Sejak memiliki blog, aku berusaha untuk menulis pembacaan yang
layak dipublikasikan. Tapi enggak selalu berhasil. Sering kali aku malas
mencantumkan keterangan tertentu dari suatu buku, demi bahan untuk menghasilkan
tulisan yang utuh. Jadinya yang aku tulis apa adanya saja yang berseliweran
dalam kepala, di kertas saja. Namun kali ini, dalam rangka kehabisan bahan
untuk dipajang di blog
belajar untuk menjadi murah hati, aku ingin membagi catatan-apa-adanya-saja
tersebut. Barangkali bermanfaat. Berikut adalah buku-buku yang aku hampiri di
tahun 2012 (termasuk yang enggak tamat), yang aku tuliskan pembacaannya di
kertas namun belum tersampaikan di blog.
Disusun secara kronologis.
Manifesto Khalifatullah:
Sebuah Kispan Religius – Achdiat K.
Mihardja (Penerbit Arasy PT Mizan Pustaka, 2005)
Aku terpikat dengan novel Atheis
yang kubaca saat SMA, dan ingin membaca karya lainnya dari pengarang yang sama.
Terutama yang berjudul Manifesto
Khalifatullah (MK), apakah bisa menggugah keimanan juga.
Sebelum sampai pada MK, aku membaca novel dari pengarang yang
sama berjudul Debu Cinta Bertebaran (DCB).
DCB mengandung banyak pemikiran, bahkan kukira jalan ceritanya berdasarkan
jalan pemikiran tersebut. DCB mengisahkan kehidupan seorang wartawan Indonesia
di Australia. Istrinya ditinggal di Indonesia karena sakit, tetapi lalu ia
terpikat oleh wanita lain di Australia. Selain itu di negeri koala tersebut ia
bersinggungan dengan orang Indonesia yang meniru gaya hidup bebas ala orang
Barat, walaupun ada juga orang Barat yang religius. Novel ini seperti semacam
rangkaian sketsa kehidupan, hal mana aku temukan juga di MK.
Jika DCB masih menyerempet nasionalisme, MK fokus pada
kebertuhanan. Jika DCB masih memiliki tokoh-tokoh dan alur cerita, MK seperti
lanturan pengarangnya saja yang ingin mengenalkan pembaca pada berbagai tokoh
yang memiliki pemikiran tentang Tuhan.
Tujuan dari MK sendiri adalah hendak mengingatkan pembaca
bahwa di muka bumi ini mereka adalah wakil Tuhan, bukan wakil setan. Namun
seperti yang diungkapkan oleh seseorang di kata pengantar, pada akhirnya buku
ini menyerupai khotbah. Walau bisa dimaklumi. Mengingat buku ini ditulis saat
pengarangnya sudah berusia sembilan puluhan tahun dan setengah buta, kita malah
patut salut akan semangatnya yang masih menyala untuk menyampaikan pemikiran.
Kiat Jadi Penulis dan Wartawan – Roesli Lahani Yusuf (Balai Pendidikan Jurnalistik Bandung,
1998)
Yang menonjol dari buku ini adalah motivasi penulisnya bagi
para calon penulis—banyak kalimat di dalamnya yang bisa dijadikan pelecut untuk
membangkitkan semangat menulis, dan wawasan mengenai bagaimana orang pada lebih
dari satu dekade lalu berusaha untuk mendapatkan bimbingan dalam menulis. Sekarang
banyak orang yang berbagi pelajaran menulis secara cuma-cuma di internet. Orang
pun dapat menyampaikan pemikirannya di mana saja, internet telah memfasilitasi
dengan beragam bentuk media sosial, enggak mesti lewat koran atau majalah.
The Art of Making Friends –
C. H. Teear, B. A. (The Psychologist Magazine Ltd., 1973)
Buku tipis lagi mungil ini berisi nasihat-nasihat bagi
pembaca agar melakukan introspeksi diri, dan belajar mencari teman. Bisa
dimulai dari mengurangi kekhawatiran terhadap diri sendiri, lalu melakukan
hal-hal yang disuka dan membiarkan orang lain mengetahuinya dengan bergabung
dalam komunitas tertentu. Pokoknya, manfaatkan setiap kesempatan untuk memasuki
suatu perkumpulan. Perluas minat, perluas pergaulan. Berkenalanlah dengan
orang-orang baru.
Walaupun demikian aku mendapat kesan bahwa buku ini enggak
cuman berisi nasihat bagi mereka yang enggak bisa bergaul, tapi juga ejekan.
Bahasa Inggris dalam buku ini mudah dicerna sehingga mudah
pula untuk ditamatkan.
Menjadi Wartawan Muda
– Dra. Vero Sudiati & Aloys Widyamartaya (Pustaka Widyatama, Yogyakarta,
2005)
Buku ini memuat pelajaran jurnalistik dasar. Singkat dan
praktis, sesuai dengan sasarannya yaitu pelajar. Bentuknya yang kecil
memberikan kesan ringan. Ada latihan-latihan yang bisa dimanfaatkan untuk
mengasah kemampuan.
Sejarah Pendidikan Indonesia – Prof. Dr. S. Nasution, M. A. (Jemmars Bandung, 1983)
Sejarah enggak menarik ketika yang disorot hanya tahun,
pelaku, TKP, jumlah korban tewas, atau apa (eh, sejarah apa berita kriminal?).
Namun buku ini memberiku ide akan sebuah serial sejarah di TV yang berjudul Sang Guru, menceritakan tentang guru
bumiputera: pertentangan dengan kebijakan Belanda, atau dengan guru Belanda,
atau dengan guru dari bangsa sendiri, sampai sikap kepada para anak didik.
Sepertinya akan menjadi serangkaian konflik yang menarik.
Adapun “cerita” dalam buku ini dimulai dari latar belakang
Belanda mendirikan sekolah di Indonesia. Tidak saja untuk anak-anak Belanda,
tapi juga untuk anak-anak bumiputera. Ada berbagai alasan untuk itu, mulai dari
kebutuhan akan pegawai sampai politik balas budi. Banyak pemikiran yang muncul
ketika mendirikan sebuah sekolah, sehingga Belanda mendirikan jenis sekolah
yang lain untuk mengakomodasi pemikiran tersebut. Rentang sistem sekolah
Belanda mungkin hanya sekitar 1,5 abad, namun cukup untuk membentuk generasi
intelektual Indonesia yang akhirnya malah melawan mereka. Akupun memahami bahwa
ketika kita ingin mendirikan sekolah, kita harus memikirkan pula dampaknya,
misal ke mana para murid akan melanjutkan, lapangan pekerjaan bagi mereka
memadai enggak, dan seterusnya. Permasalahan dalam pendidikan semasa penjajahan
Belanda agaknya masih bisa kita temukan di zaman sekarang, seperti pendidikan
yang terkotak-kotakkan (ada “sekolah untuk orang kaya dan sekolah untuk orang
miskin”), kalangan yang menganggap pendidikan (sekolah) enggak penting,
orang-orang dalam sistem yang belum tentu benar, guru yang enggak memerhatikan
muridnya sehingga asal saja dalam mengajar, bumiputera yang enggak mau mengajar
bangsa sendiri karena kurang bergengsi, dan seterusnya. Menarik.
Maka aku menyimpulkan bahwa pendidikan bukan enggak penting,
melainkan bagaimana agar dapat mengakomodasi kebutuhan individu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar