Jumat, 29 Desember 2023

Anak-anak Malam

Klub buku yang saya ikuti mau membahas buku sastra anak karya Soekanto S. A., yang berjudul Anak-anak yang Bahagia. Saya kira tidak punya satu pun buku Soekanto S. A., sehingga mencarinya di Ipusnas. Dengan mengetikkan nama "Soekanto" di kolom penelusuran, keluar 8 buku (urutan berikut menurut preferensi saya).

Terbitan Pustaka Jaya
1. Anak-anak Malam
2. Cokli Ikut Bergerilya
3. Dunia Penuh Tawa
4. Bayi Ajaib Jabang Tutuka: Cerita Wayang untuk Anak-anak
5. Jayamada: Dongeng Rakyat Blitar
6. Dongeng-dongeng Asia Bacaeun Barudak

Terbitan Mizan
7. I Love You, Ayah
8. Si Pitung Superhero Betawi Asli

Saya mau saja membacai semuanya, terutama dari Pustaka Jaya. Selain Balai Pustaka, Pustaka Jaya adalah yang bila saya tidak sengaja menemukan bukunya di Ipusnas selalu saya screenshot gambar kovernya untuk mengingatkan agar membacanya entah kapan. Namun karena sudah ada beberapa bacaan yang ongoing, serta beberapa buku lain mengisi kepala saya seakan-akan mendesak agar segera dituntaskan juga, jadi sepertinya satu buku saja dulu, yang judulnya paling mendekati yang akan dibahas di klub yaitu Anak-anak Malam. Sempat saya menduga bahwa Anak-anak yang Bahagia itu jangan-jangan cetak ulang dari Anak-anak Malam oleh penerbit Kiblat. Tapi, dari penelusuran sekilas sih, sepertinya kedua buku ini isinya berbeda. Sayang, karena suatu hal, saya berhalangan datang ke klub sehingga belum dapat memastikan :')

Gambar screenshot dari Ipusnas.
Anak-anak Malam
pertama-tama diterbitkan pada 1973, kemudian dicetak ulang pada 1974 lalu 1976, dan Edisi Elektronik keluar pada 2019 (ISBN PDF 978-623-221-343-2.) Gaya narasinya mengingatkan pada yang pernah saya temui dalam bukunya Ajip Rosidi, sepertinya Di Tengah Keluarga karena sama-sama bercerita tentang kehidupan anak. Mungkin karena mereka kurang lebih sepantaran (sama-sama lahir pada 1930 ke atas) dan kalau tidak salah berteman juga (perlu cek lagi Hidup Tanpa Ijazah yang tebal sekali itu~) maka gayanya mirip, atau memang itu gaya khas pada masanya.

Buku ini terdiri dari 13 cerita yang tiap-tiapnya pendek sekali. Tebalnya saja hanya 54 halaman. Kendati tiap cerita mengangkat tokoh yang berbeda-beda, ada benang merah atau sejumlah kesamaan.

Kebanyakan cerita mengenai anak-anak yang harus mencari nafkah sejak dini

Ada yang ayahnya masih kukuh badannya tapi entah apa sebabnya tidak bekerja, seperti dalam cerita pertama, "Anak-anak Malam". Ada yang membantu ayahnya mencari nafkah dengan melakukan atraksi-atraksi berbahaya, dalam cerita berikutnya, "Asih Warga". Ada pak guru yang mengenang masa kecilnya, sepeninggal ayah, harus membantu ibunya berkebun dan bersawah, dalam "Daun Turi". Cerita selanjutnya, "Pabrik Getuk!", masih mengenai anak yang telah ditinggal ayah sehingga harus membantu ibunya, kali ini dengan membuat dan berjualan getuk serta aneka jajanan pasar lain. Ada yang bekerja sebagai pengurus kuda, sekalian mengambili rumput, membersihkan kandang, mengumpulkan kotoran, dan mengerok hewan itu, dalam "Salamku kepada Eman!". Hampir-hampir pengecualian dalam "Bergandengan" karena hanya menceritakan peristiwa ketika si anak baru ditinggal ayahnya ke alam baka, belum sampai harus bekerja. Demikian juga dalam "Jejak Ayah", tetapi di sini ayahnya koruptor yang telah disekap polisi sehingga si anak harus pindah ke rumah buruk dan mungkin harus bekerja lebih dini juga. "Centeng" juga tidak menceritakan anak bekerja, tetapi anak bertemu pekerja yang tepatnya seorang centeng dan bertukar cakap. Dalam "Setandan Pisang", ada ayah yang mencuri pisang dari kebun orang untuk memberi makan keluarganya. Dalam "Karya" dan "Berani Hidup", sama-sama ada anak yang bekerja sebagai pesuruh di rumah orang dan sering mengalami penyiksaan. Pengecualian dalam "Feri Tersedan Menangis" serta "Indung Gudang Hampura" yang mana bukan tentang anak bekerja, melainkan anak yang berperilaku tidak sepantasnya.
"... penderitaan di masa kecil kadang-kadang besar artinya bagi kehidupan masa dewasa." (halaman 16)
Berdasarkan isi cerita pada umumnya itu, kiranya bisa ditarik pengertian bahwa Anak-anak Malam yang menjadi judul buku dapat berarti anak-anak yang memang masih keluyuran malam-malam (entahkah untuk mencari nafkah ataupun karena doyan jalan-jalan saja pada waktu tersebut), atau anak-anak yang nasibnya sekelam malam karena sekecil itu sudah harus mengalami kerasnya hidup. Sekali lagi ini mengingatkan pada buku Ajip Rosidi, Di Tengah Keluarga, yang bagian pertamanya dijuduli "Hari-hari Punya Malam", berisikan kisah-kisah yang cenderung menyoal penderitaan dalam keluarga (sementara bagian kedua, "Hari-hari Punya Siang", bernuansa riang).

Sudut pandang yang berjarak dengan tokoh yang jadi objek cerita

Cerita biasanya disampaikan secara tidak langsung atau melalui tokoh lain, entahkah perannya sebagai penolong, teman, orang asing, atau tetap tokoh yang sama hanya saja sudah dewasa. Dengan begitu, timbul kesan bahwa cerita-cerita itu seperti hasil pengamatan ketimbang pengalaman langsung. Kalaupun tidak begitu, penggunaan sudut pandang orang ketiga tetap menunjukkan adanya jarak. Seakan-akan penulis tahu bahwa pembaca kemungkinan adalah anak dengan privilese, persisnya berupa akses terhadap bacaan entahkah beli atau pinjam, sedikitnya ada waktu luang untuk membaca yang kemungkinan tidak dimiliki anak-anak yang harus mencari nafkah sejak dini.

Tokoh umumnya laki-laki

Baik orang dewasa maupun anak-anak, entahkah yang jadi pembingkai cerita ataupun objeknya, biasanya laki-laki. Mungkin karena penulisnya sendiri laki-laki. Sosok ayah sangat berperan, entahkah sebagai tulang punggung/pencari nafkah ataupun pembimbing moral. Ini menarik karena dengar-dengar Indonesia termasuk negara fatherless, di mana ayah umumnya kurang berperan dalam perkembangan anak. Entah itu data dari mana dan kapan, saya tidak hendak repot menelusurinya juga sih. Mengingat ini cerita-cerita dari setengah abad silam, itu menunjukkan apa? Apakah ayah 1970-an lebih ngemong, atau cerita-cerita ini justru untuk mengisi kekosongan itu? Kalau bukan ayah sendiri, sosok lelaki dewasa yang jadi pembina moral itu bisa seorang kawan yang lebih tua, guru, atau pemuka agama. Kebetulan ini relevan dengan buku yang lagi saya baca, The Wonder of Boys (terjemahan dari karya Michael Gurian, terbitan Serambi), mengenai cara membesarkan anak laki-laki. Anak-anak Malam pun seakan-akan merupakan bentuk fiksi dari buku tersebut, yang mana ditunjukkan cara mengajari anak laki-laki adalah dengan mengajaknya untuk mengalami sendiri; sekalipun hanya sebagai pengamat, tetap ada persinggungan langsung dengan pelaku dari berbagai ranah kehidupan. Yang kemudian menyusupkan nasihat kepadanya adalah sesama laki-laki yang telah dewasa. Tentunya ada pengecualian. Dalam "Bergandengan" dan "Feri Tersedan Menangis", tokoh perempuan dewasa (ibu atau guru) yang menjadi pembimbing moral.

Cerita mengandung pengetahuan dan pelajaran

Sebagai bacaan anak-anak, ini sudah jelas wkwk.

Dari "Anak-anak Malam", kita dapat belajar agar menjadi orang yang solutif seperti Pak Haji. Dalam "Daun Turi", ada sedikit pengetahuan botani mengenai manfaat daun turi untuk pakan kambing dan cara menyiapkannya untuk dijual ke pasar. "Pabrik Getuk!" menggugah supaya makan getuk segera setelah bangun tidur tanpa gosok gigi dulu, karena katanya enak begitu ketika mulut masih asin (Ya, bakteri-bakteri yang naik ke mulut selama tidur itu rupanya jadi bumbu penyedap rasa :p). "Salamku kepada Eman!" menunjukkan cara-cara merawat kuda. Dalam "Centeng", terdapat perjuangan seorang ayah yang siang-malam kudu bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarganya. "Jejak Ayah" memberikan pesan agar tidak mendiskriminasi anak yang orang tuanya tersangka korupsi, alih-alih kasih dia kesempatan untuk menebus kesalahan. "Setandan Pisang" mengamanatkan kesadaran atau tanggung jawab sosial kepada kalangan yang berkecukupan, agar berbagi kepada kalangan ekonomi lemah bukan cuma dalam hal materi (seperti makanan dsb) melainkan juga nonmateri (misalnya pengetahuan untuk memperbaiki kehidupan). Cerita tersebut beserta "Berani Hidup" mengandung cambuk agar bekerja lebih keras, mencari cara lain jika keadaan yang sekarang kekurangan atau menyiksakan. Berani hidup berarti hidup yang keras. Memiliki kepedulian sosial bukan berarti bersikap lembek.

Standar moral(?) lainnya yang berbeda antara dulu dan sekarang

Yang membuat saya tertegun pertama-tama adalah ilustrasi di halaman 18 yang menggambarkan seorang ibu berkebaya dengan belahan dada, didampingi dua anak lelaki yang sedang membantunya membuat getuk. Dalam ilustrasi buku anak-anak jaman now kemungkinan si ibu akan dipakaikan jilbab atau setidaknya pakaian yang lebih tertutup. Dalam beberapa cerita lainnya pun terdapat adegan-adegan yang bersinggungan dengan rokok. Misalnya, di halaman 34, disebutkan ada bapak guru sedang memberikan pelajaran di depan anak-anak di dalam ruangan kelas sambil merokok(!) Dalam "Berani Hidup", si tokoh yang berusia 13 tahun sudah merokok sekalipun dalam narasi disisipkan permakluman "ia sebetulnya terlalu kecil untuk merokok". Tokoh ini berteman dengan seorang mantan romusa yang kini berjualan rokok dan mengajak si tokoh untuk berjualan rokok juga. (Kalau zaman sekarang, kemungkinan rokok diganti dengan tisu atau kostum badut.) Memang ada jarak sekitar 50 tahun atau setengah abad antara keluaran pertama buku ini dan sekarang (ketika saya membacanya). Malah di salah satu buku Lupus Kecil keluaran awal '90-an (sekitar 30 tahun silam), tepatnya Lupus Kecil #5 Sakit, Lah, Dekh, Donk, Weew! (bisa dibaca di Ipusnas), juga pernah saya temukan ilustrasi ibu-ibu (atau waria??) sedang merokok. Walaupun kenyataannya tetap (atau tambah?) banyak anak kecil perokok, saya tidak begitu yakin media anak-anak masa kiwari masih demikian blak-blakan memampang adegan orang merokok. Belahan dada di televisi saja diblur.

Beberapa cerita berhasil mengharukan

Kesan ini muncul sejak cerita pertama. Cerita lainnya yang juga mengharukan buat saya adalah "Jejak Ayah" dan "Karya".

Beberapa cerita tampak seperti belum selesai

Kesan ini juga saya rasakan sejak cerita pertama: kaget tahu-tahu sudah selesai, saking pendeknya. Jalan ceritanya pun sangat sederhana, setelah disodorkan masalah langsung diberi penyelesaian tanpa melalui konflik yang berliku-liku. Yang paling tidak memuaskan adalah "Feri Tersedan Menangis", mengenai si anak Ambon Frits Soplanik alias Feri, yang telah bersikap tidak sopan terhadap guru yang memperingatinya karena mengganggu anak-anak perempuan. Padahal, menurut Feri, anak-anak perempuan itu yang memulai dengan mengejeknya. Maka saya rasa cerita ini tidak adil terhadap Feri karena mesti begitu saja tunduk kepada guru, sedang anak-anak perempuan yang memulai itu tidak diceritakan akan ditindak juga. (Mungkin ini justru satu lagi standar moral yang berbeda antara dulu dan sekarang, yang mana dulu apa pun perkataan guru--tanpa peduli pembelaan diri murid--adalah harga mati. Malah sekarang anak berikut orang tuanya berani melawan guru.) Karena kesan belum selesai itulah, cerita-cerita ini seperti potret atau sketsa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain