November, 2009
Bayang-bayang gelap mulai merengkuh langit. Masih ada dua manusia Banyusoso lainnya yang harus kami temui. Setelah itu, barulah kami dapat kembali ke penginapan kami yang merupakan rumah seorang mandor hutan yang bekerja untuk RPH (Resort Pemangkuan Hutan) Playen. Sebelumnya sudah dua orang yang kami sambangi rumahnya. Tugas ini mengharuskan masing-masing dari kami mewawancarai dua orang masyarakat desa hutan—dalam rangka praktikum mata kuliah Perencanaan Sumber Daya Hutan. Kami sepakat untuk melakukannya bersama-sama.
Banyusoco adalah sebuah dusun di Desa Kepek, Kecamatan Playen, Gunungkidul, Yogyakarta. Kehadirannya bisa ditandai dari sebuah papan bercat putih, yang berdiri di balik gerbang batako sebuah bangunan SD, bertuliskan: SDN BANYUSOCO. Pada sebuah jalan di balik SD tersebutlah kami berbelok.
Menyusuri jalan berbatu, melewati rumah demi rumah, meneliti kalau-kalau ada manusia melintas. Pada sebuah rumah, kami melihatnya. Keraguan menguar namun akhirnya kami melangkah juga ke jalan menuju rumah itu.
Maka bertemulah kami dengan Bu Sartini, 45 tahun, penduduk asli Kepek II yang sudah sejak lahir tinggal di sini. Aktivitas memasaknya jadi terganggu akibat kedatangan kami yang tiba-tiba. Dengan keramahan khas orang desa, ia tetap menerima kami. Kursi yang berdiam di sisi teras rumah berlapis semennya hanya mampu menampung kami berdua. Agak rikuh juga kami karena sementara kami duduk di sana, ia—yang senja itu secara bersahaja memakai kaos tanpa lengan dan celana pendek—duduk hanya beralaskan lantai semen. Namun kehangatan yang senantiasa terpancar dari wajahnya saat berbicara dengan kami membuat perasaan kami lebih nyaman.
Lahan seluas 10-100 m2, dari luas seluruhnya yang 15 hektar, menjadi jatahnya sebagai seorang petani untuk ditanami. Pembagian lahan ini berdasarkan kemampuan menggarap dari petani itu sendiri. Lahan tersebut ditanaminya jagung dan kedelai. Dalam waktu 3 bulan, jagung sudah dapat dipanen meski sekarang susah tumbuh karena kurang air. Hasilnya ia manfaatkan untuk diri sendiri dan ala kadanya untuk Pak Mantri, sekedar untuk ‘memberi rasa’. Namun demikian, ia tidak bergabung dengan kelompok tani mana pun, termasuk Kelompok Tani Kertaharja yang basecamp-nya di rumah Pak Sudar. “Repot,” katanya. Ia juga kurang mengetahui adanya perkumpulan masyarakat lainnya selain kumpul RT sebulan sekali.
Selain bertani, ia tidak mempunyai pekerjaan lain meski dulu ia sempat membuat emping. Ternak pun hanya pinjaman. Sebagai sumber air, ia memiliki sumur yang meski pada pasca gempa Jogja kemarin sempat kering. Kalau sudah begitu air harus dibeli dari Playen.
Meski kayu bisa didapatkannya dari ladang sendiri, ia mengaku mengambil kayu juga dari hutan pemerintah untuk kayu bakar. Namun hal itu dilakukannya juga untuk membersihkan cabang dari pohon agar pohon tersebut dapat tumbuh lebih cepat. Dalam kehutanan, pembersihan cabang ini dikenal dengan istilah prunning. Kadang-kadang ia mencari rumput juga di sana.
Di sekitar kami, beberapa anak berseliweran mengejar seekor kucing betina. Ia bercerita pada kami betapa seringnya kucing itu hamil dan setiap kali dibuang pasti kembali lagi. Dua dari anak-anak yang ikut menemani kami mengobrol di teras adalah anaknya. Suaminya, yang dapat bekerja di mana-mana sebagai tukang bangunan, tidak tampak.
Habis sudah pertanyaan di kepala kami. Kami memandangi langit di kejauhan yang mengisyaratkan agar kami bergegas karena gelap tak lama lagi akan datang. Masih ada seorang lagi yang harus kami temui. Kami pun pamit pergi.
Kembali kami susuri jalan berbatu itu, melewati rumah demi rumah, mencari-cari manusia yang bisa kami wawancarai dan ia mestilah seorang petani hutan. Semoga dalam kesempatan berikutnya kami beruntung.
Di sisi jalan sebelah kiri, kami melihat seorang pria sedang jongkok mengamati sapi-sapinya yang berada dalam kandang. Mendekatlah kami padanya sambil mengenalkan diri dan menyampaikan maksud kami. Ia segera memahami. “Tapi yang petani bapak saya, bukan saya,” ujarnya. Diantarkannya kami ke belakang rumah untuk menemui seorang pria tua. Istrinya menemani sambil menggendong cucu kecilnya. Kami harus menaiki beberapa undakan untuk dapat menginjak lantai teras belakang rumah itu. Dari tempat kami duduk, kami bisa melihat kandang sapi di sebelah kiri depan dan kamar mandi serta sumur di sebelah kanan depan. Jika kami menoleh lebih ke kanan lagi maka akan terlihat rumah lainnya. Jika kami kembali menoleh ke kiri, di sanalah Pak Wasilan, 58 tahun, duduk tegak dengan kedua siku bertelekan lengan kursi.
“Mau tanya apa?” tanyanya. Kami segera ingat akan daftar pertanyaan kami.
Pak Wasilan sudah sejak kecil tinggal di sini, sudah turun temurun. Kini ia menempati rumahnya bersama 4 orang anggota keluarganya: istrinya, anak lelakinya, menantunya, dan cucunya. Di hadapan kami istrinya sesekali ikut menimbrungi percakapan sambil asik mengemong cucunya. Sementara itu ayah dan ibu cucunya sempat terlihat bersama di dekat sumur.
Ia baru aktif bekerja sebagai petani selama 2 tahun ini, yaitu sejak ia pensiun sebagai buruh rakyat di pemerintahan alias PNS. Aktivitasnya kini menanami hutan pemerintah dengan jagung, ketela, kacang, dan kedelai secara tumpang sari. Ia memiliki lahan seluas 1 hektar namun letaknya terpisah-pisah dan ia tidak harus membayar untuk itu. Air untuk membasahi tanaman-tanamannya didapatkan hanya dengan mengandalkan hujan saja. “Kalau nggak ada ya sudah. Mau minum aja beli. Ada sumur tapi ada sumbernya dan bayar setiap bulan tergantung pemakaiannya berapa m3,” tambahnya. Ia tidak ikut kelompok tani mana pun karena tidak sempat ikut mendaftar.
Penghasilannya dari bertani tidak seberapa. Dalam setahun ia hanya mendapatkan sekitar 4 juta dari tengkulak. Semuanya hanya untuk keluarga dan tidak dibagi untuk mantri. Namun ia bisa mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjual sapi-sapinya—yang diberinya makan macam-macam dari hutan seperti kolonjono, jagung, dan salam. Juga dari kebun jati yang membentang di belakang kandang.
Ceritanya tentang kebijakan di kawasan hutan sini hampir mendominasi pembicaraan. Sebelum ada Gerakan Nasional, hutan dikerjakan oleh Dinas Kehutanan. Lahan dibuka sekian hektar dan beberapa ratus Kepala Keluarga dipekerjakan untuk menanaminya dengan jangka waktu pemanfaatan lahan paling lama 3 tahun. Menurutnya ini adalah kebijakan yang bagus dan tepat sekali. Pembicaraan terus berlanjut diisi dengan isu-isu menarik yang tak sempat kami torehkan dalam catatan. Kami mungkin tak begitu paham juga.
Azan maghrib mulai mengiang-ngiang. Langit sudah gelap benar. Kami mengundurkan diri hendak pulang meski kebingungan masih mencokoli kepala: hendak lewat jalan yang mana ke penginapan? Kami tidak hapal jalan dan tidak pula membawa penerangan. Biarlah intuisi yang membawa kami.
Kami bangkit dari kursi dan mengitari samping rumah untuk sampai kembali di jalan berbatu.
“Kanan apa kiri nih?
“Kayaknya kiri deh.”
Kami berjalan ke kiri dan menanamkan niat untuk menembus gelap, apapun nanti yang akan kami temui di jalan. Tapi sepertinya lebih baik kembali ke penginapan laki-laki di Menggoran. Jalan menuju ke sana lebih dikenali karena tinggal menyusuri aspal saja. Maka kami pun balik kanan. Tahu-tahu Pak Wasilan sudah berada di depan rumahnya. “Loh, kalian mau ke mana?”
“Ke penginapan, Pak.”
“Di mana?”
“Di rumah Pak....” Kami menyebutkan nama mandor hutan yang rumahnya jadi tempat kami menginap. Rupanya Pak Wasilan tidak begitu mengenalnya. Lalu kami bilang bahwa kami akan menelepon teman kami saja dan minta dijemput di depan. Kali ini, biarlah pulsa yang tersisa di hape yang akan menyelamatkan kami. Pak Wasilan mengatakan kalau ada apa-apa kembali saja ke rumahnya dan minta dijemput di sana. Rasanya terenyuh hati ini dengan kebaikannya namun kami tetap dengan niat kami untuk menunggu teman kami di depan saja, di dekat SDN Banyusoco. Pergilah kami dari halaman rumahnya. Kami tembus gelap yang sudah benar pekat hingga cahaya motor yang menjemput kami di ujung jalan menyilaukan mata. Purna sudah tugas kami melakukan inventarisasi sosial masyarakat desa hutan meskipun tidak semua poin di daftar pertanyaan dapat kami lontarkan.
Bayang-bayang gelap mulai merengkuh langit. Masih ada dua manusia Banyusoso lainnya yang harus kami temui. Setelah itu, barulah kami dapat kembali ke penginapan kami yang merupakan rumah seorang mandor hutan yang bekerja untuk RPH (Resort Pemangkuan Hutan) Playen. Sebelumnya sudah dua orang yang kami sambangi rumahnya. Tugas ini mengharuskan masing-masing dari kami mewawancarai dua orang masyarakat desa hutan—dalam rangka praktikum mata kuliah Perencanaan Sumber Daya Hutan. Kami sepakat untuk melakukannya bersama-sama.
Banyusoco adalah sebuah dusun di Desa Kepek, Kecamatan Playen, Gunungkidul, Yogyakarta. Kehadirannya bisa ditandai dari sebuah papan bercat putih, yang berdiri di balik gerbang batako sebuah bangunan SD, bertuliskan: SDN BANYUSOCO. Pada sebuah jalan di balik SD tersebutlah kami berbelok.
Menyusuri jalan berbatu, melewati rumah demi rumah, meneliti kalau-kalau ada manusia melintas. Pada sebuah rumah, kami melihatnya. Keraguan menguar namun akhirnya kami melangkah juga ke jalan menuju rumah itu.
Maka bertemulah kami dengan Bu Sartini, 45 tahun, penduduk asli Kepek II yang sudah sejak lahir tinggal di sini. Aktivitas memasaknya jadi terganggu akibat kedatangan kami yang tiba-tiba. Dengan keramahan khas orang desa, ia tetap menerima kami. Kursi yang berdiam di sisi teras rumah berlapis semennya hanya mampu menampung kami berdua. Agak rikuh juga kami karena sementara kami duduk di sana, ia—yang senja itu secara bersahaja memakai kaos tanpa lengan dan celana pendek—duduk hanya beralaskan lantai semen. Namun kehangatan yang senantiasa terpancar dari wajahnya saat berbicara dengan kami membuat perasaan kami lebih nyaman.
Lahan seluas 10-100 m2, dari luas seluruhnya yang 15 hektar, menjadi jatahnya sebagai seorang petani untuk ditanami. Pembagian lahan ini berdasarkan kemampuan menggarap dari petani itu sendiri. Lahan tersebut ditanaminya jagung dan kedelai. Dalam waktu 3 bulan, jagung sudah dapat dipanen meski sekarang susah tumbuh karena kurang air. Hasilnya ia manfaatkan untuk diri sendiri dan ala kadanya untuk Pak Mantri, sekedar untuk ‘memberi rasa’. Namun demikian, ia tidak bergabung dengan kelompok tani mana pun, termasuk Kelompok Tani Kertaharja yang basecamp-nya di rumah Pak Sudar. “Repot,” katanya. Ia juga kurang mengetahui adanya perkumpulan masyarakat lainnya selain kumpul RT sebulan sekali.
Selain bertani, ia tidak mempunyai pekerjaan lain meski dulu ia sempat membuat emping. Ternak pun hanya pinjaman. Sebagai sumber air, ia memiliki sumur yang meski pada pasca gempa Jogja kemarin sempat kering. Kalau sudah begitu air harus dibeli dari Playen.
Meski kayu bisa didapatkannya dari ladang sendiri, ia mengaku mengambil kayu juga dari hutan pemerintah untuk kayu bakar. Namun hal itu dilakukannya juga untuk membersihkan cabang dari pohon agar pohon tersebut dapat tumbuh lebih cepat. Dalam kehutanan, pembersihan cabang ini dikenal dengan istilah prunning. Kadang-kadang ia mencari rumput juga di sana.
Di sekitar kami, beberapa anak berseliweran mengejar seekor kucing betina. Ia bercerita pada kami betapa seringnya kucing itu hamil dan setiap kali dibuang pasti kembali lagi. Dua dari anak-anak yang ikut menemani kami mengobrol di teras adalah anaknya. Suaminya, yang dapat bekerja di mana-mana sebagai tukang bangunan, tidak tampak.
Habis sudah pertanyaan di kepala kami. Kami memandangi langit di kejauhan yang mengisyaratkan agar kami bergegas karena gelap tak lama lagi akan datang. Masih ada seorang lagi yang harus kami temui. Kami pun pamit pergi.
Kembali kami susuri jalan berbatu itu, melewati rumah demi rumah, mencari-cari manusia yang bisa kami wawancarai dan ia mestilah seorang petani hutan. Semoga dalam kesempatan berikutnya kami beruntung.
Di sisi jalan sebelah kiri, kami melihat seorang pria sedang jongkok mengamati sapi-sapinya yang berada dalam kandang. Mendekatlah kami padanya sambil mengenalkan diri dan menyampaikan maksud kami. Ia segera memahami. “Tapi yang petani bapak saya, bukan saya,” ujarnya. Diantarkannya kami ke belakang rumah untuk menemui seorang pria tua. Istrinya menemani sambil menggendong cucu kecilnya. Kami harus menaiki beberapa undakan untuk dapat menginjak lantai teras belakang rumah itu. Dari tempat kami duduk, kami bisa melihat kandang sapi di sebelah kiri depan dan kamar mandi serta sumur di sebelah kanan depan. Jika kami menoleh lebih ke kanan lagi maka akan terlihat rumah lainnya. Jika kami kembali menoleh ke kiri, di sanalah Pak Wasilan, 58 tahun, duduk tegak dengan kedua siku bertelekan lengan kursi.
“Mau tanya apa?” tanyanya. Kami segera ingat akan daftar pertanyaan kami.
Pak Wasilan sudah sejak kecil tinggal di sini, sudah turun temurun. Kini ia menempati rumahnya bersama 4 orang anggota keluarganya: istrinya, anak lelakinya, menantunya, dan cucunya. Di hadapan kami istrinya sesekali ikut menimbrungi percakapan sambil asik mengemong cucunya. Sementara itu ayah dan ibu cucunya sempat terlihat bersama di dekat sumur.
Ia baru aktif bekerja sebagai petani selama 2 tahun ini, yaitu sejak ia pensiun sebagai buruh rakyat di pemerintahan alias PNS. Aktivitasnya kini menanami hutan pemerintah dengan jagung, ketela, kacang, dan kedelai secara tumpang sari. Ia memiliki lahan seluas 1 hektar namun letaknya terpisah-pisah dan ia tidak harus membayar untuk itu. Air untuk membasahi tanaman-tanamannya didapatkan hanya dengan mengandalkan hujan saja. “Kalau nggak ada ya sudah. Mau minum aja beli. Ada sumur tapi ada sumbernya dan bayar setiap bulan tergantung pemakaiannya berapa m3,” tambahnya. Ia tidak ikut kelompok tani mana pun karena tidak sempat ikut mendaftar.
Penghasilannya dari bertani tidak seberapa. Dalam setahun ia hanya mendapatkan sekitar 4 juta dari tengkulak. Semuanya hanya untuk keluarga dan tidak dibagi untuk mantri. Namun ia bisa mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjual sapi-sapinya—yang diberinya makan macam-macam dari hutan seperti kolonjono, jagung, dan salam. Juga dari kebun jati yang membentang di belakang kandang.
Ceritanya tentang kebijakan di kawasan hutan sini hampir mendominasi pembicaraan. Sebelum ada Gerakan Nasional, hutan dikerjakan oleh Dinas Kehutanan. Lahan dibuka sekian hektar dan beberapa ratus Kepala Keluarga dipekerjakan untuk menanaminya dengan jangka waktu pemanfaatan lahan paling lama 3 tahun. Menurutnya ini adalah kebijakan yang bagus dan tepat sekali. Pembicaraan terus berlanjut diisi dengan isu-isu menarik yang tak sempat kami torehkan dalam catatan. Kami mungkin tak begitu paham juga.
Azan maghrib mulai mengiang-ngiang. Langit sudah gelap benar. Kami mengundurkan diri hendak pulang meski kebingungan masih mencokoli kepala: hendak lewat jalan yang mana ke penginapan? Kami tidak hapal jalan dan tidak pula membawa penerangan. Biarlah intuisi yang membawa kami.
Kami bangkit dari kursi dan mengitari samping rumah untuk sampai kembali di jalan berbatu.
“Kanan apa kiri nih?
“Kayaknya kiri deh.”
Kami berjalan ke kiri dan menanamkan niat untuk menembus gelap, apapun nanti yang akan kami temui di jalan. Tapi sepertinya lebih baik kembali ke penginapan laki-laki di Menggoran. Jalan menuju ke sana lebih dikenali karena tinggal menyusuri aspal saja. Maka kami pun balik kanan. Tahu-tahu Pak Wasilan sudah berada di depan rumahnya. “Loh, kalian mau ke mana?”
“Ke penginapan, Pak.”
“Di mana?”
“Di rumah Pak....” Kami menyebutkan nama mandor hutan yang rumahnya jadi tempat kami menginap. Rupanya Pak Wasilan tidak begitu mengenalnya. Lalu kami bilang bahwa kami akan menelepon teman kami saja dan minta dijemput di depan. Kali ini, biarlah pulsa yang tersisa di hape yang akan menyelamatkan kami. Pak Wasilan mengatakan kalau ada apa-apa kembali saja ke rumahnya dan minta dijemput di sana. Rasanya terenyuh hati ini dengan kebaikannya namun kami tetap dengan niat kami untuk menunggu teman kami di depan saja, di dekat SDN Banyusoco. Pergilah kami dari halaman rumahnya. Kami tembus gelap yang sudah benar pekat hingga cahaya motor yang menjemput kami di ujung jalan menyilaukan mata. Purna sudah tugas kami melakukan inventarisasi sosial masyarakat desa hutan meskipun tidak semua poin di daftar pertanyaan dapat kami lontarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar