Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat – Adian Husaini (Gema Insani, Jakarta, 2011)
Kendati dijuduli Kemi…,
novel ini lebih menceritakan Rahmat—sepak terjangnya dalam melawan pemikiran
liberalisme. Kemi adalah sahabat Rahmat. Semula mereka santri di pesantren
milik Kyai Rois. Pemikiran liberalisme telah memasuki pesantren, tidak
terkecuali pesantren mereka. Kemi dipengaruhi Farhan, alumni pesantren tersebut
yang telah berpikiran liberal, untuk keluar dari pesantren dan menimba
pendidikan di sebuah institut di Depok. Setahun kemudian, Rahmat bertemu Kemi
dan mendapati bahwa Kemi telah berubah. Sahabatnya itu telah menerima paham
liberalisme dan menyebut dirinya sebagai penganut Islam liberal. Kemi juga
sibuk mengadakan pelatihan pemikiran di pesantren-pesantren. Kemi menantang
Rahmat untuk mengikuti jejaknya, dan membuktikan apakah orang memang berubah
karena lingkungan atau tidak. Rahmat menyanggupi. Sebelum menyusul Kemi ke
Depok, Rahmat telah diberi “bekal” oleh Kyai Rois dan Kyai Fahim. Sebagai
seorang santri, Rahmat sempat mengalami kegoncangan budaya ketika ia mulai
kuliah di Institut Damai Sentosa. Ia berkenalan dengan Siti, kawan Kemi, yang
menyimpan suatu rahasia. Ia juga berkenalan dengan warga setempat yang rupanya
mencurigai aktivitas Kemi. Sebenarnya ada apa sih di balik aktivitas Kemi?
Siti yang gelisah akhirnya kena getah. Kemi tidak luput.
Dengan bantuan warga setempat dan koneksi Kyai Rois, Rahmat menyelamatkan Kemi.
Ternyata selama ini Kemi dan Siti adalah korban materialisme belaka. Segala
upaya yang mereka lakukan untuk menyebarkan isme-isme yang melencengkan agama
hanyalah kedok yang menguntungkan pihak tertentu. Oknum tersebut akhirnya
diringkus oleh polisi (yang juga alumni pesantren Kyai Rois).
Aku kira inti dari novel ini adalah pertarungan argumentasi
antara Rahmat dengan Kemi, Rahmat dengan Prof. Malikan (rektor Institut Damai
Sentosa), Doktor Ita dan wartawan Bejo, serta Rahmat dengan Kyai Dulpikir. Pertarungan
pemikiran ternyata seru juga untuk diikuti. Semula aku menganggap fiksi sebagai
pendekatan yang enak untuk menyampaikan suatu pemahaman. Tapi entah kenapa
setelah menamatkan novel ini aku merasa sayang bahwa ini hanya fiksi. Aku bisa
asyik dengan apa yang disampaikan dalam novel ini, barangkali karena sebelumnya
aku sudah merasa cocok dengan pandangan Adian Husaini. Sesekali aku
mendengarkan rekaman dialog Adian Husaini di KLCBS 100,4 Bandung FM yang
mengkaji Islam kontemporer, khususnya terkait liberalisme dan pluralisme. Maka
aku penasaran bagaimana tanggapan pembaca yang berpikiran liberal-plural atas
konten yang diangkat dalam novel ini.
Selain itu aku bermasalah dengan unsur intrinsik dalam novel
ini. Aku enggak suka dengan karakterisasinya yang terkesan mengidentikkan rupa
seseorang dengan akhlaknya—yang tampan yang lurus, begitu; konfliknya pun
terselesaikan dengan begitu mudah… Roman, selaku oknum yang telah menjerumuskan
Kemi dan Siti dapat diringkus dengan begitu saja, tanpa diupayakan “permainan”
yang sekiranya bisa lebih menggairahkan pembaca. Ia menghajar Kemi di tempat
yang memang sudah jadi intaian warga setempat. Rahmat pun memiliki Kyai Rois,
yang bantu menghubungkannya dengan pihak-pihak yang melancarkan upaya
penyelamatan Kemi. Tidak ditunjukkan ancaman berarti bagi Rahmat, hanya sekadar
ancaman bayangan sebelum menjadi ancaman sesungguhnya. Roman begitu saja
membeberkan maksudnya selama ini sembari mengarahkan Kemi ke ujung tanduk.
Terlalu memanjakan pembaca. Gejolak perasaan antara Rahmat dengan Siti pun
terasa bagai bumbu yang enggak meresap dengan baik.
Akupun memahami bahwa pengolahan novel membutuhkan “rasa”,
yang menjadikannya enggak sekadar memikat dari segi ekstrinsik melainkan juga
intrinsik.
Sosiologi Sastra –
Robert Escarpit terj. Ida Sundari Husen (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005)
Buku ini agaknya menarik, seandainya saja aku bisa memahami
terjemahannya. Menghadapi buku yang enggak mudah diserap itu ternyata
mengganggu. Aku enggak berhasil menamatkan buku ini.
Buku yang aslinya dalam bahasa Prancis ini memuat statistika
dari hasil penelitian mengenai pengarang, buku, dan semacamnya yang bagiku Prancis-minded. Enggak ada nama pengarang yang
kukenal dalam buku ini, bahkan Hemingway dan Steinbeck, mengingat buku ini
semula diterbitkan pada tahun 1958. Buku ini sebenarnya memberitakan fenomena
mengenai pengarang dan perbukuan (di Prancis?) pada sekitar setengah abad lalu.
Seenggaknya dari buku ini aku mendapatkan informasi bahwa pengarang biasanya
berjaya pada usia 30-40-an tahun, walau ada juga yang terus produktif sampai
usia lanjut. Dan bahwa pengarang enggak bisa dijadikan sebagai satu-satunya
profesi. Banyak pengarang harus punya profesi lain untuk menunjang
kehidupannya.
Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer – Apsanti Djokosujatno (Indonesia Tera, Magelang, 2004)
Buku ini memuat sepuluh esai yang membahas katrologi Bumi Manusia dari Pramoedya Ananta Toer
dari berbagai aspek, misal kaitannya dengan Prancis, kosmopolitisme dan
pengetahuan ensiklopedis di dalamnya, elemen-elemennya yang membentuk keutuhan,
sampai teknik yang digunakan supaya pembaca tidak berhenti membaca sampai
tuntas (yeah, I was the victim).
Sebenarnya aku lebih suka menggunakan istilah “tetralogi”, yang lebih umum,
ketimbang “katrologi” yang mengingatkanku pada istilah yang berarti ketinggalan
zaman dalam bahasa gaul, walaupun “katro” di sini berarti kuartet—empat.
Membaca esai-esai dalam buku ini membuatku memahami, betapa kaya rangkaian karya
Eyang Pram yang ditulis di Pulau Buru tersebut. Selain itu buku ini enggak
hanya enak dibaca (dari segi bahasa), tapi juga enak di mata (dari segi lay out, font, de el el). Aku berterima kasih kepada penulis buku ini yang
telah menyibak rahasia di balik kemasyhuran Tetralogi Pulau Buru. Itulah
gunanya membaca kritik.
Prinsip-prinsip Kritik Sastra – Rachmat Djoko Pradopo (Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2007)
Buku ini lebih mengarah pada pengkajian puisi, sebab konon
puisi adalah inti dari sastra atau apa begitu. Dalam buku ini dicantumkan
beberapa contoh puisi yang menurutku memang bagus, tapi aku enggak begitu
meminati puisi dan lagi enggak ingin menumbuhkan minat tersebut. Lalu aku
temukan lagi klasifikasi kritik (yudisial, induktif, objektif, impresionis),
ditambah berbagai sudut pandang (relativisme, absolutisme, dan perspektivisme),
yang bikin aku bersyukur bahwa aku bukan mahasiswa sastra. Aku lebih suka
kritik terapan ketimbang kritik teoretis.
Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi – Faruk HT (Gama Media, Yogyakarta, 2001)
Buku ini merupakan kumpulan esai sastra, yang bahasanya
enggak mudah kupahami. Aku enggak menamatkannya.
Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan
Jawabannya – Adian
Husaini & Nuim Hidayat (Gema Insani Press, Jakarta, 2002)
Esensi buku ini enggak jauh beda dengan buku Adian Husaini
yang sebelumnya kubaca, yaitu Kemi….
Penyampaiannya pun mirip, yaitu dengan menyodorkan pemikiran liberal yang
kemudian ditangkis oleh penulis secara logis untuk diarahkan kepada Islam. Buku
ini menyadarkanku bahwa Islam adalah agama yang duniawi, maksudnya mencakup
berbagai urusan di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar