Rabu, 03 Maret 2010

Pendidikan Seks bagi Remaja Indonesia dalam Novel

Julukannya JAB. Joko Anak Babu. Obsesinya dua. Jadian sama Wulan, biarpun seperti pungguk merindukan bulan. Dan mencari ayahnya, supaya tidak disebut anak haram. Dia terlibat cinta pertama yang murni bebas polusi. Mengalami ciuman pertama yang norak banget. Merasakan cemburu meski belum nyadar. Sampai suatu hari dia mengajak pacarnya melompat keluar Dari Jendela SMP. Menginjak bumi terlarang yang belum boleh mereka jelang. Dan segala yang lucu dari dunia remaja berubah haru.

Apakah ini cerita tentang remaja hamil? Menginjak bumi terlarang yang belum mereka jelang, hm. Tapi bisa saja ini jebakan… Bagaimanapun juga, novel ini menarik perhatian saya untuk membacanya (obviously, i’m an omnivourous fiction reader!).

Kalimat yang pendek-pendek langsung jadi perhatian saya. Sesuai dengan aturan menulis yang kerap saya dengar, buatlah kalimat yang pendek-pendek. Novel ini memenuhi kaidah tersebut. Kalimat pendek-pendek membuat pembaca tidak cepat capek, katanya. Tapi yang saya rasakan justru cerita jadi tidak begitu mengalir karena terlalu sering berhenti.

Dan novel ini tidak memenuhi aturan gunakan satu sudut pandang saja per bagiannya. Maksudnya, dalam satu bab itu ada beberapa bagian. Seharusnya setiap bagian dipaparkan dengan satu sudut pandang saja. Kalau di awal memakai sudut pandang si A, sampai akhir harus konsisten dengan itu. Tapi sudut pandang dalam novel ini dengan enak melompat-lompat. Dalam satu bagian, bisa ditemukan sudut pandang beberapa orang sekaligus. Amat bertentangan dengan yang seorang editor di klinik penerbitan Kompas-Gramedia Fair 2010 (3 Februari 2010 di Jogja Expo Center, Yogyakarta) katakan pada saya.

Terlepas dari aturan menulis yang membuat saya tercenung-cenung, saya terhibur dengan kesegaran gaya bahasa di dalam novel ini. Meski pengarangnya sudah ibu-ibu dan cerita ini umurnya sudah sekitar sewindu lebih tua daripada saya, namun tetap enak dibaca. Gahul! Biarpun saya kadang merasa juga gaya bahasanya “kurang jaman sekarang”.

Cetakan pertama adalah tahun 1983. Saya curiga ini teenlit tahun 80’an meski tidak ada logo teenlit-nya. Bukannya serial Lupus ada sih. Menilik bahasanya yang ringan, semakin kuat dugaan saya tersebut. Cerita boleh ala 27 tahun lalu, tapi jaman telah banyak berubah selama itu. Mengingatkan saya pada “Lupus Returns: Cewek Junkies” yang telah saya baca dan buat review-nya sebelum-sebelum ini.

Di cetakan-cetakan awal buku ini tentu belum ada itu ceritanya Wulan memberi ponsel pada Joko, Roni punya akun Facebook, Joko dan kawan-kawan nongkrong di kedai kopi mahal, dan semacamnya. Padahal, banyak perannya kemajuan teknologi ini pada cerita. Teknologi yang berpengaruh paling signifikan dalam cerita ini adalah ponsel. Hubungan Joko dengan Wulan jadi makin intim berkat ponsel. Bapaknya Wulan bisa menghubungi Pak Prapto untuk memberitahu Joko suatu peristiwa penting sehingga Joko bisa datang secepatnya juga berkat ponsel. Jelas, hal ini tidak mungkin terjadi di cetakan-cetakan awal novel ini. Jadi saya penasaran bagaimana cerita di dalamnya bisa berjalan dengan lancar pada waktu itu.

Biarpun teknologi sudah tahun 2000’an, cerita masih ala 80’an. Istilah melantai, guru feodal (sebutan saya buat guru yang arogan, otoriter, galak, tidak bersahabat dengan siswa, dan semacam itulah), ibu yang yang setia melayani ayah yang dominan, sepasang tokoh utama yang digambarkan rupawan, seragam sekolah yang kiranya berbeda dengan seragam sekolah negeri, dan lain-lain yang saya mungkin tidak ingat—aduh, sinetron abis. Bukannya lantas jadi jadul dan tidak relevan dengan jaman sekarang sih.

Plot cerita yang ada dalam novel ini, selain membuat saya merasa menonton FTV saat membacanya, juga masih sejenis dengan beberapa film remaja yang diproduksi tahun-tahun belakangan ini. Sebut saja judul-judul film remaja tanggung semacam “Basah” dan “Married by Accident” yang produksi Indonesia maupun yang produksi Korea Selatan macam “Jenny, Juno” yang dimaksudkan untuk memberi pendidikan seks pada remaja yang menontonnya. Para tokoh remaja dalam film-film itu lebih muda usianya dari saya, tapi pengalaman seksualnya lebih banyak. Saya jadi ngeri. Apalagi mengingat ada tokoh dalam novel ini yang kena Penyakit Menular Seksual (PMS). Apakah ini memang novel untuk remaja atau novel dewasa dengan tokoh remaja?

Sebagian orang menganggap seksualitas adalah sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan. Apalagi seksualitas remaja! Apakah memang pendidikan seks harus sudah diajarkan sejak dini—sejak bangku SMP setidaknya? Saya ingat, sewaktu saya masih SMP beberapa anak cowok di kelas saya omongan dan bahkan kelakuannya juga sama nyerempet pornonya dengan para tokoh anak SMP cowok di novel ini. Jadi, apa yang digambarkan dalam novel ini sebetulnya memang benar. Meski saya tidak bisa membayangkan seorang teman yang saya kenal mendadak hamil di luar nikah. Lalu, apakah memang dengan memberikan pendidikan seks sejak dini remaja akan lebih bisa menahan keinginan seksualnya?

Adegan di mana Bu Narti sedang menjelaskan organ reproduksi mengingatkan saya pada adegan dalam “Jenny, Juno”, di mana ada pula adegan seorang ibu guru muda sedang menjelaskan organ reproduksi pada para siswa. Baik di Indonesia, maupun di Korea Selatan, ternyata kejadiannya sama saja. Anak perempuan menerima pelajaran ini dengan penuh minat sementara anak laki-laki tidak becus menanggapinya. Pada akhirnya, perempuanlah yang menjadi korban. Syukur kalau laki-lakinya gentle seperti dalam “Jenny, Juno” itu.

Mengingat jalan ceritanya yang gaya lama namun dikemas baru, alur ceritanya pun sudah dapat ditebak. Sejak bab pertama saya sudah bisa menduga siapa ayah kandung Joko.

Namun, pengarang berhasil mengulur-ulur alur sehingga membuat kita terus membaca akibat penasaran akan kelanjutan cerita. Masa-masa kasmaran Joko dan Wulan begitu simpel dan lucu, khas remaja yang masih setengah anak-anak setengah dewasa. Banyak keputusan diambil spontan, tanpa pikir panjang. Diam-diam suspense menyelinap. Apakah Wulan akan hamil? Kapan? Sudah melebihi halaman tengah mereka kok tidak kunjung begituan? Apakah Joko akan bertanggung jawab? Apakah Joko dan Wulan nantinya akan menikah? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus memburu dan terjawab satu per satu hingga tahu-tahu di halaman terakhir logo penerbit menyambut. Beberapa tokoh memiliki karakter yang kuat sehingga kesan tentang mereka dan apa yang mereka perbuat dapat lekat cukup lama dalam benak saya.

Menamatkan novel ini sukses membuat saya penasaran dengan orang yang telah mengarangnya. Salah satu obat mujarab untuk mengobati penasaran adalah dengan menyambangi Mbah Google. Mbah, saya sedang mencari cover novel ini untuk dipasang di blog saya. Mbah, saya dapat cover novel ini versi jadul, oldschool sekaleee! Mbah, Mira W. itu sebenarnya siapa sih, saya cuman tahu dia itu dokter, tapi kok sempat-sempatnya produktif menulis ya? Mbah, bagaimana ya komentar orang lain tentang novel ini? Mbah, horeee, saya dapat link untuk mengunduh beberapa novel Mira W.!

Tak lupa saya cantumkan memorable quotes dari novel mengesankan ini.

Tetapi belum sempat ibu Joko bangkit, pintunya diketuk. Pak Prapto yang membukanya. Dan dia tertegun. Ada dua orang polisi tegak di ambang pintu.
“Selamat siang. Rumahnya Joko?”
“Ya. Saya kepala sekolahnya,” sahut Pak Prapto sambil mengerutkan dahi.
“Saya ibunya,” sela ibu Joko ketakutan.
Saya calon mertuanya, ayah Wulan mengembuskan kekesalannya. Tapi dia diam saja.
(hal. 299)

“Orang lain siapa, Pak?” gumam istrinya bingung. Dia baru mendengar cerita suaminya. Dan dia tambah terpukul.
“Pokoknya bukan anak itu.”
“Tapi siapa yang mau mengawini anak lima belas tahun yang sudah hamil?”
“Aku rela membayarnya.”
“Aku tidak setuju, Pak!” protes ibu Wulan tersinggung. “Seperti menjual anak saja!”
“Bukan menjual anak,” kilah ayah Wulan pahit. “Membeli menantu.”
(hal. 302)

“Dia mirip siapa, Pak?” tanya Joko ingin tahu. Seperti akukah mukanya? Hidung Wulan-kah yang melekat di wajahnya?
“Ya, seperti Bapak dong!” sahut ayah Wulan bangga. “Kakeknya!”
Jangan, pinta Joko dalam hati. Jangan seperti dia jeleknya!
(hal. 350)

Joko sudah siap lari ke kamar Wulan ketika tiba-tiba dia tertegun. Sedetik kemudian, dia menoleh kepada ayah Wulan.
“Boleh minta tolong, Pak?” tanyanya sopan.
“Memberi nama anakmu?” Ayah Wulan tersenyum bangga.
“Tolong tengok Pak Prapto.”
Sesaat ayah Wulan terenyak. Sebelum kepalanya perlahan-lahan mengangguk.
“Di UGD? Sekarang juga Bapak ke sana.”
“Satu lagi, Pak.”
“Apa lagi?”
“Kunci mobilnya ada sama satpam.”
Kurang ajar, geram ayah Wulan gemas. Tentu saja hanya dalam hati. Aku dikacungi bocah!
(hal. 350-351)

Wulan’s father is totally awesome!



Judul : Dari Jendela SMP
Pengarang : Mira W.
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2009 (cet. 13)
Tebal, panjang halaman : 352 hlm, 18 cm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...