WANITA seumurku seharusnya menulis romance.
Wanita seumurku
seharusnya punya karier dan bergelimang kemapanan dan satu-satunya yang ia
khawatirkan hanyalah apakah pria di kubik sebelah—atau perusahaan
sebelah—memiliki perasaan yang sama dengannya, tanpa ia sadari bahwa cinta
sejatinya ternyata berada lebih dekat dari urat lehernya sendiri… Sepertinya
itu cinta sejati yang “lain”—maaf aku baru mendengarkan pengajian. O tidak,
tidak. Aku tidak pergi ke masjid. Daya speaker
masjid cukup besar untuk menyiarkan seruan hingga kamarku.
Jika ada satu cara cepat
untuk menjual tulisan dan menambah tabungan, maka itu adalah menulis romance. Orang-orang menyukai romance. Mereka suka dibuai dalam
perasaan yang mengharu-biru, mencairkan kebekuan hati mereka dengan mengintip
percintaan orang lain.
Tapi aku tidak suka
membaca romance.
Bukan aku tidak pernah
membaca satupun. Aku hanya tidak pernah menemukan diriku dalam cerita semacam
itu.
Dan satu-satunya pria
dalam kehidupanku sekarang, selain adikku yang tidak bisa diandalkan itu,
hanyalah tetanggaku semasa kecil: seorang duda yang tiap beberapa minggu sekali
datang untuk pinjam uang. Kadang ia datang hanya untuk mengobrol, tapi hubungan
memang sepatutnya dijaga kan, supaya aku tidak merengut kali berikutnya ia
datang untuk, pastinya, pinjam uang.
Aku perlihatkan padanya
isi dompetku yang hanya berupa lipatan beberapa ribuan, yang jumlahnya bahkan
lebih sedikit ketimbang lipatan bon, dan receh. “Aku belum ke ATM lagi,” dan
tidak ada yang bisa memaksaku melakukannya karena rekeningku di bank sudah
kututup bersamaan dengan pengunduran diriku dari pekerjaan yang terakhir.
Tinggal beberapa juta tersimpan dalam lipatan baju di lemari ibuku, tapi tentu
saja aku tidak akan membiarkan Tian tahu.
Ia mengangkat sebelah
tangan lalu jemarinya itu melipat satu per satu, menyapu bantalan tangan dan
melakukan gerakan seperti mengunyah, dan, aku yakin mataku sama sekali tidak
berkedip, tapi, bagaimana lembaran biru itu tahu-tahu berada di sana? Dan ia
serahkan ke tanganku.
“Segitu dulu ya.”
“Habis main sulap di
mana, Mas?” Jangan-jangan ia yang pasang iklan BADUT SULAP di tiang listrik—di
atas SEDOT WC.
Ia tertawa. “Itu komisi.
Ada teman perlu alprazolam. Aku bawa ke Anton.”
Aku sodorkan lagi
lembaran itu. “Balikinnya sekalian aja, Mas.” Atau kapan ketika perdagangan
obat penenang tanpa resep dan di luar apotik tidak lagi ilegal.
“Enggak apa-apa. Buat
jajan.”
“Ah, enggak. Makasih.” Aku
belum mau menambah dosa, sudah cukup dengan yang diperbuat tanganku sendiri.
“Buat Mas Tian aja, kalau-kalau nanti butuh lagi, gitu.” Jadi ia tidak perlu
lebih sering kemari.
“Enggak, Sinta. Aku udah
enggak pakai yang gitu-gitu lagi. Udah jarang ketemu Anton juga.” Hidungnya
berkerut. Bibirnya mengernyih. Dan baru aku sadari kalau memang sudah lama ini
ia tidak pernah lagi membuat kegaduhan. Dulu dari rumahnya kerap terdengar
serapah dan barang-barang dibanting. Para pembantu mengatakan kepada anak majikannya,
“Itu ada beruk ngamuk hih, kalau enggak makan entar dikejar-kejar loh.” Anak-anak
yang lebih besar menyangka Pak dan Bu Broto memelihara orang gila. Mereka
kasak-kusuk ingin melihat. Tapi ketika Tian menampakkan sosok di jendela,
mereka kocar-kacir. Ketika Tian keluar dan menyusuri jalanan menuju rumahku,
mereka kian jauh menyingkir.
Obat penenang memang
menunjukkan khasiatnya, tapi terlebih dulu Tian berterima kasih padaku yang
telah meminjamkan uang untuk membeli obat-obatan itu. Ya dulu mana aku tahu dia
akan membelinya tanpa resep dari psikiater, toh psikiater itu sendiri yang
jualan!
“Gimana bisnis menulis
kamu, Sinta, lancar?” tanyanya setelah duduk di kursi ruang tamu.
Aku menjawab dengan gumaman yang sama tidak jelasnya dengan
nasib kepenulisanku. Inginku bisa menulis seperti A. S. Laksana dan James
Thurber, tapi menghasilkan racauan sepanjang dua halaman kuarto/hari saja sudah
prestasi bagi pemula sepertiku. Dan racauan itu hanya pantas dimuat dalam buku
harian, alih-alih koran. “Mas mau nulis juga?”
Ia tersenyum sambil menggeleng. Sekilas aku merasa pesonanya
tampak, atau mungkin karena efek lampu LED yang memancar dari langit-langit
ruang tamu—cuaca lagi mendung. Bekas cukuran membayang di dagunya. Matanya yang
kecil. Kulitnya yang putih. Jidatnya yang makin lebar saja ke atas, berbatasan
dengan garis-garis rambutnya yang lurus pendek. Bahkan aku bisa mencium aroma
sabun yang segar. Tubuhnya yang agak gemuk itu pasti empuk kalau dipeluk-peluk.
Ia datang untuk pinjam koran, juga kertas dan alat tulis. Ia ingin
koran regional, alih-alih yang nasional. Ia membuka lembaran iklan. Kubiarkan
ia corat-coret di ruang tamu, sementara aku lanjutkan pekerjaanku di ruangan
lain. Corat-coret juga, tapi hanya cerpen yang tidak jadi-jadi, atau mukaku
sendiri, yang lebih memuaskanku ketimbang yang sehari-hari kulihat di cermin.
Sesekali aku tengok Tian. Ia pergi dengan meninggalkan koran dalam keadaan
terlipat, alat tulis di atasnya, sedang kertas ia bawa.
Begitulah tiap beberapa hari sekali. Tidak sekalipun ia
datang untuk pinjam uang lagi. Hanya mencatat entah apa dari lembaran iklan di
koran, dengan kertas yang ia dapat secara cuma-cuma.
TIAN mengajakku melihat tanah di Ranca-apa-namanya. Sebetulnya hanya di
pinggiran kota, tapi bagiku seperti daerah antah berantah. Kami menunggangi
motor rombeng yang Tian pinjam dari bapaknya, menerobos udara sehabis hujan
sepagian. Lalu lintas makin sepi seiring jalan yang mendaki dan berkerikil.
Rumah-rumah perlahan terkuak hingga yang tampak seringnya kebun, hutan… Tian
memarkir motornya di kaki sebuah bukit kecil. Menunggu sejenak. Seorang lelaki
paruh baya berkulit legam menyongsong. Aku ikuti mereka berjalan sembari
menggosok-gosokkan tangan dengan lengan bagian atas, menanjaki jalan setapak
yang membelah bukit itu, melewati pohon-pohon yang entah apa nama
masing-masing—semua tampak sama. Sesekali pepohonan itu meneteskan sesuatu yang
dingin ke rambutku, kulitku. Bukan permainan yang menyenangkan, Pohon.
Menjelang puncak, aku berjongkok, masih mendekap tubuhku sendiri, sembari
memandangi lanskap kota yang mengabu. Kuhirup udara dalam-dalam. Isi
paru-paruku seakan termurnikan. Di belakangku perbincangan Tian dengan bapak
itu. Bisnis kayu prospeknya lagi bagus,
sempat Tian berkata di perjalanan tadi. Bapak itu memberinya saran jenis-jenis
apa yang kiranya cocok dikembangkan di lahan itu.
Entah kapan bapak itu
pergi. Aku dapati Tian termenung sendiri. “Jadinya mau tanam apa, Mas?”
tegurku. Belum tahu. Titik-titik air jatuh lagi, kali ini berbondong-bondong
dari langit. Kami turuni bukit. Tian menujuk balai-balai di tepi jalan, tidak
jauh dari tempatnya memarkir motor. Dari balai-balai itu, tatapanku menyapu
kaki. Aku menjerit. Tian yang sudah beberapa langkah di depanku pun kembali.
Aku nyaris terjungkal demi makhluk hitam panjang menggeliat yang menancap di
kakiku dan bentuknya berubah-ubah itu. Iiih…! Tian berjongkok lalu meraih
kakiku. Ia mengambil sebatang rokok dari balik jaket, meruyak silindernya.
Remah-remah di dalamnya ia gunakan untuk menaklukkan hewan itu hingga terguling
ke tanah. Baru kali ini aku mensyukuri seseorang sebagai perokok.
“Dah,” katanya. Aku
embuskan napas sebesar-besarnya.
Begitu sampai di
balai-balai, aku cek lagi kakiku, bagian dalam pipa celana jeans yang kukenakan, hingga kuraba-raba sekalian sekujur tungkai
kakiku, barangkali ada yang tersangkut lagi. Itu kali terakhir kuingat jantungku
masih berdebar kencang. Selanjutnya Tian menawariku kacang rebus. Pedagangnya
juga sedang berteduh. Lalu bertambah pisang rebus, jagungnya kutolak, Tian
mengupas kedelai, kami menyeruput bajigur.
Aku ingat, bagaimana
dulu, ketika umurku belum genap enam tahun dan seorang anak bilang ada ulat
bulu di rokku saat kami sedang di taman perumahan, aku mengharapkan Tian sekonyong-konyong
datang untuk menenangkanku, menyingkirkan ulat itu atau malah membuktikan anak
itu hanya bercanda, lalu supaya rajukanku makin reda, ia akan membawaku ke
warung dan membelikanku jajanan yang kusuka. Tidak kusangka, baru setelah dua
puluh tahun lebih angan itu menjadi nyata.
TIAN mengajakku lagi, kali ini melihat rumah. Aku tidak sempat melihat
nama jalannya. Yang jelas lokasinya dekat pusat kota. Memang bukan di sisi
jalan raya, tapi jalanan di depan rumah itu sering dilintasi pengendara mobil
dan motor, apalagi pejalan kaki, sebagai jalan pintas.
Sudah ada yang menunggu
di teras ketika kami sampai. Rumah itu tidak besar, juga tidak kecil.
Halamannya sepertinya cukup untuk menampung belasan pot, sedang carport-nya dua mobil.
Entahlah… Aku merasa déjà vu. Tidak.
Ini memang momen yang kutunggu-tunggu. Bersama suami mencari rumah baru. Suami…
Tian sudah masuk ke dalam
rumah bersama orang itu. Akupun menyusul. Dan menemukan ruangan yang melompong.
Ada satu kamar di sisi kiri. Aku bayangkan tempat tidur, lemari, dan meja rias
mengisinya. Ruangan sebelahnya terbuka, di sini bisa diletakkan karpet untuk
anak-anak bermain (anak-anak siapa?!).
Lalu rak-rak berisi buku dan mainan dan perabotan. Kaca membatasi ruangan itu
dengan halaman berlumut di belakang rumah. Di sini bisa dibangun kolam, dengan
kura-kura dan ikan-ikan sehingga anak-anak bisa belajar mencintai lingkungan
sejak dini. Di sisi lain ruangan adalah dapur. Oh. Di sini kita meletakkan meja
makan, dengan kursi-kursi mengitarinya. Di sini kita menaruh sofa dan TV. Di
sini kita mencocol rujak bersama-sama sebagai keluarga yang bahagia. Oh… Tian!
Tian…! Aku menyusulnya ke lantai atas. Oh… Di sini kamar anak kita yang
pertama. Di sini kamar anak kita yang kedua. Di sini aku menjemur pakaian kita,
dan di sini aku menyeterika. Di sini kita memandang bintang-bintang, dan
melupakan masa lalu kita…
“Mas, menurut Mas rumah
ini gimana?”
Tian mengusap-usap
janggut. “Entah ya. Usaha apa yang kira-kira bagus di sini?”
Setelah tiga rumah dan 88
peluang bisnis rumahan, Tian bertanya padaku, “Kamu sukanya bisnis apa, Sinta?”
“Bisnis rumahan…?” Aku
tertegun. Aku mengingat-ingat apa saja yang disebutkan tiap-tiap penunggu
rumah. Warnet. Fotokopi. Laundry. Garage sale. Biro jasa. Depot es batu.
“Menulis.”
Toh menulis sama saja
dengan bisnis rumahan lainnya kan, aku tetap bisa bekerja sambil mengawasi
anak-anak…
“Gimana prospeknya
menulis?” Tian memandangku serius.
“Menulis itu kayak main piano,”
kataku, walau aku tidak pernah belajar piano sama sekali. “Orang harus latihan
dulu bertahun-tahun baru bisa mainin musik yang layak didengerin. Nulis juga
gitu,” menurut panduan menulis yang pernah aku baca entah kapan di mana.
“Jadi kamu inginnya
menulis.”
“Ya.” Kalau aku pandai
berhubungan dengan orang lain, tentu aku tidak akan gonta-ganti pekerjaan dan
berakhir sebagai penulis kapiran.
“Enggak apa-apa,”
katanya, yang entah kenapa membuatku tenang. Seolah restu darinya agar aku bisa
terus menulis penting sekali.
“Jadinya Mas mau usaha
apa?” tanyaku ketika kami sudah kembali duduk di ruang tamu rumahku.
“Entah ya.” Ia
menggaruk-garuk alis. “Aku mau bikin analisis usaha dulu.”
Katanya lagi setelah terdiam sebentar, “Sinta adanya berapa?”
Aku termenung, tapi sebentar kemudian insaf kalau tiap usaha
tentulah membutuhkan modal, tapi tetap saja berat untukku mengungkapkannya.
“Kalau udah balik modal segera aku balikan, Sinta. Aku
janji.”
Katanya mata tidak berdusta, tapi ketika melihat mata Tian kusadari
bahasa mata tidak kalah sulit dari bahasa Jerman. Bisnis memerlukan keputusan
yang cepat dan tepat. Kukira orang yang pernah ditipu temannya tidak akan mengulangi
kesalahan yang sama, maksudnya, mengulangi kesalahan temannya itu. Tian sedang
mencoba bangkit setelah usahanya dijatuhkan temannya sendiri, seharusnya aku
mendukung upayanya yang terpuji itu.
“Tabunganku cuman.. empat juta.”
Seingatku lima juta, tapi aku mesti sisihkan untuk
kebutuhanku sendiri, kan?
“Enggak apa-apa…” Ia tersenyum tipis. Lalu, “Sinta percaya
sama Mas, kan?”
Bisnis adalah soal kepercayaan.
“Ya,” kataku.
Kubuka lipatan baju yang menyelubungi simpananku. Setelah
dikurangi empat juta, ternyata sisanya hanya empat puluh ribu.
Bisnis adalah pertaruhan. Uangku tidak bakal ke mana-mana,
kalau… aku dan Tian… selalu bersama.
TIAN mengajakku keluar beberapa kali lagi. Tapi lama-lama aku enggan.
Bisnis begituan merepotkan sekali. Mesti survei ke sana kemari. Lagipula aku
kan punya “bisnis” lain di rumah, yang akibatnya terbengkalai. Aku perlu
mengumpulkan konsentrasi lagi untuk menghasilkan tulisan. Tapi sudah duduk di
kamar tanpa gangguan pun aku terpikir Tian. Mengenang perlakuannya padaku di Ranca-apa-namanya
itu, aku termesem-mesem. Dalam umur menjelang paruh baya begitu, fisiknya
memang tidak lagi menawan. Tapi dalam kenanganku akan masa kecil bersamanya
yang begitu indah, ia masihlah tetangga yang diam-diam kudambakan, kujadikan
pahlawan, cinta pertama… dan terakhir?
Ketika melihatnya
mengeluarkan motor, mungkin hendak melakukan “perjalanan bisnis” lagi hari itu,
aku pikir, ia memang tidak sempurna. Tapi ia menunjukkan bahwa kebangkrutan
bukanlah akhir. Dengan berbagai cara ia berusaha untuk bangkit. Rela berjerih
payah. Bukankah kualitas itu yang patut dimiliki seorang suami?
“Mas,” kataku, ketika ia
mampir lagi untuk memindai iklan di koran hari itu. Ia menatapku. Tapi aku
malah garuk-garuk leher yang tidak gatal, menggemeretakkan jemari di lutut,
menggoyang-goyangkan kaki seolah menginjak mesin jahit. Uh! Emansisapi sialan!
Kenapa aku tidak tunggu saja sampai Tian sendiri yang tertarik padaku—entah
kapan! Matanya kembali ke koran. “Mas,” tegurku. Matanya kembali… “Kepikiran
untuk berumah tangga lagi?” Aku mulai terdengar seperti perempuan genit di
sinetron, dan tidak mengerti kenapa jemariku mendadak haus sentuhan begini.
Tian memancangkan mata
padaku, menanti.
“Aku…” Aku
menunduk-nunduk. Melihatnya lagi. Menunduk lagi. Aku tidak akan seperti mantan
istrimu. Apapun yang terjadi padamu nanti, aku tidak akan mengusirmu dari
rumah, menuntut gana-gini sepenuhnya. Aku akan membiarkan anak-anak dekat
denganmu, dan tidak akan pernah menyirammu dengan air panas hingga meninggalkan
luka bakar di separuh wajah dan tanganmu. Aku akan berusaha menjadi istri
idaman, mengabdi pada keluarga. Aku akan membiarkanmu merokok, asal tidak di
rumah. “Aku…” Kedua tanganku bergerak-gerak tidak menentu. Napasku tidak
keruan. “Mungkin kita…” Kepalaku sekarang yang bergerak-gerak tidak menentu.
Bibit kugigit-gigit. “Lalu semua berhenti. Aku tidak bisa mengatakannya. Oh,
andai kami punya bluetooth di kepala
kami masing-masing!
“Sinta.” Ia letakkan
koran di meja. “Kalau maksud Sinta… itu…”
“Ya… Itu…!” seruku canggung, lalu kembali menunduk malu.
“Belum. Aku belum siap.”
Ia terkekeh pelan. Mungkin untuk mencairkan suasana yang mendadak serius. Aku
tersenyum-senyum juga tapi sungkan menatap wajahnya. Ia berdeham, lalu berkata
dengan parau, “Yah… Banyak yang harus ditata ulang… Satu per satu… Sinta.”
Dan menikah ada di urutan
entah keberapa.
Lagipula bisnisnya masih
belum pasti.
Kutelan rambutan yang
mendadak bercokol di pangkal kerongkongan. “Enggak apa-apa.” Aku
mengangguk-angguk.
“Ah…” Ia menyandarkan
punggung sejenak, lalu condong lagi, “Kemarin akhirnya nemu yang strategis di
Jalan Tamblong. Sinta, mau bikin butik?”
Aku menggeleng.
Aku harus menulis.
JATUH cinta dan patah hati dalam waktu berdekatan membuatku paham mengenai
apa yang bisa ditulis dalam sebuah romance.
Aku pun mencipta karakter, mengarang konflik… Hari-hariku menjadi rutin tanpa
kusadari. Berjam-jam aku mencorat-coret kertas, lalu mengetikkan hasilnya di
komputer. Sesekali aku menyelinginya dengan pekerjaan rumah atau membaca. Lewat
dari dua belas jam, aku pun lelah dan dan tidur. Ketika bangun, kuulangi
aktivitas serupa. Dua minggu tidak terasa. Aku sudah mengetik sekitar 50.000
kata, ketika aliran ideku macet. Heroine-ku
tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengatasi patah hatinya. Tokoh pria
yang jadi incarannya pun tidak pernah mendatanginya lagi. Beberapa hari aku
gelisah, mengais-ngais inspirasi dari dalam rumah.
Apa yang dilakukan
seorang penulis untuk memecahkan blokade mentalnya?
Sepertinya aku perlu
keluar dari sarangku.
Tian.
Barangkali pertemuan
dengannya bisa memberi inspirasi.
Entah kapan terakhir kali
aku melihatnya, dari beranda, saat ia mengeluarkan motor dari rumahnya—mungkin
hendak melakukan “perjalanan bisnis” hari itu, masih menganggapnya sebagai
calon suami ideal… Matang. Berpengalaman. Gigih.
Memang aku mesti sabar.
Sore aku ke rumahnya.
Ibunya yang membukakan pintu. Aku tanyakan Tian. Rautnya yang semula
memprihatinkan berangsur-angsur mengkhawatirkan.
“Aduh, Sinta, Ibu enggak
tahu lagi anak itu…”
Pak Broto yang kebetulan
lewat mendadak nimbrung, “Apa cari-cari bajingan itu!? Enggak usah balik
sekalian!” lalu masuk kamar dengan gerundelan masih terdengar.
Orangtua macam apa yang
menyebut anaknya sendiri bajingan? Eh. Anak macam apa sampai-sampai disebut
orangtuanya sendiri bajingan? Memang saat Tian baru kembali tinggal di rumah
ini, dan masih dalam periode “kacau” akibat kepailitan dan perceraian,
caci-makinya pada orangtua acap terdengar sampai jauh. Tapi itu kan sudah lama
lalu. Kukira Tian sudah membaik…
Bu Broto tampak tidak
enak karena polah suaminya. Begitupun aku. Ia menyentuh bahuku. “Nanti kalau
Tian udah pulang, Ibu kasih tahu biar ke rumah Sinta.”
“Mas Tian emang ke mana?”
“Nah… itu dia… Ibu enggak
tahu… Udah berapa minggu ini enggak di rumah. Perginya enggak bilang-bilang…
Motor dibawa juga… Duh, aduh…”
“Mungkin lagi sibuk sama
bisnisnya, Bu…”
“Yah… Mudah-mudahan…
Dihubungin HP-nya juga enggak nyambung…”
Tidak tahu apa lagi yang
bisa kukatakan, akupun pamit. Begitu sampai di rumah, kubuka koran. Barangkali
ada berita tentang mayat tidak dikenal, atau berinisial PTB—Putra Titian
Baskoro, nama panjang Tian… atau, dia hanya pergi begitu saja? Mencari
peruntungan di kota lain? Tapi aku kan sudah mempercayainya…
Duh. Masak romance yang kutulis mesti berujung
misteri?![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar