Sebelumnya, lewat grup WhatsApp, panitia telah mengimbau agar peserta membawa alat makan dan minum sendiri, serta sebotol plastik bekas minimal ukuran 250 ml karena akan dibagikan eco enzyme. Peserta bisa ikut berbagi makanan yang berupa menu vegan/vegetarian agar selaras dengan tema acara, tapi tidak wajib. Peserta bisa pula membeli makanan dari restoran tempat acara. Air minum untuk isi ulang disediakan.
Aneka nyamikan dijamin sehat. Foto oleh @aktivasi_anis. |
Tempe Pak Agus boleh dibawa pulang untuk oleh-oleh. Foto oleh @aktivasi_anis. |
Adakalanya di rumah saya cuma makan yang semacam sop, tahu, dan tempe--maksudnya, tanpa daging--yang secara tidak semena-mena mungkin bisa dianggap sebagai menu vegetarian. Tapi menu makan siang kali ini terasa beda, entah kenapa. Mungkin, karena ada "label" dari acaranya itu. Menyegarkan, mengenyangkan, dan perkedel jagungnya ENAK BANGET. Kami makan sambil menikmati panorama Dago Atas yang sesekali beraroma tahi kuda.
Segala yang tampak menarik dicampur! |
Tahu-tahu, terdengar ada nyanyian pelan dari ruangan acara, oleh beberapa perempuan. Entah kenapa, saya berpikir bahwa itu semacam "bel", panggilan agar peserta kembali ke dalam sebab sesi selanjutnya hendak dimulai.
Begitu masuk ke ruangan, barulah kami mengetahui bahwa selagi kami menyantap makan siang sembari mengobrol ke sana kemari tadi, rupanya tengah dibagikan eco enzyme dari Rumah Alam Bahagia. Kami tidak kebagian deh, huhuhu. Melihat punya orang, cairannya berwarna cokelat gelap seperti jamu.
Sebelum Sesi 2 dimulai, tampil Ibu Manda dari SD Arunika Waldorf. Beliau menjelaskan tentang asal mula berdirinya sekolah Waldorf di Bandung. Lokasinya tidak jauh dari tempat acara ini. Diawali dengan training yang diperolehnya di luar negeri, beliau berinisiatif untuk merintis sekolah tersebut karena belum ada di Bandung. Sementara ini, bangunannya baru ada satu, yang terbuat dari bambu. Bahannya pun diperoleh dari kebun ibunya, dan dibuat oleh pamannya. Kelasnya pun baru ada kelas 1.
Meski kompromi atau jalan tengah tidak terhindarkan, Waldorf merupakan sekolah bebas tekanan, entahkah dari pemerintah, ekonomi, ataupun orang tua. Sekolah ini merupakan sumbangan semua orang, tidak ada yayasan. Peserta dapat berkontribusi dengan menyumbangkan donasi.
Memang di pojok belakang ruangan terdapat meja informasi tentang sekolah ini. Tiap kali saya melewatinya, meja itu tampak penuh. Sayang sekali saya tidak sempat bertanya-tanya.
SESI 2
Sesi kali ini diberikan oleh Callie Tai. Beliau seorang pelaku bisnis organik di Malaysia, khususnya berupa toko yang menjual produk-produk organik: Justlife. Sepertinya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bisnis organik itu tantangannya lebih berat. Tapi, beliau menyambung dengan materi pada sesi sebelumnya, pelaku gaya hidup organik itu seperti eco enzyme: cuma diperlukan satu tutup botol saja untuk memengaruhi banyak air.
Sesi dibuka dengan menerima pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan pertama tentang keadaan bisnis organik di Malaysia, yang dijawab dengan informasi bahwa ada sedikitnya 300-an toko organik di seluruh Malaysia. Selain itu, di banyak supermarket sudah ada bagian yang khusus menyediakan produk-produk organik. Pertanyaan kedua soal target pasar, yang akan dijawab nanti.
Beliau lalu menceritakan tentang riwayat bisnisnya, jatuh bangunnya selama 21 tahun. Sebenarnya beliau sudah merintis bisnis organik sejak 1999. Pada awalnya, ia menggunakan nama Organic Life Shop dengan toko seluas 600 meter persegi. Tapi, karena kata "organic" memiliki konotasi tertentu yang tampaknya kurang menarik orang (karena yang "organik" itu cenderung mahal?), maka pada 2001 namanya berganti menjadi Justlife.
Nama "Justlife" dipilih karena maksudnya berarti, "Just as life should be," atau, "Beginilah hidup seharusnya," "Just" juga dapat berarti "justice", yang mungkin maksudnya adalah keadilan bagi semua makhluk. (Mohon maaf, catatan saya kurang lengkap, hahaha.)
Gambar dari Facebook Justlife Shop. |
Logo Justlife berupa sehelai daun dengan sedikit bekas gigitan serta latar berwarna oranye. Daun menunjukkan bahwa produk-produk yang dijual berbahan nabati. Sedikit bekas gigitan menunjukkan sikap berbagi terhadap makhluk lain. Adapun warna oranye memiliki dampak psikologis untuk membangkitkan semangat, yang bisa berupa keberanian, nafsu makan, dan sebagainya.
Bisnis ini dijalankan oleh Ibu Callie bersama keluarganya. Mereka berasal dari jurusan kuliah yang berbeda-beda, punya profesi yang berlainan, tapi lalu bersatu dengan peran masing-masing: IT, accountant, marketing, graphic designer, lawyer, HR, bahkan kedua orang tua mereka pun mendukung dan terlibat sebagai advisor dan financier.
Ibu Callie menceritakan tentang almarhum ayahnya, yang merupakan sosok tipikal ayah Asia: jarang bicara, tapi sekalinya bicara mengandung kebijaksanaan. Ayahnya mengatakan bahwa apabila bisnis tidak memberikan untung, yang salah bukan pekerjanya melainkan bosnya. Atas masukan ayahnya pula, Ibu Callie sudah memberikan bonus kepada karyawannya sejak awal padahal baru sepuluh tahun kemudian bisnisnya dapat menghasilkan keuntungan.
Pada 2005, mereka membuka franchise serta cabang di mal agar lebih terlihat. Namun rupanya, seperti sekolah Waldorf, semangat organik itu tidak bisa dijadikan franchise sehingga usaha ini tidak dilanjutkan.
Mereka sempat membuat kafe pada 2016, tapi tutup pada 2019. Alasannya, tampaknya mereka tidak begitu pandai menyajikan masakan.
Mereka juga mengembangkan pertanian biodinamis. Pada 2016 mereka mulai memiliki kebun sendiri, dan pada 2018 membeli sawah.
Pada 2020 ini mereka baru membuka enam toko kecil yang lebih menyesuaikan dengan semangat organik.
Tantangan dan pembelajaran yang dihadapi selama perjalanan bisnis organik ini mencakup beberapa hal berikut:
- Uang. Mereka pernah mengalami kebakaran gudang. Untunglah banyak pemasok yang berbaik hati, meringankan pembayaran. Tapi, dari situ, Ibu Callie belajar bahwa bisnisnya harus benar-benar menghasilkan uang.
- Aturan pemerintah, sepertinya karena belum mencakup perkembangan produk organik.
- Orang, yang meliputi pekerja (team), pemasok (suppliers), dan pelanggan (costumers). Pekerja mestilah orang yang tepat, dan pemilik bisnis juga mesti terus membangkitkan semangat mereka dengan program-program bekerlanjutan. Dalam berhubungan dengan pemasok pun, perlu ada niat dan kepribadian yang baik. Terhadap pelanggan, tentu saja kita mesti dapat menyediakan kebutuan mereka.
- Produk. Kembangkanlah produk lokal. Ini sulit di Malaysia, tapi banyak potensi di Indonesia.
Dari tantangan dan pembelajaran di atas, Ibu Callie menarik tiga hal paling penting dalam bisnis organik, yaitu:
- Planet. Sudah jelas bisnis mesti ramah lingkungan, dan dapat menciptakan masyarakat yang baik bagi bumi.
- People, sebagaimana sudah diterangkan di atas.
- Profit. Bisnis harus menghasilkan uang, dan memberikan keuntungan!
Ketiga hal ini tidak bisa dicapai semuanya sekaligus, sehingga perlu ditentukan prioritas menurut keadaan.
Selanjutnya, Ibu Callie menunjukkan bagaimana mereka mendekorasi toko menggunakan barang-barang bekas. Beliau memberi tahu adiknya, yang bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut, "Money is also a resource. If you use a lot of money to be green, it's not green!"
Beliau juga menyampaikan secara lebih terperinci bagaimana mereka memperlakukan orang-orang yang berhubungan dengan mereka, mulai dari pekerja, pemasok, hingga pelanggan.
Mereka melakukan berbagai cara agar pekerja betah, di antaranya:
Di samping itu, mereka memiliki prinsip, "Pay farmers first." Ibu Callie menyatakan kutipan (yang mohon maaf saya khilfaf menyertakan sumbernya dalam catatan saya), "Our farmers, whom we trust beyond certification."
Terhadap pelanggan, mereka melakukan berbagai cara untuk mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan, misalnya dengan mempublikasikan majalah (yang sekarang tidak lagi karena sudah serbainternet), kampanye, workshop, karnaval, dan sebagainya. "Every dollar you spend is a vote for how you want the world to be," kata Ibu Callie. Beliau mengatakan bahwa banyak di antara pembeli mereka justru berasal dari kalangan menengah ke bawah. Sampai di sini, pertanyaan yang saya pendam-pendam sejak beberapa saat sebelumnya seperti terbungkam.
Sebelumnya, saya memikirkan perkataan Ibu Callie, "Money is also a resource. If you use a lot of money to be green, it's not green!" Soalnya, banyak produk yang berlabel organik atau hijau itu harganya di atas rata-rata. Setidaknya begitulah hasil pengamatan saya ketika suatu kali melihat-lihat di sebuah toko yang menjual produk-produk tersebut. Dengan begitu saya berpikir bahwa gaya hidup ini hanya terjangkau oleh kelas menengah atas. Kalangan berduit pas-pasan sepertinya masih akan lebih memilih untuk membeli produk-produk berlabel kuning di ****mart atau apalah yang ada di warung terdekat, biarpun nonorganik dan kemungkinan mengandung zat kimia berisiko. Nah, kalau bisnis organik bagaimanapun juga harus menghasilkan profit, bagaimanakah supaya harga produknya dapat ditekan seekonomis mungkin sehingga terjangkau oleh lebih banyak orang? Saya geregetan sekali ingin mengajukan pertanyaan ini. Sementara itu, saya juga memikirkan: seandainya ada semakin banyak pembeli produk-produk ini dari kalangan yang mampu, kemungkinan harganya bisa turun sehingga terjangkau oleh kalangan di bawahnya. Contohnya seperti ponsel yang sampai belasan tahun lalu hanya mampu dimiliki segelintir orang berkecukupan, tapi kini siapa pun dapat mengantonginya bahkan sampai lebih dari satu!
Ibu Callie menutup sesinya dengan menyebutkan beberapa faktor kunci keberhasilan:
Ibu Callie lalu memanggil Pak Agus, sang pengusaha tempe organik. Pak Agus memulai bisnis organiknya pada usia di atas usia Ibu Callie ketika baru memulai, seolah-olah hendak menunjukkan bahwa tidak ada kata terlambat. Pak Agus membenarkan perkataan Ibu Callie bahwa tidak ada persaingan dalam bisnis organik. Pak Agus memberikan ilmunya secara cuma-cuma, dan dengan begitu rezekinya malah bertambah-tambah. Pak Agus sempat menanyakan kepada hadirin soal kebalikan dari "organik". Ada yang menjawab, "Nonorganik." Bisa begitu. Tapi, jawaban Pak Agus, kebalikan dari "organik" adalah "ego" yang mewujud dalam sifat "tamak": ingin memproduksi sebanyak-banyaknya, sehingga semakin besar keuntungan yang didapat. Dari situ, kita bisa kembangkan sendiri maksudnya.
(Karena tulisan ini sudah sangat panjang, Sesi 3 saya lanjutkan pada entri berikutnya.)
Selanjutnya, Ibu Callie menunjukkan bagaimana mereka mendekorasi toko menggunakan barang-barang bekas. Beliau memberi tahu adiknya, yang bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut, "Money is also a resource. If you use a lot of money to be green, it's not green!"
Beliau juga menyampaikan secara lebih terperinci bagaimana mereka memperlakukan orang-orang yang berhubungan dengan mereka, mulai dari pekerja, pemasok, hingga pelanggan.
Mereka melakukan berbagai cara agar pekerja betah, di antaranya:
- Menyediakan masakan rumahan organik di kantor dan toko agar pekerja terbiasa dengan masakan sehat tersebut.
- Memberikan potongan apabila pekerja membeli produk dari toko.
- Memberikan pelatihan, misalnya dengan membawa pekerja mengunjungi langsung para petani yang menghasilkan bahan baku produk mereka.
- Memberikan subsidi apabila pekerja memasukkan anaknya ke sekolah Waldorf.
- Dan sebagainya yang tidak sempat saya catat semua, haha.
Di samping itu, mereka memiliki prinsip, "Pay farmers first." Ibu Callie menyatakan kutipan (yang mohon maaf saya khilfaf menyertakan sumbernya dalam catatan saya), "Our farmers, whom we trust beyond certification."
Terhadap pelanggan, mereka melakukan berbagai cara untuk mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan, misalnya dengan mempublikasikan majalah (yang sekarang tidak lagi karena sudah serbainternet), kampanye, workshop, karnaval, dan sebagainya. "Every dollar you spend is a vote for how you want the world to be," kata Ibu Callie. Beliau mengatakan bahwa banyak di antara pembeli mereka justru berasal dari kalangan menengah ke bawah. Sampai di sini, pertanyaan yang saya pendam-pendam sejak beberapa saat sebelumnya seperti terbungkam.
Sebelumnya, saya memikirkan perkataan Ibu Callie, "Money is also a resource. If you use a lot of money to be green, it's not green!" Soalnya, banyak produk yang berlabel organik atau hijau itu harganya di atas rata-rata. Setidaknya begitulah hasil pengamatan saya ketika suatu kali melihat-lihat di sebuah toko yang menjual produk-produk tersebut. Dengan begitu saya berpikir bahwa gaya hidup ini hanya terjangkau oleh kelas menengah atas. Kalangan berduit pas-pasan sepertinya masih akan lebih memilih untuk membeli produk-produk berlabel kuning di ****mart atau apalah yang ada di warung terdekat, biarpun nonorganik dan kemungkinan mengandung zat kimia berisiko. Nah, kalau bisnis organik bagaimanapun juga harus menghasilkan profit, bagaimanakah supaya harga produknya dapat ditekan seekonomis mungkin sehingga terjangkau oleh lebih banyak orang? Saya geregetan sekali ingin mengajukan pertanyaan ini. Sementara itu, saya juga memikirkan: seandainya ada semakin banyak pembeli produk-produk ini dari kalangan yang mampu, kemungkinan harganya bisa turun sehingga terjangkau oleh kalangan di bawahnya. Contohnya seperti ponsel yang sampai belasan tahun lalu hanya mampu dimiliki segelintir orang berkecukupan, tapi kini siapa pun dapat mengantonginya bahkan sampai lebih dari satu!
Ibu Callie menutup sesinya dengan menyebutkan beberapa faktor kunci keberhasilan:
- Passion. Meyakini kepercayaan diri, selama itu baik bagi bumi dan masyarakat.
- Menolong orang lain agar sukses, entahkah itu petani, produsen, sampai pengecer. Menurut Ibu Callie, membantu diri sendiri lebih bikin stres daripada membantu orang lain. Or, can I say, like, help yourself by help others or help others to help yourself, maybe?
- Grow organically. Tumbuhlah secara organik, tapi harus senang dalam melakukannya. Sebab, "Having fun is a serious business."
Pak Agus, pengusaha tempe organik. Foto oleh @aktivasi_anis. |
(Karena tulisan ini sudah sangat panjang, Sesi 3 saya lanjutkan pada entri berikutnya.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar