Rabu, 03 Februari 2010

Keluarga Jutek

Sejak hari pertama kami pindah ke lingkungan ini, kami sudah merasa betah dan kerasan. Banyak tetangga yang datang, mengajak berkenalan dan menawarkan bantuan. Tingkat kepedulian sosial di sini sangat tinggi. Gotong royong sudah mendarah daging dalam tubuh para pemukimnya. Dan senangnya pula, seperti sudah tradisi saja, para tetangga di sini suka saling mengirimkan makanan!

Keluargaku menanggapi sikap hangat para tetangga dengan positif. Dalam waktu dekat kami sudah seperti membentuk suatu sistem kekerabatan antar tetangga. Kami dekat satu sama lain dan senang apabila dapat saling membantu.

Tapi aku dan keluargaku sama sekali belum pernah melihat tetangga yang tinggal di samping kanan rumah kami keluar rumah. Sementara bila pada sore hari bapak-bapak duduk-duduk di teras sambil minum kopi, ibu-ibu berkumpul di pagar sambil ngerumpi dan anak-anak pergi ke luar rumah untuk bermain, tak satupun dari anggota keluarga yang tinggal di sebelah rumah kami ini menampakkan batang hidungnya. Rumah mereka selalu kelihatan sepi, seperti tak berpenghuni.

“Emang tu rumah udah berapa lama nggak ada orangnya?” tanya Inay, kakak perempuanku, yang kadang-kadang ikut berkumpul bersama para ibu meski seharusnya dia bergabung dengan anak SMA sebayanya.

“Siapa bilang nggak ada orangnya?” ujar Bu Endah, tetangga depan rumah. Ia yang paling dekat dengan keluarga kami di antara tetangga-tetangga lainnya karena paling sering mengirimkan makanan.

“Oh, ada ya?” tanya ibuku.

“Adalah! Mereka lagi ada keperluan keluarga ke Singapur, kunci rumahnya kan dititipin ke saya!” jawab Bu Endah agak membanggakan diri. Kami semua lalu memandang ke arah rumah besar itu. Memang bukan satu-satunya yang besar di kawasan ini, tapi
tu rumah emang bagus sih. Kesannya mewah dan elegan gitu.

“Ada yang ngejagain gak sih? Rumah segede gitu pasti banyak yang ngincer,” kataku ikut angkat suara. Di kelompok penggosip ini, aku yang usianya paling muda. Bersama-sama kakakku tentunya.

“Ada. Tapi jarang nampakkin diri.” Bu Endah setia menjawab.

“Kalo penghuninya, ada berapa orang? Anak-anaknya kayak gimana? Ada yang segede Inay nggak?”

“Anaknya dua orang, laki semua,” ujar Bu Ajeng. Aku dan Inay mengucapkan, “Wah!” bersama-sama.

“Ganteng-ganteng pula. Kira-kira sebayalah, dengan Neng Inay ma Neng Inon.”

“Tapi mereka emang jarang keluar rumah sih,” kata Bu Endah lagi. “Orangnya…rada-rada jutek!”

“Tapi anak-anak cowoknya nggak kan?” kata Inay antusias.

“Sama aja deh kayaknya, Neng,” timpal Bu Ajeng. “Rumah Ibu kan deket lapangan, tapi ibu nggak pernah liat mereka main di sana kok.”

“Ya, wajarlah, mereka kan lagi di Singapura,” kataku.

“Mungkin ibu aja kali, yang nggak hapal wajah mereka,” tambah Inay.

“Nggak kok, suer!”

“Inay! Inon! Masuk, beresin tuh dapur! Abis diapain sih sampai dapurnya ancur gitu?!” Bapak kami ternyata udah misuh-misuh di depan pintu rumah.

“Aduh, pasti tadi abis bikin kue, kita lupa ngeberesin lagi!” ujar Inay.

“Kan ada Bi Inah,” kataku.

“Bi Inah lagi pulang kampung, Bego! Cepetan ah!”

Inay menyeretku masuk rumah, meninggalkan ibu-ibu yang tambah asik ngerumpi. Dan sambil membersihkan dapur, gagasan itu tiba-tiba muncul di otak Inay.

“Non, pas mereka balik dari Singapur, kita gebetin mereka yuk!”

“Hah?! Gebetan lo udah ratusan kali!” teriakku.

**

Keesokan paginya, dari jendela kamarku di lantai 2, aku melihat sebuah Audi hitam menunggu di depan rumah di samping kanan kami. Pagar rumah tersebut terbuka dan terlihat tanda-tanda kehidupan.

“Inay! Inay!” teriakku.

“Apaan?!” Inay yang sedang mengancingkan seragamnya mendekat ke arahku, menengok ke arahku dan lalu ke arah rumah tersebut.

“Wah, tetangga sebelah rumah udah pulang, bow! Kita samperin yuk!”

“Gila lo! Pagi-pagi gini! Kenal juga nggak!” ujarku.

Lalu kami melihatnya. Orang cakep pertama. Milik Inay, memakai seragam SMA, bertubuh gagah, masuk ke dalam mobil. Eh, nggak deng, cuman masukin tasnya doang.

Lalu datang orang cakep kedua. Ini bagianku. Sama aja sih kayak kakaknya, cuman badannya agak lebih kecilan dikit aja. Berseragam SMP dan tampak sangat keren.

“Caaakeeeep…” ujarku dan Inay berbarengan. Kami terpesona melihat pemandangan indah di pagi hari itu.

“INAY! INON! KALIAN MO DI ATAS SAMPE JAM BERAPA?! KALAU KALIAN LAMA-LAMA BAPAK BISA TELAT! ANAK PEREMPUAN KOK MALES YA?!”

“Huuuuh… Babbeh!” teriakku dan Inay bersamaan.

**

Sore hari, waktunya ngerumpi

“Tetangga sebelah, kok mukanya gitu ya,” ujar ibuku sambil sesekali melirik ke arah rumah besar di samping rumah. Di halamannya yang luas, tampak seorang wanita berwajah judes sedang mengawasi halamannya itu. Lalu ada pembantunya yang sedang menyiram tanaman, berwajah judes juga.

“Ih, gila. Tampang pembantunya aja udah jutek gitu, apalagi yang punya rumahnya!” sungut Inay yang paling sebel kalo udah ngeliat wajah orang yang lagi jutek padahal nggak ada apa-apa yang pantes dijutekin.

“Udahlah, da biasanya juga emang gitu. Udah bawaan kali. Eh, udah ketemu sama anak-anaknya belum?” tanya Bu Endah.

Aku angkat bicara. “Ngeliat sih udah. Tapi baru tadi pagi aja, abis itu nggak lagi deh. Kita awasin terus rumah mereka, tapi merekanya nggak keluar-keluar.”

“Tapi, gila, cakep banget bo, apalagi itu tuh, yang udah SMA. Tante tau nggak namanya?” kata Inay semangat.

“Hmmh, anak ibu, bukannya belajar, main ma cowok terus kerjaannya!” kata ibuku jutek.

“Jangan gitu Bu, nanti wajahnya jadi kayak tetangga sebelah lo!” ujarku keras-keras—gak peduli bakal kedengeran ma orangnya apa nggak— sambil menirukan wajah terjutek yang aku punya, nyaris mirip dengan wajah si tetangga sebelah. Kami semua ketawa.

Malam harinya, Inay jadi semakin menggebu-gebu untuk bisa segera berkenalan dengan tetangga sebelah. Aku juga sama sih, tapi aku kan setia ma gebetanku yang di sekolah. Jadi aku memilih untuk bersikap pasif aja.

“Besok sore yuk, kita kirimin mereka kue!” seru Inay semangat, menutup obrolan kami malam itu.

**

Akhir-akhir ini hujan sering turun dengan lebatnya. Apalagi pas sore-sore. Dan bapak sangat bersyukur kegiatan ngerumpi yang sering berlangsung di pagar rumah dan mengganggu pemandangan sorenya itu terhenti untuk sementara. Dan batal deh jadinya rencana kami untuk mengirimkan tetangga sebelah kue. Kue-kue yang udah terlanjur dibuat dan batal dikirim itu pun akhirnya kami konsumsi sendiri.

Sampai datang suatu siang menjelang sore yang cerah. Aku dan Inay sedang semangat membuat kue untuk dikirim ke tetangga sebelah ketika ibu datang dengan muka kusut.

“Kenapa, Bu?” tanya Inay sambil menjilati adonan coklat di jarinya.

“Itu tuh, tetangga sebelah!” sungut ibu. “Disenyumin sama disapa baik-baik, ramah-ramah, hangat-hangat, eeeeh…bukannya ngebales, malah baeud coba! Ibu kayak dianggap angin lalu aja, dicuekin! Dan itu udah berlangsung beberapa kali! Sampai yang terakhir kalinya sebelum ini sih ibu masih sabar-sabar aja, tapi lama-lama kan nggak tahan! Jangan bikin kue buat tetangga sebelah, ah!”

“Eeeh, ibu! Ini kan udah terlanjur dibikin! Masak mo dimakan sendiri lagi sih? Bisa-bisa Inay tambah gendut!” Inay protes.

“Pokoknya jangan bikin. Awas, nggak nurut ma orangtua!” Ibu tetap bersikeras.

Inay langsung cemberut. “Kamu aja yang makan deh!” serunya sambil menyodorkan kue pertama yang baru jadi dan masih hangat karena baru keluar dari oven (iyalah, emangnya dari tong sampah!) itu ke arahku.

“Ih! Nggak! Sori! Gue juga lagi diet tau! Kasih aja ke kucing!” Aku menunjuk Epson, kucing yang baru kami pungut dari jalanan seminggu yang lalu. Gitu-gitu, tu kucing udah dibawa ke dokter hewan, dibersihkan dan divaksin lo. Soalnya kami sekeluarga nemuin dia pas dia lagi sekarat! Jadinya langsung kami bawa ke dokter hewan terdekat.

“Gila! Epson sekarat lagi gara-gara salah makan, baru tau rasa lo! Kasih bapak aja deh nanti!” Inay segera duduk di sofa terdekat sambil cemberut. “Tapi anak-anak cowoknya nggak ikut-ikutan judes kayak bonyoknya kan?”

Aku mengangkat bahu. Malam harinya giliran bapak yang marah-marah gara-gara mobilnya keserempet ma tetangga sebelah ketika sama-sama hendak memasukkan mobil. Dua-duanya nggak ada yang mo ngalah, sampai Pak RT datang dan mengclearkan masalah.

“Tapi anak-anak cowoknya nggak kayak gitu kaaaaaann?!” Inay tetap pada pendiriannya.

**

Pulang sekolah hari ini agak sorean karena aku main dulu di rumah temen. Tapi pulang sekolah sore-sore justru lebih enak daripada pas siang-siang ketika matahari masih panas-panasnya. Sore-sore kan adem!

Jalanan menuju rumahku udah mulai rame dengan rutinitas sorenya yang biasa. Aku senang memperhatikan ini dan rumah-rumah di sekitarku, apalagi ketika sudah mendekati rumah si tetangga sebelah. Di carport rumah tersebut terpasang sebuah ring basket dan tiap kali melihatnya aku selalu berkhayal sedang bermain basket bersama si cowok cakep tetanggaku itu.

Tapi kali ini rumah tersebut tampak rame. Ada sebuah mobil dan beberapa motor terparkir di depan rumah. Wah, pasti lagi banyak tamu nih. Dan ternyata memang iya. Sepertinya teman-teman si cowo cakep (kayaknya sih yang udah SMA) lagi pada main di situ. Dan ada beberapa cowok yang lagi nongkrong sambil main gitar dan tertawa-tawa pula di beranda rumah yang luas dan menghadap ke jalan itu.

Dan begitu aku melangkah melewati rumah tersebut, tawa mereka semakin keras. Sepertinya mereka sedang menunjuk-nunjuk ke arahku. Atau bukan? Kan yang ada di jalanan ini nggak hanya aku aja. Tapi…, kok perasaanku nggak enak, ya?

Aku menoleh.

“Tuh, liat, dia noleh!” salah satu dari mereka berteriak dan mereka segera ketawa-ketawa lagi. Aku cepat-cepat memalingkan muka. Semoga aja yang noleh ke arah mereka di jalanan ini nggak hanya aku aja. Amin! Amin! Amin!

“RRRRR! GOGOGOGOGOGOGOGOGOG!” Aku langsung berlari sekencang-kencangnya dari situ. Cowok-cowok nyebelin itu ketawa makin keras. Orang-orang di sekitar situ juga kaget melihat tiba-tiba ada gongongan keras dari arah rumah tersebut. Tapi sepertinya cowok-cowok tersebut cuman ketawa buat aku! Sesampainya di rumah yang cuman beberapa meter dari tempat kejadian, para bigos yang juga kaget langsung menyambutku.

“Ada apa sih? Ada apaan? Non, ada apaan?” Inay bertanya-tanya penasaran. Aku nggak menghiraukannya dan terus masuk ke dalam rumah sambil berteriak, “Gak tau! Gak tau! Gak tau!”

**

Sejak saat itu, selalu muncul gonggongan menyeramkan dari arah rumah sebelah. Gonggongan tersebut berasal dari seekor anjing (ya iyalah, emang kucing!) besar yang menyerupai herder yang terkenal karena galaknya itu.

Bu Endah dan Bu Ajeng bilang, keluarga tersebut memang sudah mempunyai anjing sejak dulu, tapi jarang dikeluarin karena mereka tau kalo anjing kesayangan yang hanya jinak pada mereka itu galak banget ma orang asing, apalagi tetangga baru! Kalaupun pernah, pasti dikeluarinnya pas malem-malem buta dan itu dilakukan khusus untuk olahraganya si anjing. Tapi entah kenapa sekarang si anjing yang nggak kalah jutek dari pemiliknya itu jadi disuruh nongkrong di balik pagar rumah setiap hari.

“Dan selalu di jam-jam saat kita mau ke luar rumah!” kata ibu antusias. “Kalian mo pergi ke sekolah, bapak ke kantor, anjingnya dikeluarin. Ibu mo ke warung, anjingnya dikeluarin. Jam kalian pulang sekolah, jam kalian main di luar, jam ibu ngerumpi, jam bapak pulang dari kantor, selaluuu aja, ada di anjing g***** sialan itu!”

“Ck! Udah dijadwal kayaknya!” potong bapak.

“Emang mereka dendam apa sih, ama kita? Gitu-gitu banget!” ujarku.

Inay yang ternyata udah jadi korban juga ikut berkomentar. “Tau nggak, waktu Selasa kemarin Inay ma temen-temen ke rumah, sama temen-temennya si cowo brengsek itu kita dikatain cewe kampungan coba! Belum pas anjingnya itu ngegonggongin, temen-temen Inay kan pada takut anjing. Puas deh diketawain! Padahal Inay kan sekolah di SMA elit se-Bandung, Inay nggak terimaaaa!” Inay sepertinya lupa pada kalimat tapi-anak-anak-cowonya-nggak-gitu-kan yang dulu sering diucapkannya.

“Kita apain ya, mereka?” ucap bapak. Semua anggota keluarga pun berpikir di tengah suasana makan malam tersebut.

Tiba-tiba Inay nyeletuk, “Bu, pingin BAB nih…”

“Ih! Pantesan dari tadi bau kentut! Cepetan ke belakang gih!” Kami semua, kecuali Inay, menutup hidung.

“Tapi nggak bisa keluar… udah berapa hari, nggak tau… takut ada apa-apa nih!”

“Ambil tuh, obat pencaharnya Om Burhan di kotak P3K!” ujar bapak cepat.

“Sejak kapan kita punya obat pencahar, Pak? Di keluarga kita kan nggak ada yang punya masalah yang kayak gituan. Yah… kecuali si Inay sekarang…” kata ibu sambil memandang Inay dengan pandangan prihatin.

“Ibu jangan gitu dong!”

“Waktu Om Burhan ke sini pas syukuran rumah, obatnya ketinggalan…”

“Ah! Bener! Anjingnya kita kasih obat pencahar aja!” seruku cepat. Semuanya langsung memandang ke arahku.

“Wah, dapet ide brilian darimana lo?!” jerit Inay sumringah.

“Tapi kalau malem-malem anjingnya pasti ditaruh di luar kan, buat jaga rumah,” sambung ibu.

“Ah, nggak mungkin. Mereka kan sayang banget sama anjingnya, Bu. Pak RT yang bilang kok, sampai-sampai di dalem rumah pun disediain ruangan khusus. Pasti anjingnya ada di dalem!”

“Tapi kalo malem-malem anjingnya kan suka dibawa ke luar!”

“Tapi tulang mainannya si Dogi kan ada tuh, suka ditinggalin di luar. Jadi, pas si anjing ma pemiliknya yang nganterin jalan-jalan itu udah pergi, kita menyelinap diam-diam. Orang-orang rumah pastinya udah pada tidur juga kan? Gak bakal ketahuanlah! Kita lumurin tulangnya pake obat pencahar, kan obatnya berupa sirup tuh. Trus pas si Dogi main-main ma tulangnya, berhasil deh rencana kita!”

Rencanaku itu disambut meriah oleh semuanya. Kami pun segera menyiapkan barang-barang yang kami perlukan. Kami menunggu sampai tengah malam, lalu bapak dan Inay (yang punya dendam paling besar) segera beraksi dengan pakaian serba hitam. Aku dan ibu salat tahajud di rumah, mendoakan keberhasilan untuk ini. Bapak dan Inay pun kembali ke rumah dengan selamat, tepat ketika si anjing dan pemiliknya kembali ke rumah mereka. Kami pun segera mengadakan pesta kecil-kecilan.

**

Beberapa hari setelah itu…

Aku dan Inay baru pulang dari bermain basket dari lapangan sore itu, ketika kami melihat si Nyonya Jutek a.k.a Tetangga Sebelah keluar dari rumah kami dengan tampang super kusut, super jutek, dan super marah. Ia melotot dengan penuh emosi begitu berpapasan dengan kami.

“Ada apa sih, Ma?” tanya Inay begitu melihat ibu sedang membereskan majalah di ruang tamu.

“Tau tuh, tetangga,” ujar ibu cuek. “Dia bilang anjingnya keracunan makanan gara-gara kita, padahal mana? Buktinya aja nggak ada. Kita kan tetangga yang ramah dan baik hati. Iya kan? Aneh-aneh aja. Menyelinap malam-malam katanya. Maling kali!”

Aku dan Inay tersenyum. Rencana kami berhasil. Tapi kegembiraan tersebut segera berganti jadi kesedihan. Keesokan harinya,

“EPSON MANAAAAAA?!” jerit Inay. Dia soalnya yang paling sayang ma Epson.

“Kita lapor polisi, Pak… Atau bikin selebaran buat nyari si Epson…” rengek ibu.

“Padahal dia begitu baik, begitu lucu, begitu lincah, temannya banyak…, Amelia kali! Pokoknya, sungguh banyak yang telah dia lakukan pada keluarga kami, hk, hk…,” aku nggak mau kalah sedih jadi aku menempelkan bawang di mataku supaya bisa menangis. Ya, Epson, kucing kesayangan kami hilang. Langsung saat itu juga keluargaku bergegas ke luar rumah untuk mencarinya. Aku ikut ke luar rumah dan menemukan si cowok cakep sebelah rumah yang sama denganku, masih duduk di bangku SMP, sedang men-dribble bola basket di depan rumahnya sambil berjongkok.

“Kamu liat Epson nggak?” tanyaku dengan mata sembab karena bawang. Nilai plus untukku karena sudah berhasil menegurnya duluan.

“Siapa Epson?”

“Kucing. Kucing kesayangan kami, dia hilang tak tentu rimbanya. Tahukah kau ke mana perginya?” Aduh, jadi dramatis gini… pasti gara-gara pengaruh bawang!

“Ikut eskul teater ya, Mbak? Nama kucing kok Epson, printer kali! Paling-paling dia udah dimakan ma si Vicky.”

“Siapa Vicky?”

“My Dogi. Nama panjangnya Victoria Adams Barbara Margareta Aurelia Saragosa Felicia Carmanita. Sekarang dia lagi dirawat inap di kelas VIP sebuah rumah sakit khusus hewan elit di Singapura. Pasti gara-gara diracunin ma keluarga lo tuh! Udah gitu makan kucing lo yang…ih, jorok itu pula. Jadi aja tambah sakit! Untung cuman mencret-mencret doang!”

“Anjing kok kayak manusia sih? Dikasih nama panjang-panjang, dimasukin ke kelas VIP, di Singapura pula. Mending duitnya tuh, ya, disumbangin ke fakir miskin! Lagian, suruh siapa makan kucing?”

“Emangnya lo siapa sih?! Suka amat ngurusin anjing orang. Kampring lo!”

“HAH?!”

Sejak itu aku nggak mau berurusan dengan keluarga itu lagi, apalagi keluargaku. Mereka tambah marah aja sewaktu tau si Epson ternyata sudah tewas dimakan Vicky. Perang pun semakin memanas, dan tiba-tiba datanglah sebuah keanehan.

Suatu sore, seperti biasalah, Bu Endah datang mengirimkan sebuah puding ke rumah kami.

“Aduh makasih, udah lama loh, Jeng nggak ngirim makanan ke sini lagi,” ibu menerima puding itu dengan senang hati.

“Oh, soal makanan sih, saya emang udah nggak niat ngirim ke sini lagi, hohoho, cuman bercanda kok. Tu puding bukan dari saya, tapi dari Nyonya Tetangga Sebelah….”

“HAH?! Nggak mau ah. Nih! Saya balikin! Takut ada apa-apanya!” ibu memaksa Bu Endah menerima puding itu kembali. Bu Endah segera menolaknya, dan memaksa tangan ibu untuk tetap memegangnya.

“Sama! Saya juga takut ada apa-apanya! Tapi Bu, kalo barang yang udah diterima nggak boleh dibalikin lagi loh!”

“Emangnya siapa yang nerima?”

“Sampeyan ini gimana? Wong dia ngasihnya dengan tulus ikhlas kok, ya terima saja! Lagian dia juga titip pesan, katanya mo berdamai! Kalo ibu terima, ibu mesti bales ngasih makanan lagi, yang artinya iya, saya mo damai!”

“Masak sih?”

“Percaya deh ama saya!”

Ibu termakan omongan Bu Endah dan kami sekeluarga memakan puding tersebut saat makan malam.

“Enak nih,” ujar Inay. “Si cowok cakepnya ikut bantuin juga nggak ya?”

“Heh, katanya udah ilfil! Tapi kok mereka masih mo damai ma kita, ya?” celetukku.

“Udah, makan jangan sambil ngomong. Ayo, ayo, nambah lagi. Makanan enak harus dihabiskan!” kata bapak sambil terus mengambili puding dan memakannya dengan lahap.

Dan beberapa lama setelah itu, kami semua sudah mengantri di depan pintu kamar mandi. Perut kami rasanya melilit seakan-akan minta semua isinya dikeluarkan!

“Ibuuuuuu! Cepetan dong, B-A-B-nya! Udah nggak tahan nih!” jerit Inay, menggedor-gedor pintu WC sambil memegangi perutnya yang melilit.

“Bentar dong! Duh, kenapa sih kita semua bisa pingin B-A-B-nya barengan?” bales ibu.

“Bapak mo numpang di rumah tetangga aja ah,” ujar bapak sambil buru-buru lari ke luar rumah.

“Ikut Pak! Ikut Pak!” seruku. Tapi mau melangkah pun rasanya susah!

“Ibuuuuuu! Keburu keluar nih, cepetan! Gila, rasanya kayak pas abis minum obat pencaharnya Om Burhan aja! Eh? Obat pencahar?”

“Itu dia! Obat pencahar alias obat pencuci perut!” seruku setuju, melupakan sensasi pingin BAB-ku sejenak.

“GILAAAA!” seru Inay histeris. “Gak kreatif amat tu keluarga. Plagiat, niru-niruin kita pake obat pencahar!”

“APAAA?!” seru ibu dari dalam WC. Lalu terdengar gumaman, “Awas, ya, si Bu Endah kalo ketemu nanti….”

“Jadi sekarang skornya berapa?” tanyaku.

Inay berkata dengan penuh dendam, “Gak peduli mereka skornya mo berapa (karena skor mereka udah beberapa angka di atas kita), yang penting kita mesti BALAS DENDAAAAAAAAAAM!”

**

Perang di antara keluarga kami, yah seperti yang sudah dapat diduga, makin parah aja. Si Vicky, yang udah pulang dari rumah sakit makin keras menggonggongi kami setiap waktu kami lewat rumah tersebut (“Lain kali kita racun beneran deh, biar koit sekalian!” kata ibu nafsu), dan kami pun lalu berinisiatif untuk memukuli anjing itu dengan buah-buahan busuk yang sengaja kami pesan dari warung tiap kali dia menggonggong, tak peduli seberapapun kerasnya dia begitu. Dan untungnya dia nggak pernah berani meloncati pagar rumah dan mengejar kami karena kami selalu sudah bersiap-siap untuk menimpukinya dengan batu kali yang gede-gede. Lalu kami pun berganti siasat perang dengan lomba menyetel radio-tape keras-keras. Mereka menyetel lagu-lagu cadas yang keras-keras, kami lawan dengan musik klasik, masyid atau qasidahan.

Ketika masalah kami menjadi semakin rumit, Pak RT lalu menghubungi RW, lurah dan camat untuk menyelesaikan masalah. Kami semua hadir di balai pertemuan setempat dalam persidangan kecil-kecilan. Dan hukuman yang diberikan pengadilan pada kami adalah : keluarga yang satu harus mengunjungi keluarga yang lainnya secara bergantian selama minimal 2 jam sehari dalam setahun/sampai salah satu keluarga pindah dengan diawasi oleh petugas kelurahan. Untuk menciptakan tali silaturahmi katanya. WADDUH!


2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain