Nagabumi I: Jurus tanpa Bentuk – Seno Gumira Ajidarma (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2009)
Novel ini menceritakan tentang seorang pendekar tanpa nama…
ya memang itulah namanya: Pendekar tanpa Nama, yang dituturkan oleh si pendekar
itu sendiri. Usianya 100 tahun, yang 25 tahun sebelumnya ia habiskan dengan bertapa
di dalam gua, hingga sadar bahwa ia menjadi incaran para pendekar, berkat
selebaran yang menghadiahkan 10.000 keping emas bagi kematiannya. Pendekar
tanpa Nama pun keluar dari keterpencilannya. Ia bertemu dengan dunia luar lagi,
diserang oleh banyak orang lagi, tapi ia selalu berhasil mengatasi karena ia
begitu sakti. Ia menyamar untuk mencari keterangan mengenai perburuan dirinya.
Ia sempat dibawa pegawal rahasia kerajaan, dicambuki, diberi ramuan obat, lalu
dilepaskan, tapi tetap diincar, bahkan orang yang mengobatinya pun terbunuh.
Teruslah ia berkelana, bertemu korban dengan rajah Cakrawarti di dadanya,
hingga menyamarkan diri menjadi pembuat lontar sembari menuliskan riwayat
hidupnya. Alur baru pun dimulai…
Novel ini terdiri dari lima bagian, eka sampai panca. Tiap
bagian terdiri dari 20 bab pendek. Setelah alur baru dimulai, yaitu awal
Pendekar tanpa Nama menyadari keberadaan dirinya, alur menjadi bolak-balik
bahkan bertumpuk. Kita ingin tahu kejadian apa yang menimpa Pendekar tanpa Nama
setelah usianya 25 tahun, tapi kita juga penasaran apa yang masih bakal terjadi
padanya di usia 100 tahun. Setelah 19 bab menceritakan masa lalu Pendekar tanpa
Nama, satu bab terakhir dalam setiap bagian kembali pada Pendekar tanpa Nama
yang berusia 100 tahun: si pembuat lontar yang lagi rihat sejenak dari
menceritakan kisah hidupnya, dan merenungkan tentang pembacaan dan penulisan.
Sebagai cerita silat bersejarah yang pernah dimuat secara
bersambung di Suara Merdeka, novel
ini bukannya enggak sensasional dan redundant.
Sensasional karena karena tokoh utamanya begitu sakti dan banyak aksi.
Bagaimana tubuh pesilat melenting-lenting, pedangnya berdenting-denting,
tapaknya berdesing-desing, apa deh, deskripsi yang ditampilkan bikin bayangan
yang muncul dalam kepalaku begitu ciamik. Redundant
karena kutemukan pengulangan demi pengulangan, misal rangkuman kejadian di bab
sebelumnya pada bab baru yang seakan mengingatkan pembaca atau malah si
pencerita itu sendiri akan… sampai di mana kita tadi?
Referensi yang digunakan untuk membangun latar dalam novel
ini pun bukan main… baru kali ini aku menemukan “Daftar Pustaka” di dalam
sebuah novel, dengan keterangan tambahan hingga puluhan halaman. Inilah contoh
karya yang digarap dengan betul-betul serius!
Tokoh-tokoh yang berseliweran di dalam novel inipun
unik-unik. Ada Pendekar Topeng Tertawa yang kalau tertawa malah menimbulkan
kegetiran, Pendekar Tangan Pedang yang aku bingung kalau cebok gimana, Naga
Dadu yang doyan berdandan seperti perempuan, Serigala Putih yang orang Tartar
dan suka membunuh gurunya, Pendekar Lautan Tombak yang barangkali senjatanya
adalah tombak sedang gerakannya seperti lautan, Pendekar Dawai Maut yang walau
kakinya buntung tapi bisa menggantung orang pakai dawai kecapi, Raja Pembantai
dari Selatan yang konon sangat kejam tapi dengan baik hati menransfer ilmunya
pada Pendekar tanpa Nama begitu ajalnya tiba, Pendekar Melati yang harum
melati, Sepasang Naga dari Celah Kledung yang merupakan pengganti orangtua bagi
Pendekar tanpa Nama, dan masih banyak lagi, dan masing-masing memiliki gaya
tempur yang berbeda.
Kukira sebelumnya aku enggak pernah menulis pembacaan
sepanjang yang aku tuliskan untuk novel ini, banyak aspek yang kubahas. Enggak
cuman tentang hal-hal yang telah kusebutkan di atas, tapi masih ada beberapa
poin lagi. Novel yang sangat kaya, dengan penuturan yang gamblang sekaligus subtil.
Tebalnya yang 750-an halaman dengan ukuran font
lumayan kecil bikin sakit mata, dan enggak ingin baca buku lain untuk sementara
waktu…
Sebetulnya ada
beberapa buku lagi. Tapi catatan tentang mereka kusimpan di Bandung, sementara
saat mengetik ini aku sedang di Jogja. Jika diakumulasikan dengan yang sudah
dipajang sebelumnya di blog, ternyata di tahun
2012 ini aku hanya mampu melahap sekitar tiga buku dalam sebulan.
Agaknya di
tahun 2012 pulalah aku merenungkan pembacaan yang telah kulakukan, biar dramatis,
seumur hidupku. Dari sekian buku yang telah aku baca, aku belum merasa jadi
manusia yang berguna. Pembacaanku terasa enggak berarti. Ditambah kecenderungan
pikiranku untuk loncat-loncat, timbul tenggelam. Mata boleh memindai tiap
kata hingga enggak satupun terlewat, tapi yang tertangkap oleh otakku untuk
diproses paling berapa persen sih.
Wacana mengenai
pembacaan sekaligus penulisan akhirnya tertuang dalam (draf) novel yang aku
kerjakan untuk CampNaNoWriMo Agustus 2012. Sebagaimana karakter pendamping dalam
cerita tersebut, aku adalah pembaca yang omnivora. Membaca semaunya, menulis
pun semaunya, hingga aku enggak kunjung sampai pada apa yang sebenarnya ingin
aku tulis.
Aku ingin
memperbaiki pembacaanku. Membaca enggak sekadar membaca. Melainkan fokus
membaca, secara benar-benar, apa yang sebenarnya ingin aku tulis. Dan
mengamalkan kebaikan dari apa yang dibaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar