KUJEPIT bagian depan rambutku yang mengembang indah. Memang tadi aku habis
keramas, setelah seminggu… atau lebih—lupa. Ikal-ikalnya yang alami (karena
tidak pernah disisir) kuatur dengan jari supaya rada rapi. Kupulas bedak di
muka untuk menyamarkan komedo dan bekas jerawat. Sebelumnya bibir sudah kusikat
(sekalian menggosok gigi)—membersihkannya dari serpihan kulit mati. Aku
mengolesnya dengan margarin supaya nanti tidak kering amat.
Betapa cantiknya aku,
dalam penerangan bohlam dan tidak ada perempuan lain di dekatku.
Di lemari Mama, aku menemukan rok panjang bermotif batik
kembang, kupakai hingga di atas dada, kututup dengan kaos gombrang berlogo
sebuah harian—hadiah berlangganan—yang sepertinya belum pernah dipakai, baunya
saja masih kayak kertas. Di rak sepatu, aku mendapatkan bot semata kaki milik
adikku yang sepertinya dulu dibeli untuk keperluan cosplay. Supaya tidak lecet, aku mengenakan kaos kaki hitam yang
puncaknya satu senti di atas tepian bot.
Sekali lagi aku mematut
diri di depan cermin panjang yang menempel pada pintu lemari Mama.
Biarlah. Ini kan bukan
kencan.
Aku hanya hendak menemani
tetanggaku berobat ke psikiater.
Ya... Dia memang laki-laki.
Laki-laki biasanya
mencari perempuan yang setingkat lebih rupawan darinya. Karena itu aku mesti
terima laki-laki yang kerupawanannya setingkat lebih rendah dariku.
Ini bukan kencan.
Tian meminjam motor
bapaknya.
“Kamu yakin, butuh obat juga?”
Mata Tian menelitiku,
seolah mencari tanda-tanda kekurangberesan pada diriku. Sebelum dia sadar untuk
sebaiknya menyarankanku ke dermatolog dan butik alih-alih mengikutinya ke dokter
jiwa, aku segera duduk di belakangnya.
Aku hanya ingin tahu
ruang tunggu psikater itu seperti apa. Barangkali sesampai di sana, aku
tergerak untuk mencari tahu masalahku juga.
“Uangnya janji aku
balikin, Sinta,” kata Tian di perjalanan.
Aku tidak begitu peduli. Toh
dia pinjam uangku itu untuk kebaikan dirinya juga. Aku harap psikiater memang
bisa meredakan masalah-masalahnya. Lagipula aku sendiri sedang sibuk
mempertimbangkan apa aku punya masalah yang cukup serius untuk diutarakan pada
seorang psikiater. Ketakutanku untuk beranjak dari keadaanku sekarang,
misalnya. Jodoh yang tidak kunjung datang. Pekerjaan yang tidak pernah tepat.
Oh! Betapa bijaksananya Tuhan yang menciptakan kehidupan ini, lengkap dengan
orang-orang semacam psikiater itu! Laksana software
yang tidak lengkap tanpa virus dan antivirus. Sayur tanpa garam. Bubur ayam
tanpa ayam. Nasi timbel tanpa lalapan.
Tian memarkir motor di
halaman restoran “Rempah Kampung”.
“Mau makan dulu, Mas?”
tanyaku sementara dia membetulkan letak motor di sela-sela motor lainnya.
“Janjiannya di sini.”
“Katanya mau ketemu
psikiater?”
“Iya, di sini.”
Sepertinya dia rada sebal aku tanya berulang-ulang. Maka aku bungkam selama
mengekorinya ke dalam. Jemarinya yang gemuk memenceti tuts ponsel yang dililiti
karet gelang. Kepalanya celingukan, lalu melongok. Jalannya kembali cepat,
menuju tempat duduk di samping kolam. Agak ramai pengunjung di sekitar situ.
Dia menghampiri seorang lelaki yang duduk sendiri sambil menyesap jus alpukat.
“Anton?”
“Oh. Hei.”
Mereka berjabat tangan.
“Duduk, duduk…”
Selagi Tian menurunkan tubuh dengan kikuk, aku diam sejenak
di belakangnya. Wajah lelaki itu sepertinya mengandung lem. Bikin mataku
lengket. Sudah duduk di samping Tian pun, tatapku masih belum bisa lepas. Pada wajahnya
yang tirus, lehernya yang jenjang, rambutnya yang cepak, kacamatanya yang
berlensa buram padahal malam begini. Begitu dia selesai mengutak-atik ponselnya
di bawah meja lalu memasukkannya ke saku kemeja, aku mengalihkan tatapanku pada
lele-lele di kolam. Aku rasa dia memergokiku. Ekor mataku menangkap senyumnya.
Harusnya itu membuatku merasa bagai habis minum es jeruk di tengah gurun, tapi
aku malah merasa ada yang menempelkan es batu ke kudukku.
“Pesen minum dulu.”
Tian tidak begitu saja
patuh. Aku tidak tahu apa lagi yang terjadi di antara mereka karena aku terus
memandang lele-lele. Berapa menit kemudian lele-lele itu sudah mencoloki mataku
hingga terdengar geretak jemari Tian di meja, di tengah dentang denting-cakap
orang-tapak langkah…
“Berapa?” Tian menggeram.
“Nanti aja.”
Denting. Cakap. Langkah.
“Tumben bawa temen.”
“Dia mau juga.”
“Hm.”
Mata dua lelaki itu
menggelitiki pipiku, leherku, punggungku. Aku menoleh.
Senyum masih mengambang
di wajahnya, tapi kali ini menyakiti mataku.
“Keperluannya?
Benzodiazepine? Sedatif?”
“Ke psikiaternya jadi?”
Kuabaikan lelaki itu biarpun dia menanyaiku dengan respek. Tatapku memohon pada
Tian. Tidak ada respons.
Kutengok lagi lelaki itu dengan enggan. Baru kusadari sebelah
tangannya diperban. “Tangannya kenapa?” Kamu memang cerdas, Sinta. Solusi
terbaik saat tidak bisa menjawab pertanyaan adalah dengan balik bertanya.
“Ah, ini.” Dia mengangkat
sedikit tangannya yang terbalut itu,
menengoknya sekilas. “Digigit.”
“Digigit?”
“Iya... Tadi… Ada pasien
yang pas waktunya minum obat maunya cuman sama saya. Tapi pas dikasih, eh,
sukanya ngegigit…”
Hm…?
“Sebentar.” Kepalanya tahu-tahu condong ke arahku. Hingga
jelas benar di mataku lekuk hidungnya yang menawan, bibirnya yang penuh
memerah. Perubahan air mukanya meremangkan bulu romaku. Punggungnya tegak lagi
pada sandaran kursi. Senyumnya melebar. Napasnya tersengal. Dia
mengamat-amatiku lagi dari jarak yang membuat tubuhku mundur perlahan. “Desi ya?”
Tian menatapku, ingin tahu.
Tapi aku tidak tahu.
Lelaki itu tertawa
tertahan-tahan. “Desi kan? Ahahah, ya ampun, Desi.” Dia menggeleng-gelengkan
kepala, menempelkan sebelah tangannya yang baik-baik saja ke dahi lalu
melepaskannya lagi. “Saya selalu mikirin kamu, Desi, hah, ya Tuhan…” Kepalanya
condong lagi ke arahku. Kedua tangannya menumpuk di bawah dagu. Rautnya
menatapku sungguh-sungguh. “Kamu ada masalah apa, Desi?”
Tian mendeham. “Barangnya…
bisa sekarang?”
Lelaki itu mengangkat tas
kertas berlogo merek parfum ternama dari kursi di sampingnya, lalu menaruh
benda itu begitu saja di depan Tian. Tanpa sedikitpun melirik Tian.
Aku tidak tahu mesti
menjawab apa. Dia menyandarkan punggungnya lagi di kursi. Menggeleng-geleng
pelan. Tatapnya melayap ke dinding batu di atas kolam. “Ampun, ya ampun.” Dia
mendesah. Kepalanya dekat lagi, agak meneleng. Alisnya yang tebal menurun.
Matanya meredup. Tanyanya lambat-lambat, suaranya makin rendah, “Kamu… depresi…?”
“Eng—enggak. Saya… saya… cuman
nemenin Mas Tian aja. Katanya mau ke psikiater.”
“Oh…” Dia menarik
tubuhnya lagi. Ekspresinya itu, entah lega entah prihatin. Wallahualam.
“Anton.” Tian
menyelamatkanku dari sorot yang memenjarakanku itu. Dalam lengkungan tangannya,
kulihat lipatan uang merah. “Ini cash
ya.”
“Entar aja,” sanggahnya.
“Kayaknya kita mau
langsungan aja,” sambung Tian.
“Kok buru-buru? Minum
dulu… Makan dulu… Mas!” Sebelah tangannya yang baik-baik saja melambai pada
pramusaji. Daftar menu pun terbentang lebar di depan kami. “Kamu mau pesan apa,
Desi?” Dia meniti daftar dengan serius. “Mas Putra?”
Tatapan Tian bertanya, “Gimana?”
“Udah makan tadi di
rumah,” kataku.
“Enggak apa-apa… Makan
lagi aja… Kita kan lama enggak ketemu, Desi… Lele, mau?”
Maka kami sama-sama
membiarkan lelaki itu memesankan apa saja untuk kami. Begitu pramusaji pergi,
tatapnya yang mengerikan itu kembali padaku.
“Nah. Desi. Gimana
kabarnya?”
BIAR kuperjelas.
Namaku Deshinta Belia.
Hanya keluargaku dan tetanggaku semasa kecil yang memanggilku Sinta. Lainnya,
Desi. Begitupun dengan Tian, yang lengkapnya adalah Putra Titian Baskoro
sehingga lazimnya dikenal juga sebagai Putra.
Nama lelaki itu Anton Iskandardinata. Anak-anak memanggilnya Otto. Tapi tidak seorangpun bernyali menambahkan “ng” di belakang nama beken itu. Kami bersekolah di SD yang sama, selama bertahun-tahun di kelas yang sama.
Dia cowok yang kalau tidak ada guru bakal duduk di meja
dengan sepatu menjejak bangku. Aku ingat sepatunya yang Doc Mart hitam dan
bersol tebal itu, katanya dibeli di Eropa. Yang berani duduk dekat dengannya
hanya cowok dan cewek yang sama-sama berpunya, yang sepanjang hari ditunggui
pembantu dan sopir di pelataran sekolah. Tiap jam kosong mereka meriung, memamerkan
segala mainan, aksesori, sampai perkakas tulis yang orangtua mereka belikan di
luar negeri. Uang jajan mereka untuk satu hari saja cukup untuk menafkahi satu
keluarga fakir selama satu hari itu juga. Lainnya yang tidak populer menyingkir
ke bangku-bangku pinggir, menatap mereka dalam segan dan iri. Aku di antaranya.
Namun senyum Otto yang selalu bernuansa cemooh itu tidak bisa kuhindarkan dalam
mimpi-mimpiku, dalam diariku. Lingkar pergaulan kami yang tidak pernah
bersinggungan bukanlah halangan bagi bersemainya harapan.
Satu hari, satu cewek—yang
memang cukup dekat denganku—bertanya padaku, siapa kecenganku. Kujawab dalam
bisik-bisik malu, nama itu. Habis itu juga, cewek itu merayap pada sang raja
yang tengah bercengkerama di singgasana bersama para borjuis lainnya.
Bisik-bisik. Otto memalingkan kepalanya padaku. “Oh, si Disentil Belekan itu.”
Ledakan tawa di sekitarnya membiaskan cahaya panas yang teramat terang lagi
menyengat hatiku, meluluhlantakkan bangunan harga diriku satu per satu. Otto
memang tidak hanya kaya, tapi juga cerdas dan kreatif. Tiap hari dia menciptakan
plesetan baru untuk namaku (dan juga untuk anak-anak lain yang kurang berkenan
di hatinya), yang segera saja jadi tren di seantero angkatan. Karisma Otto
persis bom atom yang membakar Jepang pada satu siang terik di tahun 1945. Aku
memang jadi terkenal. Tindak-tandukku jadi perhatian, bumbu gunjingan. Tapi
seorang selebriti pun bisa menderita.
Aku pernah sampai minta pindah sekolah pada orangtuaku, tapi
mereka tidak menggubris. Sekolah itu adalah pendidikan terbaik yang bisa mereka
berikan untukku.
MASA itu sudah kukubur dalam-dalam. Biarlah mereka yang satu SD denganku
mengenangku sebagai pemurung dan penyendiri. Yang penting, nantinya aku bakal
memiliki masa depan yang cerah!
JADI aku memberinya jawaban yang paling ingin didengar siapapun yang
menanyakan kabar.
“Baik.”
“Begitu…” Dia masih saja menatapku dengan simpatik.
“Baguslah… Saya senang kalau kamu
baik-baik aja, Desi…”
Aku kira begitu juga ekspresinya saat menerima SK pengangkatan
dirinya sebagai pegawai tetap rumah sakit pemerintah. Nantinya dia sempat
cerita sedikit tentang dirinya—dr. Anton Iskandardinata, Sp. KJ., pejabat
eselon III.
Aku hanya menyungging sedikit senyum, sambil menyeruput jus
semangka pelan-pelan.
Sikapnya begitu ramah.
Sesekali dia menanyakan apakah makananku enak, minumanku nikmat. Seolah
kepongahannya dulu telah raib sama sekali. Perhatiannya masih lebih besar padaku
ketimbang pada Tian. Diam-diam aku iba karena Tian diabaikan. Untung Otto bertanya
yang ringan-ringan saja, semisal,
“Masih suka puisi, Desi?”
Dia bahkan ingat aku suka
puisi. Dulu aku memang suka, tapi kini tidak lagi. Sejak Otto menjadikanku
bulan-bulanannya, aku berhenti mengirim puisi untuk dimuat di mading sekolah.
Aku takut Otto bakal menjadikan puisiku sebagai bahan olok-olok juga.
Duh… Tapi tadi dia bilang
dia selalu memikirkanku. (Iya kan? Tadi dia bilang begitu kan?) Kenapa ya.
Kalau di komik-komik serial cantik, teenlit,
dorama, atau FTV, biasanya tokoh lelaki menutupi perasaan yang sesungguhnya pada
tokoh perempuan dengan kata-kata sebaliknya. Sering kali menyakitkan. Tapi,
lama-lama benci jadi cinta. Dulu senewen kini demen. Hah. Mungkin memang dulu
aku kelewat termakan sentimen. Anak perempuan yang sangat sensitif.
Otto selalu menatap mataku saat aku bicara, menyimak dengan
senyum. Suaranya yang berat lagi lambat-lambat itu ternyata bisa mengalun
dengan begitu lembut.
Mungkin aku bisa mengubah
teoriku. Ada peluang bagi perempuan untuk mendapatkan lelaki yang lebih rupawan
darinya.
Dia bahkan menyelaku dengan sopan saat ada panggilan masuk ke
ponselnya.
“Deket kolam,” katanya.
Sepertinya ada lagi klien
Otto yang akan kemari.
Semerbaknya saat mendekati kami mengalahkan aroma lele bakar
bumbu madu. Ikal rambut perempuan itu jelas-jelas mahakarya salon,
berpilin-pilin, membingkai sebagian lengkung wajahnya yang elok, melintasi
belakang telinga hingga menjuntai dengan anggunnya di depan bahu. Gaun selutut
membentuk lekuk tubuhnya yang aduhai, tinggi semampai. Memalingkan dunia siapapun
di sekitar kami. Aku kira adegan orang-orang terlongong-longong ketika melihat
sesuatu itu hanya ada di TV.
“Sayang…” Dia mengecup
kedua belah pipi Otto.
Tangan Otto balas
merengkuh pinggang perempuan itu, menelusuri pinggulnya, lamat-lamat turun, lalu—membuatku
merengut—meremas pelan bidang kenyal di sana.
Tangan perempuan itu
begitu halus ketika menyalamiku, hingga rasa-rasanya lalat pun bakal terpeleset
kalau hinggap di sana. Saat dia meletakkan tas tangannya di depanku, cahaya
memantul dari logam yang melingkari jari manisnya sebelah kiri.
Mencari sebab serta
alasan yang kukuh. Manis di bibir. Memutar kata. Mereka pastinya tersenyum
dengan pengunduran diri kami. Tetapi bagiku pula suatu ketenangan.[1]
Otto sempat-sempatnya menyodorkan kartu nama. “Kapanpun kamu
butuh bantuan, Desi. Kapanpun.”
MEMASUKI jalanan menuju kompleks, riuh kendaraan tinggal sayup-sayup.
Melewati kuburan, seonggok makhluk lusuh tak berharga yang diangkut Tian di
balik punggungnya bertanya.
“Emang psikiater boleh
jualan obat?”
Tidak ada jawaban.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar