27-29 Desember 2009. Di penghujung tahun, 52 orang mahasiswa jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan (KSDH) Fakultas Kehutanan UGM, yang terdiri dari angkatan 2007 dan angkatan 2008, terlibat dalam rangkaian acara Jelajah Kawasan Konservasi. Selama 2 hari 3 malam kami menyambangi beberapa titik di wilayah Jawa Timur: Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Kebun Raya Purwodadi, dan Taman Safari II Prigen. Dengan dukungan dari jurusan, acara yang diselenggarakan oleh Forestation (himpunan mahasiswa jurusan KSDH) ini menyerupai Kuliah Lapangan Jurusan. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan, yeah, ada laporan kelompok yang harus kami kumpulkan nantinya. Untuk semua kunjungan itu beserta fasilitias, hanya 300.000 rupiah yang harus kami bayar. Meski demikian, acara ini tetap menjadi tamasya selepas KBM semester ganjil bagi kami. Juga, refreshing menjelang ujian akhir semester.
Saat itu pukul 16.06 WIB. Kawasan Fakultas Kehutanan UGM tampak kelabu. Rinai hujan mengiringi kepergian kami semenjak dari sana, lalu melintasi Klaten, Solo, Sragen, hingga Ngawi. Bukan lagi hujan lokal (misalnya Fakultas Pertanian hujan, Fakultas Kehutanan tidak, padahal bersebelahan).
Di dalam bis KARYA JASA, kaki kami terjepit bangku di depan kami (kecuali yang duduk di bangku paling depan tentu saja). Dingin menggerogoti. Apalagi pakaian kami masih agak basah karena berhujan-hujan dari lapangan parkir utara—tempat kami kumpul di kampus—sampai gerbang tempat bis parkir. Kami menafikan segala ketidaknyamanan itu dengan bercengkerama bersama teman-teman yang duduk di bangku sekitar kami. Melewati Solo lalu Sragen, mereka yang berasal dari sana, seketika antusias menunjukkan tempat-tempat yang familiar bagi mereka. Mulai dari jalan masuk menuju rumah hingga tempat nongkrong kalau mau wifi-an gratis malam-malam.
Bis yang kami tumpangi sebetulnya baik fasilitasnya. AC. Bangkunya 2-2. TV-nya juga ada 2. Sejak dari Jogja kami dihibur oleh tayangan film Kungfu Panda. Mata saya sampai sakit dibuatnya. Bagaimana tidak, 1,5 jam lebih mata saya mendongak terus ke atas. Film selanjutnya yang diputar tidak terlalu seru. Saya bahkan sudah lupa judulnya. Tapi salah satu pemainnya adalah pengisi suara di Kungfu Panda. Sebuah film yang dimaksudkan sebagai komedi tapi kurang mak crot. Karena tidak ada lagi film yang seru, akhirnya beragam video musik diputar. Kalau lagunya mantap kami serentak menyanyi, kalau tidak si operator harus menerima deraan caci maki.
Sudah beranjak larut malam saat kami sampai di Ngawi. Kami berhenti di Rumah Makan DUTA untuk makan malam dan solat bagi yang melaksanakan. Menilik daftar harga di menunya, makanan di sini naudzubillah mahalnya. Padahal kenyang yang didapat mungkin tidak sampai setengah harganya. Semua makanan harganya berkisar di antara 10.000 rupiah. Ada beberapa pilihan menu untuk rombongan kami, yaitu ayam bakar, rawon, gulai kambing, dan satu lagi saya tidak ingat. Sejak di bis entah mengapa saya sudah berhasrat makan ayam bakar. Tapi setelah memesannya saya menyesal. Pertama, cuaca saat itu lebih mendukung untuk makan sesuatu yang berkuah ketimbang keringan. Kedua, ternyata harga rawon lebih mahal dari ayam bakar. Lepas makan, menuntaskan keperluan masing-masing, dan bercengkerama, perjalanan kembali dilanjutkan. Hampir sepanjang perjalanan saya tidur.
Kala itu sudah dini hari ketika panitia membangunkan kami. Sudah hampir sampai katanya. Tapi tidak jadi. Terminalnya ternyata sudah pindah (?). Tiada mengapalah. Bis membelah jalanan sunyi di suatu pedesaan. Pukul 3 pagi, sampailah kami di Terminal Sukapura. Kami disambut oleh para penjaja sarung tangan, kupluk, syal, dan semacamnya. Katanya dingin sekali di atas sana. Ya, memang sudah mulai terasa. Sementara kami menurunkan muatan dari bagasi, (kalau saya tidak salah ingat) 4 elf berbondong-bondong datang. Kami bahu membahu menaikkan kembali muatan kami di atap elf-elf itu. Muatan sudah di atap, masuklah kami ke dalam elf. Elf sudah penuh terisi, dibawalah kami melalui jalanan gelap yang berkelak-kelok naik ke atas. Kalau jendela dibuka, angin dingin akan menderu masuk. Meski kami duduk berdempet-dempetan, hawa dingin tetap membayangi. Elf memasuki halaman Pusat Pengunjung Cemorolawang Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Lagi-lagi beberapa penjaja barang-barang penghangat tubuh menyambut kami.
Di samping gedung utama, ada sebuah bangunan yang telah disediakan untuk tempat rombongan kami beristirahat. Bangunan tersebut memiliki ruangan utama dengan luas sekitar 8 m x 12 m. Tiga buah spring bed kotak besar digeletakkan begitu saja di lantai. Dua di antaranya tidak berplastik. Bagian tengah ruangan disangga 4 tiang kayu. Tujuh buah lampu neon berpencar di langit-langit. Ada 3 pintu. Satu pintu adalah pintu keluar masuk kami, 1 pintu berada di sisi seberang namun selalu tertutup, sementara 1 pintu lainnya adalah pintu menuju sebuah ruangan yang lebih kecil. Ruangan kecil tersebut seperti gudang dengan sebuah sofa dan tumpukan barang-barang tidak jelas. Ada pintu menuju kamar mandi pula di situ. Kamar mandi yang kerannya tidak menghasilkan air.
Sebagian dari kami langsung merebahkan diri dan barang bawaan ke kasur. Saya tidak kebagian tempat. Lagipula tidak ada pembatas antara putra dengan putri. Keduanya bisa tidur dalam kasur yang sama. Alih-alih menidurkan diri lagi, saya memanfaatkan waktu untuk bersih diri meski mendapat giliran paling akhir. Tidak mandi, tentu saja.
Gelap perlahan pudar. Sebagian teman ada yang berjalan-jalan ke luar. Seorang teman mengajak saya untuk ke luar juga. Dia mau foto-foto. Saya disuruh jadi juru fotonya, maksudnya. Tidak saya sangka, begitu saya ke luar ruangan, mengikuti teman saya itu berjalan tidak terlalu jauh menuju tepi jurang di belakang bangunan, subhanallah... Di sanalah lautan pasir membentang luas. Gunung Batok dan Kawah Bromo yang fenomenal itu (halah) duduk tenang namun kokoh di peraduan mereka. Menunggu dipandang. Mereka menikmati itu sebagaimana kami menikmati memandang mereka. Di belakang mereka, pengunungan entah-apa-namanya memanjang hingga tak terlihat. Memang kelabu masih belum sirna benar namun loreng-loreng yang dipamerkan Gunung Batok sudah memukau kami. Kawah Bromo anteng saja mengepulkan asap di sebelahnya. Mereka selalu siap sedia untuk berfoto bersama kami. Kiranya hampir semua anggota rombongan kami punya foto dengan pasangan Gunung Batok-Kawah Bromo di belakang punggung mereka. Entah sendiri atau pun bersama-sama. Seharusnya sepulang dari sini kami kompak mengganti foto profil kami di facebook dengan foto tersebut. Satu hal yang kami tidak sadari adalah, seharusnya kami berfoto di saat hari telah cerah benar. Mestilah foto yang kami dapatkan hasilnya akan lebih cemerlang ketimbang hasil foto saat subuh-subuh.
Puas berfoto-foto, kardus sarapan dan teh menyambut kami.
Di dalam Pusat Pengunjung Cemorolawang Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TN BTS)
Tempat ini adalah sebuah ruangan berbentuk segi 8 nyaris. Di seberang ruangan agak ke kanan, ada pintu yang tak terlihat menuju kamar mandi dan pintu di seberangnya adalah pintu menuju dunia lain. Oh, tidak. Di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan bersegi 8 lagi dengan deretan bangku plastik merah (seperti bangku halte bis) dalam 3 banjar menurun ke bawah. Ada viewer di sana. Juga meja kayu panjang dan kursi-kursi di baliknya yang menghadap ke arah berlawanan. Jelaslah ini ruangan apa.
Kita kembali ke luar ruangan-untuk-presentasi-apapun-itu. Ruangan depan sekilas seperti museum. Sebuah meja yang sepertinya adalah pos kerja petugas informasi menyambut kami. Setiap sisi dinding dipasang oleh papan ber-background merah dengan lampu neon di atasnya. Ada juga meja-meja kaca. Keduanya menampilkan informasi dan benda-benda yang ada hubungannya dengan taman nasional ini.
Sebuah papan menampilkan informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan di TN BTS, yaitu penataan batas, pengamanan kawasan, pembinaan masyarakat dan generasi muda, inventarisasi flora dan fauna, serta monitoring kebersihan kawasan dan pengembangan wisata alam yang meliputi monitoring batas kawasan, patroli hutan, operasi gabungan, budidaya tanaman dan obat-obatan, bantuan ternak kambing kepada masyarakat, dan penyuluhan/bina cinta alam.
Sebuah papan yang lain menampilkan berbagai gangguan yang terjadi di TN BTS. Sebut saja pencurian kayu, kebakaran hutan, perambahan kawasan, pengambilan batu dari kawasan, pencurian bambu, dan pengarangan, semua ini dapat menurunkan potensi sumber daya alam.
Papan lainnya ada yang menampilkan prosesi upacara Kasada, juga tempat-tempat di sekitar kawasan seperti Ranu Kumbolo dan Ranu Pane—yang mengingatkan saya pada novel “5 cm”, dan penjelasan mengenai taman nasional itu sendiri. Mau tahu? Taman nasional ialah kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi untuk tujuan penelitian, rekreasi dan wisata alam, pendidikan dan interpretasi, penunjang budidaya, dan pelestarian plasma nutfah.
Sementara itu pada meja display, ada yang menampilkan batu-batu vulkano yang ditemukan di kawasan, ada juga yang sekedar tempat untuk memajang buah-buahan palsu serta sepasang tanduk kerbau, yang dijadikan properti foto oleh kami. Sebuah meja display besar berbentuk kotak yang berada di tengah ruangan menampilkan peta timbul kawasan TN BTS.
Pagi itu acara kami adalah materi ruangan. Kami telah duduk manis di bangku-bangku merah dengan plastik cemilan di pangkuan kami. Video karaoke Didi Kempot menyambut. Namun pembicara yang seharusnya mengisi materi tidak kunjung datang. Beberapa dari kami pergi ke ruang operator. Di sana kami menemukan beberapa film tentang TN BTS, di samping DVD-DVD bajakan dan VCD-VCD karaokean. Kami pun berinisiatif untuk memutarkan salah satu film tentang TN BTS, yatu tentang pendakian Gunung Semeru. Teman-teman tampak tertarik dan menonton film tersebut sampai akhir. Film-film lain dengan judul yang berbeda tentang TN BTS pun kami putar lagi. Antara lain tentang perlindungan dan pengamanan hutan hingga wisata pendidikan. Beberapa masalah muncul. Teman-teman tampaknya sudah bosan dengan film semacam itu dan lebih memilih untuk tidur, berfoto-foto di luar, atau mengerjakan kegiatan-kegiatan tidak produktif lainnya. Film “4bia” berhasil memikat kembali teman-teman tapi tidak lama. Pembicara yang ditunggu-tunggu akhirnya datang jua. Saat itu sudah pukul 9 pagi. Entah sudah berapa jam kami menunggu sebelum itu.
Pembicara yang kami tunggu adalah Ir. Eni Endah Suwarni, M. Sc., Kepala Bidang Teknis Konservasi TN BTS. Wanita berkerudung asal Nganjuk ini sudah lebih dari 2 tahun bekerja di Seksi Pengelolaan TN I Organisasi Balai Besar TN BTS. Sebelumnya beliau bekerja di Manggala (Departemen Kehutanan pusat di Jakarta). Beliau telat karena mobilnya mogok. Justru setelah pembicara datang, saya malah tak kuasa menahan kantuk. Hampir di sepanjang acara saya ketiduran. Saya hanya mencatat sedikit-sedikit saja sewaktu saya sadar. Pada intinya, ini adalah materi tentang pengelolaan kawasan di TN BTS. Setelah pemberian materi selama kurang lebih setengah jam, kami berfoto-foto di depan bangunan. Penjaja cindera mata mendekat. Udara masih dingin. Kiranya saya bisa memahami mengapa Belle & Sebastian membuat lagu-lagu semacam “Another Sunny Day”, “Here Come The Sun”, atau “A Sleep On A Sunbeam”. Di negara mereka mesti sinar matahari hanya datang sesekali seperti yang saat itu saya alami.
(bersambung)
Saat itu pukul 16.06 WIB. Kawasan Fakultas Kehutanan UGM tampak kelabu. Rinai hujan mengiringi kepergian kami semenjak dari sana, lalu melintasi Klaten, Solo, Sragen, hingga Ngawi. Bukan lagi hujan lokal (misalnya Fakultas Pertanian hujan, Fakultas Kehutanan tidak, padahal bersebelahan).
Di dalam bis KARYA JASA, kaki kami terjepit bangku di depan kami (kecuali yang duduk di bangku paling depan tentu saja). Dingin menggerogoti. Apalagi pakaian kami masih agak basah karena berhujan-hujan dari lapangan parkir utara—tempat kami kumpul di kampus—sampai gerbang tempat bis parkir. Kami menafikan segala ketidaknyamanan itu dengan bercengkerama bersama teman-teman yang duduk di bangku sekitar kami. Melewati Solo lalu Sragen, mereka yang berasal dari sana, seketika antusias menunjukkan tempat-tempat yang familiar bagi mereka. Mulai dari jalan masuk menuju rumah hingga tempat nongkrong kalau mau wifi-an gratis malam-malam.
Bis yang kami tumpangi sebetulnya baik fasilitasnya. AC. Bangkunya 2-2. TV-nya juga ada 2. Sejak dari Jogja kami dihibur oleh tayangan film Kungfu Panda. Mata saya sampai sakit dibuatnya. Bagaimana tidak, 1,5 jam lebih mata saya mendongak terus ke atas. Film selanjutnya yang diputar tidak terlalu seru. Saya bahkan sudah lupa judulnya. Tapi salah satu pemainnya adalah pengisi suara di Kungfu Panda. Sebuah film yang dimaksudkan sebagai komedi tapi kurang mak crot. Karena tidak ada lagi film yang seru, akhirnya beragam video musik diputar. Kalau lagunya mantap kami serentak menyanyi, kalau tidak si operator harus menerima deraan caci maki.
Sudah beranjak larut malam saat kami sampai di Ngawi. Kami berhenti di Rumah Makan DUTA untuk makan malam dan solat bagi yang melaksanakan. Menilik daftar harga di menunya, makanan di sini naudzubillah mahalnya. Padahal kenyang yang didapat mungkin tidak sampai setengah harganya. Semua makanan harganya berkisar di antara 10.000 rupiah. Ada beberapa pilihan menu untuk rombongan kami, yaitu ayam bakar, rawon, gulai kambing, dan satu lagi saya tidak ingat. Sejak di bis entah mengapa saya sudah berhasrat makan ayam bakar. Tapi setelah memesannya saya menyesal. Pertama, cuaca saat itu lebih mendukung untuk makan sesuatu yang berkuah ketimbang keringan. Kedua, ternyata harga rawon lebih mahal dari ayam bakar. Lepas makan, menuntaskan keperluan masing-masing, dan bercengkerama, perjalanan kembali dilanjutkan. Hampir sepanjang perjalanan saya tidur.
Kala itu sudah dini hari ketika panitia membangunkan kami. Sudah hampir sampai katanya. Tapi tidak jadi. Terminalnya ternyata sudah pindah (?). Tiada mengapalah. Bis membelah jalanan sunyi di suatu pedesaan. Pukul 3 pagi, sampailah kami di Terminal Sukapura. Kami disambut oleh para penjaja sarung tangan, kupluk, syal, dan semacamnya. Katanya dingin sekali di atas sana. Ya, memang sudah mulai terasa. Sementara kami menurunkan muatan dari bagasi, (kalau saya tidak salah ingat) 4 elf berbondong-bondong datang. Kami bahu membahu menaikkan kembali muatan kami di atap elf-elf itu. Muatan sudah di atap, masuklah kami ke dalam elf. Elf sudah penuh terisi, dibawalah kami melalui jalanan gelap yang berkelak-kelok naik ke atas. Kalau jendela dibuka, angin dingin akan menderu masuk. Meski kami duduk berdempet-dempetan, hawa dingin tetap membayangi. Elf memasuki halaman Pusat Pengunjung Cemorolawang Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Lagi-lagi beberapa penjaja barang-barang penghangat tubuh menyambut kami.
Di samping gedung utama, ada sebuah bangunan yang telah disediakan untuk tempat rombongan kami beristirahat. Bangunan tersebut memiliki ruangan utama dengan luas sekitar 8 m x 12 m. Tiga buah spring bed kotak besar digeletakkan begitu saja di lantai. Dua di antaranya tidak berplastik. Bagian tengah ruangan disangga 4 tiang kayu. Tujuh buah lampu neon berpencar di langit-langit. Ada 3 pintu. Satu pintu adalah pintu keluar masuk kami, 1 pintu berada di sisi seberang namun selalu tertutup, sementara 1 pintu lainnya adalah pintu menuju sebuah ruangan yang lebih kecil. Ruangan kecil tersebut seperti gudang dengan sebuah sofa dan tumpukan barang-barang tidak jelas. Ada pintu menuju kamar mandi pula di situ. Kamar mandi yang kerannya tidak menghasilkan air.
Sebagian dari kami langsung merebahkan diri dan barang bawaan ke kasur. Saya tidak kebagian tempat. Lagipula tidak ada pembatas antara putra dengan putri. Keduanya bisa tidur dalam kasur yang sama. Alih-alih menidurkan diri lagi, saya memanfaatkan waktu untuk bersih diri meski mendapat giliran paling akhir. Tidak mandi, tentu saja.
Gelap perlahan pudar. Sebagian teman ada yang berjalan-jalan ke luar. Seorang teman mengajak saya untuk ke luar juga. Dia mau foto-foto. Saya disuruh jadi juru fotonya, maksudnya. Tidak saya sangka, begitu saya ke luar ruangan, mengikuti teman saya itu berjalan tidak terlalu jauh menuju tepi jurang di belakang bangunan, subhanallah... Di sanalah lautan pasir membentang luas. Gunung Batok dan Kawah Bromo yang fenomenal itu (halah) duduk tenang namun kokoh di peraduan mereka. Menunggu dipandang. Mereka menikmati itu sebagaimana kami menikmati memandang mereka. Di belakang mereka, pengunungan entah-apa-namanya memanjang hingga tak terlihat. Memang kelabu masih belum sirna benar namun loreng-loreng yang dipamerkan Gunung Batok sudah memukau kami. Kawah Bromo anteng saja mengepulkan asap di sebelahnya. Mereka selalu siap sedia untuk berfoto bersama kami. Kiranya hampir semua anggota rombongan kami punya foto dengan pasangan Gunung Batok-Kawah Bromo di belakang punggung mereka. Entah sendiri atau pun bersama-sama. Seharusnya sepulang dari sini kami kompak mengganti foto profil kami di facebook dengan foto tersebut. Satu hal yang kami tidak sadari adalah, seharusnya kami berfoto di saat hari telah cerah benar. Mestilah foto yang kami dapatkan hasilnya akan lebih cemerlang ketimbang hasil foto saat subuh-subuh.
Puas berfoto-foto, kardus sarapan dan teh menyambut kami.
Di dalam Pusat Pengunjung Cemorolawang Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TN BTS)
Tempat ini adalah sebuah ruangan berbentuk segi 8 nyaris. Di seberang ruangan agak ke kanan, ada pintu yang tak terlihat menuju kamar mandi dan pintu di seberangnya adalah pintu menuju dunia lain. Oh, tidak. Di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan bersegi 8 lagi dengan deretan bangku plastik merah (seperti bangku halte bis) dalam 3 banjar menurun ke bawah. Ada viewer di sana. Juga meja kayu panjang dan kursi-kursi di baliknya yang menghadap ke arah berlawanan. Jelaslah ini ruangan apa.
Kita kembali ke luar ruangan-untuk-presentasi-apapun-itu. Ruangan depan sekilas seperti museum. Sebuah meja yang sepertinya adalah pos kerja petugas informasi menyambut kami. Setiap sisi dinding dipasang oleh papan ber-background merah dengan lampu neon di atasnya. Ada juga meja-meja kaca. Keduanya menampilkan informasi dan benda-benda yang ada hubungannya dengan taman nasional ini.
Sebuah papan menampilkan informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan di TN BTS, yaitu penataan batas, pengamanan kawasan, pembinaan masyarakat dan generasi muda, inventarisasi flora dan fauna, serta monitoring kebersihan kawasan dan pengembangan wisata alam yang meliputi monitoring batas kawasan, patroli hutan, operasi gabungan, budidaya tanaman dan obat-obatan, bantuan ternak kambing kepada masyarakat, dan penyuluhan/bina cinta alam.
Sebuah papan yang lain menampilkan berbagai gangguan yang terjadi di TN BTS. Sebut saja pencurian kayu, kebakaran hutan, perambahan kawasan, pengambilan batu dari kawasan, pencurian bambu, dan pengarangan, semua ini dapat menurunkan potensi sumber daya alam.
Papan lainnya ada yang menampilkan prosesi upacara Kasada, juga tempat-tempat di sekitar kawasan seperti Ranu Kumbolo dan Ranu Pane—yang mengingatkan saya pada novel “5 cm”, dan penjelasan mengenai taman nasional itu sendiri. Mau tahu? Taman nasional ialah kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi untuk tujuan penelitian, rekreasi dan wisata alam, pendidikan dan interpretasi, penunjang budidaya, dan pelestarian plasma nutfah.
Sementara itu pada meja display, ada yang menampilkan batu-batu vulkano yang ditemukan di kawasan, ada juga yang sekedar tempat untuk memajang buah-buahan palsu serta sepasang tanduk kerbau, yang dijadikan properti foto oleh kami. Sebuah meja display besar berbentuk kotak yang berada di tengah ruangan menampilkan peta timbul kawasan TN BTS.
Pagi itu acara kami adalah materi ruangan. Kami telah duduk manis di bangku-bangku merah dengan plastik cemilan di pangkuan kami. Video karaoke Didi Kempot menyambut. Namun pembicara yang seharusnya mengisi materi tidak kunjung datang. Beberapa dari kami pergi ke ruang operator. Di sana kami menemukan beberapa film tentang TN BTS, di samping DVD-DVD bajakan dan VCD-VCD karaokean. Kami pun berinisiatif untuk memutarkan salah satu film tentang TN BTS, yatu tentang pendakian Gunung Semeru. Teman-teman tampak tertarik dan menonton film tersebut sampai akhir. Film-film lain dengan judul yang berbeda tentang TN BTS pun kami putar lagi. Antara lain tentang perlindungan dan pengamanan hutan hingga wisata pendidikan. Beberapa masalah muncul. Teman-teman tampaknya sudah bosan dengan film semacam itu dan lebih memilih untuk tidur, berfoto-foto di luar, atau mengerjakan kegiatan-kegiatan tidak produktif lainnya. Film “4bia” berhasil memikat kembali teman-teman tapi tidak lama. Pembicara yang ditunggu-tunggu akhirnya datang jua. Saat itu sudah pukul 9 pagi. Entah sudah berapa jam kami menunggu sebelum itu.
Pembicara yang kami tunggu adalah Ir. Eni Endah Suwarni, M. Sc., Kepala Bidang Teknis Konservasi TN BTS. Wanita berkerudung asal Nganjuk ini sudah lebih dari 2 tahun bekerja di Seksi Pengelolaan TN I Organisasi Balai Besar TN BTS. Sebelumnya beliau bekerja di Manggala (Departemen Kehutanan pusat di Jakarta). Beliau telat karena mobilnya mogok. Justru setelah pembicara datang, saya malah tak kuasa menahan kantuk. Hampir di sepanjang acara saya ketiduran. Saya hanya mencatat sedikit-sedikit saja sewaktu saya sadar. Pada intinya, ini adalah materi tentang pengelolaan kawasan di TN BTS. Setelah pemberian materi selama kurang lebih setengah jam, kami berfoto-foto di depan bangunan. Penjaja cindera mata mendekat. Udara masih dingin. Kiranya saya bisa memahami mengapa Belle & Sebastian membuat lagu-lagu semacam “Another Sunny Day”, “Here Come The Sun”, atau “A Sleep On A Sunbeam”. Di negara mereka mesti sinar matahari hanya datang sesekali seperti yang saat itu saya alami.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar