Bumi Manusia – Pramoedya
Ananta Toer (Hasta Mitra, Yogyakarta, 2001)
Memikat, hingga tanggung apabila membacanya enggak sekalian
ditamatkan. Yang paling bikin aku geregetan adalah karakterisasinya. Minke
nyaris sempurna, Annelies begitu cantik, Nyai Ontosoroh luar biasa, dan
tokoh-tokoh antagonis pun enggak melulu ditampilkan jelek. Namun aku malah
bersimpati dengan Robert Mellema. Bukan cuman karena fisiknya yang konon
ganteng tapi lebih karena ia telah disia-siakan oleh ibunya—yang malah
dibela-bela oleh tokoh utama! Annelies juga, duh, mati ajalah—bukti lain kegagalan
Nyai Ontosoroh dalam mendidik anak. Pokoknya aku benci sekali dengan Nyai Ontosoroh,
dan Minke yang anteknya. Jika Nyai Ontosoroh adalah citra wanita modern, maka aku mengerti kenapa kini banyak wanita yang maju dalam karier tapi anak-anaknya terlantar. Tanpa harus dipaparkan secara gamblang oleh dr.
Martinet, kukira perwatakan tiap karakter sudah teraba. Penjelasan dari dr.
Martinet malah memberi kesan kalau pembaca dianggap enggak cukup pandai untuk
menangkap kompleksitas tiap karakter tersebut.
Bagaimanapun juga kalimat-kalimat yang membesarkan jiwa
bertebaran di dalam novel ini, Ceritanya, latarnya, gagasan-gagasan yang
terselip, atau lebih spesifik lagi surat-surat dari Miriam de la croix maupun
perkataan Nyai Ontosoroh pada Minke, menunjukkan kepentingan pengarangnya dan
dengan demikian menggugah. Novel ini juga menambah pemahamanku akan sejarah
pendidikan Indonesia pada masa penjajahan Belanda—secara sebelumnya aku baru
membaca buku terkait—dengan menghadirkan situasi Minke di HBS Surabaya.
Cinta di Atas Perahu Cadik: Cerpen Pilihan KOMPAS 2007 – Seno Gumira Ajidarma, dll. (KOMPAS, 2008)
Enggak ada satupun cerpen dalam kumpulan ini yang berkesan
buatku. Sekali pembacaan enggak membuatku ingin membaca ulang. Aku memang punya
masalah dalam mengapresiasi cerpen, dan belum tuntas menanganinya.
Teori Fiksi – Robert
Stanton terj. Sugihastuti & Rossi Abi Al Irsyad (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007)
Judul asli buku ini adalah An Introduction to Fiction, diterbitkan pada tahun 1965. Kupikir
buku ini ditujukan bagi mahasiswa sastra secara khusus. Yang ingin
diberitahukan melalui buku ini adalah: bagaimana mengapresiasi fiksi dengan
baik, apa saja yang perlu diperhatikan; serta proses yang dialami pengarang
dalam berkarya meliputi teknik yang digunakan, yang kiranya bakal membantu
pembaca dalam memahami karya tersebut—tapi enggak begitu mendalam. Adalah
detail yang menjadi bahan bagi pengarang untuk membangun cerita. Detail
dirangkai menjadi pola, atau merupakan asosiasi terhadap sesuatu yang lebih
besar. Tugas pembaca adalah menemukan pola melalui detail, dan dengan pola
tersebut ia coba untuk memaknainya. Maka pembaca harus cermat, bahkan membaca
karya lebih dari sekali untuk bisa benar-benar memahaminya.
The Lovely Bones
– Alice Sebold terj. Gita Yuliani K. (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010)
Susie Salmon dibunuh pada usia 14 tahun oleh George Harvey.
Sebelum membunuh lalu memutilasi, tetangganya itu juga menodai Susie. Susie
kemudan berdiam di akhirat sembari mengamati bagaimana kehidupan orang-orang
terdekatnya berlangsung tanpanya. Cerita berjalan melalui sudut pandang Susie
yang menjadi serba tahu. Ayah Susie, Jack, enggak bisa melupakan putrinya
tersebut dalam waktu yang lama. Ia terobsesi untuk menemukan pembunuh sulungnya
itu. Ia yakin Mr. Harvey adalah pelaku, namu upaya pembuktian Jack malah
mendatangkan celaka baginya. Istri Jack, Abigail, malah berselingkuh dengan
polisi yang menyelidiki kasus ini, lantas mencari kehidupan baru di California.
Lindsey, adik Susie, berusaha menerima kematian sang kakak dengan tegar. Ia
siswi berbakat dan telah menemukan cinta sejatinya, Samuel Heckler. Kakak
Samuel, Hal, juga memberi banyak bantuan pada keluarga Salmon dalam melalui
masa-masa setelah kematian Susie. Buckley, adik bungsu Susie, setia mendampingi
Jack hingga bocah itu beranjak dewasa. Grandma Lynn, ibu Abigail, turut
bergabung dengan keluarga Salmon setelah putrinya pergi. Susie juga mengamati
Ruth Connors (gadis yang sempat bersentuhan dengan arwah Susie) dan Ray Singh
(cowok yang pernah menyukai Susie dan mengirimkan surat cinta). Susie bahkan
dapat menyusup ke dalam benak Mr. Harvey, menyelami mimpi bahkan mengetahui
masa lalu pembunuhnya itu.
Aku menganggap tokoh-tokoh dalam novel ini sebagaimana
orang-orang dalam dunia nyata, meski enggak semua karakter ditampilkan secara
bulat. Membaca novel ini seperti membaca novel The Time Traveler’s Wife. Tebal. Mengeksplorasi hubungan di antara
anggota suatu keluarga. Beberapa pengalaman seksual. Menjemukan. Aku enggak mempermasalahkan
betapa cerita ini berjalan dengan datar dan wajar, sebagaimana adanya kehidupan
nyata bagi sebagian orang. Aku hanya penasaran karena novel ini difilmkan
dengan Peter Jackson sebagai sutradaranya, Steven Spielberg sebagai produser
eksekutifnya, Mark Wahlberg sebagai Jack, Rachel Weisz sebagai Abigail Salmon,
dan Susan Sarandon sebagai Grandma Lynn, dengan rating 6,6 dari skala 10 versi iMDB. Aku juga enggak mengerti
kenapa Susie yang sudah mati kok masih memiliki hasrat untuk bercinta dengan
Ray. Pengarang mengabulkannya dengan meminta Ruth meminjamkan tubuhnya kepada
Susie, dengan sebelumnya mendekatkan Ruth dengan Ray. Ruth dan Ray juga telah
mampir ke sekitar lubang di mana mayat Susie dibuang, tapi mereka seolah enggak
mendapat petunjuk bahwa “tulang-tulang cantik” Susie berada di bawah permukaan
yang mereka pihak. Apa gunanya catatan-catatan yang dibuat Ruth sepanjang
waktu, jadi bukan untuk memberikan petunjuk? Ya terserah yang ngarang aja deh…
Ada satu fenomena yang kutangkap dari novel ini dan beberapa
novel lain yang pernah kubaca yaitu Man and Boy serta Joshua JoshuaTango: ibu meninggalkan keluarganya. Baik novel ini (dengan latar di
Amerika Serikat) maupun Man and Boy (Inggris) memunculkan tokoh seorang ibu, yang notabene seorang istri,
pergi meninggalkan suami dan anak yang masih kecil ke tempat yang jauh demi
kehidupan baru. Adapun ibu tokoh utama dalam Joshua Joshua Tango (Belanda) dimunculkan hanya lewat surat. Aku
heran dengan sikap para ibu yang tampaknya egois itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar