Kejujuran adalah
salah satu kriteria dalam menilai suatu fiksi (Pujiharto, 2010), di samping
inovasi/kebaruan, orisinalitas/keaslian, koherensi/kepaduan,
kompleksitas/kerumitan, intelektualitas/kematangan, serta
eksploratif/kedalaman (sumber lain yang aku lupa catat).
“Sebuah karya fiksi dikatakan jujur apabila peristiwa-peristiwa yang tampak mengkontradiksi prinsip-prinsip utamanya diizinkan masuk ke dalamnya, dikatakan koheren apabila peristiwa-peristiwa yang mengkontradiksi tersebut mampu berekonsiliasi dengan prinsip-prinsip utamanya tersebut. …. Sejauh mana pergerakan dari peristiwa-peristiwa yang mengkontradiksi prinsip-prinsip utama ke yang merekonsiliasi dan sebaliknya menunjukkan tingkat kompleksitasnya. Semakin kompleksi relasi bolak-balik keduanya itu dihadirkan, akan semakin cendekia pula karya fiksi itu. Meskipun demikian, kompleksitas tersebut tentulah harus tetap memberi dukungan pada keseluruhan cerita.” (hal. 80)
Robohnya Surau Kami (AA Navis) dan Dilarang Mencintai
Bunga-bunga (Kuntowijoyo) merupakan dua cerpen dalam buku Pujiharto, Pengantar Teori Fiksi (Jurusan Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM dengan Penerbit Elmatera, Yogyakarta,
2010), yang kukira merupakan contoh bagaimana kejujuran ditampilkan dalam
suatu karya fiksi. Di samping itu aku menemukan kesamaan lain dalam dua
cerpen tersebut. Sebelumnya mari kita simak ringkasan masing-masing cerpen.
Ringkasan Robohnya
Surau Kami (AA Navis)
Cerpen ini
mengisahkan seorang kakek penjaga surau (selanjutnya kusebut Kakek) yang
dibikin murung oleh Ajo Sidi. Ajo Sidi bercerita pada Kakek soal Haji Saleh
yang tidak diterima masuk surga oleh Tuhan. Padahal Haji Saleh adalah orang
yang sangat rajin beribadah—menyembah-Nya, berdoa pada-Nya, membaca kitab-Nya,
tak sekalipun berbuat jahat. Sebab Haji Saleh masuk neraka dijelaskan oleh
malaikat sebagai berikut.
“…Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.” (hal. 91)
Tidak lama setelah
Kakek diceritakan Ajo Sidi tersebut, Kakek ditemukan mati dalam keadaan
mengenaskan. Ia menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur.
Aku kira tidak ada
yang tidak kenal dengan cerpen ini. Kritiknya begitu tajam terhadap umat yang
beriman: segiat-giatnya kau beribadah, kalau hanya demi dirimu saja, kau
akan tetap masuk neraka.
Ringkasan Dilarang
Mencintai Bunga-bunga (Kuntowijoyo)
Cerpen ini
mengisahkan seorang anak laki-laki (selanjutnya kusebut si Anak) yang pindah
ke suatu lingkungan baru bersama kedua orangtuanya. Ayahnya sangat maskulin,
keras dan kasar, senang kerja, tapi kurang suka bersosialisasi. Sebaliknya, Ibu
lembut dan senang bersosialisasi.
Si Anak penasaran
dengan tetangga sebelah rumahnya, yang konon seorang kakek yang hidup sendiri
dan jarang keluar rumah. Beberapa kali ia coba mengintip pagar rapat yang
menutupi rumah itu, tampak halaman yang penuh bunga.
Akhirnya si Anak
dapat bersahabat dengan si Kakek. Layang-layang yang si Anak mainkan putus,
kakek tersebut muncul dan menghiburnya. Si Kakek suka memberi bunga, dan
petuah mengenai ketenangan jiwa. Namun ayah si Anak tidak suka anaknya
lelaki menyimpan bunga. Si Anak diperingatkan berkali-kali, tapi tetap main ke
rumah si Kakek jua. Anak tersebut mulai terpengaruh pemikiran si Kakek, yang
memengaruhi sikapnya kepada kedua orangtuanya. Bagi si Kakek hidup adalah
permainan sedang bagi si Ayah hidup adalah kerja. Si Ayah pun membuat bengkel
di rumah, supaya anaknya bisa langsung belajar kerja.
Yang menakjubkan
adalah sikap si Anak terhadap pertentangan nilai-nilai yang ditunjukkan oleh
ujaran dan sikap si Ayah, si Ibu, dan si Kakek. Satu sama lain bertentangan,
namun aku menyimpulkan bahwa semua adalah bagian dari kehidupan yang mesti
kita terima dan seimbangkan. Antara ketenangan yang dielu-elukan si Kakek,
semangat kerja yang ditunjukkan si Ayah, dan kelembutan yang diberikan si
Ibu.
Begini akhir cerita
ditutup.
“Malam hari aku pergi tidur dengan kenangan-kenangan di kepala. Kakek ketenangan jiwa-kebun, bunga, ayah kerja-bengkel, ibu mengaji-mesjid. Terasa aku harus memutuskan sesuatu. Sampai jauh malam aku baru tertidur.
Bagaimana pun, aku adalah anak ayah dan ibuku.” (hal. 116)
Kontradiksi Karakter
Melalui kedua cerpen
tersebut (selanjutnya masing-masing kusebut RSK dan DMB) aku coba memahami
kejujuran dalam karya fiksi. Berdasarkan pengertian yang telah aku cantumkan
di atas, aku mengartikan kejujuran sebagai kontradiksi. Dalam RSK dan DMB
kita melihat adanya kontradiksi antara karakter lelaki tua yang mencari ketenangan
jiwa baik lewat ibadah (RSK) maupun bunga (DMB), dengan karakter lelaki yang
lebih muda yang sibuk dengan pekerjaannya yaitu Ajo Sidi di RSK dan si Ayah
di DMB. Ajo Sidi senang membual sedang si Ayah tidak sempat bersosialisasi. Pada
karakter Ajo Sidi pun kutemukan kontradiksi, karena sebagai pembual omongannya
malah begitu dipercaya oleh si Kakek.
Keutamaan Kerja
Selain kontradiksi
karakter, kemiripan yang aku dapatkan dari kedua cerpen adalah pesan bahwa
kita sebaiknya tidak khusyuk dengan diri sendiri saja melainkan melakukan
sesuatu untuk kepentingan banyak orang, itulah yang dimaksudkan dengan “kerja”.
Walaupun si Ayah
dalam DMB tidak suka bersosialisasi, tapi ia bekerja untuk kemaslahatan banyak
orang.
“Engkau mesti bekerja. Sungai perlu jembatan. Tanur untuk melunakkan besi perlu didirikan. Terowongan mesti digali. Dam dibangun. Gedung didirikan. Sungai dialirkan. Tanah tandus disuburkan…” (hal. 115)
Menurutku si Kakek
dan halaman berbunganya bak menyimbolkan ketenangan jiwa yang terisolir, yang
mana secara halus hendak ditolak oleh pengarang antara lain melalui judul dari
cerpen itu sendiri: Dilarang Mencintai
Bunga-bunga. Akhir cerpen pun mengesankan bahwa si Anak lebih memihak
kedua orangtuanya yang seolah menyimbolkan keseimbangan antara semangat kerja
(Ayah) dengan spiritualitas (Ibu) melalui asosiasi si Anak terhadap mereka di
paragraf sebelum kalimat terakhir. Si Kakek dan bunga-bunganya memang sempat
memengaruhi si Anak, sehingga si Anak seolah-olah berpihak kepada si Kakek. Tapi
kukira pada akhirnya kontradiksi yang dimunculkan si Kakek lah yang membuat si
Anak dapat memahami nilai-nilai yang ditanamkan oleh kedua orangtuanya.
Lalu kita bisa tengok
kembali di ringkasan RSK, apa yang dikatakan Malaikat kepada Haji Saleh dan
orang-orang “saleh” lainnya yang dimasukkan ke dalam neraka.
Sebetulnya kukira si
Kakek bukan tidak bermanfaat sama sekali bagi orang lain, toh ia mau mengasahkan
benda-benda tajam serta merawat surau. Tapi pandangan lain, bisa jadi pengarang
menganjurkan agar kita menjadi orang yang lebih aktif dalam memecahkan
masalah alih-alih menunggu saja permintaan orang lain untuk menolong mereka.
Keutamaan tersebut
ditegaskan oleh pengarang RSK di akhir cerpen.
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi kerja.” (hal. 92)
Ajo Sidi mungkin
pembual, tapi ia memegang bualan yang ia ceritakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar