“Wilujeng sumping
di Bandung,” kusalami Ncan. Dia sampai di Stasiun Kiaracondong sekitar ¾ jam
lalu. Hujan deras yang turun sejak semalam baru reda sekitar jam enam pagi itu.
Dia bertolak dari Jogja sekitar pukul tujuh malam dengan menggunakan kereta
ekonomi AC Kahuripan—harga tiket Rp 100.000. Tidurnya tidak nyaman semalaman
karena sandaran kursi yang begitu lurus.
“Udah liat itu?” Kutunjuk jembatan layang dengan latar kelabu
di kejauhan. Aku sangat ingin Ncan melihat panorama tersebut, dan barangkali kekumuhan
di bawahnya. Dia mau.
Maka Ncan terpukau menyaksikan hujan merembes dari jalan
layang, hingga pasar, manusia, dan kendaraan yang berjejalan di sebidang jalan
sempit. Aku membeli empat serabi oncom seharga masing-masing seribu, bonus
satu. Sejak kami masih di Jogja aku sudah membicarakan serabi oncom yang
kupikir penganan khas Bandung. Dia cuman makan satu.
Tidak banyak lagi yang bisa dilihat, tapi cukup banyak yang
bisa aku ceritakan tentang Kiaracondong. Hampir tiap pagi selama tiga tahun aku
melewati kawasan tersebut untuk menuju ke SMP yang berlokasi cukup jauh dari
rumahku. Aku merekam dengan inderaku jembatan layang yang dari tiada menjadi ada.
Sampah menumpuk hingga dasar jembatan, lalat besar bermata hijau mengerubunginya,
dan jarakku yang duduk di dalam angkot dengan gunungan hama tersebut tidak
sampai semeter.
Ketimbang menunggu angkot sembari berdiri di bawah rintik,
kami lanjut berjalan ke utara. Ncan menangkap seekor kodok, yang juga bisa
ditemukan di solokan samping Graha Sabha Pramana UGM. Kami mampir ke pom bensin
terdekat, sehingga Ncan bisa mencuci tangannya yang bekas pegang kodok dengan
air berkarat. Kami menembus kerumunan karyawati pabrik tekstil di bawah
payung-payung mereka.
“Pagi-pagi tekanannya udah tinggi,” komentar Ncan. Aku mesem
membayangkan suasana pagi di Jogja yang agaknya ayem saja.
Seperti aku lahir dan besar di Bandung, Ncan juga lahir dan
besar di Jogja. Dia ke Bandung baru sekitar dua kali: saat SMP mengunjungi
Sabuga serta Museum Geologi dan sekitarnya; saat Kuliah Lapangan beberapa tahun
lalu mengunjungi sentra oleh-oleh yang seperti Malioboro tapi dia tidak ingat
namanya. Denganku pada Sabtu nan berhujan itu, tiga bulan setelah usiaku 22
tahun atau dua bulan sebelum usianya 24 tahun, perjalanannya di Bandung kali
ini memberikan kesan yang menurutnya seru ketimbang di kota-kota lain.
Dengan angkot Riung-Dago aku membawanya ke sekitar Monumen
Pancasila. Bandung masih rintik dan kelabu. Dia pegang payung biru ukuran
sedang berlogo UGM milikku, tidak ingin bajunya basah. Sesekali aku memegangkan
payung untuknya, untuk DSLR miliknya, ketika dia ingin memotret. Kami menyusuri
pulau demi pulau taman yang menghubungkan monumen dengan lapangan Gasibu, yang
menurutnya mirip boulevard (di UGM). Dia melihat rongsokan besi yang ternyata
bangku karatan. Dia ragu ada ikan di kolam bulat yang berair hijau itu, tapi
kok banyak orang yang memancing. Dia senang berjalan di atas bebatuan kecil untuk
pijat-pijat kaki. Dia pikir orang bakal celaka kalau lari-lari di lapangan Gasibu—lihat
permukaan sirkuitnya yang pecah-pecah. Kami berbagi nasi tim ayam Sizi di
pinggir Gedung Sate. Kami jalan-jalan sebentar di Taman Lansia di mana dia
kecewa karena tidak menemukan kodok di habitat sepas itu. Dia tidak menemukan
taman seperti Taman Lansia di Jogja, dan kutunjukkan bahwa taman itu juga rumah
bagi gelandangan. Dia mengenang kunjungannya dahulu di Museum Geologi. Aku
membelikannya kue cubit yang menurutnya enak tapi dia tidak makan banyak. Dia
ingin menyingkirkan sampah yang dia lewati di jalan tapi tidak tahu ke mana, jalan
tersebut sepertinya sudah merupakan tempat sampah besar. Dia duduk di depan
pagar Monumen Pancasila dan tertegun ketika seorang cewek berdandan menarik
melintas.
Baru sekitar tiga jam sejak aku menggiringnya menapaki
jalanan Bandung. Dia sudah melihat kontradiksi antara penampilan orang Bandung
yang menurutnya wah, dengan lingkungan sekitarnya yang berserakkan sampah. “Seperti
yang hanya memedulikan penampilan sendiri, tapi cuek sama sekitarnya ya?”
simpulku. Dia bandingkan dengan orang Jogja dan lingkungan di sana yang menurutnya
selaras saja.
Kami melewati UNPAD di mana trotoar bukannya berada di sisi
jalan melainkan diapit oleh deretan warung dan solokan, barangkali menakjubkan
juga bagi Ncan. Kami melalui RS Borromeus yang kukatakan sebagai Panti Rapihnya
Bandung. Kami singgah di Masjid Salman, yang kukatakan dirancang oleh pemilik
radio KLCBS—Ardianya Bandung, di mana ia menemukan colokan. Aku mengajaknya ke
Ijzerman Park (cmiiw) di mana ia menemukan kodok kemerahan di kolam, papan
identifikasi burung di kawasan tersebut, dan tentu saja becek, gelandangan, dan
sampah. Di bagian atas taman kutunjukkan plat yang memberikan informasi
mengenai gunung-gunung yang mengitari Bandung di selatan.
Dia terkesan dengan bangunan ITB yang unik, yang kukatakan
sebagai peninggalan Belanda dan rancangannya menyesuaikan beberapa bangunan
adat di Indonesia. Hari itu bertepatan dengan wisuda sehingga kami bisa
menyaksikan kehebohan mahasiswa ITB menyambut wisudawan/watinya dengan
arak-arakan, dia tampak iri. Dia memotret Indonesia Tenggelam dan beberapa
objek lain di tengah kampus. Di Tokema dia melihat-lihat suvenir khas ITB
sementara aku menunggunya di luar sambil makan Sariroti isi cokelat dan menjaga
DSLR. Kami menuju Saraga dengan melewati terowongan Sunken. Dia mengeluarkan Rp
15.000 untuk setengah jam renang di kolam standar olimpiade di lantai dua
dengan panorama tajuk pepohonan di Babakan Siliwangi, sementara aku
menungguinya di seberang musala sambil berusaha menulis. Setelah salat kami
minum susu murni di gerbang Saraga, lalu dia melahap lumpia basah sementara aku
coba memotret kucing bercorak unik dengan DSLR. Perjalanan dilanjutkan dengan
aku mendongeng Babakan Siliwangi, namun sayang dia tidak tertarik untuk
menjelajahi kawasan tersebut keseluruhan. Dia lebih tertarik pada variasi mural
di dinding seng yang mengitari hutan mini itu.
Kami lanjut menyusuri Sabuga—dia mencicipi donat Polandia isi
keju, BATAN, Pasar Seni dan Kebun Binatang, di tempat pembuangan sampah dia
memotret manuk japati dan burung gereja
yang mencari makan, kutunjukkan bagaimana pemukiman padat nan kumuh, hotel-mal-apartemen, dan hutan berdampingan dari tepi jalan tersebut, kami mengaso
sebentar di dekat Bappeda sembari minum kelapa muda campur susu.
Dia tertarik dengan jembatan Pasopati, sementara aku takjub
akan lapangan di bawah jembatan tersebut. Bagian bawah jembatan Pasopati juga
berisi area parkir, area street soccer
yang disponsori berbagai pihak, dan ornamen-ornamen yang tidak terbengkalai. Kami
turun terus hingga mencapai taman yang terawat cukup baik, dan membatasi kami
dari aliran deras Sungai Cikapundung yang mengingatkanku akan iklan susu Milo.
Tujuan selanjutnya adalah Taman Cikapayang dengan instalasi
D, A, G, dan O besar, di mana orang-orang suka bermain skateboard di depannya, “di tempat sekotor ini?” tanggapannya mulai
sinis. Beberapa saat kemudian dia malah geli karena
melihat mbak-mbak cantik memasuki angkot. "Mau dandan mau lusuh, sama-sama
naik angkot," komentarnya. Kami lalu menyeberang ke instalasi lain, lalu titik henti kami
selanjutnya adalah Dukomsel, Dago Plaza, dan Gramedia, sebelum mencapai masjid
di samping Balaikota untuk salat ashar.
Sepanjang hari itu hujan sesekali rintik sesekali mendung
saja, dan jelang petang itu rintik lagi. Masih sekitar empat jam sebelum
Kahuripan yang akan membawa Ncan kembali ke Jogja datang, tapi malam Minggu
yang berpotensi macet bikin aku khawatir kalau kami menjelajahi Braga dan
sekitarnya dulu tidak bakal keburu. Lagipula Ncan sepertinya sudah sangat
capek.
Aku tidak tahu angkot mana dari sekitar Balaikota yang sekali
jalan ke Kiaracondong. Jadi aku mengajak Ncan naik angkot St. Hall-Gedebage di
dekat Bank Indonesia, untuk disambung dengan angkot Kalapa-Caheum di sekitar
Jalan Martanegara. Dengan angkot St. Hall-Gedebage kami tetap bisa melewati objek
menarik seperti bangunan tua ala Pecinan hingga Alun-alun—yang berkali-kali
Ncan singgung seharian itu. Masih Ncan tertegun-tegun ketika melihat
cewek-cewek berkulit, istilahnya, “transparan”, yang kukira istilah yang lebih
lazim adalah “bening”. Dia heran kenapa kulitku tidak transparan seperti
cewek-cewek di Bandung yang dia lihat. Hei, bukankah iklan pencerah kulit di TV
sudah mengajarkan kalau yang terang memang yang lebih terlihat? Banyak juga kok
cewek berkulit cokelat di Bandung. Setelah kutunjukkan
Alun-alun beserta masjid agung, Ncan terkantuk-kantuk.
Kami makan nasi, “pecel” lele, dan kol goreng di warung tenda
di Jalan Turangga yang sudah dekat rumahku sebetulnya, tapi aku tidak mungkin
mengajaknya bertandang. Hujan deras kembali. Magrib lewat. Angkot Kalapa-Caheum
pun kami naiki, yang selanjutnya bikin Ncan was-was sepanjang jalan.
Berkali-kali sopir angkot yang berkacamata itu (sopirnya, bukan angkotnya)
menginjak rem sampai bikin laju kendaraan tersentak-sentak. Jalanan gelap
bergelimang air dan remang-remang cahaya. Kutunjukkan gemerlap kawasan Trans
Studio, kali ini Ncan tidak lantas tertidur.
Bagian depan Stasiun Kiaracondong begitu ramai malam itu. Ncan
mengajakku duduk dulu di bangku yang tersisa. Kami mengobrol ditimpali deras
hujan. Lagipula penumpang Kahuripan belum diperbolehkan memasuki peron.
Sesekali suara keras seorang pria muncul seakan memberikan
pengumuman, tapi tidak jelas. “Kenapa enggak pake speaker aja sih?” keluhku. “Tahu tuh, kotamu,” sahut Ncan. Aku pun
geli. Sejak pagi aku menyarankan Ncan untuk menuliskan kesannya atas kota ini
di kertas, lalu aku akan memasukkannya di KOTAK ASPIRASI di Balaikota—ketimbang
jadi wadah debu saja. Padahal baru sedikit dari sekian titik di Kota Bandung
yang kami susuri seharian itu, yang sepertinya sudah cukup membikin Ncan mensyukuri
Jogjanya.
Sekitar pukul setengah delapan malam akhirnya penumpang Kahuripan
diperbolehkan memasuki peron. Aku mengantarnya sampai ke meja pengecapan tiket.
Sebelum berlalu dia menyalamiku. “Sampai ketemu di Jogja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar