SEKARANG belum magrib tapi lelembut sudah menampakkan diri.
Aku menyerahkan edaran
arisan padanya, lalu titipan dari Mama untuk Bu Broto. Makhluk itu memasukkan
lipatan uang itu ke saku celana pendeknya.
“Anu.. Itu…” Refleks aku
memalingkan kepala begitu gumpalan asap menyerbu. Terbatuk sedikit. “…titipan
buat ibunya Mas Tian.”
Mataku naik perlahan,
lalu menubruk lantai begitu menangkap detail lepuh di wajahnya.
Dia antara menggumam dan
terkekeh. Matanya mesti sedang mengamatiku juga.
“Siapa ya?”
“Sinta.”
Mataku kali ini menaksir
perutnya. Apa gerangan isinya kalau bukan bayi…
“Sinta…? Udah gede…”
Semua yang tampak pada
dirinya juga lebih besar dari yang terakhir kuingat.
“Yang dulu ngajak kawin
itu ya?”
“Permisi,” ucapku.
Sandalku menggesek keras lantai semen depan teras.
MALAM itu terdengar lagi kata-kata yang haram bagi kuping anak-anak, tapi
katarsis bagi dewasa putus asa. Aku hanya menangkap “anjing” dan “sontoloyo”. Kapan
aku dengar cakap-cakap di lantai bawah, yang suka teriak-teriak waktu malam itu
Tian. Kabarnya, dia diguna-guna sama saingannya, lalu stres karena usahanya
bangkrut. Sudah begitu, gana-gininya dikuras istri. Sempat luntang-lantung di
jalan, sampai akhirnya kembali tinggal bersama orangtua.
DALAM benakku, Tian masih remaja ramping dengan muka bercahaya. Senyum
menawan. Sang pangeran.
Siang-siang aku disuapi
pembantu di teras. Tian turun dari ojek. Atasannya putih bersaku, celananya
kelabu. Aku meneriakinya. Ia tersenyum dan melambai. Aku ancang-ancang ke
arahnya, tapi si mbak menahan. Mas Tian
masih capek, sore aja…
Sore-sore ia mengeluarkan
sepeda, disuruh ibunya ke warung. Aku meneriakinya. Ia mengajakku,
memboncengkanku di depan. Betapa multitalentanya mulutku. Sambil mengunyah
nasi, sambil berceloteh apa saja padanya. Ia selalu menanggapiku dengan lembut.
Ia membelikanku es teh.
Aku selalu ingin
mengekorinya ke manapun. Ikut duduk-duduk di teras. Ikut mengambil minuman di
dapur. Ikut ke kamar mandi, dan lari begitu ia hendak menurunkan bagian depan celananya
di depan jamban. Bahkan ikut mengerjakan tugas bareng teman-temannya di ruang
tengah. (Tentu saja, sebenarnya aku cuman celingukan sementara si mbak di teras
memanggil-manggilku untuk ‘ak’ lagi.) Ada yang mengira aku adiknya Tian. Aku
tersipu-sipu. Tian hanya tersenyum dan mengelus kepalaku sambil lalu.
Dia yang pertama kali
mengajariku membaca. Pada hari pertamaku di SD, sepulang sekolah aku tidak mau
mengganti seragam baruku sampai Tian melihatnya.
Satu hari aku bilang
padanya, “Mas Tian, nanti nikahnya sama aku ya…” Aku tidak ingat siapa saja di
sekitar kami waktu itu. Hanya ledakan tawa. Tidak ada yang menganggap serius
ocehan anak yang usianya belum genap enam tahun kan? Tidak lama setelah itu
pula, aku patah hati. Tian meninggalkanku tanpa pamit. Kuliah di Surabaya.
Hanya kembali saat lebaran dan liburan. Itupun aku sudah malu untuk
mendekatinya. Dia sendiri memang jarang sengaja main ke rumahku.
SORE ini dia main ke rumahku.
Mula-mula dari beranda
kamar, aku lihat puncak kepalanya. Lingkaran mengilap dengan helai-helai rambut
mencuat. Kalau di Jepang, dia mungkin bakal disebut “kappa”. Ketika kami sudah
berhadapan di teras, aku lihat rambut bagian bawahnya bercampur-baur dengan
rambut dari mukanya, menjuntai hingga berserakan di sekitar leher dan pundak. Socrates[1]…
Dia, dalam balutan kain yang membuatnya tampak seperti seorang pria dari Yunani
kuno, berlari menyongsongku, meloncati dimensi ruang dan waktu, antara padang
mediterania dengan teras rumahku, bebutiran pasir memberkas di jejaknya...
“Sinta! Aku kembali untuk memenuhi janji!”
“Janji apa?”
“Dulu kamu ingin aku menikah denganmu kan?”
Ada kalanya aku berharap seseorang tidak
menepati janjinya.
“Gimana kabarnya, Sinta?”
tanyanya ketika kami sudah duduk di ruang tamu, sementara aku menepis ilusiku.
Aku hanya menggumam,
tidak bisa langsung memberikan jawaban yang enak didengar.
“Kalau… Mas Tian?”
“Beginilah.”
Jeda.
“Sinta kurusan ya?”
“Iya.” Otomatis aku
tersipu. Aku makan hanya kalau sedang lupa aku ingin bunuh diri.
Jeda.
“Sinta jarang keluar
rumah ya? Seharian aku lihat jendela. Sintanya enggak kelihatan.”
“Aku lewat jalan
satunya.”
Sebetulnya dia benar, tapi aku tidak mau membuat seorang
penguntit senang.
“Oh… Gitu…”
Jeda.
“Sekarang kerja di mana?”
“Kerja di rumah… Ng, eh,
anu, itu, aku… nulis.” Itu saja yang langsung terpikirkan. Pekerjaan apa lagi
yang bisa dilakukan dari rumah? Mungkin aku bisa benar-benar mencobanya sampai
timbul keberanianku untuk melamar kerja lagi.
“Hm. Penulis.”
Dia cuman datang sebentar,
meracau, lalu pulang.
Begitu terus hingga berkali-kali dalam beberapa minggu ini.
Aku tidak bisa
menyembunyikan risi tiap kali dia datang. Dalam jaketnya yang bau, duduk
mencangkung dengan gestur menyedihkan. Mencari-cari topik pembicaraan yang
lama-lama makin tidak keruan. Apapun lanturannya, aku tidak punya cukup
perhatian untuk mendengarkan, tertutup rasa enggan. Kuatur jarak serenggang
mungkin dengannya tapi masih cukup sopan (lagipula ruang tamu di rumahku sempit
sih.) Begitu ia pulang, aku menyemprot ruang tamu dengan penyegar ruangan. Aku
juga mesti menyapu titik-titik abu yang jatuh entah dari bagian mana
pakaiannya, padahal ia tidak merokok sama sekali selama di sini.
Satu sore, ketika adikku
berteriak dari lantai bawah, “Nta… Ada yang nyari…” Aku menuruni tangga sepelan
mungkin, lalu mendesis sampai adikku menoleh. Tanganku memberi isyarat agar ia
mendekat.
“Bilang enggak ada,”
bisikku.
Adikku menggerutu. Tapi seorang adik wajib mematuhi perintah
kakaknya.
Begitu kembali ke lantai atas, aku dapati pintu yang
membatasi kamarku dengan beranda terbentang lebar. Entah si penguntit itu tahu
atau tidak di balik beranda ini adalah kamarku. Aku mengintip dari balik
pembatas beranda yang berupa kayu bersilang. Dia tengah menanjak jalan menuju
rumahnya. Terbungkus jaket lusuh, tubuhnya yang tambun terbungkuk-bungkuk.
Jemarinya mengusap-usap kepala, leher. Kadang kepalanya itu bergerak-gerak
aneh. Anak-anak yang sedang bermain di jalan sontak menghindar ketika dia
lewat, sambil mengawasinya dengan waspada. Di belakang punggungnya mereka
berbisik-bisik, diakhiri tawa pendek lagi getir, lalu, seolah lupa, asyik
kembali berkejaran, begitu pria malang itu memasuki rumahnya. Dalam keremangan
petang dan embusan angin, aku menyadari betapa kesepiannya dia…
Aku masuk kembali ke kamar sambil menutup pintu pelan-pelan.
Ketika menoleh, aku bertemu bayangan dalam cermin. Perempuan yang tidak
seorangpun menginginkan. Sekarang, ketika akhirnya ada lelaki yang memasuki
kehidupanku lagi, sosoknya malah jauh dari harapan.
Mengharap apa kamu, Sinta? Dengan keadaanmu yang seperti ini,
mungkin hanya lelaki seperti itu yang layak untukmu.
Bagaimanapun keadaanku lebih baik darinya! Aku memang masih
tinggal bersama orangtua, tidak punya pekerjaan dengan hanya sedikit tabungan,
wajahku tidak rupawan, dan usiaku juga tidak lagi muda, tapi… (aduh! aku hanya
merinci kemiripanku dengannya!) Tapi! Aku tidak marah-marah pada orangtuaku dan
bikin takut para tetangga! Aku juga lebih sering mandi daripada dia, aku yakin.
ENTAH dia sadar atau tidak kemarin aku menghindarinya. Dia datang lagi
dengan rambut sudah dipangkas. Tinggal cambang tipis di muka. Kali ini kami
berjalan-jalan. Aku ingat pernah ngabuburit
bersamanya di persawahan belakang kompleks ini. Kakiku tercelup lumpur. Aku
pulang beralaskan sandalnya yang terlalu besar untuk kakiku. Sandalku yang
berbalut lumpur terlalu licin untuk dipakai berjalan. Dia sendiri beralas kaki
saja, padahal jalanan di kompleks kami kadang berbatu-batu kecil. Malamnya, si
mbak mengembalikan sandal Tian yang sudah dibersihkan.
Selepas dari persawahan yang kini perumahan, kami duduk di
pinggir taman yang kini lapangan tenis. Aku pernah menangis di taman ini. Teman
sepermainanku bilang ada ulat bulu di bajuku. Yang kucemaskan waktu itu, selain
ulat bulu, adalah jangan sampai Tian melihatku histeris seperti ini! Tapi
setelah sampai di rumah dan berganti baju, aku malah mengharap-harap, coba tadi
ada Tian. Aku ingin tahu apakah dia bakal menenangkanku, mengatakan kalau
temanku itu hanya bercanda, tidak ada ulat bulu di bajuku, lalu menghiburku
dengan membelikanku es teh.
Aku menunduk saja selama
ia bercerita, membiarkan kata-katanya mengaliri koklea di sudut liang telinga.
Tentang temannya yang melarikan uangnya, menjatuhkan usahanya. Si penipu yang
tidak bisa lagi dipercaya. Sejak itu, ia sering tidak bisa mengendalikan diri.
Barangkali karena itu istrinya minta cerai, dan menuntut hak atas rumah dan
anak-anak. Waktu ia mengendap-endap kembali ke rumah untuk menemui
anak-anaknya, istrinya memergoki lalu menyiramnya dengan air panas.
Aku tersenyum malu. Aku bahkan
tidak tahu kapan Tian menikah. Keluargaku sempat pindah dari perumahan ini ke
perumahan yang lebih dekat dengan pusat kota. Rumah lama dikontrakkan. Kami
kembali menempatinya setelah Papa meninggal. Rumah satunya yang lebih besar itu
lebih sulit juga untuk diurus, lebih makan biaya dan tenaga.
Sepanjang perjalanan
menuju wilayah RT kami, aku melipat lengan di bawah dada. Untuk menamengi diri
dari angin kencang atau untuk merasakan hati yang menghangat, aku tidak pasti. Kami
terus berbincang dalam irama pelan, mengikis sungkan.
“Masak enggak punya pacar
sih?” ucapnya.
Langkah kami melamban
hingga berhenti sama sekali. Kami sudah di depan rumahku. Tanganku mengarah
pagar.
“Enggak punya.” Aku
menggeleng. Biasanya aku bosan dengan jawaban ini. Tapi kali ini lebih besar
penantianku akan tanggapannya.
Dia bergeming saja.
Tanganku mendorong pagar.
“Tapi…”
“Ya?”
“…kalau lima ratus punya
kan?”
“Eh?”
“Lima ratus ribu.” Dia
mengangkat kedua tangannya, membentangkan jemarinya.
“Itu sepuluh.”
“Iya. Lima…” dia
menggoyangkan satu tangan. Lalu tangan lainnya, “nolnya juga lima.”
Aku terpaku. “Buat apa?”
Angin menyiramkan
daun-daun di antara kami.
Gumamnya parau, “Berobat,
Sinta.”
Dia sudah coba mencari bantuan ke orang pintar, tapi apalah
daya, hingga dia pikir orang pintar intelektual mungkin lebih mujarab ketimbang
orang pintar tradisional. Kali ini dia ingin coba menemui kenalannya yang
psikiater.
Sesak di dadaku pun memuncak.
“Aku juga mau, Mas.”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar