Andai saja ada lebih banyak novel Mira W
yang tersasar ke rumah…
Pertama kali saya memegang karya novelis
kawakan ini ialah waktu SD. Punya mbak yang waktu itu kerja di rumah. Kovernya
kalau tidak salah bergambar setangkai bunga putih dan berlatar kelabu. Judulnya
saya lupa tapi sepertinya populer karena pernah dijadikan sinetron. Ada tokoh
anak bernama Anyelir yang kakinya pincang dan perangainya liar. Saya tidak
ingat telah membaca buku itu sepenuhnya karena cukup tebal. Tapi ada adegan
yang sampai sekarang menempel di benak saya: seseorang ingin merobek pakaian
seseorang yang lain… di tempat tidur. Untung pada waktu itu saya belum
mengerti, kalau tidak… hehehe.
Pengalaman berikutnya adalah dengan
novel berjudul Dari Jendela SMP.
Beberapa tahun lalu ketika saya baru memulai blog. Entah punya siapa dipinjam
oleh siapa. Tergeletak begitu saja di meja di rumah. Saya sempatkan
membacanya—waktu itu libur kuliah—dan masya Allah. Setelahnya saya cari versi
digital novel-novel lainnya dari pengarang yang sama di internet, yang sampai
kini belum terbaca… hehehe lagi.
Kali ini ada Merpati Tak Pernah Ingkar Janji. Sebetulnya buku ini sudah
tersimpan lama sekali di lemari. Mama yang beli barangkali waktu sebaya saya. Cetakan
satu pada Desember 1984 dari PT Gramedia Pustaka Utama. Harganya Rp 2500 dan dikorting
10% (begitu saya interpretasikan coretan pensil di sudut atas halaman muka). Namun
belum ada keinginan untuk membacanya sampai baru-baru ini adik saya
mengeluarkannya untuk tugas mengulas novel dari sekolah.
Baru bab-bab pertama saja saya sudah
terjerat. Pantaslah karya-karya pengarang ini menjadi best seller dan melegenda. Sampai kini pun masih dicari, bukan?
Ukurannya sesaku. Tebalnya relatif tipis—183 halaman. Saya tamatkan dalam tempo
dua-tiga jam saja diselingi mengintip internet dan chatting sedikit-sedikit, ambil minuman dingin, dan makan sore
(maksudnya: makan siang yang terlambat) sekalian. Sesekali saya dibikin
cekikikan oleh celetukan tokoh-tokohnya yang kebanyakan remaja, silih berganti
dengan keharuan akibat kejadian yang tidak menguntungkan tokoh utama...
O Maria! Sejak lahir ia dipersiapkan
untuk menjadi biarawati, dan dipanggilkan guru ke rumah. Menjelang usia enam
belas tahun, barulah ia dimasukkan ke sekolah khusus perempuan dalam lingkungan
biara Katolik. Sosoknya yang lugu, kurang pergaulan, dan teramat religius
mulanya menjadi bulan-bulanan teman-teman sekelasnya. Namun lama-lama mereka
menaruh simpati juga, apalagi karena Maria ternyata jago bermain voli dan
kemudian menjadi bintang dalam pertandingan antar sekolah. Mereka pun menarik Maria
ke dalam pergaulan mereka hingga berkenalanlah gadis itu dengan Guntur—seorang
pemuda yang biar tampan tapi berandalan dan ada saja ulahnya yang tak terduga. (Perhatikan
bagaimana penggunaan nama Maria dan Guntur terasa simbolik karena mencerminkan
karakter masing-masing.) Namun di samping karakter Maria yang “ajaib”, ayah
gadis itu ternyata kelewat ketat dalam menjaga anaknya. Jadilah Maria
terombang-ambing antara menanggapi “kebaikan” teman-temannya dengan disiplin
sang ayah. Masalah demi masalah terjadi hingga pada puncaknya menggiring Maria
untuk membuat keputusan…
Saya tertarik dengan bagaimana tradisi Katolik
menjadi pondasi utama cerita ini. Pak Handoyo pada mulanya adalah seorang
pastor yang melanggar janji selibat. Ia keluar dari biara bersama seorang
biarawati. Mereka menikah. Namun sayang istrinya meninggal ketika melahirkan
anak mereka, Maria. Rasa bersalah mendorongnya untuk menyerahkan putrinya kepada
Tuhan. Saking ketat ia menjaga kesucian Maria, putrinya itu harus selalu
berpakaian tertutup dan tidak boleh bergaul dengan lelaki. Inilah yang menjadi
akar konflik ketika kemudian Maria bergaul dengan remaja-remaja metropolitan.
Dalam agama yang saya anut pun ada praktik semacam itu, sehingga saya sempat
mengandaikan latar cerita ini disesuaikan dengan apa yang rasa-rasanya lebih
familier bagi saya itu. Tapi mengingat bagaimana novel ini diakhiri, saya
menyadari kalau tradisi Katolik memiliki kekhasan yang membangun cerita ini
dengan sedemikian kuatnya. Kalau saya penganut agama tersebut, bisa saja iman
saya menebal atau malah terdorong untuk menjadi biarawati juga setelah
menamatkan novel ini.
Di luar itu, novel ini memiliki
kemiripan dengan novel lainnya yang sudah saya baca dari pengarang yang sama
yaitu Dari Jendela SMP tadi.
Kehidupan yang diangkat sama-sama kehidupan remaja metropolitan yang serampangan
dan rentan terhadap perilaku seks bebas. Dalam kedua novel tersebut pun
terseliplah pendidikan seks. Bahkan isu tersebut saya jadikan judul buat ulasan saya untuk novel yang sebelumnya hehehe. Sedang dalam Merpati Tak Pernah Ingkar Janji, hal itu ditunjukkan dengan
bagaimana Maria menyadari badannya telah tumbuh lalu mendapat haid untuk
pertama kali, juga kegemaran para cowok menonton video biru beramai-ramai. Bahkan
ada adegan (yang menurut saya) “wah” yang mirip. Muncul pada bab-bab awal novel
seolah fungsinya untuk memancing hubungan antara satu tokoh dengan tokoh yang
lain. Dalam Dari Jendela SMP, tangan
Joko tidak sengaja menyentuh dada Wulan namun saya tidak ingat persis bagaimana
situasinya sampai bisa sampai begitu. Sedang dalam Merpati Tak Pernah Ingkar Janji, tangan Guntur juga menyentuh dada
Maria—kali ini entah sengaja atau tidak—yang pada waktu itu belum kenal BH.
Kemiripan lainnya yaitu adanya adegan di
rumah sakit terutama pada saat cerita mencapai puncak. Dalam Dari Jendela SMP berupa adegan Wulan
melahirkan, sedangkan dalam Merpati Tak
Pernah Ingkar Janji Guntur mesti dioperasi. Seolah-seolah inilah kesempatan
bagi pengarang untuk membagi pengetahuan kedokterannya. Bagi yang belum tahu,
Mira W selain produktif menghasilkan novel juga berprofesi sebagai dokter.
Contoh menakjubkan lainnya bagaimana seorang penulis mampu juga berkiprah di berbagai
bidang, eh?
Karena mengangkat kehidupan remaja, saya
bertanya-tanya apakah Merpati Tak Pernah
Ingkar Janji (juga Dari Jendela SMP)
bisa digolongkan sebagai teenlit—istilah
yang pada masa kedua buku itu pertama kali terbit mungkin belum tren. Atau
katakanlah, novel remaja. (Meskipun pada bab terakhir Merpati Tak Pernah Ingkar Janji ditampilkan kehidupan
tokoh-tokohnya setelah dewasa). Memang konten pendidikan seks itu menjurus pada
kedewasaan, tapi bukannya memang perlu bagi remaja? Selain itu, gaya bahasa
juga yang ingin saya perkarakan. Cocokkah gaya bahasa dalam novel-novel
“remaja” Mira W ini bagi pembaca remaja zaman sekarang. Seandainya saya sarjana
sastra, sebagai mantan remaja era 2000’an yang pernah mengikuti perkembangan teenlit, ingin rasanya saya bandingkan
novel Indonesia yang berkisah kehidupan remaja mulai dari era 1980-an seperti Merpati Tak Pernah Ingkar Janji ini,
1990-an, 2000-an, sampai yang terbit belakangan. Buat iseng saja hehehe.
Bertahun-tahun lalu saya coba menulis
beberapa novel. Hasilnya saya perlihatkan pada seorang teman. Komentarnya,
karya saya mengingatkannya pada novel-novel Mira W. Pada waktu itu entah kenapa
dimirip-miripkan dengan yang teramat populer
itu rasanya kurang menyenangkan. Tapi kini, setelah saya menerima kalau segala
yang saya tulis itu kegagalan belaka dan saya anggap saja sebagai latihan, setelah
saya membaca novel Mira W lainnya dan menikmati kesederhanaannya yang memikat,
dan setelah saya menyadari kalau novel saya itu tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan novel ini, komentar tersebut terasa sebagai pujian yang
keterlaluan. Fufufu…[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar