Gambar screenshot dari Ipusnas. |
Bagian awal buku ini tentu saja terlebih dahulu menerangkan wacana ketionghoaan di Indonesia: posisinya sebagai kaum minoritas yang unik (karena banyak yang tidak mengikuti agama mayoritas sebagaimana Arab dan India), keteguhannya dalam mempertahankan kebudayaan leluhur, sifatnya yang cenderung tertutup, sampai persoalan istilah "Tionghoa" atau "Cina" yang mana yang pertama itu dianggap lebih sopan atau beradab daripada yang kedua. Bagian awal juga merunut riwayat diskriminasi terhadap Tionghoa di Indonesia yang berujung pada tragedi 1998, dan setelah segala huru-hara itu berlalu alias memasuki masa reformasi, presiden berikutnya yakni Gus Dur mereformasi pula peraturan-peraturan menyangkut Tionghoa, yang di antaranya membolehkan mereka merayakan tradisi secara terbuka. CBK terbit sekitaran masa itu, mula-mula sebagai cerita bersambung di Republika (1997), lalu diterbitkan KPG (1999), dan akhirnya difilmkan (2002). Jadi dalam lima tahun saja cerita itu telah direproduksi oleh tiga media komunikasi yang berbeda: koran, buku, dan film. Melalui CBK, Remy Sylado seperti mau memberikan suatu perspektif terhadap Tionghoa. Namun Remy sendiri tidak diketahui merupakan keturunan Tionghoa, sehingga kemungkinan ada bias dalam novelnya itu. Buku ini bermaksud membaca CBK secara kritis.
"Karya sastra adalah hasil sulingan, atau penyederhanaan, atau serangkaian pilihan yang dibuat oleh seorang pengarang, yang jauh lebih kacau dan campur aduk daripada realitas itu sendiri." (Edward Said, halaman 47)
Kemudian tesis ini mengidentifikasi tokoh-tokoh Tionghoa dalam CBK menurut bahasa, mata pencaharian, organisasi sosial, religi, pengetahuan, kesenian, dst. Secara umum, mereka terbagi jadi Tionghoa totok dan Tionghoa peranakan yang dalam novel ini digambarkan menggunakan bahasa yang berbeda, memiliki mata pencaharian yang berbeda, ada yang bergabung dalam organisasi ada juga yang tidak, menganut kepercayaan yang berbeda, mempunyai selera seni yang berbeda, dst. Dari sini, CBK menunjukkan bahwa Tionghoa terdiri dari individu yang beragam.
Sekalipun sudah berusaha menampilkan keberagaman, CBK tidak lepas dari stereotipe terhadap Tionghoa. Malah ia seperti mengukuhkan wacana yang mengasosiasikan Tionghoa dengan kejahatan dalam bidang ekonomi Indonesia. Tesis ini banyak menyoroti sifat-sifat tokoh Tionghoa yang dominan dalam CBK, yaitu Tan Peng Liang Semarang, yang dalam berbisnis menghalalkan segala cara (menyuap pejabat, menjual candu, mencetak uang palsu, bahkan menumbalkan anak perempuannya sendiri!). Malah peranannya dalam kemerdekaan Indonesia pun lebih dilandasi cinta kepada keluarga, ketimbang sungguh-sungguh peduli pada perjuangan bangsa. Ia adalah manusia yang bisa membawakan diri secara berbeda-beda, tergantung kepada siapa dia berhadapan. Ia memiliki etika "binatang bercelana". Melalui kompleksitas tokoh Tan Peng Liang Semarang sebagaimana ditunjukkan dalam tesis ini, saya mengambil banyak inspirasi mengenai pengembangan suatu karakter.
"Ketionghoaan semacam itu digambarkan melalui Tan Peng Liang Semarang yang memiliki kultur yang kompleks. Ketionghoaan, kejawaan, kapitalisme, nasionalisme, superioritas, inferioritas, kecintaan, kejahatan, kebaikan, dan pengkhianatan, lebur dalam dirinya dan diperankan dalam momentumnya sendiri." (halaman 159) "Cbk menginklusi ketionghoaan dalam segi perilaku mereka yang primitif, rakus, licik, individualis, anti-sosial, tidak setia, dan bukan nasionalis." (halaman 185)
Tesis ini pun mengkritisi ketiadaan Tionghoa muslim yang padahal sudah ada di Jawa sejak abad ke-15 atau 16. Dengan begitu, timbul "kesan-kesan umum yang mengidentikkan agama dan marga dengan kejahatan Tionghoa". Padahal novel ini "berusaha menghadirkan masa lampau Tionghoa seotentik mungkin dalam media estetik." (halaman 190) Ini menarik karena di novel Remy lainnya yang saya sudah tuntaskan, Parijs van Java (selanjutnya PVJ), kalaupun ada tokoh muslim, ia digambarkan secara hampir-hampir sempurna--karakternya baik banget. Karena Remy Sylado sudah menulis banyak karya fiksi, saya pun bertanya-tanya adakah di antara karangannya itu yang menampilkan tokoh muslim secara kompleks juga--tidak cuma baiknya, tetapi juga ada buruknya?
Dari tesis ini juga saya belajar mengenai sikap pengarang terhadap materi ceritanya. Menurut tesis ini, narasi di CBK lahir dari prasangka terhadap minoritas Tionghoa yang sangat mendalam sehingga yang ditonjolkan adalah tindakan buruk mereka. CBK merupakan "keinginan terpendam dan ketakutan pengarang untuk mengisi ruang kosong", cara untuk "menafsirkan masa kini dengan menengok kembali masa lalu." Lebih lanjut, "sikap seperti itu tidak hanya digerakkan ketidaksetujuan terhadap atau mengenai apa yang terjadi pada masa silam, melainkan juga didorong oleh keinginan untuk mencari jawaban apakah masa lalu itu benar-benar telah lalu, selesai, dan ditutup, atau apakah ia masih berlanjut meskipun mungkin dalam bentuk-bentuk yang berbeda?" Melalui novelnya, pengarang "melihat aktualitas ... masa kini dengan berpaling ke masa silamnya." (halaman 188)
Jadi, sebetulnya CBK membela Tionghoa atau tidak? Penerbit KPG menganggapnya iya, menyoroti peran tokoh Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan. Namun, setelah dikuliti dalam tesis ini, "Di satu sisi, Cbk menunjukkan keberagaman kebudayaan masyarakat Tionghoa melalui narasi diversitas identitas bahasa, ekonomi, dan sistem religi yang mereka anut .... Namun, di sisi lain, ia tampak tetap melanjutkan penggambaran dominan Tionghoa sebagai pelaku ekonomi yang harus diwaspadai perannya." (halaman 197) Walaupun demikian, tesis ini memaklumi bahwa kehidupan Tionghoa-Indonesia terlalu kompleks kalau harus diuraikan secara menyeluruh melalui novel yang penuh keterbatasan (halaman, waktu dan tenaga penulisan, pertimbangan nonestetik lain), sehingga wajar jika novelis memilih fokus tertentu akan timbul generalisasi. Maka novel ini sekadar mengikuti wacana yang ada di masyarakat (halaman 197-198).
Sembari membaca tesis ini, saya sambil sedikit-sedikit menonton filmnya di YouTube. Kualitas film yang di YouTube itu tidak begitu bagus (maksimal 240p), dan sampai ketika membuat catatan ini, saya masih belum menamatkannya :v Membandingkan dialog yang dikutip dalam tesis ini dengan dialog dalam filmnya, saya menduga bahwa dialog dalam film bersetia dengan dialog dalam novel. Saya juga sambil meraba-raba kesamaan antara novel ini dengan PVJ, yaitu (CMIIW):
- Narator mahatahu dengan latar Belanda, namanya sama-sama berawalan huruf G (huruf yang susah diucapkan secara Belanda kalau buat saya :'))
- Terdapat selipan pepatah-pepatah; kalau di PVJ dalam bahasa Belanda dan Italia, dalam CBK bahasa Cina,
- Terdapat sedikitnya satu tokoh yang kompleks, sedangkan tokoh-tokoh selainnya sekadarnya (di PVJ ada Gertruida, di CBK Tan Peng Liang Semarang),
- Sama-sama ada peristiwa pembakaran,
- Sama-sama ada perkumpulan pria antagonis (di PVJ Bandung Vooruit, di CBK Kong Koan),
- Sama-sama ada pelacuran,
- Sama-sama ada anak yang diambil orang lain,
- Ada lagi enggak, ya?
Gambar screenshot dari Ipusnas. |
Artikel pertama, "Setelah Sang Naga Bebas Menari", sebagaimana yang disampaikan juga dalam buku sebelumnya, memaparkan riwayat komunitas Cina di Indonesia yang sejak Orde Baru (TNI versus PKI) dilarang mengekspresikan kebudayaannya secara terbuka. Barulah setelah OrBa lengser, presiden Gus Dur mengeluarkan peraturan yang membebaskan mereka. Maka dalam tahun-tahun setelah reformasi ini, kebudayaan Cina kembali naik menampakkan diri. Yang paling populer adalah barongsai, sedang yang lain-lain seperti wayang potehi sudah telanjur tenggelam. Rupanya ada berbagai praktik dan budaya lain yang merupakan warisan Cina, mulai dari jenis-jenis sayuran (caisim dan kol) hingga bentuk-bentuk kesenian (gambang kromong dan lenong) yang kini sudah dianggap sebagai bagian dari Indonesia.
Artikel berikutnya, "Cina Kreol Model Para Desainer", mengkritik habis-habisan film CBK yang kesimpulannya mirip drama televisi padahal bujetnya miliaran. Kritik ini juga membandingkan film tersebut dengan novelnya. Film ini dianggap terlalu bersetia tetapi juga melencengkan wacana yang dominan dari novelnya. "Novel Remy sedari awal tidak menampilkan cerita seorang peranakan Cina yang sadar pergerakan, seperti banyak aktivis Cina yang giat mengelola bacaan liar melawan propaganda Hindia Belanda saat itu. Ia hanya mendongengkan seorang pedagang yang membantu militer dan kelak kemudian hari hidupnya terjamin saat zaman berganti. Tapi sesungguhnya, tanpa memfokuskan ke arah itu, ia menyentil sesuatu yang susbtansial. Bukankah kedekatan Lim Soei Liong dengan Orde Baru berawal dari persahabatan penyelundupan semacam ini?" (halaman 43-44)
Artikel-artikel selanjutnya, kecuali yang "Cina Menghina, Tionghoa Menghibur", tidak menyinggung CBK walau masih menyangkut kecinaan.
"Kala 'Cinta' Terhalang Industri Kejar Tayang" menceritakan sutradara N. Riantiarno yang menggarap sinetron Cinta Terhalang Tembok, adaptasi dari novel Cinta Bersemi Terhalang Tembok karya Bagin terbitan Balai Pustaka, mengenai kisah cinta antaretnis. Sinetron ini digarap secara kejar tayang, sehingga membuat sutradara berikut krunya frustrasi dan mendapatkan kritik tajam karena hasilnya tidak memuaskan. Proses produksi pun terasa dikejar-kejar. Mengenai Bagin, di Ipusnas ada beberapa novelnya tetapi tidak ada judul yang diangkat dalam artikel ini. Tampaknya novel-novel Bagin berlatar sejarah.
"Dulu Terpasung, Kini Merana", "Wajah Ramah Naga Itu", serta "Mengantar Dewa Dapur Menapak Langit" meliput bentuk-bentuk warisan budaya Cina yang masing-masing berupa wayang potehi, barongsai, dan kuliner. "Dulu Terpasung, Kini Merana" dan "Wajah Ramah Naga Itu" mengangkat sosok-sosok yang masih berusaha menghidupkan, yang satu di Semarang yang lain di Jakarta. Akibat dari pemasungan selama Orde Baru, popularitas wayang potehi tenggelam sehingga hanya bisa tampil jarang di lingkungan tertutup. Barongsai lebih disukai, sering ditanggap di mal-mal, bahkan dilestarikan oleh warga setempat. Namun terdapat penyesuaian seperti desainnya yang aslinya seram menjadi lucu. "Mengantar Dewa Dapur Menapak Langit" menyorot restoran-restoran halal yang menyajikan kuliner Cina dengan harga mahal.
"Cina Menghina, Tionghoa Menghibur" ditulis oleh novelis CBK, Remy Sylado, yang melacak jejak Cina di Indonesia. Ada penjelasan mengenai sebabnya istilah "Tionghoa" lebih disukai daripada "Cina" (halaman 72-73). Padahal, dalam praktiknya, sekitar 20 tahun sejak ditulisnya artikel ini, sepertinya orang umumnya masih lebih suka menggunakan "Cina" daripada "Tionghoa", bahkan sekarang ada istilah "Chindo"--China-Indonesia. Kiranya kata "Cina" lebih mudah diucapkan daripada "Tionghoa". Artikel ini juga memaparkan sejarah interaksi Cina dengan Indonesia yang sudah sejak lama sekali, lebih lama daripada masa Borobudur masih aktif digunakan; bagaimana Cina menjadi saudara tua yang mengajarkan hal teknis kepada pribumi, serta memengaruhi budaya (cerita rakyat dan bahasa) bahkan ciri fisik.
Artikel penutup, "Etnis Cina di Zaman yang Berubah", seperti merangkum informasi-informasi yang telah diutarakan dalam artikel-artikel sebelumnya dengan ujungnya menyoal Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang masih menunjukkan diskriminasi terhadap etnis Cina.
Gambar screenshot dari Ipusnas. |
Artikel pertama, "Sumbangan Seorang Kiau-Seng untuk Republik Baru", adalah tinjauan singkat (Yusi A. Pareanom, 3 Mei 1999) mengenai novel CBK. Menurutnya, dalam separuh pertama buku, detail karakter-karakternya mengesankan terutama penggambaran Batavia 1920-an. Namun, setelah itu, stamina penulis terasa menurun tajam. Pengarang mulai lebih fokus pada detail-detal yang kurang penting yang dapat mengganggu alur cerita. Kritik selebihnya persis seperti yang sudah diulas dalam tesis terbitan Basabasi itu.
Artikel kedua, "Menunggu Tinung di Layar Perak" (Seno Joko Suyono dan Ecep S. Yasa, 27 Mei 2001), mengantisipasi film adaptasi novel CBK yang masih dalam proses produksi, rencananya akan diluncurkan seiring dengan Imlek (Januari 2002 atau sekitar setengah tahun lagi sejak tanggal tulisan ini). Ada sekilas profil Nia DiNata yang lulusan Amerika Serikat, dan sampai waktu itu masih sutradara kecil yang belum dikenal. Upayanya tampak maksimal. Di antara beberapa novel sejarah yang ia gemari (selainnya yaitu karya Pramoedya Ananta Toer dan Umar Kayam), CBK lah yang paling menimbulkan imaji visual. Proses lobi dengan Remy Sylado untuk mendapatkan izin memfilmkan pun tidak begitu mudah.
Artikel ketiga, "Ferry Salim: Cina Tradisi" (17 Februari 2002), sepertinya dari rubrik liputan artis karena singkat sekali. Artikel ini menampilkan tanggapan Ferry Salim terhadap perannya dalam film CBK. Rupanya ia bukan sepenuhnya Cina, tidak fasih dengan hal-hal kecinaan pun tidak menguasai bahasanya, dan merayakan tradisi cuma ikut-ikutan.
Membandingkan kedua buku yang sama-sama disusun oleh Tim Penyusun Pusat Data dan Analisa Tempo serta diterbitkan TEMPO Publishing ini, buku yang pertama (2019) cakupannya agak meluas tidak semua terkait CBK sedangkan buku yang kedua (2023) semuanya bersangkutan dengan CBK. Buku yang pertama disertai dengan gambar-gambar, sedangkan buku yang kedua tidak ada tapi dari halaman 49 sampai 59 kosong melompong bahkan halaman 48 sebetulnya cuma memuat nama penulis dan tanggal terbit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar