NAMAKU Deshinta Belia.
Aku lahir pada bulan ketika orang dalam lagu “I Am a Rock” menatap keluar jendela, ke
jalan di bawah. Sendirian. Membatu bak patung. Tidak seorangpun menemani.
Kadang kehadiran orang lain malah menyakitkan. Cinta? Jangan bicarakan itu.
Kalau aku matipun, hanya keluargaku yang tahu. Aku tidak suka menyentuh orang.
Tidak seorangpun menyentuhku.
Tapi keadaan berubah, benakku berhenti menerjemahkan lirik
lagu Simon & Garfunkel itu, ketika seseorang mengetuk pintu kamarku.
Wajahnya baru sekali ini kulihat. Dengan keceriaan yang
sanggup menyegarkan bunga sedap malam hingga siang.
“Kak Sinta?”
Tapi suaranya seperti pernah kudengar.
Aku menyambut uluran tangannya.
“Zeya. Pacarnya Mareno.”
Dari celah pintu yang terkuak makin lebar, aku lihat adikku
menyeringai padaku, sementara tangannya tetap aktif mengutak-atik joystick di ruang tengah lantai atas
ini.
“Sinta,” balasku, berupaya agar bibirku menampilkan senyum
alih-alih menjiplak roman adikku. Bersamaan dengan itu kulihat tangan anak itu
memegang buku—bukuku—maksudnya, buku karangan Richard Lloyd Parry. Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan.
“Kak, aku boleh pinjam buku ini enggak?” Ia mengangkat buku
itu. Mungkin sadar perhatianku sudah terpancing ke sana. “Katanya Reno ini
punya Kakak.”
“Boleh sih.”
“Asyik… Eh, makasih ya, Kak.”
Aku yakin yang di wajahku ini senyum, demi melihat anak itu
berseri-seri. Aku mengangguk-angguk.
“Kamu enggak pinjam teenlit
aja?”
“Teenlit?” Wajahnya
mengerut. “Males. Ceritanya gitu-gitu aja.”
Begitu pula hidupmu kan, Nak? Bocah-bocah pecicilan macam
kamu itu yang diceritakan dalam teenlit-teenlit.
“Sukanya jurnalistik ya?”
“Iya! Soalnya…”
Dan pertemuan itu mengawali kembalinya masa remajaku.
NAMA sebenarnya Azizah Soraya. Tapi ia menyebut Zeya pada siapa-siapa,
menulis Zeya, atau Zeia, di mana-mana. Tidak apa-apa. Aku juga punya nama beken
saat SMA: Debel. Singkatan dari nama lengkapku. Terdengar seperti “Rebel”—keren
saja. Padahal aku bukan pembangkang, pemberontak, apalagi perusuh sama sekali.
Atasanku selalu masuk ke dalam rok—kecuali kalau keluar sendiri. Aku rajin
mengumpulkan PR. Aku berusaha mengerjakan ulanganku sendiri. Aku tidak pernah
mengomando kelas untuk bolos berjamaah.
Zeya sebetulnya cukup sering
ke rumahku, sejak sebelum jadi pacar adikku. Mulanya mereka sering mengerjakan
tugas kelompok bareng. Memang sesekali adikku membawa teman-temannya ke rumah,
ke ruang tengah di lantai atas. Tapi aku tidak pernah melihat muka mereka walau
pintu kamarku berbatasan dengan ruang tengah. Pintu kamar selalu kututup saat
mereka datang, jadi aku hanya dengar suara mereka.
Zeya bercita-cita jadi
jurnalis. Ia memiliki blog, juga akun di suatu situs di mana orang saling
berbagi dan mengomentari cerita. Aku pun tertarik. Aku kan berniat mencoba profesi
penulis juga. Aku pun mendaftar jadi anggota di situs itu. Kupakai nama Jo
Rock, alter egoku yang berdomisili di negara Dunia Pertama, seorang kaukasoid.
Nama aslinya Joanna. Suaminya bernama Robert, panggil saja Bob Rock. Avatarku
gambar batu. Memang aku belum tahu mau memajang apa. Menulis saja belum.
Setidaknya aku mulai dengan mengomentari cerita orang lain dulu untuk
mengumpulkan poin. Memang situs itu mensyaratkan anggotanya untuk mengumpulkan
poin dulu hingga jumlah tertentu sebelum dapat memajang ceritanya sendiri.
Aku pikir lebih baik
mulai dari menulis cerita yang mudah. Cerita remaja. Aku menulis novel tentang
remaja cowok yang ganteng tapi bodoh dan ceroboh. Menurutku di dunia ini tidak
ada cowok ganteng yang sempurna, yang baik hatinya. Sebab kalau ada cowok
ganteng yang baik hatinya, cowok itu mesti sudah meminangku jadi istrinya sejak
kapan.
Atau mungkin aku harus
mencari cowok ganteng yang rabun matanya sehingga ia melihat cewek murni dari
hatinya saja.
Ah. Itu bisa jadi
karakter untuk novelku yang berikutnya.
Novel itu kuketik dalam
lima hari, lalu kutukar dengan cerpen Zeya. Kami saling mengomentari.
“Aku suka banget novel
Kakak! Aku sampai kebayang-bayang pingin punya temen kayak dia, sama saudara
kembarnya itu loh, Kak. Bahasanya Kakak juga beda. Enggak kayak teenlit-teenlit biasanya yang gitu-gitu
aja. Aku jadi nambah kosakata baru. Terus banyak referensi lagu-lagunya juga.
Cuman konfliknya itu, Kak, kurang kerasa.”
Aku mesem-mesem.
Gilirannya. Aku
memberitahu banyaknya pengulangan dalam cerpennya itu. Logikanya yang
meragukan. Pembukaannya yang tidak berhubungan dengan konflik. Bahkan cerpen
sepanjang lima halaman itu sebetulnya bisa diringkas jadi dua halaman saja.
Ia menganga. “Kakak kok
keren sih?”
Aku tersipu-sipu.
Belakangan aku aktif berburu esai dan jurnal yang membahas karya-karya fiksi.
Kalau kamu sudah melalui masa menjadi mahasiswa dan mengerjakan skripsi, Nak,
kamu akan terbiasa melakukannya. Dan andai dia tahu, teenlit garapanku itu kurancang agar unsur-unsurnya mengandung
simbolisme dan alegori. Latarnya kukemas dengan budaya populer sekaligus lokal,
sehingga pas benar dengan jargon think
globally act locally. Untuk diksi, memang aku sengaja mengaduk-aduk KBBI.
Tiap kalimat sebisa mungkin kubikin berima. Tidak lupa aku membaca Pengkajian Puisi dari Rachmat Djoko
Pradopo untuk mengasah sensitivitasku dalam berbahasa. Konfliknya… Karakternya…
Semua kubuat sedemikian rupa agar mewakili jiwa zamannya—zeitgeist!
Dia melongo saja saat
kuungkapkan pemikiranku itu.
Juga kukemukakan bagaimana sebuah teenlit seharusnya. Teenlit
yang serius. “Aku bikin ini emang untuk anak-anak serius kayak kamu, Zeya.
Bukan anak-anak yang melulu mikirin pacaran, fashion, nongkrong di mal, dan hal-hal ringan kayak gitu. Aku ingin
bikin anak-anak seusia kamu memikirkan apa yang benar-benar mereka inginkan,
yang terus menggali ke dalam dirinya sendiri, menemukan jiwanya yang sejati.”
“Wow. Kayaknya berat tuh, Kak.” Ia menahan napas. “Tapi
keren.”
Selanjutnya kami mendengarkan lagu-lagu yang aku muatkan
dalam novelku. Aku jelaskan padanya mengenai aliran psychedelic dalam musik, menganalisis perbedaan antara Tame Impala
dengan Unknown Mortal Orchestra, membeberkan pengaruh jazz dalam musikalitas Chandra Darusman, sampai membandingkan mutu
lirik lagu-lagu Indonesia dari dekade ke dekade yang mengalami penurunan.
Aku membiarkannya meminjam lebih banyak bukuku, terutama
novel-novel para pemenang nobel sastra. Dia tidak tahu kalau tidak satupun dari
novel itu yang sudah kubaca. Aku akan menelusuri ulasan tentang novel-novel itu
di internet supaya tidak gagu amat kalau nanti dia ingin membicarakan. Aku
membeli novel-novel itu dalam keadaan paketan, harga bantingan, dalam pameran
yang aku sudah lupa tahun kapan. Mungkin saat aku masih SMA, saat aku masih
menjadi gadis yang penuh mimpi sepertinya, yang memandang keren semua hal yang
tidak ia mengerti, termasuk dirinya sendiri.
ZEYA aktif mengasah insting jurnalistiknya atau memang tabiatnya untuk
selalu penasaran. Ketika Tian, akhirnya, pulang, Zeya menghampiriku dan
bertanya, “Itu siapa, Kak? Cowoknya yaa?”
“Bukan,” kernyitku,
“cuman tetangga,” yang suka datang untuk pinjam uang atau sekadar membicarakan
cuaca.
Tapi topik yang paling
membuatku jengah adalah mengenai adikku sendiri. Sebetulnya patut kusayangkan. Remaja
seatraktif Zeya ternyata seleranya sangat tipikal macam adikku itu. Yang
ganteng, kalem, dan pintar begitulah. Walau aku bisa mendaftar keburukan adikku
sampai berlembar-lembar, tapi, mungkin tidak apa-apa kalau kubeberkan satu-dua.
NAMAKU Deshinta Belia.
Sinta adalah istri Rama.
Perempuan terhormat yang tidak bisa menangkap sendiri kijang yang
diinginkannya, yang diculik raksasa lalu diselamatkan pasukan kera. (Yah. Tian
memang kadang terlihat seperti kera raksasa sih.)
Belia berarti harapan
agar aku berjiwa muda-remaja selamanya, seperti anak SMA.
AKU sedang menulis novel baru. Aku ingin mengorek informasi dari Zeya
mengenai tren di kalangan remaja sekarang. Ini novel yang kurencanakan untuk
dikirim ke penerbit, jadi aku ingin membuatnya se-hip mungkin. Aku juga sudah menambah koleksi lagu. Karena Zeya
sedang mendapatkan mata pelajaran Bahasa Jerman di sekolahnya, aku ikut
mempelajari bahasa itu secara otodidak di rumah. Karena itu yang kuunduh adalah
lagu-lagu berbahasa Jerman yang populer pada zamannya dari mulai “Mein kleiner grüner Kaktus” (Vienna
Harmonists), “Sag Mir Wo Die Blumen Sind”
(Marlene Dietrich), “Das Modell”
(Kraftwerk), sampai “Be Cool Speak
Deutsch” (Die Prinzen)… Banyak deh!
Siang menjelang sore,
tiap adikku pulang dari sekolah, aku berharap ia membawa Zeya serta. Tapi sudah
berminggu-minggu ini harapanku tidak terkabul.
Aku pun menegur adikku.
Ia membalas dengan
merengut. Kurongrong ia terus.
“Udah putus,” katanya
ketus.
“Kenapa?!” seruku ngeri.
“Kenapa kamu sia-siain cewek kayak dia?!”
Memang adikku itu lamban,
kurang inisiatif, masih tidur sama mamanya, dan gemar menonton berulang-ulang
pria-pria paruh baya main mobil-mobilan[1], tapi bukankah
tanpa mengetahui sisi-sisi itu Zeya mengatakan kalau adikku sangat tipenya?
Biarpun adikku mungkin mengecewakannya tapi bukankah sebagai gantinya ia
mendapatkan kakak ipar yang asyik dan keren dan seru sepertiku?
“Kamu sih,” serangnya.
“Jangan di kamar aja makanya. Kawin… Kerja!”
“Kamu kali, jadi cowok
enggak becus!” balasku.
Karena aku telah bertekad
untuk menjadi seorang pekerja kreatif, maka aku mesti pandai memanfaatkan
segala emosi menjadi bahan untuk berkarya. Maka, setengah jam bertukar bentakan
dengan adikku cukup untuk memberiku bahan sekaligus informasi mengenai sebab
yang membuatnya putus dengan ceweknya, yang kuakhiri dengan melemparinya pakai
sepatu lantas ia kabur ke kamarnya, sedang aku sendiri duduk di kamar dan
menulis cerita tentang Remaja Pemimpi yang berteman dengan Dewasa Sok Tahu.
Pada mulanya, Remaja Pemimpi mengagumi teman barunya itu, walau tidak yakin
harus memanggilnya “Kak” atau “Tante” mengingat jarak usia mereka yang, baru belakangan
ia ketahui, memang sampai belasan tahun. Tapi kemudian Remaja Pemimpi merasa
kalau Dewasa Sok Tahu terlalu asyik dengan dunianya hingga abai kalau rekening
listrik dan air dan gas dan beras dan tempe dan tahu mesti dibayar, hingga
khilaf kalau di dunia ini ada pekerjaan selain mencuci piring, menyapu, mengepel,
menyetrika, menyiram tanaman, dan mengenang masa yang telah lama lalu lewat
tulisan, hingga tidak sempat mencari pacar lain yang tidak mirip genderuwo.
(Tian bukan pacarku!) Remaja Pemimpi pun khawatir hubungannya dengan Dewasa Sok
Tahu akan memengaruhi nasibnya hingga berakhir seperti itu juga. Dewasa Sok
Tahu ternyata hanya Dewasa Pemimpi! Remaja Pemimpi pun meninggalkannya dan
berubah jadi Remaja Sok Tahu.
AKU juga tidak mau jadi diriku.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar