Di hadapan saya sudah ada seorang mbak-mbak yang tampaknya umurnya tidak jauh berbeda dengan saya. Ia sedang berdiri, berbicara dengan seseorang di luar kereta. Bapak-bapak yang sama-sama salah gerbong tadi duduk di tepi, menyisakan satu ruang kosong di antara kami. Saya menegur bapak itu mengenai kejadian yang ia alami tadi. Saya katakan padanya bahwa saya juga mengalami hal yang sama. Padahal kami sama-sama sudah menghitung tapi yang kami dapatkan adalah gerbong yang salah. Tak lama, ruang kosong di antara saya dengan bapak itu terisi oleh sepasang tungkai kaki milik seorang mas-mas yang duduk di sebelah mbak-mbak yang sudah duduk di tempatnya. Wajah mas-mas tersebut sudah pernah saya lihat sebelumnya saat kami sama-sama sedang menunggu penjualan tiket tadi. Di sebelah mas-mas tersebut adalah seorang bapak-bapak yang wajahnya membuat saya menyangka bahwa pekerjaannya hanyalah seorang pedagang kecil.
Menurut saya, naik kereta ekonomi adalah sebuah pengalaman yang mengesankan. Di tempat inilah kita dihadapkan pada realitas sosial. Kita bisa bertemu dan mengobrol dengan orang-orang dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan akar rumput. Mungkin saja bapak di seberang saya ini memang seorang pedagang kecil yang hendak pulang kampung menengok keluarga. Mungkin saja pakaian yang digunakan para pedagang asongan yang wira-wiri ini adalah pakaian terbaiknya. Kepekaan sosial kita akan meningkat. Idealnya sih begitu. Realitanya, saya sendiri masih kurang memanfaatkan situasi ini. Dari sekian perjalanan menggunakan kereta ekonomi, sudah beberapa kali saya diajak ngobrol orang, bahkan sampai ada yang menjadi teman di Facebook. Yang saya dapatkan sebetulnya bisa lebih banyak asal saja saya mau menginisiasi pembicaraan atau bisa menggali lebih dalam informasi dari orang yang mengobrol dengan saya.
Daripada bengong, membaca buku pun tidak berhasrat, saya berinisiatif untuk menuliskan apa yang saya alami tadi sebagai sebuah catatan perjalanan yang akan saya posting di blog. Saya mengeluarkan bundelan kertas buku tulis yang saya gunakan untuk menulisi catatan harian. Ransel saya yang kembung saya gunakan sebagai alas. Sebagai pemanasan, saya terlebih dulu menuliskan apa yang sedang saya alami dan apa yang jadi pikiran utama saya selama seharian itu. Seperti biasa, saya selalu menandai catatan harian saya dengan jam. Dan saat itu sudah pukul 21.57 padahal seharusnya kereta berangkat pukul 21.30.
Pedagang asongan sekali-sekali lewat. Macam-macam. Seorang mas-mas melemparkan tiga pasang kaos kaki berplastik yang diikat karet ke pangkuan bapak di seberang saya. Lima ribu harganya. Sambil menulis, saya melirik benda itu. Gila nih, bisa-bisanya pedagang asongan di kereta ekonomi ini, murah meriah abis! Saya menegur bapak tersebut sebab saya ingin melihat si kaos kaki. Bahannya sih kayaknya lumayan tebal, sementara di Sunmor UGM saja—yang konon harga barang-barang yang dijual di sana murah-murah—tiga pasang kaos kaki seharga sepuluh ribu tipisnya nggak jaminan. Belum ada dua minggu sudah robek! Akhirnya saya memberikan uang lima ribu pada si pedagang kaos kaki. Muncul niatan untuk memamerkan ini pada teman saya yang waktu itu sama-sama membeli kaos kaki sepuluh ribu tiga di Sunmor. Di hari berikutnya, diketahui salah satu kaos kaki, yang jika jumlahnya tiga harganya lima ribu ini, tidak serupa antara yang kanan dengan yang kiri.
Perut mulai lapar. Mbak-mbak di hadapan saya sedang menelepon. Posisi saya benar-benar nyaman untuk menulis. Bisa menyandar ke dua sisi (jendela dan sandaran tempat duduk). Ada alas. Tidak ada orang yang begitu dekatnya dengan saya sehingga dapat mengintip apa yang bisa saya tulis. Tersapu oleh mata saya, sepertinya orang-orang di sekitar saya mulai penasaran saya menulis apa. Terutama mas-mas peselonjor kaki yang sepertinya memerhatikan saya terus sampai ia bosan sendiri.
Seorang anak kecil, yang tampaknya masih SD, dengan sapu bergagang pendek merangkak untuk membersihkan sampah di bawah tempat duduk. Pekerjaan yang oke. Mencerminkan kekurangsigapan petugas KA yang harusnya bertanggung jawab membersihkan kereta (kalau para penumpang yang baru tidak buru-buru masuk, keretanya bakal sempat dibersihkan dulu tidak ya?). Mencerminkan pula betapa jorok dan tidak beradabnya masyarakat Indonesia. Yang membuat saya jadi tidak bersimpati pada anak itu adalah karena ada sebatang rokok yang menyelip di kupingnya. Selesai menyingkirkan sampah (sepertinya lumayan juga penghasilannya dari sini—selain mendapat uang dari penumpang, sampah ini juga dapat dikumpulkan, disetor entah ke mana, dan dari sini ia akan mendapatkan uang lagi), dengan wajah memelas ia meminta uang pada orang-orang yang duduk di tempat yang ia bersihkan bagian bawahnya tadi. Saya tidak memerhatikan orang di sana memberikannya apa. Saat tangannya ganti menengadah ke tempat duduk yang ada sayanya, di tangannya itu tergeletak sebatang rokok lain. Di bawah rokok tersebut kiranya ada lipatan-lipatan uang. Jadi orang di sana tadi kasih rokok apa uang? Saya bertanya-tanya. Tercetus pikiran untuk memberi anak itu uang sambil berpesan, “jangan dipake untuk beli rokok, ya,” namun tangan kanan ini sedang asik-asiknya merekam apa yang terjadi.
Pengemis buta dan penjaja kacamata lewat. Terbersit rasa ingin tahu akan kondisi hidup mereka yang sebenarnya.
Saya jadi menyesal kenapa tadi harus buru-buru masuk. Sampai jam segini kereta belum juga berangkat. Masih ada pula ruang kosong di beberapa bangku yang terlihat dari jangkauan pandang saya. Kenapa tadi kami semua begitu buru-buru dan rusuh? Padahal suara dari speaker sudah meyakinkan bahwa semua penumpang pasti dapat tempat duduk... Kutojaya, a friend indeed for grass-root people, halah...
Mas-mas di depan saya kembali merokok. Sial. Sambil mengunyah permen karet loh. Hal yang kontradiktif menurut saya, mengingat biasanya orang mengunyah permen karet untuk mengalihkan kebiasaan merokok—lah, ini dua-duanya sekaligus!
Penyemprot penyegar ruangan lewat disusul penjaja donat enam biji lima ribu. Serangga serupa kecoak mungil (atau memang kecoak yang masih balita?) mondar-mandir di tepian jendela yang dindingnya sedang saya sandari. Pedagang minuman mendorong embernya.
Mengecek sms. Tidak ada. Apa yang ditulis beralih ke perkara di luar realitas di dalam kereta ekonomi.
Mbak-mbak di hadapan saya mengelurkan cemilan setelah sebelumnya menutup hidung gara-gara asap rokok dari orang di sebelahnya. Bapak di sebelah saya juga mulai mengeluarkan rokok. Yak, bagus, semuanya saja merokok. Kereta terasa mulai bergerak. Mbak-mbak tersebut tidak menawarkan cemilannya pada siapapun. Betapa cueknya, meski pun saya sedang tidak berminat juga pada apa yang dimakannya itu. Sama cueknya dengan mas-mas yang membuat saya harus duduk bersebelahan dengan sepasang kaki (untung berkaos). Sama cueknya seperti mereka yang meracuni udara yang saya hirup.
Pemukul dan penggaruk tubuh tiga ribu rupiah saja. Dimanfaatkan sebentar barang itu oleh bapak di sebelah. Tak lama, barang itu diambil pedagangnya lagi.
Suara dari speaker memberitahukan bahwa kereta Pasundan telah tiba. Saya pernah naik Pasundan tahun 2007 pergi pulang saat ada acara di Surabaya. Saya ke Surabaya dari Jogja (saat itu saya baru diterima di UGM dan ada tes TOEFL) naik itu dan pulangnya dari sana ke Bandung saya naik itu lagi. Kalau tidak salah saat itu Pasundan tiba di Bandung lebih malam dari ini. Menjelang tengah malam. Kereta yang asalnya penuh sesak sampai-sampai satu deret tempat duduk diduduki berlima, semakin malam semakin lengang. Senyap. Temaram. Tempat duduk pada kosong, bebas pilih yang mana. Serasa kereta milik sendiri saja. Turun dari Pasundan, papa menjemput saya.
Terdengar suara peluit ditiup panjang sekali. Berkali-kali.
Sepertinya kali ini kereta benar-benar akan berangkat. Saya menengok hape. Masih tidak ada sms. Pukul 22.49. Kereta terlambat sekitar satu setengah jam, saya tidak menyangka bahwa ini nantinya akan membawa akibat fatal bagi saya.
Selamat tinggal, Bandung.
Seorang ibu-ibu berkerudung dan berkacamata melintas dengan baskom di atas kepalanya. Ia menjajakan nasi ayam dan aroma ayamnya begitu menggoda. Tapi malam-malam begini siapa yang masih mau makan? Ibu itu menghilang bersamaan dengan kedatangan seorang satpam yang membangunkan bapak di seberang saya. Mas-mas di sebelahnya menyalakan rokok lagi. Mbak-mbak dengan musik yang terdengar dari gadget dalam genggamannya menutup hidung dengan kerudungnya. Seseorang bertopi dan berpakaian dinas tak jauh di belakang satpam muda gagah yang terus membangunkan orang-orang. Peran satpam ini jelas lebih dari seorang tukang bangunin orang. Mengamankan penumpang gelap misalnya. “Karcis! Karcis!”
Mas-mas yang sepertinya masinis kereta itu mendekat. Ia melubangi karcis tanpa mengecek isinya terlebih dulu. Ia memakai kaos merah di balik seragamnya dan rambutnya agak gondrong.
Rupanya gerbong yang saya naiki ini adalah gerbong terakhir. Ringan terasa. Seperti naik jet coaster di bangku paling belakang. Aneh. Padahal tadi saya sudah hitung ada delapan gerbong... Ah, memusingkan. Saya mengantuk. Kepala ini enaknya menyandar ke dinding tapi takutnya si kecoak balita kembali datang dan menyelinap ke dalam kerudung...
Enam halaman sudah yang saya tulisi sembari menunggu kereta ini berangkat. Saya memasukkan catatan saya ke dalam ransel dan tidur. Saya ingat sempat terbangun beberapa kali.
Pemeriksaan tiket lagi. Sekali melubangi langsung lima. Setengah mengantuk, saya mengatur pembagian kelima tiket itu kembali sesuai nomor tempat duduk masing-masing. Tidak juga sih. Yang penting saya mendapatkan kembali tiket 10 A saya, seolah itu memang penting. Orang-orang di sekitar saya ini hanya bisa heran dengan polah saya.
Kereta mulai sepi. Alarm subuh berbunyi. Orang-orang di sekitar saya pada pindah tempat duduk. Mas-mas mengobrol dengan mbak-mbak dengan akurnya. Ironis, mengingat tadi mbak-mbaknya terganggu dengan mas-masnya yang merokok. Ah, pasti lagi flirting nih. Tukaran nomor. Bapak di sebelah saya pindah ke tempat duduk sebelah yang penumpangnya sudah pergi. Aih, tuh kan, betapa nikmatnya naik kereta ekonomi yang seperti itu. Dengan kenikmatan yang sama dengan yang bisa didapat di kelas bisnis, kita hanya perlu membayar sekitar seperempatnya saja. Tahu-tahu mbak-mbaknya sudah turun. Mungkin di Kebumen. Mas-masnya bertanya saya turun di mana. Kutoarjo. Ia sendiri saya lupa turun di mana, yang jelas sebelum saya dan kira-kira jaraknya kurang satu jam dari Kutoarjo. Bapak-bapak yang di sebelah saya pamit turun. Hari sudah terang. Menanti solat subuh di Stasiun Kutoarjo. Berapa lama lagi sampai di Kutoarjo? Saya bertanya pada ibu-ibu di bangku belakang saya. Setengah jam. Saya menurunkan plastik oleh-oleh dari atas. Di pemberhentian berikutnya saya akan turun.
bersambung
Menurut saya, naik kereta ekonomi adalah sebuah pengalaman yang mengesankan. Di tempat inilah kita dihadapkan pada realitas sosial. Kita bisa bertemu dan mengobrol dengan orang-orang dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan akar rumput. Mungkin saja bapak di seberang saya ini memang seorang pedagang kecil yang hendak pulang kampung menengok keluarga. Mungkin saja pakaian yang digunakan para pedagang asongan yang wira-wiri ini adalah pakaian terbaiknya. Kepekaan sosial kita akan meningkat. Idealnya sih begitu. Realitanya, saya sendiri masih kurang memanfaatkan situasi ini. Dari sekian perjalanan menggunakan kereta ekonomi, sudah beberapa kali saya diajak ngobrol orang, bahkan sampai ada yang menjadi teman di Facebook. Yang saya dapatkan sebetulnya bisa lebih banyak asal saja saya mau menginisiasi pembicaraan atau bisa menggali lebih dalam informasi dari orang yang mengobrol dengan saya.
Daripada bengong, membaca buku pun tidak berhasrat, saya berinisiatif untuk menuliskan apa yang saya alami tadi sebagai sebuah catatan perjalanan yang akan saya posting di blog. Saya mengeluarkan bundelan kertas buku tulis yang saya gunakan untuk menulisi catatan harian. Ransel saya yang kembung saya gunakan sebagai alas. Sebagai pemanasan, saya terlebih dulu menuliskan apa yang sedang saya alami dan apa yang jadi pikiran utama saya selama seharian itu. Seperti biasa, saya selalu menandai catatan harian saya dengan jam. Dan saat itu sudah pukul 21.57 padahal seharusnya kereta berangkat pukul 21.30.
Pedagang asongan sekali-sekali lewat. Macam-macam. Seorang mas-mas melemparkan tiga pasang kaos kaki berplastik yang diikat karet ke pangkuan bapak di seberang saya. Lima ribu harganya. Sambil menulis, saya melirik benda itu. Gila nih, bisa-bisanya pedagang asongan di kereta ekonomi ini, murah meriah abis! Saya menegur bapak tersebut sebab saya ingin melihat si kaos kaki. Bahannya sih kayaknya lumayan tebal, sementara di Sunmor UGM saja—yang konon harga barang-barang yang dijual di sana murah-murah—tiga pasang kaos kaki seharga sepuluh ribu tipisnya nggak jaminan. Belum ada dua minggu sudah robek! Akhirnya saya memberikan uang lima ribu pada si pedagang kaos kaki. Muncul niatan untuk memamerkan ini pada teman saya yang waktu itu sama-sama membeli kaos kaki sepuluh ribu tiga di Sunmor. Di hari berikutnya, diketahui salah satu kaos kaki, yang jika jumlahnya tiga harganya lima ribu ini, tidak serupa antara yang kanan dengan yang kiri.
Perut mulai lapar. Mbak-mbak di hadapan saya sedang menelepon. Posisi saya benar-benar nyaman untuk menulis. Bisa menyandar ke dua sisi (jendela dan sandaran tempat duduk). Ada alas. Tidak ada orang yang begitu dekatnya dengan saya sehingga dapat mengintip apa yang bisa saya tulis. Tersapu oleh mata saya, sepertinya orang-orang di sekitar saya mulai penasaran saya menulis apa. Terutama mas-mas peselonjor kaki yang sepertinya memerhatikan saya terus sampai ia bosan sendiri.
Seorang anak kecil, yang tampaknya masih SD, dengan sapu bergagang pendek merangkak untuk membersihkan sampah di bawah tempat duduk. Pekerjaan yang oke. Mencerminkan kekurangsigapan petugas KA yang harusnya bertanggung jawab membersihkan kereta (kalau para penumpang yang baru tidak buru-buru masuk, keretanya bakal sempat dibersihkan dulu tidak ya?). Mencerminkan pula betapa jorok dan tidak beradabnya masyarakat Indonesia. Yang membuat saya jadi tidak bersimpati pada anak itu adalah karena ada sebatang rokok yang menyelip di kupingnya. Selesai menyingkirkan sampah (sepertinya lumayan juga penghasilannya dari sini—selain mendapat uang dari penumpang, sampah ini juga dapat dikumpulkan, disetor entah ke mana, dan dari sini ia akan mendapatkan uang lagi), dengan wajah memelas ia meminta uang pada orang-orang yang duduk di tempat yang ia bersihkan bagian bawahnya tadi. Saya tidak memerhatikan orang di sana memberikannya apa. Saat tangannya ganti menengadah ke tempat duduk yang ada sayanya, di tangannya itu tergeletak sebatang rokok lain. Di bawah rokok tersebut kiranya ada lipatan-lipatan uang. Jadi orang di sana tadi kasih rokok apa uang? Saya bertanya-tanya. Tercetus pikiran untuk memberi anak itu uang sambil berpesan, “jangan dipake untuk beli rokok, ya,” namun tangan kanan ini sedang asik-asiknya merekam apa yang terjadi.
Pengemis buta dan penjaja kacamata lewat. Terbersit rasa ingin tahu akan kondisi hidup mereka yang sebenarnya.
Saya jadi menyesal kenapa tadi harus buru-buru masuk. Sampai jam segini kereta belum juga berangkat. Masih ada pula ruang kosong di beberapa bangku yang terlihat dari jangkauan pandang saya. Kenapa tadi kami semua begitu buru-buru dan rusuh? Padahal suara dari speaker sudah meyakinkan bahwa semua penumpang pasti dapat tempat duduk... Kutojaya, a friend indeed for grass-root people, halah...
Mas-mas di depan saya kembali merokok. Sial. Sambil mengunyah permen karet loh. Hal yang kontradiktif menurut saya, mengingat biasanya orang mengunyah permen karet untuk mengalihkan kebiasaan merokok—lah, ini dua-duanya sekaligus!
Penyemprot penyegar ruangan lewat disusul penjaja donat enam biji lima ribu. Serangga serupa kecoak mungil (atau memang kecoak yang masih balita?) mondar-mandir di tepian jendela yang dindingnya sedang saya sandari. Pedagang minuman mendorong embernya.
Mengecek sms. Tidak ada. Apa yang ditulis beralih ke perkara di luar realitas di dalam kereta ekonomi.
Mbak-mbak di hadapan saya mengelurkan cemilan setelah sebelumnya menutup hidung gara-gara asap rokok dari orang di sebelahnya. Bapak di sebelah saya juga mulai mengeluarkan rokok. Yak, bagus, semuanya saja merokok. Kereta terasa mulai bergerak. Mbak-mbak tersebut tidak menawarkan cemilannya pada siapapun. Betapa cueknya, meski pun saya sedang tidak berminat juga pada apa yang dimakannya itu. Sama cueknya dengan mas-mas yang membuat saya harus duduk bersebelahan dengan sepasang kaki (untung berkaos). Sama cueknya seperti mereka yang meracuni udara yang saya hirup.
Pemukul dan penggaruk tubuh tiga ribu rupiah saja. Dimanfaatkan sebentar barang itu oleh bapak di sebelah. Tak lama, barang itu diambil pedagangnya lagi.
Suara dari speaker memberitahukan bahwa kereta Pasundan telah tiba. Saya pernah naik Pasundan tahun 2007 pergi pulang saat ada acara di Surabaya. Saya ke Surabaya dari Jogja (saat itu saya baru diterima di UGM dan ada tes TOEFL) naik itu dan pulangnya dari sana ke Bandung saya naik itu lagi. Kalau tidak salah saat itu Pasundan tiba di Bandung lebih malam dari ini. Menjelang tengah malam. Kereta yang asalnya penuh sesak sampai-sampai satu deret tempat duduk diduduki berlima, semakin malam semakin lengang. Senyap. Temaram. Tempat duduk pada kosong, bebas pilih yang mana. Serasa kereta milik sendiri saja. Turun dari Pasundan, papa menjemput saya.
Terdengar suara peluit ditiup panjang sekali. Berkali-kali.
Sepertinya kali ini kereta benar-benar akan berangkat. Saya menengok hape. Masih tidak ada sms. Pukul 22.49. Kereta terlambat sekitar satu setengah jam, saya tidak menyangka bahwa ini nantinya akan membawa akibat fatal bagi saya.
Selamat tinggal, Bandung.
Seorang ibu-ibu berkerudung dan berkacamata melintas dengan baskom di atas kepalanya. Ia menjajakan nasi ayam dan aroma ayamnya begitu menggoda. Tapi malam-malam begini siapa yang masih mau makan? Ibu itu menghilang bersamaan dengan kedatangan seorang satpam yang membangunkan bapak di seberang saya. Mas-mas di sebelahnya menyalakan rokok lagi. Mbak-mbak dengan musik yang terdengar dari gadget dalam genggamannya menutup hidung dengan kerudungnya. Seseorang bertopi dan berpakaian dinas tak jauh di belakang satpam muda gagah yang terus membangunkan orang-orang. Peran satpam ini jelas lebih dari seorang tukang bangunin orang. Mengamankan penumpang gelap misalnya. “Karcis! Karcis!”
Mas-mas yang sepertinya masinis kereta itu mendekat. Ia melubangi karcis tanpa mengecek isinya terlebih dulu. Ia memakai kaos merah di balik seragamnya dan rambutnya agak gondrong.
Rupanya gerbong yang saya naiki ini adalah gerbong terakhir. Ringan terasa. Seperti naik jet coaster di bangku paling belakang. Aneh. Padahal tadi saya sudah hitung ada delapan gerbong... Ah, memusingkan. Saya mengantuk. Kepala ini enaknya menyandar ke dinding tapi takutnya si kecoak balita kembali datang dan menyelinap ke dalam kerudung...
Enam halaman sudah yang saya tulisi sembari menunggu kereta ini berangkat. Saya memasukkan catatan saya ke dalam ransel dan tidur. Saya ingat sempat terbangun beberapa kali.
Pemeriksaan tiket lagi. Sekali melubangi langsung lima. Setengah mengantuk, saya mengatur pembagian kelima tiket itu kembali sesuai nomor tempat duduk masing-masing. Tidak juga sih. Yang penting saya mendapatkan kembali tiket 10 A saya, seolah itu memang penting. Orang-orang di sekitar saya ini hanya bisa heran dengan polah saya.
Kereta mulai sepi. Alarm subuh berbunyi. Orang-orang di sekitar saya pada pindah tempat duduk. Mas-mas mengobrol dengan mbak-mbak dengan akurnya. Ironis, mengingat tadi mbak-mbaknya terganggu dengan mas-masnya yang merokok. Ah, pasti lagi flirting nih. Tukaran nomor. Bapak di sebelah saya pindah ke tempat duduk sebelah yang penumpangnya sudah pergi. Aih, tuh kan, betapa nikmatnya naik kereta ekonomi yang seperti itu. Dengan kenikmatan yang sama dengan yang bisa didapat di kelas bisnis, kita hanya perlu membayar sekitar seperempatnya saja. Tahu-tahu mbak-mbaknya sudah turun. Mungkin di Kebumen. Mas-masnya bertanya saya turun di mana. Kutoarjo. Ia sendiri saya lupa turun di mana, yang jelas sebelum saya dan kira-kira jaraknya kurang satu jam dari Kutoarjo. Bapak-bapak yang di sebelah saya pamit turun. Hari sudah terang. Menanti solat subuh di Stasiun Kutoarjo. Berapa lama lagi sampai di Kutoarjo? Saya bertanya pada ibu-ibu di bangku belakang saya. Setengah jam. Saya menurunkan plastik oleh-oleh dari atas. Di pemberhentian berikutnya saya akan turun.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar