Tiket Pramex seharga Rp 8.000,00 saya dicoret penjaga peron. Saya lantas belok kanan, menuju toilet yang berada tidak jauh di sebelah musola. Di depan toilet, ada bangku kayu. Ada beberapa barang yang entah siapa pemiliknya tergeletak begitu saja di situ. Ada yang di bawah maupun di atasnya. Tidak ada penjaganya sama sekali. Saya kira akan aman juga bagi saya kalau saya menaruh plastik oleh-oleh saya barang sejenak di situ.
Saya masuk ke dalam toilet yang dari luar tampak bersih itu. Saya takjub ketika dengan mata kepala sendiri melihat bahwa setiap ruangan di toilet itu benar-benar bersih! Sebuah stasiun di kota (?) kecil macam Kutoarjo saja memiliki toilet yang begini bersihnya, tapi yang ada di stasiun kota besar macam Bandung malah sebaliknya! Saking menjijikkannya sampai-sampai demi alasan kemanusiaan saya tidak sudi mendeskripsikannya di sini. Saksikan saja sendiri agar lebih menghayati. Memang sih saya belum mengecek apakah toilet di Stasiun Bandung keadaannya jauh lebih mending daripada tolilet di Stasiun Kiaracondong. Saya ingat pernah memakai toilet di sana juga, tapi saya lupa bagaimana keadaannya. Kiranya tidak separah di Stasiun Kiaracondong sih. Saking bersihnya toilet di Stasiun Kutoarjo ini, saya sampai mengabaikannya dalam ponsel baru saya (hahah, lebay apa sombong nih...).
Sehabis menuntaskan apa yang saya ingin tuntaskan di toilet, saya solat di musola. Musola Al Anwar namanya. Musola yang cukup luas—lebih luas daripada musola di timur Stasiun Lempuyangan—tapi mukenanya sepertinya tidak pernah dicuci. Sambil agak mendongak, saya menunaikan solat subuh disambung solat duha.
Kelar solat, saya berniat untuk sarapan jagung rebus yang saya bekal dari rumah. Sebelum berangkat ke stasiun memang papa menyuruh saya untuk berbekal hasil panenan dari kebun itu. Lagi nurut-nurutnya, saya masukkan tiga buah (eh jagung mah bukan buah ya?) ke dalam keresek hitam. Memang setiap kali membuka ransel, aroma jagung langsung menguar ke dalam rongga hidung saya. Hal ini belum menjadi masalah hingga setibanya saya di kosan nanti.
Saya membeli sebotol Pocari Sweat dari seorang bapak dengan lemari berisi barang dagangannya di samping depan musola. Pocari Sweat tanpa segel plastik. Memang tidak ada segelnya atau hanya karena saya membelinya di stasiun? Masih ada waktu sekitar satu jam hingga keberangkatan Pramex yang entah kapan akan datang. Saya duduk di salah satu bangku kelabu yang kosong. Sarapan sudah bisa dimulai.
Jarang-jarang saya bisa menggerogoti jagung senikmat ini. Padahal kalau sedang di rumah dan ada jagung rebus, entah kenapa saya malah enggan memakannya. Kalau ada makanan lain ya mending saya makan makanan lain saja. Saya menikmati jagung itu mengamat-amati pemandangan. Mantaplah, sarapan jagung rebus dingin di stasiun yang lagi sepi.
Beberapa orang petugas sedang membersihkan rel dari sampah. Dari mana lagi asal sampah itu kalau bukan dari dalam kereta? Cukup senang dengan pemandangan itu.
Saya sebetulnya kepikiran untuk menawarkan jagung pada orang di sekitar saya, mengingat mbak-mbak di Kutojaya tadi yang begitu cueknya tidak menawarkan cemilan. Saya sempat menawarkannya pada seorang bapak yang baru saja duduk di sebelah kanan saya. Ia menolak.
Bapak di bangku sebelah kiri saya sedang menelepon. Saya menguping. Mendengarkan percakapan sebenarnya kegiatan yang menarik dan inspiratif. Menerka-nerka ada cerita apa di balik percakapan tersebut. Yang kiranya bisa disajikan lagi setelah dilengkapi dengan bumbu-bumbi improvisasi dan impresi. Beginilah otak tukang ngarang.
Bapak itu mengabarkan kepada si “sampeyan” (begitu bapak itu menyebut orang yang diteleponnya) mengenai Khadijah, seseorang asal Jember (kalau tidak salah dengar dari daerah bernama Jenggawa), yang sudah tiga tahun terlantar di Malaysia. Majikannya tidak memberinya gaji. Sekarang Khadijah sedang berada di Jakarta. Bapak itu bertanya pada si “sampeyan” apakah Khadijah ini anak buahnya?
Tuh kan. Menguping percakapan itu memang menarik.
Bapak ini bilang ia akan memberikan nomor Khadijah pada si “sampeyan” agar “sampeyan” dapat menghubungi langsung orang itu dan percaya. Terdengar “sampeyan” berkata, “Oh, ya.” Bapak itu pun mencari-cari pinjaman pulpen. Saya memberikannya. Bapak itu ternyata sudah memiliki secarik kertas sendiri rupanya.
Terdengar pemberitahuan dari speaker bahwa Pramex akan datang dari arah timur jalur empat. Saya kontan memasukkan kembali jagung kedua yang sudah saya kupas dan gerogoti sedikit ke dalam keresek hitam. Pramex belum datang ternyata. Saya mengeluarkan jagung itu lagi dan meneruskan makan. Ketika kepala lokomotif Pramex benar-benar muncul, saya membungkus lagi si jagung dan bergegas menyambut. Saya diteriaki bapak yang tadi pinjam pulpen saya. Saya kelupaan mengambilnya lagi rupanya. Bapak yang baik. Saya membalasnya dengan senyum yang entah kelihatan apa tidak. Sok buru-buru (padahal Pramexnya juga ternyata berangkatnya masih lama).
Saya menunggu para penumpang yang sebelumnya turun dulu baru naik. Di gerbong pertama di belakang ruang masinis ini, hanya tinggal satu dua penumpang tersisa. Gerbong di belakangnya juga tampak lengang. Seorang mbak-mbak petugas kereta dorong yang berisi bermacam makanan dan minuman untuk dijual sedang mengurus barang-barangnya itu. ia membuang sampah ke luar kereta. Dari kotak kelabu bertulisan “BUKAN BAK SAMPAH” yang membuat saya kepikiran untuk membuang sampah saya ke situ, ia mengambil semprotan dan lap. Seorang petugas cleaning service berkulit gelap dan berbibir pink menyapu dan mengepel lantai gerbong dan membuka jendela-jendela.
Saya menghabiskan sisa jagung saya. Ampasnya saya masukkan kembali dalam kresek hitam. Karena kotak kelabu di seberang sana ternyata “BUKAN BAK SAMPAH”, saya memasukkan kresek hitam tersebut ke dalam ransel. Saya melanjutkan membuat catatan perjalanan. Gerah. Badan terasa gatal dan lengket. Menunggu-nunggu kapan datangnya pukul 8.30. Satu per satu penumpang baru datang hingga makin lama ruang kosong di bangku-bangku panjang ini nyaris tidak tersisa lagi dan saya sudah merasa tidak nyaman untuk terus menulis. Saya memasukkan catatan dan pulpen ke dalam ransel. Saya taruh plastik oleh-oleh di tempat barang di atas saya. Pramex bergerak.
Jogja, saya datang kembali.
Saya masuk ke dalam toilet yang dari luar tampak bersih itu. Saya takjub ketika dengan mata kepala sendiri melihat bahwa setiap ruangan di toilet itu benar-benar bersih! Sebuah stasiun di kota (?) kecil macam Kutoarjo saja memiliki toilet yang begini bersihnya, tapi yang ada di stasiun kota besar macam Bandung malah sebaliknya! Saking menjijikkannya sampai-sampai demi alasan kemanusiaan saya tidak sudi mendeskripsikannya di sini. Saksikan saja sendiri agar lebih menghayati. Memang sih saya belum mengecek apakah toilet di Stasiun Bandung keadaannya jauh lebih mending daripada tolilet di Stasiun Kiaracondong. Saya ingat pernah memakai toilet di sana juga, tapi saya lupa bagaimana keadaannya. Kiranya tidak separah di Stasiun Kiaracondong sih. Saking bersihnya toilet di Stasiun Kutoarjo ini, saya sampai mengabaikannya dalam ponsel baru saya (hahah, lebay apa sombong nih...).
Sehabis menuntaskan apa yang saya ingin tuntaskan di toilet, saya solat di musola. Musola Al Anwar namanya. Musola yang cukup luas—lebih luas daripada musola di timur Stasiun Lempuyangan—tapi mukenanya sepertinya tidak pernah dicuci. Sambil agak mendongak, saya menunaikan solat subuh disambung solat duha.
Kelar solat, saya berniat untuk sarapan jagung rebus yang saya bekal dari rumah. Sebelum berangkat ke stasiun memang papa menyuruh saya untuk berbekal hasil panenan dari kebun itu. Lagi nurut-nurutnya, saya masukkan tiga buah (eh jagung mah bukan buah ya?) ke dalam keresek hitam. Memang setiap kali membuka ransel, aroma jagung langsung menguar ke dalam rongga hidung saya. Hal ini belum menjadi masalah hingga setibanya saya di kosan nanti.
Saya membeli sebotol Pocari Sweat dari seorang bapak dengan lemari berisi barang dagangannya di samping depan musola. Pocari Sweat tanpa segel plastik. Memang tidak ada segelnya atau hanya karena saya membelinya di stasiun? Masih ada waktu sekitar satu jam hingga keberangkatan Pramex yang entah kapan akan datang. Saya duduk di salah satu bangku kelabu yang kosong. Sarapan sudah bisa dimulai.
Jarang-jarang saya bisa menggerogoti jagung senikmat ini. Padahal kalau sedang di rumah dan ada jagung rebus, entah kenapa saya malah enggan memakannya. Kalau ada makanan lain ya mending saya makan makanan lain saja. Saya menikmati jagung itu mengamat-amati pemandangan. Mantaplah, sarapan jagung rebus dingin di stasiun yang lagi sepi.
Beberapa orang petugas sedang membersihkan rel dari sampah. Dari mana lagi asal sampah itu kalau bukan dari dalam kereta? Cukup senang dengan pemandangan itu.
Saya sebetulnya kepikiran untuk menawarkan jagung pada orang di sekitar saya, mengingat mbak-mbak di Kutojaya tadi yang begitu cueknya tidak menawarkan cemilan. Saya sempat menawarkannya pada seorang bapak yang baru saja duduk di sebelah kanan saya. Ia menolak.
Bapak di bangku sebelah kiri saya sedang menelepon. Saya menguping. Mendengarkan percakapan sebenarnya kegiatan yang menarik dan inspiratif. Menerka-nerka ada cerita apa di balik percakapan tersebut. Yang kiranya bisa disajikan lagi setelah dilengkapi dengan bumbu-bumbi improvisasi dan impresi. Beginilah otak tukang ngarang.
Bapak itu mengabarkan kepada si “sampeyan” (begitu bapak itu menyebut orang yang diteleponnya) mengenai Khadijah, seseorang asal Jember (kalau tidak salah dengar dari daerah bernama Jenggawa), yang sudah tiga tahun terlantar di Malaysia. Majikannya tidak memberinya gaji. Sekarang Khadijah sedang berada di Jakarta. Bapak itu bertanya pada si “sampeyan” apakah Khadijah ini anak buahnya?
Tuh kan. Menguping percakapan itu memang menarik.
Bapak ini bilang ia akan memberikan nomor Khadijah pada si “sampeyan” agar “sampeyan” dapat menghubungi langsung orang itu dan percaya. Terdengar “sampeyan” berkata, “Oh, ya.” Bapak itu pun mencari-cari pinjaman pulpen. Saya memberikannya. Bapak itu ternyata sudah memiliki secarik kertas sendiri rupanya.
Terdengar pemberitahuan dari speaker bahwa Pramex akan datang dari arah timur jalur empat. Saya kontan memasukkan kembali jagung kedua yang sudah saya kupas dan gerogoti sedikit ke dalam keresek hitam. Pramex belum datang ternyata. Saya mengeluarkan jagung itu lagi dan meneruskan makan. Ketika kepala lokomotif Pramex benar-benar muncul, saya membungkus lagi si jagung dan bergegas menyambut. Saya diteriaki bapak yang tadi pinjam pulpen saya. Saya kelupaan mengambilnya lagi rupanya. Bapak yang baik. Saya membalasnya dengan senyum yang entah kelihatan apa tidak. Sok buru-buru (padahal Pramexnya juga ternyata berangkatnya masih lama).
Saya menunggu para penumpang yang sebelumnya turun dulu baru naik. Di gerbong pertama di belakang ruang masinis ini, hanya tinggal satu dua penumpang tersisa. Gerbong di belakangnya juga tampak lengang. Seorang mbak-mbak petugas kereta dorong yang berisi bermacam makanan dan minuman untuk dijual sedang mengurus barang-barangnya itu. ia membuang sampah ke luar kereta. Dari kotak kelabu bertulisan “BUKAN BAK SAMPAH” yang membuat saya kepikiran untuk membuang sampah saya ke situ, ia mengambil semprotan dan lap. Seorang petugas cleaning service berkulit gelap dan berbibir pink menyapu dan mengepel lantai gerbong dan membuka jendela-jendela.
Saya menghabiskan sisa jagung saya. Ampasnya saya masukkan kembali dalam kresek hitam. Karena kotak kelabu di seberang sana ternyata “BUKAN BAK SAMPAH”, saya memasukkan kresek hitam tersebut ke dalam ransel. Saya melanjutkan membuat catatan perjalanan. Gerah. Badan terasa gatal dan lengket. Menunggu-nunggu kapan datangnya pukul 8.30. Satu per satu penumpang baru datang hingga makin lama ruang kosong di bangku-bangku panjang ini nyaris tidak tersisa lagi dan saya sudah merasa tidak nyaman untuk terus menulis. Saya memasukkan catatan dan pulpen ke dalam ransel. Saya taruh plastik oleh-oleh di tempat barang di atas saya. Pramex bergerak.
Jogja, saya datang kembali.
bersambung
Nice posting..
BalasHapusLagi maw perjalanan perdana dari BDG ke jogja.. nemu blog ini.
Jadi semangat pengen naik kereta ekonomi biar 'berasa'.. :D
terima kasih atas kunjungannya^^
BalasHapusdan selamat menikmati perjalanan dengan kereta ekonomi, sudah sampai jogja?