Jumat, 19 Februari 2010

Bertemu Pak Kemadiono, Pemusik Difabel di Malioboro


Kalau Anda pernah berjalan-jalan di Malioboro, khususnya di trotoar sebelah timur—tidak jauh dari selatan Mal Malioboro, dekat Hotel Mutiara—Anda mungkin ingat dengan sosok seorang pemusik buta yang memainkan angklung dan kecrekan. Bukankah menarik, seorang difabel yang dapat memainkan alat musik? Di pinggir jalan? Atraktif. Usahanya amat membuat salut. Yang normal saja bisanya hanya minta-minta.

Dalam rangka mengikuti Diklat Jurnalistik 2010 yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Teknik Industri UGM bekerja sama dengan Tim Diklat KOMPAS Jakarta tanggal 3 – 6 Februari 2010, saya berniat untuk mengangkat profil pemusik tersebut. Maka pada tanggal 4 Februari 2010, menjelang siang buta, dengan menaiki Trans Jogja saya menuju Maliboro.

Saya mendekati pria itu, yang sedang menjalankan profesinya. Saya menaruh dua lembar ribuan di wadah yang terletak di depannya. Saya lalu jongkok di sampingnya. Di tengah riuh lalu lalang orang-orang, saya mencoba menarik perhatiannya. Saya menegurnya dengan suara agak dikeraskan. Bapak tersebut akhirnya sadar dengan keberadaan saya. Saya ungkapkan maksud saya. Dia mendekatkan kepalanya. Menariknya lagi. Dari sakunya, dia keluarkan semacam earphone. Dia tempelkan di telinganya. Lalu kepalanya mendekat ke arah saya lagi.

Sepanjang percakapan kami yang amat tidak efektif itu, telinganya harus dekat dengan mulut saya dalam jarak kurang dari 10 cm.

Sebelumnya dia mengambil uang yang saya masukkan ke dalam wadahnya. Dia meraba-rabanya lalu memasukkannya ke kantongnya. Mungkinkah dia bisa memperkirakan berapa nominalnya? Apakah dia tahu bahwa uang itu berasal dari saya?

Hal pertama yang harus dilakukan sebelum mewawancarai orang tentu adalah menanyakan identitas orang tersebut. Ketika dia mengucapkan namanya, saya agak kurang jelas mendengarnya. Selain karena situasi di sana memang berisik, bapak ini juga agak kurang jelas bicaranya. Setelah beberapa kali mengulang ucapannya karena saya selalu salah tangkap, tanpa tedeng aling-aling dia merogoh saku celananya. Dia sodorkan KTP itu tepat di depan muka saya. KTP asli dengan foto dan tanda tangan yang berwenang.

Kemadiono. Bantul, 1 Maret 1956. KAWIN. Hanya itu yang saya catat dari kartu identitas yang diberikannya.

Siap untuk menanyakan hal-hal lainnya.

Pertama-tama yang saya tanyakan adalah, “Bapak sejak kapan di sini?” Dia menjawab dengan suara tidak jelas. Awalnya saya menulis di buku tulis saya “81 tahun”. Jelas saya bingung. Apakah dia setua itu? Saya bertanya lagi dan mendapatkan angka baru. 22.

Pak Kemadiono bisa Anda temui di tempat ini pada jam kerjanya yaitu dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore. Dia datang dan pergi dari tempat kerjanya itu dengan menggunakan becak sendirian. Maksudnya tentu saja bukan dia sendiri yang mengemudikan becaknya.

Dia mempunyai seorang istri, yang nampaknya tidak bekerja, dan belum memberinya anak. Mereka tinggal di kontrakan mereka di Minggiran, Kecamatan Mantrirejon, RT 59 RW 16.

Pak Kemadiono sudah cacat sejak lahir. Bagaimana dia bisa memainkan musik, menurut pengakuannya dia belajar sendiri. Dia bisa memainkan alat musik apa saja. Gitar. Kibor. Kemampuannya bermusik berkembang setelah dia memasuki SLB Manding di Jalan Parangtritis sejak berumur 25 tahun.

Lalu dengan suaranya yang tidak jelas, dia memberikan isyarat kepada saya bahwa pengunjungnya sepi. Ada pengunjung lewat. Dia mesti kembali bekerja. Tanpa mengacuhkan saya lagi, dia memainkan musiknya kembali. Jelas dia merasa terganggu dengan saya. Saya telah membuatnya kehilangan “pengunjung”nya. Mana hanya kasih 2000 perak lagi (itu pun kalau dia menyangka uang tersebut asalnya dari saya :p).

Baiklah, itu tandanya saya disuruh pergi. Jangan mengganggu dia lagi.

Padahal belum sempat saya menanyakan kepadanya poin-poin seperti berapa penghasilannya, bagaimana apresiasi pengunjung terhadapnya, bagaimana harapannya akan masa depannya, dan sebagainya.

Selamat bekerja kembali, Pak Kemadiono! Semoga perolehan Anda hari ini memuaskan!

Saya memasuki shelter Trans Jogja dengan mood buruk. Haha.

Selepas tengah hari, saya ke ruang diklat untuk mengumpulkan tulisan. Jadi hari itu agendanya adalah praktik lapangan. Setiap peserta ditugaskan meliput dan mengumpulkan tulisannya hari itu itu sebelum jam tiga sore. Pada akhirnya sih saya mengumpulkan tulisan tentang Jogja Bird Walk 2010, liputan basi.

Dalam serangkaian acara itu, ada seorang mas-mas yang pekerjaannya merekam keberlangsungan acara. Dia sepertinya bekerja untuk sebuah TV lokal. Saya juga sempat diwawancarainya di hari pertama. Pertanyaan yang dia ajukan waktu itu kepada saya antara lain adalah apakah saya sudah kepikiran hendak meliput apa untuk tugas nanti. Awalnya saya bilang saya ingin mengangkat eksistensi pedagang kecil. Maka, di hari kedua ini, mas-mas tersebut sempat mendekati saya lagi. Dia menegur saya (dan masih ingat nama saya sementara dia tidak memberitahukan namanya sendiri pada saya!), menanyakan apakah saya jadi mengangkat tentang pedagang kecil. Saya bilang tidak jadi. Saya ceritakan bahwa saya jadinya hendak mengangkat profil pemusik difabel di Malioboro tapi gagal. Lalu dia menyebut nama “Pak Kemad”. Saya langsung ngeh. Ya, Pak Kemadiono?! Dia bercerita, dulu dia juga pernah coba mewawancarainya. Lalu apakah berhasil? Saya bertanya. Sepertinya yang dia alami sama dengan saya. Waktu itu, Pak Kemad langsung menyodorkan KTP-nya. Masih KTP buatan yang terbuat dari HVS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...