Rieka
yang mahasiswi Fakultas Hukum sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Menyelesaikan
studi dalam tempo 3,5 tahun dan menjadi aktivis BEM tercatat di organizer miliknya, pun tanggal dan
jam di mana ia akan menyalakan Skype untuk bersua yang tersayang. Di organizer pula tertera daftar mengenai
apa saja yang harus Rieka ingatkan pada Dean tiap kali terhubung. Jangan lupa
makan, yang banyak, yang teratur! Jangan lupa salat. Jangan lupa kunci pintu
apartemen. Jangan lupa pakai jaket. Jangan lupa buang sampah. Jangan lupa
cuci piring. Jangan lupakan aku.
Mereka
dipisahkan rentang 12 jam. Ketika Rieka usai kuliah, Dean sedang meneguk kopi
di seberang dengan mata terancam mengatup sewaktu-waktu. Rieka menawarkan
diri agar ia yang begadang sekali-kali, tapi Dean tidak mau.
Siang
Rieka sibuk. Dean menawarkan sore, di mana pagi bagi Rieka pun sibuk. Dean yang
pagi, Rieka sedang sore, tapi Dean belum bangun. Bangun atuh, salat subuh enggak sih? Dean cengengesan. Rieka tidak bisa
mengingatkan Dean lewat telepon sebagaimana dulu. Dean mengajukan sore saja
untuk Rieka, biar Dean yang pagi termotivasi untuk bangun. Tapi kadang Rieka
punya acara saat sore. Ya sudah
kalau begitu mah kayak begini lagi aja…
Rieka
minggat sebentar, lalu kembali dan mendapati Dean ketiduran bertelekan meja
atau bersandar di kursi. Namun Rieka bergeming. Menonton cowok itu tertidur,
sampai waktu bagi Rieka untuk mengerjakan aktivitas lain. Boston sejuk saat musim
panas dan bersalju saat musim dingin, Dean kembali jadi jumper mania. Potongan rambut cepak saja. Wajah menirus. Tidak
tampak lagi kesan metroseksual dari dirinya.
Tahun
pertama di Boston Dean memutuskan untuk memperpanjang masa orientasinya. Ia
berlatih piano secara intensif dengan bimbingan teman Pak Al yang notabene mengajar
di Berklee, serta bekerja paruh waktu. Biaya hidup di sini mahal, Neng, kata
Dean, seolah sang ibunda tidak memberi subsidi yang cukup. Tentu Dean pun
melihat peluang berupa program beasiswa unggulan dari Kemendikbud RI, tapi
mendapat beasiswa atau tidak menurut Bunda Dean harus segera melanjutkan pendidikan.
Tahun
kedua di Boston Dean mengambil jurusan Performance
dan entah apa lagi… Yang lebih penting bagi Rieka adalah bagaimana Dean menikmati
hidupnya yang baru. Banyak istilah baru dalam dunia musik yang harus Dean
kuasai, begitu jelimet, bikin ruwet. Dean mulai risau akan GPA. Piano dan
akademis bukan kombinasi bagus, menurut Dean, ia masih melihat dua hal
tersebut bagaikan minyak dan air. Belum masalah lain. Pandai berteman tidak
menjamin segalanya selalu berjalan lancar. Lagipula di Boston tidak ada
emang-emang yang bisa Dean ajak mengobrol sewaktu-waktu. Dean paham culture shock yang ia alami, lagipula ia
pernah tinggal di Boston sebelumnya sejak bayi hingga balita, namun
mendengarnya mengeluh membuat Rieka gulana.
Pernah
Dean bilang, ia membentuk grup musik bersama beberapa teman yang asyik, dan nama
grup tersebut adalah Riekaholic.
Pernah
Dean bilang, ia ingin kembali ke Indonesia saja, lalu menjadi mahasiswa di fakultas
samping fakultas Rieka.
Pernah
Dean bilang, ia menjadi sukarelawan di pusat kegiatan remaja setempat, dan
mengajari anak-anak bermain musik itu ternyata menyenangkan.
Rieka
harap Dean tidak bosan dengan berbagai upaya Rieka agar cowok itu selalu
optimis. Rieka bilang pada Dean bahwa ia bayangkan Dean mampu menjadi
setaraf Richard Clayderman, Bubi Chen, dan berbagai nama lain yang sengaja
Rieka telusuri sebelumnya di internet.
“Kalau
suatu saat kamu konser di Indonesia, aku janji bakal nonton kamu di paling
depan,” entah kalimat ini sudah Rieka ucapkan berapa kali.
Tahun
ketiga di Boston mereka memasuki fase baru dalam hubungan mereka. Dean, kamu
jangan ngerokok lagi. Rieka, si Juwi bilang kamu jalan sama Ryan ya, siapa
tuh Ryan. Dean, kenapa sih enggak di sini enggak di sana teman-teman kamu
tipenya kayak begitu terus. Rieka, aku nungguin kamu dua jam, besok aku ada
tes, dan enak banget kamu bilang kalau kamu mendadak ada acara, kenapa sih
kamu enggak ngomong dari sebelumnya. Dean, kamu tuh enggak pernah dengerin kata-kata
aku. Rieka, aku enggak bisa terus-terusan berusaha jadi Deraz, aku nyerah.
Dean
meninggalkan layar begitu saja. Tinggal sandaran kursi yang berhadapan dengan
Rieka.
Siapa,
Dean, siapa…
…siapa
yang menyuruh kamu untuk jadi Deraz…
Rieka
menutup muka. Tersengguk.
*akhirnanowrimo2012*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar