Sakit ½ Jiwa –
Endang Rukmana (Gagasmedia, 2006)
Menurut temanku novel ini lucu, tapi rupa-rupanya aku
tertipu. Setelah baca dua bab pertama lantas loncat ke satu bab terakhir,
selebihnya aku baca skimming, aku
memutuskan untuk enggak menamatkan novel ini. Pembacaan yang menyesakkan.
Memang di awal si pengarang sudah bilang kalau dia enggak
memaksudkan novel ini sebagai komedi, yang menurutku merupakan apologi
kalau-kalau upayanya melucu enggak berhasil. Untung dia sadar diri untuk enggak
mencantumkan label yang “berat” itu di sampul.
Satu, eh, dua saja elemen yang menurutku buruk. Interaksi
Bobi, tokoh utama, dengan Monda, pacarnya, enggak banget. Mengarah ke “situ”
melulu, tanpa pertanggungjawaban, tanpa dituntaskan. Ini niat ML apa enggak
sih, udah ditungguin, woy! Selain itu deskripsi lokasi yang disajikan
menurutku enggak memperkaya visualisasi dalam benak, melainkan kayak sekadar potongan
dari catatan perjalanan atau brosur wisata.
Padahal di balik sampul belakang ditayangkan pengalaman si
pengarang dalam menulis yang sepertinya lumayan, tapi ternyata enggak
menjanjikan.
Novel ini sukses mengobarkan sisi enggak berperasaan dari
dalam diriku.
Mengenal Keris: Senjata “Magis” Masyarakat Jawa – Ragil Pamungkas (NARASI, Yogyakarta, 2007)
Harry Potter punya tongkat sihir, Joko Puter punya keris.
Betul. Keris itu seperti tongkat sihir. Uji kecocokan diperlukan untuk
menemukan pemilik yang tepat bagi sebuah keris. Tongkat sihir Harry Potter bisa
mengeluarkan hewan dengan mantra Patronus (CMIIW!), keris pun bisa mengeluarkan
makhluk halus. Dengan demikian keris adalah tongkat sihir made in local. Harry Potter sekolah di Hogwarts, sedang Joko Puter
mengemban ilmu di sekolah kejawen supaya bisa mengendalikan kerisnya dan
menghadapi musuh besarnya… manusia yang meminjam kekuatan iblis…
Buku ini membangkitkan berbagai ide di dalam kepalaku, yang
kiranya bisa dikembangkan menjadi karya bergenre fiksi fantasi tradisional. Aku
heran kenapa para pengarang fikfan lokal lebih tertarik mengembangkan ide dari
mitologi Barat, anime, dan
semacamnya, ketimbang “kearifan lokal” yang dimiliki neneknya sendiri (I mean these last words literally).
Nibiru dan Kesatria Atlantis – Tasaro GK (Tiga Serangkai, Solo, 2010)
Novel ini seharusnya menggetarkan, tapi aku membacanya tanpa
hasrat sebesar saat aku membaca Garuda 5Utusan Iblis (G5UI). Padahal dari segi alur dan karakter, G5UI lebih
simpel. Padahal sama-sama bermuatan islami.
Novel ini memiliki alur yang cukup pelik, yang dijalankan
oleh banyak tokoh. Sudah begitu persepsi kita terhadap tokoh kadang
dibolak-balik, atau tokoh tertentu ternyata menyimpan atau memberikan hal
terduga. Sebetulnya hebat.
XX – AR Arisandi
(PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007)
Menurutku novel metropop satu ini tergolong aneh, lebih
menyerupai cerita detektif, atau aku lebih suka mengatakannya sebagai dark metropop. Sebelum novel ini, aku
telah membaca tiga novel lain dari pengarang yang sama yaitu Cewephobia, Drop Out, dan Metal vs Dugem,
lalu memutuskan bahwa om-om satu ini adalah favoritku. Aku suka dengan gaya
tuturnya: menurutku ia tahu bagaimana harus menulis—komedi, dan menulis untuk
siapa. Walau XX enggak dilabeli
“komedi” sebagaimana tiga novel lain, dan terkesan serius dengan bahasanya yang
baku, namun ciri khas Om ARA masih kentara, thus
menjadikan novel ini menyegarkan.
Kukira Om ARA cukup piawai membawakan sudut pandang perempuan
yang menjadi tokoh utama dalam novel ini, secara di novel-novel sebelumnya ia
menggunakan sudut pandang orang pertama laki-laki atau sudut pandang orang
ketiga. Nama-nama yang ia pilih untuk beberapa karakter dengan peran penting
agaknya juga memiliki maksud tertentu, seperti: Archie dengan perusahaannya
yang bernama ArchieTech, padahal enggak ada hubungannya dengan arsitektur
melainkan pemrograman komputer atau apa begitu; Hans Sebastian, pengarang buku
tentang hubungan suami-istri atau apa begitu yang mengingatkanku sama pengarang
buku anak-anak—Hans Christian Andersen, yang namanya disebut-sebut juga dalam
novel ini; Liana, tumbuhan yang hidupnya “numpang”, yang menjadi nama bagi
tokoh yang karakternya doyan “numpang” kekayaan lelaki lain); serta Donna yang
ternyata similar dengan XX—emang apa sih XX?—nah itulah rahasia terbesar dalam
novel ini.
Sayang aku enggak begitu gereget dengan alurnya, mungkin
karena aku sudah tahu sebelumnya dari review-review
di Goodreads atau karena konvensi cerita detektif(-detektifan) di mana
segalanya terbongkar di akhir secara blak-blakan enggak menggugahku. Tapi
ternyata masih tersisa kejutan di akhir banget yang belum kuketahui, dan
berhasil menyentuhku. Walau mengingatkan sama film Naomi Watt dengan Edward Norton,
tentang seorang istri yang enggak bahagia dengan kehidupan pernikahannya, namun
ketika ia akhirnya berhasil mencintai suaminya… itu sudah terlambat.
Drop Out dan XX sebagai favoritku dari deretan novel
yang pernah dihasilkan Om ARA memiliki sejumlah kesamaan, yaitu akhir yang
getir, namun tokoh utama menyuarakannya dengan tegar—bahkan mungkin optimis…?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar