Belakangan ini saya mengumpulkan cerita
bertemakan kegalauan dewasa muda. Kriteria khusus: tokoh utama berusia dua
puluhan (coret novel The Catcher in the
Rye dan film Ghost World) dan
kalau bisa pengangguran serta kehidupannya berkualitas rendah. Dari Jerman,
saya menemukan film Oh, Boy! Dari
Inggris, ada How to be. Dari
Australia, sepertinya Muriel’s Wedding
termasuk. Dari Jepang, saya mendapatkan novel Welcome to the N. H. K. dan dorama Freeter, Ie wo Kau. Dari Indonesia, kita punya film Alangkah Lucunya Negeri Ini dan novel Drop Out. Selain Ghost World dan Muriel’s
Wedding, ternyata tokoh utama dalam judul-judul yang saya sebutkan itu umumnya
berjenis kelamin cowok. Bahkan pada CampNaNoWriMo Juli 2013 saya sempat hendak
menambah yang sudah jamak itu. Ceweknya
mana? NaNoWriMo 2013, saya mencoba untuk menambah perspektif cewek dalam
khazanah cerita semacam (ceilah!) dengan menulis seri cerpen yang kalau digabungkan mungkin bisa membentuk novel (?) lalu hasilnya saya pajang di Kemudian
yang—singkat cerita—mendekatkan saya pada seseorang yang menyadarkan saya kalau
Supernova: Petir pun termasuk. Persis
lima tahun lalu saya menuliskan pembacaan novel tersebut untuk pertama kali.
Pada waktu itu saya belumlah menyadari kalau konten novel tersebut akan menjadi
sangat menarik bagi saya sekarang ini.
Saking populer Dewi Lestari sebagai
penulis, saya bisa membaca karya-karyanya tanpa harus membeli karena disediakan
oleh lingkungan saya secara cuma-cuma. Tinggal Rectoverso dan Supernova:
Partikel yang saya belum baca dan memang tidak ngebet. Supernova:
Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh dipinjamkan oleh ibu saya yang didapatnya
entah dari perpustakaan mana. Filosofi
Kopi saya dapat dari kawan SMA. Supernova:
Akar dan Perahu Kertas dari
kawan-kawan seorganisasi semasa kuliah. Madre
terselip di rak sepupu namun sayang saya tidak sempat membaca cerita terakhir. Adapun
Supernova: Petir, yang saya tidak
ingat pinjam dari siapa, merupakan karya penulisnya yang paling saya nikmati.
Dari hasil googling dengan kata kunci “supernova petir dewi lestari”, saya
menyimpulkan bahwa pembaca pada umumnya mengaitkan novel ini dengan seri
Supernova lainnya. Beberapa orang bilang kalau mereka memulai pembacaan seri
Supernova dengan novel ini. Cara penyampaiannya yang ringan dan humoris serta
karakternya yang amat membumi memberikan suasana yang segar—khas—ketimbang yang
tersaji dalam dua novel sebelumnya, dan dengan demikian menjadikannya mudah
dibaca. Karena itu, ada yang menjadikan novel ini sebagai favorit di antara
seri Supernova lainnya, tapi ada juga yang menganggapnya sebagai penurunan
kualitas penulisan Dewi Lestari. Lagipula, cerita dengan alur zero-to-hero apalagi yang disampaikan
dengan kocak macam Supernova: Petir ini
sebenarnya sudah jamak. Yang menjadikan novel ini istimewa barangkali karena
keterkaitannya dengan seri Supernova lainnya—plus bahasan soal spiritualisme
dan yang berbau-ilmiah-gitulah (punten,
abdi mah teu ngartos hehehe). Nomor
pertama—Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh—saja
sudah mampu menjerat pembaca untuk menjadi pengikut setia seri ini. Namun karena
saya bukan penggemar berat seri Supernova pada khususnya (dan Dewi Lestari pada
umumnya), saya lebih tertarik pada kemiripan unsur-unsur dalam novel ini dengan
yang terdapat dalam judul-judul yang saya sebut di paragraf muka. Lebih khusus
lagi: bagaimana seorang sarjana pengangguran bertransformasi hingga mampu keluar
dari situasi yang tidak menguntungkannya itu dengan mengoptimalkan potensi
dirinya. Memotivasi banget kedengarannya ya.
Mari kita tengok tokoh utama dalam novel
ini. Elektra adalah satu dari ratusan ribu sarjana di Indonesia yang
menganggur. Ia tidak punya pacar maupun keahlian, menyukai petir, mengidap
epilepsi, dan hidup sebatang kara. Kedua orangtuanya telah berpulang ke alam
baka, sedang kakaknya diboyong ke Tembagapura oleh sang suami yang bekerja
untuk Freeport. Riwayat pekerjaan Elektra sebatas menjadi kaki piramida di
MLM-MLM. Hari-harinya dihabiskan untuk tidur siang dan memasak telor ceplok
atau indomi. Kendati pemalas, ia rajin menabung. Tapi lama-lama tabungannya
tipis juga. Ia pun mempertimbangkan
tawaran untuk menjadi asisten dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Gaib Nasional
(STIGAN). Upaya memenuhi persyaratan menjadi bagian dari institusi jadi-jadian
itu menggiringnya pada pertemuan dengan seorang yogini keturunan India—Bu Sati.
Dalam kekalutan akan nasibnya itu pula, ketika tadinya berniat untuk menelepon
kakaknya dan mengharap bantuan, ia bertemu dengan temannya semasa kuliah yang tidak
saja mengenalkannya pada “kehidupan” yang bernama internet, tapi juga menghubungkannya
dengan orang yang menghubungkannya dengan orang lain lagi—seorang wirausahawan
muda nan sukses bernama Mpret aka
Toni—yang membantunya membangun usaha penyambung nafkah.
Kemudian teranglah bahwa Elektra
sebenarnya tidak zero-zero amat. Ia
diwarisi rumah peninggalan Belanda yang berukuran besar dan berlokasi
strategis. Oleh Mpret dan kroni-kroninya, rumah itu disulap menjadi warnet,
rental PlayStation, warung makan, distro, bahkan home theater. Ia juga ternyata bukannya mengidap epilepsi,
melainkan karena tubuhnya sanggup menampung listrik dengan kapasitas di atas
normal (bukan judul lagunya Peterpan ya) namun belum mampu mengendalikannya.
Oleh Bu Sati, Elektra diarahkan agar mengasah bakat alamnya itu dan
memanfaatkannya demi kebaikan. Pada akhirnya ia merasa menemukan keluarga
dan—yang tidak kalah penting—jati dirinya. Dari yang mulanya “ditolong” Bu Sati
dan Mpret, Elektra beralih menjadi “penolong” bagi orang-orang yang membutuhkan
kemampuannya sebagai terapis listrik.
Tokoh-tokoh dalam cerita lain belum
tentu seberuntung Elektra. Dalam film Ghost
World dan Oh, Boy! misal, di
akhir cerita tokoh utamanya masih terombang-ambing dalam situasi yang tidak
pasti. Kalau boleh menyimpang dari tema, coba tengok juga, katakanlah, novel Tenggelamnya Kapan Van Der Wijk (HAMKA)
dan History of Love (Nicole Krauss). Kesan
apa yang kita dapatkan pada akhir cerita-cerita itu? Kesedihan! Dengan
membanding-bandingkan seperti itu bolehlah kita golongkan Supernova: Petir sebagai karya yang optimis.
Dengan demikian, apabila pembaca merasa
teridentifikasi dengan sosok Elektra (yakni: biar suram tapi bukannya tidak
berpunya sama sekali, dan masih bisa merasa beruntung dibandingkan para
pengangguran di Nigeria atau korban perpecahan politik di Nepal—misalnya), dan
percaya kalau optimistis merupakan sikap yang baik, teruslah bergerak, bertemu
dengan orang-orang, siapa tahu berkenalan dengan sosok-sosok penolong
sebagaimana Bu Sati dan Mpret dalam novel ini. Pertolongan tidak selalu datang
tanpa diminta macam yang terjadi dalam Welcome
to the N. H. K. misalnya. Sebagai hikikomori, tokoh utamanya ngendon saja
di apartemennya yang sempit dan dingin sampai ada relawan yang mengetuk pintu. Kadang
kita sendiri yang perlu mencari pertolongan tersebut seperti yang dilakukan
Robert Pattinson dalam How to be. Ia
menghubungi penulis buku self-help
dari Kanada untuk bimbingan privat. Atau tokoh Jemi dalam Drop Out yang sampai menggedor kosan tetangga demi mencari orang
yang bisa mengajarinya akuntansi. Pun Elektra, sedikitnya ia berupaya dengan
menanggapi tawaran dari institusi gaib yang ternyata cuma tipu-tipu itu. Karena
apa yang terjadi pada masa depan kerap kali tidak ternyana, tinggal pilih saja
mau ambil sikap yang mana: optimis, galau, atau malah pesimis?[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar