Sabtu, 23 November 2013

Cerita 05 - Pebisnis Militan

WANITA seumurku seharusnya menulis romance.

            Wanita seumurku seharusnya punya karier dan bergelimang kemapanan dan satu-satunya yang ia khawatirkan hanyalah apakah pria di kubik sebelah—atau perusahaan sebelah—memiliki perasaan yang sama dengannya, tanpa ia sadari bahwa cinta sejatinya ternyata berada lebih dekat dari urat lehernya sendiri… Sepertinya itu cinta sejati yang “lain”—maaf aku baru mendengarkan pengajian. O tidak, tidak. Aku tidak pergi ke masjid. Daya speaker masjid cukup besar untuk menyiarkan seruan hingga kamarku.

            Jika ada satu cara cepat untuk menjual tulisan dan menambah tabungan, maka itu adalah menulis romance. Orang-orang menyukai romance. Mereka suka dibuai dalam perasaan yang mengharu-biru, mencairkan kebekuan hati mereka dengan mengintip percintaan orang lain.

            Tapi aku tidak suka membaca romance.

            Bukan aku tidak pernah membaca satupun. Aku hanya tidak pernah menemukan diriku dalam cerita semacam itu.

            Dan satu-satunya pria dalam kehidupanku sekarang, selain adikku yang tidak bisa diandalkan itu, hanyalah tetanggaku semasa kecil: seorang duda yang tiap beberapa minggu sekali datang untuk pinjam uang. Kadang ia datang hanya untuk mengobrol, tapi hubungan memang sepatutnya dijaga kan, supaya aku tidak merengut kali berikutnya ia datang untuk, pastinya, pinjam uang.

            Aku perlihatkan padanya isi dompetku yang hanya berupa lipatan beberapa ribuan, yang jumlahnya bahkan lebih sedikit ketimbang lipatan bon, dan receh. “Aku belum ke ATM lagi,” dan tidak ada yang bisa memaksaku melakukannya karena rekeningku di bank sudah kututup bersamaan dengan pengunduran diriku dari pekerjaan yang terakhir. Tinggal beberapa juta tersimpan dalam lipatan baju di lemari ibuku, tapi tentu saja aku tidak akan membiarkan Tian tahu.

            Ia mengangkat sebelah tangan lalu jemarinya itu melipat satu per satu, menyapu bantalan tangan dan melakukan gerakan seperti mengunyah, dan, aku yakin mataku sama sekali tidak berkedip, tapi, bagaimana lembaran biru itu tahu-tahu berada di sana? Dan ia serahkan ke tanganku.

            “Segitu dulu ya.”

            “Habis main sulap di mana, Mas?” Jangan-jangan ia yang pasang iklan BADUT SULAP di tiang listrik—di atas SEDOT WC.

            Ia tertawa. “Itu komisi. Ada teman perlu alprazolam. Aku bawa ke Anton.”

            Aku sodorkan lagi lembaran itu. “Balikinnya sekalian aja, Mas.” Atau kapan ketika perdagangan obat penenang tanpa resep dan di luar apotik tidak lagi ilegal.

            “Enggak apa-apa. Buat jajan.”

            “Ah, enggak. Makasih.” Aku belum mau menambah dosa, sudah cukup dengan yang diperbuat tanganku sendiri. “Buat Mas Tian aja, kalau-kalau nanti butuh lagi, gitu.” Jadi ia tidak perlu lebih sering kemari.

            “Enggak, Sinta. Aku udah enggak pakai yang gitu-gitu lagi. Udah jarang ketemu Anton juga.” Hidungnya berkerut. Bibirnya mengernyih. Dan baru aku sadari kalau memang sudah lama ini ia tidak pernah lagi membuat kegaduhan. Dulu dari rumahnya kerap terdengar serapah dan barang-barang dibanting. Para pembantu mengatakan kepada anak majikannya, “Itu ada beruk ngamuk hih, kalau enggak makan entar dikejar-kejar loh.” Anak-anak yang lebih besar menyangka Pak dan Bu Broto memelihara orang gila. Mereka kasak-kusuk ingin melihat. Tapi ketika Tian menampakkan sosok di jendela, mereka kocar-kacir. Ketika Tian keluar dan menyusuri jalanan menuju rumahku, mereka kian jauh menyingkir.

            Obat penenang memang menunjukkan khasiatnya, tapi terlebih dulu Tian berterima kasih padaku yang telah meminjamkan uang untuk membeli obat-obatan itu. Ya dulu mana aku tahu dia akan membelinya tanpa resep dari psikiater, toh psikiater itu sendiri yang jualan!

            “Gimana bisnis menulis kamu, Sinta, lancar?” tanyanya setelah duduk di kursi ruang tamu.

Aku menjawab dengan gumaman yang sama tidak jelasnya dengan nasib kepenulisanku. Inginku bisa menulis seperti A. S. Laksana dan James Thurber, tapi menghasilkan racauan sepanjang dua halaman kuarto/hari saja sudah prestasi bagi pemula sepertiku. Dan racauan itu hanya pantas dimuat dalam buku harian, alih-alih koran. “Mas mau nulis juga?”

Ia tersenyum sambil menggeleng. Sekilas aku merasa pesonanya tampak, atau mungkin karena efek lampu LED yang memancar dari langit-langit ruang tamu—cuaca lagi mendung. Bekas cukuran membayang di dagunya. Matanya yang kecil. Kulitnya yang putih. Jidatnya yang makin lebar saja ke atas, berbatasan dengan garis-garis rambutnya yang lurus pendek. Bahkan aku bisa mencium aroma sabun yang segar. Tubuhnya yang agak gemuk itu pasti empuk kalau dipeluk-peluk.

Ia datang untuk pinjam koran, juga kertas dan alat tulis. Ia ingin koran regional, alih-alih yang nasional. Ia membuka lembaran iklan. Kubiarkan ia corat-coret di ruang tamu, sementara aku lanjutkan pekerjaanku di ruangan lain. Corat-coret juga, tapi hanya cerpen yang tidak jadi-jadi, atau mukaku sendiri, yang lebih memuaskanku ketimbang yang sehari-hari kulihat di cermin. Sesekali aku tengok Tian. Ia pergi dengan meninggalkan koran dalam keadaan terlipat, alat tulis di atasnya, sedang kertas ia bawa.

Begitulah tiap beberapa hari sekali. Tidak sekalipun ia datang untuk pinjam uang lagi. Hanya mencatat entah apa dari lembaran iklan di koran, dengan kertas yang ia dapat secara cuma-cuma. 

 

TIAN mengajakku melihat tanah di Ranca-apa-namanya. Sebetulnya hanya di pinggiran kota, tapi bagiku seperti daerah antah berantah. Kami menunggangi motor rombeng yang Tian pinjam dari bapaknya, menerobos udara sehabis hujan sepagian. Lalu lintas makin sepi seiring jalan yang mendaki dan berkerikil. Rumah-rumah perlahan terkuak hingga yang tampak seringnya kebun, hutan… Tian memarkir motornya di kaki sebuah bukit kecil. Menunggu sejenak. Seorang lelaki paruh baya berkulit legam menyongsong. Aku ikuti mereka berjalan sembari menggosok-gosokkan tangan dengan lengan bagian atas, menanjaki jalan setapak yang membelah bukit itu, melewati pohon-pohon yang entah apa nama masing-masing—semua tampak sama. Sesekali pepohonan itu meneteskan sesuatu yang dingin ke rambutku, kulitku. Bukan permainan yang menyenangkan, Pohon. Menjelang puncak, aku berjongkok, masih mendekap tubuhku sendiri, sembari memandangi lanskap kota yang mengabu. Kuhirup udara dalam-dalam. Isi paru-paruku seakan termurnikan. Di belakangku perbincangan Tian dengan bapak itu. Bisnis kayu prospeknya lagi bagus, sempat Tian berkata di perjalanan tadi. Bapak itu memberinya saran jenis-jenis apa yang kiranya cocok dikembangkan di lahan itu.

            Entah kapan bapak itu pergi. Aku dapati Tian termenung sendiri. “Jadinya mau tanam apa, Mas?” tegurku. Belum tahu. Titik-titik air jatuh lagi, kali ini berbondong-bondong dari langit. Kami turuni bukit. Tian menujuk balai-balai di tepi jalan, tidak jauh dari tempatnya memarkir motor. Dari balai-balai itu, tatapanku menyapu kaki. Aku menjerit. Tian yang sudah beberapa langkah di depanku pun kembali. Aku nyaris terjungkal demi makhluk hitam panjang menggeliat yang menancap di kakiku dan bentuknya berubah-ubah itu. Iiih…! Tian berjongkok lalu meraih kakiku. Ia mengambil sebatang rokok dari balik jaket, meruyak silindernya. Remah-remah di dalamnya ia gunakan untuk menaklukkan hewan itu hingga terguling ke tanah. Baru kali ini aku mensyukuri seseorang sebagai perokok.

            “Dah,” katanya. Aku embuskan napas sebesar-besarnya.

            Begitu sampai di balai-balai, aku cek lagi kakiku, bagian dalam pipa celana jeans yang kukenakan, hingga kuraba-raba sekalian sekujur tungkai kakiku, barangkali ada yang tersangkut lagi. Itu kali terakhir kuingat jantungku masih berdebar kencang. Selanjutnya Tian menawariku kacang rebus. Pedagangnya juga sedang berteduh. Lalu bertambah pisang rebus, jagungnya kutolak, Tian mengupas kedelai, kami menyeruput bajigur.

            Aku ingat, bagaimana dulu, ketika umurku belum genap enam tahun dan seorang anak bilang ada ulat bulu di rokku saat kami sedang di taman perumahan, aku mengharapkan Tian sekonyong-konyong datang untuk menenangkanku, menyingkirkan ulat itu atau malah membuktikan anak itu hanya bercanda, lalu supaya rajukanku makin reda, ia akan membawaku ke warung dan membelikanku jajanan yang kusuka. Tidak kusangka, baru setelah dua puluh tahun lebih angan itu menjadi nyata.

 

TIAN mengajakku lagi, kali ini melihat rumah. Aku tidak sempat melihat nama jalannya. Yang jelas lokasinya dekat pusat kota. Memang bukan di sisi jalan raya, tapi jalanan di depan rumah itu sering dilintasi pengendara mobil dan motor, apalagi pejalan kaki, sebagai jalan pintas.

            Sudah ada yang menunggu di teras ketika kami sampai. Rumah itu tidak besar, juga tidak kecil. Halamannya sepertinya cukup untuk menampung belasan pot, sedang carport­­­-nya dua mobil. Entahlah… Aku merasa déjà vu. Tidak. Ini memang momen yang kutunggu-tunggu. Bersama suami mencari rumah baru. Suami…

            Tian sudah masuk ke dalam rumah bersama orang itu. Akupun menyusul. Dan menemukan ruangan yang melompong. Ada satu kamar di sisi kiri. Aku bayangkan tempat tidur, lemari, dan meja rias mengisinya. Ruangan sebelahnya terbuka, di sini bisa diletakkan karpet untuk anak-anak bermain (anak-anak siapa?!). Lalu rak-rak berisi buku dan mainan dan perabotan. Kaca membatasi ruangan itu dengan halaman berlumut di belakang rumah. Di sini bisa dibangun kolam, dengan kura-kura dan ikan-ikan sehingga anak-anak bisa belajar mencintai lingkungan sejak dini. Di sisi lain ruangan adalah dapur. Oh. Di sini kita meletakkan meja makan, dengan kursi-kursi mengitarinya. Di sini kita menaruh sofa dan TV. Di sini kita mencocol rujak bersama-sama sebagai keluarga yang bahagia. Oh… Tian! Tian…! Aku menyusulnya ke lantai atas. Oh… Di sini kamar anak kita yang pertama. Di sini kamar anak kita yang kedua. Di sini aku menjemur pakaian kita, dan di sini aku menyeterika. Di sini kita memandang bintang-bintang, dan melupakan masa lalu kita…

            “Mas, menurut Mas rumah ini gimana?”

            Tian mengusap-usap janggut. “Entah ya. Usaha apa yang kira-kira bagus di sini?”

            Setelah tiga rumah dan 88 peluang bisnis rumahan, Tian bertanya padaku, “Kamu sukanya bisnis apa, Sinta?”

            “Bisnis rumahan…?” Aku tertegun. Aku mengingat-ingat apa saja yang disebutkan tiap-tiap penunggu rumah. Warnet. Fotokopi. Laundry. Garage sale. Biro jasa. Depot es batu. “Menulis.”

            Toh menulis sama saja dengan bisnis rumahan lainnya kan, aku tetap bisa bekerja sambil mengawasi anak-anak…

            “Gimana prospeknya menulis?” Tian memandangku serius.

            “Menulis itu kayak main piano,” kataku, walau aku tidak pernah belajar piano sama sekali. “Orang harus latihan dulu bertahun-tahun baru bisa mainin musik yang layak didengerin. Nulis juga gitu,” menurut panduan menulis yang pernah aku baca entah kapan di mana.

            “Jadi kamu inginnya menulis.”

            “Ya.” Kalau aku pandai berhubungan dengan orang lain, tentu aku tidak akan gonta-ganti pekerjaan dan berakhir sebagai penulis kapiran.

            “Enggak apa-apa,” katanya, yang entah kenapa membuatku tenang. Seolah restu darinya agar aku bisa terus menulis penting sekali.

            “Jadinya Mas mau usaha apa?” tanyaku ketika kami sudah kembali duduk di ruang tamu rumahku.

            “Entah ya.” Ia menggaruk-garuk alis. “Aku mau bikin analisis usaha dulu.”

Katanya lagi setelah terdiam sebentar, “Sinta adanya berapa?”

Aku termenung, tapi sebentar kemudian insaf kalau tiap usaha tentulah membutuhkan modal, tapi tetap saja berat untukku mengungkapkannya.

“Kalau udah balik modal segera aku balikan, Sinta. Aku janji.”

Katanya mata tidak berdusta, tapi ketika melihat mata Tian kusadari bahasa mata tidak kalah sulit dari bahasa Jerman. Bisnis memerlukan keputusan yang cepat dan tepat. Kukira orang yang pernah ditipu temannya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, maksudnya, mengulangi kesalahan temannya itu. Tian sedang mencoba bangkit setelah usahanya dijatuhkan temannya sendiri, seharusnya aku mendukung upayanya yang terpuji itu.

“Tabunganku cuman.. empat juta.”

Seingatku lima juta, tapi aku mesti sisihkan untuk kebutuhanku sendiri, kan?

“Enggak apa-apa…” Ia tersenyum tipis. Lalu, “Sinta percaya sama Mas, kan?”

Bisnis adalah soal kepercayaan.

“Ya,” kataku.

Kubuka lipatan baju yang menyelubungi simpananku. Setelah dikurangi empat juta, ternyata sisanya hanya empat puluh ribu.

Bisnis adalah pertaruhan. Uangku tidak bakal ke mana-mana, kalau… aku dan Tian… selalu bersama.

 

TIAN mengajakku keluar beberapa kali lagi. Tapi lama-lama aku enggan. Bisnis begituan merepotkan sekali. Mesti survei ke sana kemari. Lagipula aku kan punya “bisnis” lain di rumah, yang akibatnya terbengkalai. Aku perlu mengumpulkan konsentrasi lagi untuk menghasilkan tulisan. Tapi sudah duduk di kamar tanpa gangguan pun aku terpikir Tian. Mengenang perlakuannya padaku di Ranca-apa-namanya itu, aku termesem-mesem. Dalam umur menjelang paruh baya begitu, fisiknya memang tidak lagi menawan. Tapi dalam kenanganku akan masa kecil bersamanya yang begitu indah, ia masihlah tetangga yang diam-diam kudambakan, kujadikan pahlawan, cinta pertama… dan terakhir?

            Ketika melihatnya mengeluarkan motor, mungkin hendak melakukan “perjalanan bisnis” lagi hari itu, aku pikir, ia memang tidak sempurna. Tapi ia menunjukkan bahwa kebangkrutan bukanlah akhir. Dengan berbagai cara ia berusaha untuk bangkit. Rela berjerih payah. Bukankah kualitas itu yang patut dimiliki seorang suami?

            “Mas,” kataku, ketika ia mampir lagi untuk memindai iklan di koran hari itu. Ia menatapku. Tapi aku malah garuk-garuk leher yang tidak gatal, menggemeretakkan jemari di lutut, menggoyang-goyangkan kaki seolah menginjak mesin jahit. Uh! Emansisapi sialan! Kenapa aku tidak tunggu saja sampai Tian sendiri yang tertarik padaku—entah kapan! Matanya kembali ke koran. “Mas,” tegurku. Matanya kembali… “Kepikiran untuk berumah tangga lagi?” Aku mulai terdengar seperti perempuan genit di sinetron, dan tidak mengerti kenapa jemariku mendadak haus sentuhan begini.

            Tian memancangkan mata padaku, menanti.

            “Aku…” Aku menunduk-nunduk. Melihatnya lagi. Menunduk lagi. Aku tidak akan seperti mantan istrimu. Apapun yang terjadi padamu nanti, aku tidak akan mengusirmu dari rumah, menuntut gana-gini sepenuhnya. Aku akan membiarkan anak-anak dekat denganmu, dan tidak akan pernah menyirammu dengan air panas hingga meninggalkan luka bakar di separuh wajah dan tanganmu. Aku akan berusaha menjadi istri idaman, mengabdi pada keluarga. Aku akan membiarkanmu merokok, asal tidak di rumah. “Aku…” Kedua tanganku bergerak-gerak tidak menentu. Napasku tidak keruan. “Mungkin kita…” Kepalaku sekarang yang bergerak-gerak tidak menentu. Bibit kugigit-gigit. “Lalu semua berhenti. Aku tidak bisa mengatakannya. Oh, andai kami punya bluetooth di kepala kami masing-masing!

            “Sinta.” Ia letakkan koran di meja. “Kalau maksud Sinta… itu…”

            “Ya… Itu…!” seruku canggung, lalu kembali menunduk malu.

            “Belum. Aku belum siap.” Ia terkekeh pelan. Mungkin untuk mencairkan suasana yang mendadak serius. Aku tersenyum-senyum juga tapi sungkan menatap wajahnya. Ia berdeham, lalu berkata dengan parau, “Yah… Banyak yang harus ditata ulang… Satu per satu… Sinta.”

            Dan menikah ada di urutan entah keberapa.

            Lagipula bisnisnya masih belum pasti.

            Kutelan rambutan yang mendadak bercokol di pangkal kerongkongan. “Enggak apa-apa.” Aku mengangguk-angguk.

            “Ah…” Ia menyandarkan punggung sejenak, lalu condong lagi, “Kemarin akhirnya nemu yang strategis di Jalan Tamblong. Sinta, mau bikin butik?”

            Aku menggeleng.

            Aku harus menulis.

 

JATUH cinta dan patah hati dalam waktu berdekatan membuatku paham mengenai apa yang bisa ditulis dalam sebuah romance. Aku pun mencipta karakter, mengarang konflik… Hari-hariku menjadi rutin tanpa kusadari. Berjam-jam aku mencorat-coret kertas, lalu mengetikkan hasilnya di komputer. Sesekali aku menyelinginya dengan pekerjaan rumah atau membaca. Lewat dari dua belas jam, aku pun lelah dan dan tidur. Ketika bangun, kuulangi aktivitas serupa. Dua minggu tidak terasa. Aku sudah mengetik sekitar 50.000 kata, ketika aliran ideku macet. Heroine-ku tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengatasi patah hatinya. Tokoh pria yang jadi incarannya pun tidak pernah mendatanginya lagi. Beberapa hari aku gelisah, mengais-ngais inspirasi dari dalam rumah.

            Apa yang dilakukan seorang penulis untuk memecahkan blokade mentalnya?

            Sepertinya aku perlu keluar dari sarangku.

            Tian.

            Barangkali pertemuan dengannya bisa memberi inspirasi.

            Entah kapan terakhir kali aku melihatnya, dari beranda, saat ia mengeluarkan motor dari rumahnya—mungkin hendak melakukan “perjalanan bisnis” hari itu, masih menganggapnya sebagai calon suami ideal… Matang. Berpengalaman. Gigih.

            Memang aku mesti sabar.

            Sore aku ke rumahnya. Ibunya yang membukakan pintu. Aku tanyakan Tian. Rautnya yang semula memprihatinkan berangsur-angsur mengkhawatirkan.

            “Aduh, Sinta, Ibu enggak tahu lagi anak itu…”

            Pak Broto yang kebetulan lewat mendadak nimbrung, “Apa cari-cari bajingan itu!? Enggak usah balik sekalian!” lalu masuk kamar dengan gerundelan masih terdengar.

            Orangtua macam apa yang menyebut anaknya sendiri bajingan? Eh. Anak macam apa sampai-sampai disebut orangtuanya sendiri bajingan? Memang saat Tian baru kembali tinggal di rumah ini, dan masih dalam periode “kacau” akibat kepailitan dan perceraian, caci-makinya pada orangtua acap terdengar sampai jauh. Tapi itu kan sudah lama lalu. Kukira Tian sudah membaik…

            Bu Broto tampak tidak enak karena polah suaminya. Begitupun aku. Ia menyentuh bahuku. “Nanti kalau Tian udah pulang, Ibu kasih tahu biar ke rumah Sinta.”

            “Mas Tian emang ke mana?”

            “Nah… itu dia… Ibu enggak tahu… Udah berapa minggu ini enggak di rumah. Perginya enggak bilang-bilang… Motor dibawa juga… Duh, aduh…”

            “Mungkin lagi sibuk sama bisnisnya, Bu…”

            “Yah… Mudah-mudahan… Dihubungin HP-nya juga enggak nyambung…”

            Tidak tahu apa lagi yang bisa kukatakan, akupun pamit. Begitu sampai di rumah, kubuka koran. Barangkali ada berita tentang mayat tidak dikenal, atau berinisial PTB—Putra Titian Baskoro, nama panjang Tian… atau, dia hanya pergi begitu saja? Mencari peruntungan di kota lain? Tapi aku kan sudah mempercayainya…

            Duh. Masak romance yang kutulis mesti berujung misteri?![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain