Selasa, 05 November 2013

Cerita 01 - Cinta Pertama

SEKARANG belum magrib tapi lelembut sudah menampakkan diri.

            Aku menyerahkan edaran arisan padanya, lalu titipan dari Mama untuk Bu Broto. Makhluk itu memasukkan lipatan uang itu ke saku celana pendeknya.

            “Anu.. Itu…” Refleks aku memalingkan kepala begitu gumpalan asap menyerbu. Terbatuk sedikit. “…titipan buat ibunya Mas Tian.”

            Mataku naik perlahan, lalu menubruk lantai begitu menangkap detail lepuh di wajahnya.

            Dia antara menggumam dan terkekeh. Matanya mesti sedang mengamatiku juga.

            “Siapa ya?”

            “Sinta.”

            Mataku kali ini menaksir perutnya. Apa gerangan isinya kalau bukan bayi…

            “Sinta…? Udah gede…”

            Semua yang tampak pada dirinya juga lebih besar dari yang terakhir kuingat.

            “Yang dulu ngajak kawin itu ya?”

            “Permisi,” ucapku. Sandalku menggesek keras lantai semen depan teras.

 

MALAM itu terdengar lagi kata-kata yang haram bagi kuping anak-anak, tapi katarsis bagi dewasa putus asa. Aku hanya menangkap “anjing” dan “sontoloyo”. Kapan aku dengar cakap-cakap di lantai bawah, yang suka teriak-teriak waktu malam itu Tian. Kabarnya, dia diguna-guna sama saingannya, lalu stres karena usahanya bangkrut. Sudah begitu, gana-gininya dikuras istri. Sempat luntang-lantung di jalan, sampai akhirnya kembali tinggal bersama orangtua.

 

DALAM benakku, Tian masih remaja ramping dengan muka bercahaya. Senyum menawan. Sang pangeran.

            Siang-siang aku disuapi pembantu di teras. Tian turun dari ojek. Atasannya putih bersaku, celananya kelabu. Aku meneriakinya. Ia tersenyum dan melambai. Aku ancang-ancang ke arahnya, tapi si mbak menahan. Mas Tian masih capek, sore aja…

            Sore-sore ia mengeluarkan sepeda, disuruh ibunya ke warung. Aku meneriakinya. Ia mengajakku, memboncengkanku di depan. Betapa multitalentanya mulutku. Sambil mengunyah nasi, sambil berceloteh apa saja padanya. Ia selalu menanggapiku dengan lembut. Ia membelikanku es teh.

            Aku selalu ingin mengekorinya ke manapun. Ikut duduk-duduk di teras. Ikut mengambil minuman di dapur. Ikut ke kamar mandi, dan lari begitu ia hendak menurunkan bagian depan celananya di depan jamban. Bahkan ikut mengerjakan tugas bareng teman-temannya di ruang tengah. (Tentu saja, sebenarnya aku cuman celingukan sementara si mbak di teras memanggil-manggilku untuk ‘ak’ lagi.) Ada yang mengira aku adiknya Tian. Aku tersipu-sipu. Tian hanya tersenyum dan mengelus kepalaku sambil lalu.

            Dia yang pertama kali mengajariku membaca. Pada hari pertamaku di SD, sepulang sekolah aku tidak mau mengganti seragam baruku sampai Tian melihatnya.

            Satu hari aku bilang padanya, “Mas Tian, nanti nikahnya sama aku ya…” Aku tidak ingat siapa saja di sekitar kami waktu itu. Hanya ledakan tawa. Tidak ada yang menganggap serius ocehan anak yang usianya belum genap enam tahun kan? Tidak lama setelah itu pula, aku patah hati. Tian meninggalkanku tanpa pamit. Kuliah di Surabaya. Hanya kembali saat lebaran dan liburan. Itupun aku sudah malu untuk mendekatinya. Dia sendiri memang jarang sengaja main ke rumahku.

 

SORE ini dia main ke rumahku.

            Mula-mula dari beranda kamar, aku lihat puncak kepalanya. Lingkaran mengilap dengan helai-helai rambut mencuat. Kalau di Jepang, dia mungkin bakal disebut “kappa”. Ketika kami sudah berhadapan di teras, aku lihat rambut bagian bawahnya bercampur-baur dengan rambut dari mukanya, menjuntai hingga berserakan di sekitar leher dan pundak. Socrates[1] Dia, dalam balutan kain yang membuatnya tampak seperti seorang pria dari Yunani kuno, berlari menyongsongku, meloncati dimensi ruang dan waktu, antara padang mediterania dengan teras rumahku, bebutiran pasir memberkas di jejaknya...

            “Sinta! Aku kembali untuk memenuhi janji!”

            “Janji apa?”

            “Dulu kamu ingin aku menikah denganmu kan?”

            Ada kalanya aku berharap seseorang tidak menepati janjinya.

            “Gimana kabarnya, Sinta?” tanyanya ketika kami sudah duduk di ruang tamu, sementara aku menepis ilusiku.

            Aku hanya menggumam, tidak bisa langsung memberikan jawaban yang enak didengar.

            “Kalau… Mas Tian?”

            “Beginilah.”

            Jeda.

            “Sinta kurusan ya?”

            “Iya.” Otomatis aku tersipu. Aku makan hanya kalau sedang lupa aku ingin bunuh diri.

            Jeda.

            “Sinta jarang keluar rumah ya? Seharian aku lihat jendela. Sintanya enggak kelihatan.”

            “Aku lewat jalan satunya.”

Sebetulnya dia benar, tapi aku tidak mau membuat seorang penguntit senang.

            “Oh… Gitu…”

            Jeda.

            “Sekarang kerja di mana?”

            “Kerja di rumah… Ng, eh, anu, itu, aku… nulis.” Itu saja yang langsung terpikirkan. Pekerjaan apa lagi yang bisa dilakukan dari rumah? Mungkin aku bisa benar-benar mencobanya sampai timbul keberanianku untuk melamar kerja lagi.

            “Hm. Penulis.”

            Dia cuman datang sebentar, meracau, lalu pulang.

Begitu terus hingga berkali-kali dalam beberapa minggu ini.

            Aku tidak bisa menyembunyikan risi tiap kali dia datang. Dalam jaketnya yang bau, duduk mencangkung dengan gestur menyedihkan. Mencari-cari topik pembicaraan yang lama-lama makin tidak keruan. Apapun lanturannya, aku tidak punya cukup perhatian untuk mendengarkan, tertutup rasa enggan. Kuatur jarak serenggang mungkin dengannya tapi masih cukup sopan (lagipula ruang tamu di rumahku sempit sih.) Begitu ia pulang, aku menyemprot ruang tamu dengan penyegar ruangan. Aku juga mesti menyapu titik-titik abu yang jatuh entah dari bagian mana pakaiannya, padahal ia tidak merokok sama sekali selama di sini.

            Satu sore, ketika adikku berteriak dari lantai bawah, “Nta… Ada yang nyari…” Aku menuruni tangga sepelan mungkin, lalu mendesis sampai adikku menoleh. Tanganku memberi isyarat agar ia mendekat.

            “Bilang enggak ada,” bisikku.

Adikku menggerutu. Tapi seorang adik wajib mematuhi perintah kakaknya.

Begitu kembali ke lantai atas, aku dapati pintu yang membatasi kamarku dengan beranda terbentang lebar. Entah si penguntit itu tahu atau tidak di balik beranda ini adalah kamarku. Aku mengintip dari balik pembatas beranda yang berupa kayu bersilang. Dia tengah menanjak jalan menuju rumahnya. Terbungkus jaket lusuh, tubuhnya yang tambun terbungkuk-bungkuk. Jemarinya mengusap-usap kepala, leher. Kadang kepalanya itu bergerak-gerak aneh. Anak-anak yang sedang bermain di jalan sontak menghindar ketika dia lewat, sambil mengawasinya dengan waspada. Di belakang punggungnya mereka berbisik-bisik, diakhiri tawa pendek lagi getir, lalu, seolah lupa, asyik kembali berkejaran, begitu pria malang itu memasuki rumahnya. Dalam keremangan petang dan embusan angin, aku menyadari betapa kesepiannya dia…

Aku masuk kembali ke kamar sambil menutup pintu pelan-pelan. Ketika menoleh, aku bertemu bayangan dalam cermin. Perempuan yang tidak seorangpun menginginkan. Sekarang, ketika akhirnya ada lelaki yang memasuki kehidupanku lagi, sosoknya malah jauh dari harapan.

Mengharap apa kamu, Sinta? Dengan keadaanmu yang seperti ini, mungkin hanya lelaki seperti itu yang layak untukmu.

Bagaimanapun keadaanku lebih baik darinya! Aku memang masih tinggal bersama orangtua, tidak punya pekerjaan dengan hanya sedikit tabungan, wajahku tidak rupawan, dan usiaku juga tidak lagi muda, tapi… (aduh! aku hanya merinci kemiripanku dengannya!) Tapi! Aku tidak marah-marah pada orangtuaku dan bikin takut para tetangga! Aku juga lebih sering mandi daripada dia, aku yakin.

 

ENTAH dia sadar atau tidak kemarin aku menghindarinya. Dia datang lagi dengan rambut sudah dipangkas. Tinggal cambang tipis di muka. Kali ini kami berjalan-jalan. Aku ingat pernah ngabuburit bersamanya di persawahan belakang kompleks ini. Kakiku tercelup lumpur. Aku pulang beralaskan sandalnya yang terlalu besar untuk kakiku. Sandalku yang berbalut lumpur terlalu licin untuk dipakai berjalan. Dia sendiri beralas kaki saja, padahal jalanan di kompleks kami kadang berbatu-batu kecil. Malamnya, si mbak mengembalikan sandal Tian yang sudah dibersihkan.

Selepas dari persawahan yang kini perumahan, kami duduk di pinggir taman yang kini lapangan tenis. Aku pernah menangis di taman ini. Teman sepermainanku bilang ada ulat bulu di bajuku. Yang kucemaskan waktu itu, selain ulat bulu, adalah jangan sampai Tian melihatku histeris seperti ini! Tapi setelah sampai di rumah dan berganti baju, aku malah mengharap-harap, coba tadi ada Tian. Aku ingin tahu apakah dia bakal menenangkanku, mengatakan kalau temanku itu hanya bercanda, tidak ada ulat bulu di bajuku, lalu menghiburku dengan membelikanku es teh.

            Aku menunduk saja selama ia bercerita, membiarkan kata-katanya mengaliri koklea di sudut liang telinga. Tentang temannya yang melarikan uangnya, menjatuhkan usahanya. Si penipu yang tidak bisa lagi dipercaya. Sejak itu, ia sering tidak bisa mengendalikan diri. Barangkali karena itu istrinya minta cerai, dan menuntut hak atas rumah dan anak-anak. Waktu ia mengendap-endap kembali ke rumah untuk menemui anak-anaknya, istrinya memergoki lalu menyiramnya dengan air panas.

            Aku tersenyum malu. Aku bahkan tidak tahu kapan Tian menikah. Keluargaku sempat pindah dari perumahan ini ke perumahan yang lebih dekat dengan pusat kota. Rumah lama dikontrakkan. Kami kembali menempatinya setelah Papa meninggal. Rumah satunya yang lebih besar itu lebih sulit juga untuk diurus, lebih makan biaya dan tenaga.

            Sepanjang perjalanan menuju wilayah RT kami, aku melipat lengan di bawah dada. Untuk menamengi diri dari angin kencang atau untuk merasakan hati yang menghangat, aku tidak pasti. Kami terus berbincang dalam irama pelan, mengikis sungkan.

            “Masak enggak punya pacar sih?” ucapnya.

            Langkah kami melamban hingga berhenti sama sekali. Kami sudah di depan rumahku. Tanganku mengarah pagar.

            “Enggak punya.” Aku menggeleng. Biasanya aku bosan dengan jawaban ini. Tapi kali ini lebih besar penantianku akan tanggapannya.

            Dia bergeming saja.

            Tanganku mendorong pagar.

            “Tapi…”

            “Ya?”

            “…kalau lima ratus punya kan?”

            “Eh?”

            “Lima ratus ribu.” Dia mengangkat kedua tangannya, membentangkan jemarinya.

            “Itu sepuluh.”

            “Iya. Lima…” dia menggoyangkan satu tangan. Lalu tangan lainnya, “nolnya juga lima.”

            Aku terpaku. “Buat apa?”

            Angin menyiramkan daun-daun di antara kami.

            Gumamnya parau, “Berobat, Sinta.”

Dia sudah coba mencari bantuan ke orang pintar, tapi apalah daya, hingga dia pikir orang pintar intelektual mungkin lebih mujarab ketimbang orang pintar tradisional. Kali ini dia ingin coba menemui kenalannya yang psikiater.  

Sesak di dadaku pun memuncak.

            “Aku juga mau, Mas.”[]



[1] Filsuf yang konon tidak tampan dan suka mendatangi orang-orang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain