan sekedar peramai adu mulut, “Yang
judulnya ‘KDRT’ dihapuslah. Ngingetin sama yang nggak enak. Denger kamu, Zaha?”
Zaha diam saja. Zia berharap anggapannya
selama ini benar; Zaha pasti selalu mendengarkan kata-katanya agar bisa
membalas dengan kepedasan yang lebih maknyus.
“Eh, besok aku pinjem ankle shoes kamu,
yah!” Zia menutup percakapan hangat malam itu sembari menaiki tangga menuju
kamarnya. Ia sudah berencana memamerkan barang tersebut di sekolah esok hari.
Didengarnya balasan Zaha, “Dasar miskin, pinjem-pinjem barang mulu!”
Adapun strip dengan judul yang Zia
singgung malam itu adalah strip di mana tampil inisiatif karikatur Zaha untuk
tanggap pada KDRT. Zaha tahu ada tetangganya yang demikian. Ia berniat
melaporkannya pada KOMNASHAM. Tapi lalu disadarinya bahwa KDRT di keluarga
sendiri saja tidak berani ia laporkan. Pada panel berikutnya Zaha menampilkan
Zia dan mendiang Mama.
Setelah Mas Imin menempuh tiga putaran
lagi, barulah Zia mendapat kepastian bahwa strip tersebut sudah tidak ada. Zia
menghela nafas lega. Jarinya mendorong-dorong scroll mouse. Diam-diam ia
mengagumi karya Zaha yang sewaktu dibuat dalam emosi saja sudah oke.
Terasa Mas Imin menghempaskan tubuh di
sampingnya. “Zia, handuk dong…” Zia melemparkan barang yang Mas Imin minta.
“Minum…” Lagi. Kang Detol menyusul kemudian dengan lidah terjulur dan nafas
ngos-ngosan. Ia duduk bersandar pada bangku dengan berselonjor kaki. “Eh,
Lutung, jangan langsung duduk kayak gitu…”
Mas Imin menurut apa kata sobat
lengketnya itu. Tubuhnya merosot dari bangku. “Berapa, Det?”
“Dua puluh…” Kang Detol menerima botol
yang diserahkan Mas Imin.
“Aargh… Penghinaan!” Mas Imin berlagak
membanting handuk.
“Mana ada stopwatch baru saya berdusta,
Min… Eh, Lutung… Beuh, saya bingung nama panggilan kamu banyak pisan…” Kang
Detol menaruh botol di sampingnya seraya mendongakkan kepala. Megap-megap
mencari udara.
“Ya udah, panggil yang biasa ajalah…”
“Yang biasa yang mana?”
“Dulu manggilnya apa?”
“Emang kalian nggak pernah saling
manggil pake ‘sayang-sayang’-an ya?” timpal Zia. Kang Detol memberinya tatapan
aneh.
“Eh, nggak bener tuh, cuman dua puluh.
Ulang lagi ah!”
Kali ini tatapan aneh Kang Detol
melayang pada Mas Imin. Mas Imin menangkapnya. Sesaat mereka tak bersuara
sebelum kemudian bertukar tawa kecil. Mengamati hal tersebut, Zia
menggeleng-gelengkan kepala sembari mengarahkan mata kembali pada layar laptop.
Hendak membaca strip komik Zaha lainnya.
“Serius, Danang!”
“Edan, capek ah, Luthfi!”
“Tapi nggak mungkin itu dua puluh, Dito.
Harusnya dua puluh dualah!”
“Ah, kamu mah maksa aja, Muhai!”
“Eh, Zia, lagi buka apaan?”
Zia refleks menarik diri dari Mas Imin.
Lekas ditutupnya blog Zaha meski sepertinya Mas Imin tidak akan sampai seniat
itu ingin tahu apa yang tengah dilihatnya. Kang Detol mengamatinya dengan
tampang tanpa ekspresi. “Lagi ngecek Twitter aja…” Zia menukas segera. Dua
cowok tersebut mengangguk-angguk seraya mengalihkan mata mereka ke arah lain.
Menutupi kebohongannya tadi, Zia memunculkan tab baru untuk mengakses akun
Twitter-nya.
“Eh, Zia, tulisan kamu nggak muncul di
majalah LEMPERs lagi?”
Zia baru menyadari bahwa Kang Detol yang
kini tengah meneguk minum kembali adalah seorang pemantau media LEMPERs.
Bukannya Zia tidak tahu sebelumnya, Kang Detol kerap mengomentari media apapun
yang dihasilkan LEMPERs. Mulai dari font tulisan, lay out, judul, sampai model
foto. Kang Detol juga yang menguak identitas Mas Imin sebagai Madam SMANSON.
Pada tahun pertamanya di SMANSON, Mas
Imin bertahan beberapa bulan di LEMPERs sebagai pengasuh rubrik “Dear Madam
SMANSON”, sebuah rubrik curhat di mading mingguan LEMPERs. Mengasuh rubrik ini
memberikan kepekaan awal baginya untuk lebih memerhatikan keadaan orang-orang
di sekitarnya. “Saya jadi tahu masalah anak-anak di sekolah. Beberapa kadang
terlalu parah buat dimuat di mading, jadi saya simpan aja. Kalau saya bisa
ngasih solusi, saya bakal ngasih tau yang bersangkutan diam-diam,
kalau-tau-orangnya,” kenang Mas Imin pada suatu ketika.
Berdasar kesepakatan yang dibuat saat
rapat AD/ART LEMPERs, hanya pengasuh rubrik tersebut yang boleh membuka surat
curhat yang ditujukan untuknya. Hanya ia juga yang berhak menentukan apakah
surat itu akan dimuat di mading atau tidak. Madam SMANSON menjamin kerahasiaan
identitas pengirim, yang memang biasanya mengirim surat tanpa identitas.
Mas Imin memutuskan hengkang dari
LEMPERs sejak Kang Detol tahu-tahu mendatanginya dan bilang, “Kamu, ya, si
Madam SMANSON itu?” Lagi-lagi berdasar AD/ART LEMPERs, rubrik itu pun tidak
lagi diadakan karena identitas pengasuhnya ketahuan siswa non anggota LEMPERs.
“Sebenarnya rubrik itu saya yang ngusulin pas rapat redaksi. Karena nggak ada
yang mau megang, akhirnya sama saya deh. Nggak nyangka, ternyata yang minat
lumayan juga. Pas saya keluar dari LEMPERs, nggak ada yang sanggup nerusin
sebaik saya, hehe…” begitu pengakuan Mas Imin. “Lagian capek ah jadi
madam-madam. Ngelawan kodrat.”
Kang Detol juga yang bilang pada Zia
bahwa Mas Imin masuk LEMPERs karena mengejar cewek berinisial LTR yang
dikecenginya sejak SMP. Mereka bertemu di suatu lomba yang pernah diadakan
SMAN Ujunggerung. Cewek itu juga yang menjadi alasan Mas Imin masuk SMANSON.
Seiring berjalannya waktu, Mas Imin sudah tidak lagi mengecengi cewek tersebut.
Sampai sini Zia kecewa. Mas Imin menyuruhnya untuk tidak percaya begitu saja
omongan Kang Detol karena Kang Detol memang suka mengarang cerita. Cerita
tentang Mas Imin hanyalah satu yang tidak absurd dari koleksi karangan absurd
Kang Detol.
“Nantangin kamu tuh, si Detol,” teguran
Mas Imin mengunggah kesadaran Zia kembali. “Kapan nulis lagi, Zia?”
“Iya, nantang, nih, nantang.” Kang Detol
berlagak menyingsingkan kedua lengan jumper-nya bergantian. Zia mengernyit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar