Senin, 22 Februari 2010

Ketika Hanya Ada Saya dan Kamu

Daffa menghentikan laju sepeda. Pintu itu terbuka. Tajuk pohon yang menaungi teras melambai-lambai. Angin menderu. Desir pelan dalam dadanya. Hatinya bertanya-tanya siapa yang ada di dalam sana.

Dulu. Sebelum ia bercokol di mess pelatihan atlet. Sebelum kehidupan akademisnya pindah ke Jatinangor. Sebelum kesibukan kian menderanya. Sejak rumah itu dibangun. Sejak keluarganya bertegur sapa dengan keluarga itu dalam suatu kenangan petang. Sejak kedua ibu bersahabat. Sejak mereka mempertemukan anak mereka satu sama lain. Sejak ibunya kerap membawanya serta kala bermain ke rumah itu. Sejak ia mengenal gadis itu. Sejak ibu mereka selalu memasukkan mereka ke sekolah yang sama. Sejak ia berani datang ke rumah itu sendirian maupun bersama teman-temannya. Selalu, setiap pintu itu terbuka, adalah isyarat yang mengizinkannya untuk bertandang.

Ia memarkir sepeda di samping pintu pagar yang mengarahkannya ke jalan setapak yang langsung membawanya menuju pintu itu. Ia berjengit. Pintu pagar itu berderit saat didorong. Ia akan menawarkan diri untuk memberinya pelumas nanti kalau ingat.

Bagai tercelup dalam ribuan kenangan beresensi sama, Daffa menapaki jalan itu dan mencopot sandalnya sebelum melangkah di atas lantai keramik yang dingin. Di ambang pintu, kepalanya melongok ke dalam, membiarkan bahunya tertahan kusen. Wajah itu menoleh kepadanya. Wajah yang sama sekali tak diduganya. Yang akhir-akhir ini semakin jarang saja dilihatnya.

“Huff, bikin kaget aja.” Gadis itu membelakanginya lagi dengan meninggalkan pendar-pendar kekesalan. Tanpa kehilangan keanggunannya sama sekali.

Celemek membalut tubuh ramping gadis itu. Sepasang tangannya entah sibuk membuat apa, Daffa tak dapat melihatnya. Ia penasaran gadis itu hendak membuat apa. Kudapan buatannya selalu enak diicip.

Di belakang gadis itu adalah sebuah meja besar dengan beberapa kursi mengitarinya. Daffa menarik salah satu kursi yang letaknya terdekat dengan pintu untuk didudukinya. Kenyamanan seketika merengkuh.

Daffa mengamat-amati dapur tersebut. Tidak banyak yang berubah. Interior klasik. Aroma yang menguar ke udara. Pintu-pintu yang mengizinkannya mengintip ke lain ruangan. Hanya ada satu hal yang tidak biasanya.

“Rumah sepi? Dre? Pada ke mana?”

Gadis itu menoleh sekilas. “Iya. Ayah lagi ke Osaka. Alfian outbond. Bunda sama si Mbok ikut.” Kembali tak mengacuhkannya.

Daffa mengambangkan huruf O ke udara. “Kapan balik?”

“Sore mungkin.”

“Emang kamu kapan balik kuliah, Dre? Emang belum selesai liburnya?”

“Lusa udah masuk sih.”

“Balik pake apa?”

“Pake mobil sendirilah...”

“Loh, siapa yang nganter?”

“Nyetir sendiri.”

“Nyetir? Sendiri? Dari Bandung ampe Salemba?” Kalau orang lain yang bicara—ibunya Dre atau ibunya misalnya—entah mengapa ia percaya, tapi kalau orangnya sendiri yang bilang entah mengapa ia tak mau percaya. Naik sepeda saja gadis itu harus diajarinya berpuluh-puluh kali baru bisa!

Tapi rasanya tidak enak kalau hendak mengajak gadis itu berkonfrontasi. Mereka sudah bukan anak kecil seperti dulu lagi. Yang bisa bertengkar kapan pun di mana pun namun keesokan harinya dapat bermain bersama lagi tanpa perlu bersusah payah mengucapkan “maaf”, seolah pertengkaran itu tak pernah ada.

Lagipula kalau tidak ada orang lain yang menyaksikan mereka bertengkar rasanya tidak seru. Daffa lebih suka meledek Dre meskipun sedang ada ibunya (yang akan langsung menegurnya) atau ibunya Dre (yang malah akan semakin menggarami) atau ayahnya Dre sekaligus. Siapapunlah.

“Hati-hati entar di jalan.” Hanya kata-kata itu akhirnya yang menurutnya pantas untuk diucapkan.

Sepinya rumah itu tampaknya sudah meresapi kepalanya. Daffa jadi kehilangan kata-kata. Sesuatu yang jarang.

“Tante Leida juga sekarang katanya udah jarang ke sini.”

“Iya. Lagi ada proyek ceunah. Kemarin juga saya disuruh main ke Rumah Singgah kalau sempat, tapi da belum mungkin.” Dre selalu menyembunyikan pertanyaan di balik pernyataan. Dan akan membuat gadis itu sebal kalau Daffa tak mampu menangkapnya.

“Oh. Lagi sibuk apa?”

“Siapa?”

“Tante.”

“Itu... Ada mahasiswa yang ngadain program apa gitu buat anak jalanan...”

Terdengar bunyi ketokan-ketokan di meja. Daffa jadi penasaran lagi apa yang sedang dibuat gadis itu. Biarlah menjadi kejutan. Toh ia pasti akan diberi juga nanti kalau sudah jadi. Daffa memalingkan kepalanya lagi ke arah lukisan pemandangan di hadapannya. Yang sepertinya sudah berjuta-juta kali dilihatnya sejak lukisan itu dipasang.

“Karina? Om?”

“Si Nana lagi sibuk latihan juga buat PON. Si Papah mah, nggak tau…”

“Kemarin katanya ke sini.”

“Ngapain?”

“Nggak tahu.”

Dalam hati Daffa menyelinap kegusaran. Mengingat ayahnya membuatnya teringat akan kemarjinalan dirinya. Ayahnya yang bekerja serabutan. Rumah mungil yang dihuni keluarganya, yang nyempil dalam gang yang sebetulnya bukan bagian dari kompleks perumahan itu, pun bukan atas hasil jerih payah ayahnya melainkan pemberian dari saudara. Kepala Daffa menoleh ke sana ke mari. Berusaha mencari topik lain.

“Berarti kamu juga mestinya lagi sibuk latihan dong?”

“Iya. Tapi lagi libur dulu bentar. Eh iya, gimana kabar si Krisna?”

“Hah? Krisna?” Gadis itu tampak sedang memindah-mindahkan sesuatu. Tercium harum tubuhnya. “Kok nanya ke saya? Kamu kan yang temen deketnya.”

“Ya kan, sama-sama di Kedokteran, kali aja ngerti...” Sepertinya gadis itu mulai sadar kalau ia tidak punya topik.

“Dia di mana, saya di mana...”

“Hehe, iya.”

Krisna sekarang meneruskan pendidikannya di Semarang. Sudah tidak patut disebut Fantastic Four komplek lagi mereka. Yang lainnya adalah duo bersaudara Bondan dan Robi yang selanjutnya gadis itu ingat untuk menanyakan.

“...biasanya kamu sama-sama mereka.”

“Iya, lagi pada sibuk ngurusin acara di kampus semua. Nggak tahu nih, sepi amat nih kompleks mentang-mentang siang gini.”

Bondan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta bergengsi di Bandung sedangkan Robi, adiknya, sebenarnya sama-sama kuliah di Jatinangor—seperti Daffa—tapi mereka berdua jarang bertemu dikarenakan kesibukan masing-masing.

“Si Robi, masih aja eksis dari dulu.”

Heueuh.”

“Lagian lapangannya juga udah digusur ya...” Daffa merasa ada senyum dalam suara gadis itu. “Kasian anak-anak sekarang udah nggak punya tempat bermain lagi.”

Daffa mengenang zaman di mana hampir setiap petang ia habiskan untuk bermain di lapangan itu bersama anak-anak satu komplek. Dre kadang melintas di jalan samping lapangan dengan sepeda pinknya. Dengan seorang anak berlari-lari mengekor di belakangnya. Mereka kadang mengajak gadis itu turun ke lapangan untuk bermain bersama. Gadis itu biasanya hanya melengos lalu pergi. Malah anak yang mengekor di belakangnya itu yang akhirnya masuk ke dalam permainan. Anak itu juga yang biasa menemani mereka berdua mengerjakan PR bersama di ruangan ini. Anak itu, sepupu  Dre yang tinggal di sebelah rumah, kini sudah tiada. Sejak dibawa ayah kandungnya ke suatu negara entah di mana, anak itu tak pernah ada lagi kabarnya. Menimbulkan kegusaran dalam satu keluarga besar. Anak itu sekarang mestinya sudah menginjak bangku SMA.

Keheningan menyentakkannya. Tidak ada suara lain selain dentingan perabotan dapur yang digunakan Dre untuk mengolah bahan-bahannya. Selama lebih kurang lima belas tahun mereka saling mengenal, untuk pertama kalinya Daffa menyadari bahwa hanya ada ia dan Dre. Dalam suatu tempat luas yang sepi.

Tidak ada ibunya yang sering main ke tempat ini, mengunjungi ibunya Dre yang senang bereksperimen dengan masakan. Tidak ada ayahnya Dre yang sesekali mampir sebentar untuk meracik kopi. Tidak ada Alfian, adik Dre, yang berseliweran menerbangkan mainannya hingga ke seluruh penjuru rumah. Tidak ada si Mbok yang sedang menyiapkan nasi untuk jam makan berikutnya. Tidak ada Robi, Krisna, bahkan Bondan sekali pun yang kadang ikut masuk ke dalam bersamanya saat melihat pintu rumah ini terbuka. Sudah hampir enam tahun pula Azka, nama sepupu Dre itu, tak pernah lagi menyelinap di antara mereka berdua.

“Kalau kamu kapan balik kuliah lagi?” tanya gadis itu lagi.

“Cuti dulu...”

“Kalau cuti terus kapan lulusnya?” potong gadis itu. Sedari dulu Dre memang kurang senang kalau Daffa harus meninggalkan kegiatan akademisnya demi latihan, kejuaraan, atau apa. Dari SD sampai SMA, mereka sering belajar bersama. Dre seolah sudah jadi mentornya saja, memantau perkembangan akademisnya. Kalau nilai Daffa jeblok—dan seringnya begitu—gadis itu akan marah-marah. Gadis itu memang perfeksionis.

Justru kalau bukan karena prestasi atletnya, Daffa tidak akan bisa masuk ke SMA favorit yang sama dengan gadis itu. Namun Dre tidak mau peduli. Ia hanya ingin Daffa mendapatkan yang terbaik. Dre marah-marah kalau Daffa mengabaikan—menurut istilah Dre—sekolah setiap kali hendak bertanding. Tapi ia juga marah-marah kalau Daffa tidak kembali dengan menggenggam medali emas.

Padahal ibunya saja tidak seperhatian itu padanya. Ibunya mengizinkannya menjadi atlet tapi juga menekankan pentingnya pendidikan formal. “Kalau kamu mau terus jadi atlet, kamu harus cari istri kaya raya yang bisa menyokong kehidupan kamu kalau sudah tidak jadi atlet lagi. Kalau tidak begitu, maka kamu harus terus sekolah. Kita kan tidak akan pernah tahu masa depan jadinya akan seperti apa,” begitu yang sering dititahkan ibunya kepadanya dalam bahasa Sunda.

“Ah, masih bisa tujuh tahun ini...” Sejak dulu Daffa memang tidak begitu merisaukan akademisnya. Sudah ada Dre yang melakukan untuknya. Dan sudah dua tahun ini pula Daffa tidak merasakan kerisauan Dre karena mereka sudah tidak satu sekolah lagi. Waktu masih SMA, meski Dre di IPA dan Daffa di IPS, apa yang mereka pelajari masih sedikit nyambung. Namun kini Dre di Kedokteran sedangkan Daffa di Antropologi. Tidak ada nyambungnya sama sekali. Daffa sudah tidak mungkin berguru lagi pada gadis itu. Selain karena tempat mereka kuliah juga beda kawasan. 

“Iya, kalau bisa tujuh tahun... ” Selain pesimis pada masa depan atlet, gadis itu juga sepertinya pesimis pada masa depan lulusan Antropologi. Apalagi kalau lulusannya seperti Daffa, yang pasti tidak punya gambaran juga setelah lulus mau kerja jadi apa. “Masak mau jadi atlet terus?”

“Kalo nggak, gua ntar nyari istri yang dokter aja, biar ada yang ngurusin...” Daffa mendengus. Teringat pesan ibunya untuk mencari istri mapan.

“Hah, sok aja. Emang ada yang mau sama lu?”

Daffa mengangkat sebelah kakinya dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tidak ada bayangan sama sekali. “Kamu emangnya nggak mau?”

Gadis itu tidak menjawab. Ia sepertinya sedang sibuk mengaduk-aduk sesuatu. Melihat punggung yang bergerak-gerak itu, mendadak hati Daffa menjadi tidak tentram. Ia memalingkan kepalanya lagi.

“Daffa,” tiba-tiba gadis itu berucap lagi. “Besok saya ke Brno.”

“Di mana tuh?”

“Ceko.”

“Loh, katanya lusa udah mau kuliah?”

“Tuh kan, gitu kalau otaknya nggak pernah dipake. Kuliah tuh yang bener!”

“Iya, iya...” Daffa geli. Gadis itu memang susah diajak bercanda. “Ngapain?”

Exchange gitulah. Doain yah…”

“Oh. Berapa lama? Titip kastil yah, kalo gitu.”

“Kastil?” Gadis itu memasukkan sesuatu ke dalam oven.

“Lu mau nrusin kuliah ke luar negeri juga, Dre?”

“Aamiin...! Doain ya, Daf.”

“Nggak buka praktik aja entar di Jakarta atau di Bandung gitu?” Kecemasan mulai merambati hati Daffa. Terbayang kemungkinan akan ribuan hari ke depan tanpa melihat Dre. Sejak Dre tidak di Bandung lagi memang Daffa sudah hampir terbiasa untuk tidak mendapati gadis itu ada di rumah ini. Namun ia tahu, kalau libur barang sehari dua hari—bahkan lebih—gadis itu pasti kembali dan ia akan melihatnya lagi. Tapi kalau sampai kuliah keluar negeri? Ia tidak tega rasanya membiarkan Dre hidup seorang diri di negeri orang.

“Cita-cita saya kan bukan untuk jadi dokter yang seperti itu, Daf. Saya kan ingin jadi dokter peneliti.”

“Kirain dokter kerjanya cuman ngobatin orang doang.”

“Ya ngobatin juga, cuman nggak di tataran praktis.”

“Nggak ngerti ah. Trus lu mau berapa lama di luar negeri?”

Dre tidak mengacuhkannya. Ia yang mulai membilasi perabotannya bersenandung pelan. Semua perabotan yang masih basah itu ia tata rapi di samping bak cuci. Ia mengelap kedua belah tangannya dengan lap kering sebelum duduk berseberangan dengan Daffa. Tidak berapa lama gadis itu seperti baru menyadari betapa sepinya dunia karena hanya ada mereka berdua.

Tidak ada sedikit pun suara keluar dari mulut mereka. Mereka saling mengalihkan pandang ketika menyadari bahwa selama beberapa menit tadi mereka saling menatap wajah satu sama lainnya.

“Maaf...” ujar Daffa pelan sembari heran mengapa kata itu harus ia lontarkan dari mulutnya. Gadis itu terbatuk lirih.

“Tunggu dulu sampai kuenya jadi, baru balik ke rumah. Bentar lagi paling.” Dre seolah dapat membaca pikirannya. Gadis itu hendak beranjak dari tempat duduknya namun pertanyaan Daffa menahannya.

“Kamu mau nerusin sekolah ke luar negeri?”

“Ya.”

“Sampai kapan?”

Daffa ingin terus bertanya. Selagi tidak ada orang lain yang akan ikut memberi komentar-komentar tidak perlu. Selagi ada kesempatan untuk mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang jauh terpendam di lubuk hati. Selagi hanya ada mereka berdua.

Gadis itu tersenyum malu-malu. Ia mendengus. “Setinggi-tingginyalah.”

“Kenapa nggak di Indonesia aja?”

“Nggaklah. Kalau bisa cari yang terbaik kenapa nggak?”

“Terus kalau sekolahnya udahan, ngapain?”

“Pulang. Mengembangkan riset kedokteran di Indonesia, terutama di bidang dermatologi. Kalo kamu?” Dre balik bertanya.

“Menjalani apa yang ada?”

Dre terpana. “Kamu nggak kepikiran masa depan yang lebih baik lagi?”

Dari nadanya Daffa sudah bisa menduga bahwa Dre hendak mengkhotbahinya. Seperti biasa.

“Sebenarnya iya.”

Ketika hasrat yang pendiam ini menemukan saat yang tepat untuk bicara. Tak ada seorang pun yang boleh tahu, selain dia, yang suatu saat—cepat atau lambat—harus mengetahuinya juga.

“Makanya itu harus kita pikirin bersama.”

Dre tertegun. Namun Daffa tak merasa telah salah ucap.

“Daffa, aku cuman pingin kamu jadi pria yang bisa menjalani karier kamu—apapun itu nanti—dengan baik tanpa harus mengesampingkan keluarga kamu, istri dan anak-anak kamu nanti.”

“Kamu ingin yang seperti itu?” Daffa berharap ia dapat mewujudkan itu.

Hanya ada kita berdua. Tidak ada yang perlu disembunyikan, Dre.

Daffa menanti jawaban Dre lebih dari sekedar bahasa mata, tapi hal itu tak kunjung terjadi. Ia merasa kursinya tenggelam, lantai yang dipijakinya mencair dan berubah menjadi kolam. Air bening. Namun wajah Dre yang mengamatinya dari atas sana tak teraih. Kalimat itu menggantung sampai di situ saja. Ketegangan Daffa terputus. Oven berbunyi. Dre bangkit untuk mengeluarkan benda di dalamnya.

Daffa bergeming di atas kursinya. Ia menyesali mengapa Dre tidak mendapatkan masalah dengan penganan-baru-jadi-nya itu, sehingga ia berkesempatan untuk memberikan bantuan atau apa.

Sebuah piring mungil berisi beberapa potong bolu tersaji di hadapannya. Bolu ketan hitam kesukaannya. Ia ingin bertanya apakah gadis itu sedang memikirkannya saat memutuskan untuk membuat makanan tersebut. Sebuah pertanyaan yang pasti tidak akan dijawab.

“Dre...”

“Ya?”

“Saya harap kita bisa kayak gini lagi.”

Gadis itu diam saja. Seperti menunggunya menyelesaikan ucapannya. Tapi tidak. Kalimat itu sengaja ia gantung.

“Seperti apa?”

Seperti saat ini, di mana hanya ada saya dan kamu, Daffa tidak berani bersuara, tanpa kecanggungan apa pun. Di mana kamu menyiapkan teh hangat untuk saya, seperti yang ibumu lakukan untuk ayahmu, di pagi dan sore hari.

Gamang.

“Masa depan itu nggak pasti, Daffa.”

Secangkir teh kini tersaji di hadapannya. Dan sekotak bolu potong yang masih mengepul. Siap ditutup lalu dibawa pulang. Di kursi seberang, Dre tengah menghirup tehnya sambil menengok ke jendela. “Udah jam segini belum pada pulang...” desahnya.

“Ya. Moga-moga aja nggak keburu ujan.” Daffa ikut-ikutan melihat keluar jendela. Perlahan ia habiskan tehnya.

“Bolunya jangan lupa dibawa,” kata Dre begitu Daffa menaruh cangkir di tatakannya. Daffa berdiri sambil menutup kotak bolunya lalu memasukkannya ke dalam tas kecil yang sudah terlipat rapi di samping kotak itu. Kalau tidak sempat mengembalikan benda itu sendiri, ia akan menitipkannya pada ibunya atau Karina, adiknya.

“Makasih, Dre.” Daffa berjalan ke luar. “Balik dulu ya.”

Merasakan Dre mengekor di belakangnya, Daffa jadi ingin berbalik lantas memeluk gadis itu erat-erat. Melampiaskan segala rasanya yang terpendam lama. Berprasangka takkan ada penolakan apapun. Mereka berdua menginginkannya.

Tapi tidak. Gadis itu tidak pernah mau disentuh.

Pintu pagar berderit ketika ia dorong. Pegangan tas kecil itu ia gantungkan di setang sepeda.

“Daffa.”

Daffa menoleh.

“Jangan datang ke sini lagi sendirian.”

Rasa bersalah perlahan merambat.

“Kalau di rumah cuman ada saya.”

Lain kali kalau pintu itu terbuka dan ia tahu hanya ada Dre yang di rumah, ia hanya akan datang untuk berbasa-basi lantas pulang. Ia juga akan menghapus pikiran macam-macam tentang gadis itu. Termasuk masa depan yang seharusnya jadi milik mereka bersama. Seperti yang gadis itu bilang, masa depan itu tidak pasti.

Yang pasti adalah, bahwa apa yang ia dan gadis itu rasakan adalah sama.

Mungkin nanti akan datang saat yang lebih tepat untuk menyatakan segalanya. Mungkin saat gadis itu sudah kembali dari luar negeri. Atau mungkin saat ia sudah berhasil memperebutkan kaos dengan warna-wana prestisius dalam dunia balap sepeda. Kini hingga saat itu tiba adalah waktu untuk mempersiapkan saat yang tepat itu. Kalau tidak bersabar, ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Sekarang pun ia merasa belum punya apa-apa.

Daffa merasa hatinya membawa ia dan sepedanya ikut melayang ke angkasa.

 

220210. akhirnya tertulis juga cerita tentang mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain