Jumat, 08 November 2013

Cerita 02 - Psikiater Makelar

KUJEPIT bagian depan rambutku yang mengembang indah. Memang tadi aku habis keramas, setelah seminggu… atau lebih—lupa. Ikal-ikalnya yang alami (karena tidak pernah disisir) kuatur dengan jari supaya rada rapi. Kupulas bedak di muka untuk menyamarkan komedo dan bekas jerawat. Sebelumnya bibir sudah kusikat (sekalian menggosok gigi)—membersihkannya dari serpihan kulit mati. Aku mengolesnya dengan margarin supaya nanti tidak kering amat.

            Betapa cantiknya aku, dalam penerangan bohlam dan tidak ada perempuan lain di dekatku.

Di lemari Mama, aku menemukan rok panjang bermotif batik kembang, kupakai hingga di atas dada, kututup dengan kaos gombrang berlogo sebuah harian—hadiah berlangganan—yang sepertinya belum pernah dipakai, baunya saja masih kayak kertas. Di rak sepatu, aku mendapatkan bot semata kaki milik adikku yang sepertinya dulu dibeli untuk keperluan cosplay. Supaya tidak lecet, aku mengenakan kaos kaki hitam yang puncaknya satu senti di atas tepian bot.

            Sekali lagi aku mematut diri di depan cermin panjang yang menempel pada pintu lemari Mama.

            Biarlah. Ini kan bukan kencan.

            Aku hanya hendak menemani tetanggaku berobat ke psikiater.

Ya... Dia memang laki-laki.

            Laki-laki biasanya mencari perempuan yang setingkat lebih rupawan darinya. Karena itu aku mesti terima laki-laki yang kerupawanannya setingkat lebih rendah dariku.

            Ini bukan kencan.

            Tian meminjam motor bapaknya.

            “Kamu yakin, butuh obat juga?”

            Mata Tian menelitiku, seolah mencari tanda-tanda kekurangberesan pada diriku. Sebelum dia sadar untuk sebaiknya menyarankanku ke dermatolog dan butik alih-alih mengikutinya ke dokter jiwa, aku segera duduk di belakangnya.

            Aku hanya ingin tahu ruang tunggu psikater itu seperti apa. Barangkali sesampai di sana, aku tergerak untuk mencari tahu masalahku juga.

            “Uangnya janji aku balikin, Sinta,” kata Tian di perjalanan.

            Aku tidak begitu peduli. Toh dia pinjam uangku itu untuk kebaikan dirinya juga. Aku harap psikiater memang bisa meredakan masalah-masalahnya. Lagipula aku sendiri sedang sibuk mempertimbangkan apa aku punya masalah yang cukup serius untuk diutarakan pada seorang psikiater. Ketakutanku untuk beranjak dari keadaanku sekarang, misalnya. Jodoh yang tidak kunjung datang. Pekerjaan yang tidak pernah tepat. Oh! Betapa bijaksananya Tuhan yang menciptakan kehidupan ini, lengkap dengan orang-orang semacam psikiater itu! Laksana software yang tidak lengkap tanpa virus dan antivirus. Sayur tanpa garam. Bubur ayam tanpa ayam. Nasi timbel tanpa lalapan.

            Tian memarkir motor di halaman restoran “Rempah Kampung”.

            “Mau makan dulu, Mas?” tanyaku sementara dia membetulkan letak motor di sela-sela motor lainnya.

            “Janjiannya di sini.”

            “Katanya mau ketemu psikiater?”

            “Iya, di sini.” Sepertinya dia rada sebal aku tanya berulang-ulang. Maka aku bungkam selama mengekorinya ke dalam. Jemarinya yang gemuk memenceti tuts ponsel yang dililiti karet gelang. Kepalanya celingukan, lalu melongok. Jalannya kembali cepat, menuju tempat duduk di samping kolam. Agak ramai pengunjung di sekitar situ. Dia menghampiri seorang lelaki yang duduk sendiri sambil menyesap jus alpukat.

            “Anton?”

            “Oh. Hei.”

            Mereka berjabat tangan.

            “Duduk, duduk…”

Selagi Tian menurunkan tubuh dengan kikuk, aku diam sejenak di belakangnya. Wajah lelaki itu sepertinya mengandung lem. Bikin mataku lengket. Sudah duduk di samping Tian pun, tatapku masih belum bisa lepas. Pada wajahnya yang tirus, lehernya yang jenjang, rambutnya yang cepak, kacamatanya yang berlensa buram padahal malam begini. Begitu dia selesai mengutak-atik ponselnya di bawah meja lalu memasukkannya ke saku kemeja, aku mengalihkan tatapanku pada lele-lele di kolam. Aku rasa dia memergokiku. Ekor mataku menangkap senyumnya. Harusnya itu membuatku merasa bagai habis minum es jeruk di tengah gurun, tapi aku malah merasa ada yang menempelkan es batu ke kudukku.

            “Pesen minum dulu.”

            Tian tidak begitu saja patuh. Aku tidak tahu apa lagi yang terjadi di antara mereka karena aku terus memandang lele-lele. Berapa menit kemudian lele-lele itu sudah mencoloki mataku hingga terdengar geretak jemari Tian di meja, di tengah dentang denting-cakap orang-tapak langkah…

            “Berapa?” Tian menggeram.

            “Nanti aja.”

            Denting. Cakap. Langkah.

            “Tumben bawa temen.”

            “Dia mau juga.”

            “Hm.”

            Mata dua lelaki itu menggelitiki pipiku, leherku, punggungku. Aku menoleh.

            Senyum masih mengambang di wajahnya, tapi kali ini menyakiti mataku.

            “Keperluannya? Benzodiazepine? Sedatif?”

            “Ke psikiaternya jadi?” Kuabaikan lelaki itu biarpun dia menanyaiku dengan respek. Tatapku memohon pada Tian. Tidak ada respons.

Kutengok lagi lelaki itu dengan enggan. Baru kusadari sebelah tangannya diperban. “Tangannya kenapa?” Kamu memang cerdas, Sinta. Solusi terbaik saat tidak bisa menjawab pertanyaan adalah dengan balik bertanya.

            “Ah, ini.” Dia mengangkat sedikit tangannya  yang terbalut itu, menengoknya sekilas. “Digigit.”

            “Digigit?”

            “Iya... Tadi… Ada pasien yang pas waktunya minum obat maunya cuman sama saya. Tapi pas dikasih, eh, sukanya ngegigit…”

            Hm…?

“Sebentar.” Kepalanya tahu-tahu condong ke arahku. Hingga jelas benar di mataku lekuk hidungnya yang menawan, bibirnya yang penuh memerah. Perubahan air mukanya meremangkan bulu romaku. Punggungnya tegak lagi pada sandaran kursi. Senyumnya melebar. Napasnya tersengal. Dia mengamat-amatiku lagi dari jarak yang membuat tubuhku mundur perlahan. “Desi ya?”

            Tian menatapku, ingin tahu. Tapi aku tidak tahu.

            Lelaki itu tertawa tertahan-tahan. “Desi kan? Ahahah, ya ampun, Desi.” Dia menggeleng-gelengkan kepala, menempelkan sebelah tangannya yang baik-baik saja ke dahi lalu melepaskannya lagi. “Saya selalu mikirin kamu, Desi, hah, ya Tuhan…” Kepalanya condong lagi ke arahku. Kedua tangannya menumpuk di bawah dagu. Rautnya menatapku sungguh-sungguh. “Kamu ada masalah apa, Desi?”   

            Tian mendeham. “Barangnya… bisa sekarang?”

            Lelaki itu mengangkat tas kertas berlogo merek parfum ternama dari kursi di sampingnya, lalu menaruh benda itu begitu saja di depan Tian. Tanpa sedikitpun melirik Tian.

            Aku tidak tahu mesti menjawab apa. Dia menyandarkan punggungnya lagi di kursi. Menggeleng-geleng pelan. Tatapnya melayap ke dinding batu di atas kolam. “Ampun, ya ampun.” Dia mendesah. Kepalanya dekat lagi, agak meneleng. Alisnya yang tebal menurun. Matanya meredup. Tanyanya lambat-lambat, suaranya makin rendah,  “Kamu… depresi…?”

            “Eng—enggak. Saya… saya… cuman nemenin Mas Tian aja. Katanya mau ke psikiater.”

            “Oh…” Dia menarik tubuhnya lagi. Ekspresinya itu, entah lega entah prihatin. Wallahualam.

            “Anton.” Tian menyelamatkanku dari sorot yang memenjarakanku itu. Dalam lengkungan tangannya, kulihat lipatan uang merah. “Ini cash ya.”

            “Entar aja,” sanggahnya.

            “Kayaknya kita mau langsungan aja,” sambung Tian.

            “Kok buru-buru? Minum dulu… Makan dulu… Mas!” Sebelah tangannya yang baik-baik saja melambai pada pramusaji. Daftar menu pun terbentang lebar di depan kami. “Kamu mau pesan apa, Desi?” Dia meniti daftar dengan serius. “Mas Putra?”

            Tatapan Tian bertanya, “Gimana?”

            “Udah makan tadi di rumah,” kataku.

            “Enggak apa-apa… Makan lagi aja… Kita kan lama enggak ketemu, Desi… Lele, mau?”

            Maka kami sama-sama membiarkan lelaki itu memesankan apa saja untuk kami. Begitu pramusaji pergi, tatapnya yang mengerikan itu kembali padaku.

            “Nah. Desi. Gimana kabarnya?”

           

BIAR kuperjelas.

            Namaku Deshinta Belia. Hanya keluargaku dan tetanggaku semasa kecil yang memanggilku Sinta. Lainnya, Desi. Begitupun dengan Tian, yang lengkapnya adalah Putra Titian Baskoro sehingga lazimnya dikenal juga sebagai Putra.

            Nama lelaki itu Anton Iskandardinata. Anak-anak memanggilnya Otto. Tapi tidak seorangpun bernyali menambahkan “ng” di belakang nama beken itu. Kami bersekolah di SD yang sama, selama bertahun-tahun di kelas yang sama.

Dia cowok yang kalau tidak ada guru bakal duduk di meja dengan sepatu menjejak bangku. Aku ingat sepatunya yang Doc Mart hitam dan bersol tebal itu, katanya dibeli di Eropa. Yang berani duduk dekat dengannya hanya cowok dan cewek yang sama-sama berpunya, yang sepanjang hari ditunggui pembantu dan sopir di pelataran sekolah. Tiap jam kosong mereka meriung, memamerkan segala mainan, aksesori, sampai perkakas tulis yang orangtua mereka belikan di luar negeri. Uang jajan mereka untuk satu hari saja cukup untuk menafkahi satu keluarga fakir selama satu hari itu juga. Lainnya yang tidak populer menyingkir ke bangku-bangku pinggir, menatap mereka dalam segan dan iri. Aku di antaranya. Namun senyum Otto yang selalu bernuansa cemooh itu tidak bisa kuhindarkan dalam mimpi-mimpiku, dalam diariku. Lingkar pergaulan kami yang tidak pernah bersinggungan bukanlah halangan bagi bersemainya harapan.

            Satu hari, satu cewek—yang memang cukup dekat denganku—bertanya padaku, siapa kecenganku. Kujawab dalam bisik-bisik malu, nama itu. Habis itu juga, cewek itu merayap pada sang raja yang tengah bercengkerama di singgasana bersama para borjuis lainnya. Bisik-bisik. Otto memalingkan kepalanya padaku. “Oh, si Disentil Belekan itu.” Ledakan tawa di sekitarnya membiaskan cahaya panas yang teramat terang lagi menyengat hatiku, meluluhlantakkan bangunan harga diriku satu per satu. Otto memang tidak hanya kaya, tapi juga cerdas dan kreatif. Tiap hari dia menciptakan plesetan baru untuk namaku (dan juga untuk anak-anak lain yang kurang berkenan di hatinya), yang segera saja jadi tren di seantero angkatan. Karisma Otto persis bom atom yang membakar Jepang pada satu siang terik di tahun 1945. Aku memang jadi terkenal. Tindak-tandukku jadi perhatian, bumbu gunjingan. Tapi seorang selebriti pun bisa menderita.  

Aku pernah sampai minta pindah sekolah pada orangtuaku, tapi mereka tidak menggubris. Sekolah itu adalah pendidikan terbaik yang bisa mereka berikan untukku.

 

MASA itu sudah kukubur dalam-dalam. Biarlah mereka yang satu SD denganku mengenangku sebagai pemurung dan penyendiri. Yang penting, nantinya aku bakal memiliki masa depan yang cerah!

 

JADI aku memberinya jawaban yang paling ingin didengar siapapun yang menanyakan kabar.

“Baik.”

“Begitu…” Dia masih saja menatapku dengan simpatik. “Baguslah… Saya senang kalau kamu baik-baik aja, Desi…”

Aku kira begitu juga ekspresinya saat menerima SK pengangkatan dirinya sebagai pegawai tetap rumah sakit pemerintah. Nantinya dia sempat cerita sedikit tentang dirinya—dr. Anton Iskandardinata, Sp. KJ., pejabat eselon III.

Aku hanya menyungging sedikit senyum, sambil menyeruput jus semangka pelan-pelan.

            Sikapnya begitu ramah. Sesekali dia menanyakan apakah makananku enak, minumanku nikmat. Seolah kepongahannya dulu telah raib sama sekali.  Perhatiannya masih lebih besar padaku ketimbang pada Tian. Diam-diam aku iba karena Tian diabaikan. Untung Otto bertanya yang ringan-ringan saja, semisal,

            “Masih suka puisi, Desi?”

            Dia bahkan ingat aku suka puisi. Dulu aku memang suka, tapi kini tidak lagi. Sejak Otto menjadikanku bulan-bulanannya, aku berhenti mengirim puisi untuk dimuat di mading sekolah. Aku takut Otto bakal menjadikan puisiku sebagai bahan olok-olok juga.

            Duh… Tapi tadi dia bilang dia selalu memikirkanku. (Iya kan? Tadi dia bilang begitu kan?) Kenapa ya. Kalau di komik-komik serial cantik, teenlit, dorama, atau FTV, biasanya tokoh lelaki menutupi perasaan yang sesungguhnya pada tokoh perempuan dengan kata-kata sebaliknya. Sering kali menyakitkan. Tapi, lama-lama benci jadi cinta. Dulu senewen kini demen. Hah. Mungkin memang dulu aku kelewat termakan sentimen. Anak perempuan yang sangat sensitif.

Otto selalu menatap mataku saat aku bicara, menyimak dengan senyum. Suaranya yang berat lagi lambat-lambat itu ternyata bisa mengalun dengan begitu lembut.

            Mungkin aku bisa mengubah teoriku. Ada peluang bagi perempuan untuk mendapatkan lelaki yang lebih rupawan darinya.

Dia bahkan menyelaku dengan sopan saat ada panggilan masuk ke ponselnya.

            “Deket kolam,” katanya.

            Sepertinya ada lagi klien Otto yang akan kemari.

Semerbaknya saat mendekati kami mengalahkan aroma lele bakar bumbu madu. Ikal rambut perempuan itu jelas-jelas mahakarya salon, berpilin-pilin, membingkai sebagian lengkung wajahnya yang elok, melintasi belakang telinga hingga menjuntai dengan anggunnya di depan bahu. Gaun selutut membentuk lekuk tubuhnya yang aduhai, tinggi semampai. Memalingkan dunia siapapun di sekitar kami. Aku kira adegan orang-orang terlongong-longong ketika melihat sesuatu itu hanya ada di TV.

            “Sayang…” Dia mengecup kedua belah pipi Otto.

            Tangan Otto balas merengkuh pinggang perempuan itu, menelusuri pinggulnya, lamat-lamat turun, lalu—membuatku merengut—meremas pelan bidang kenyal di sana.

            Tangan perempuan itu begitu halus ketika menyalamiku, hingga rasa-rasanya lalat pun bakal terpeleset kalau hinggap di sana. Saat dia meletakkan tas tangannya di depanku, cahaya memantul dari logam yang melingkari jari manisnya sebelah kiri.

            Mencari sebab serta alasan yang kukuh. Manis di bibir. Memutar kata. Mereka pastinya tersenyum dengan pengunduran diri kami. Tetapi bagiku pula suatu ketenangan.[1]

Otto sempat-sempatnya menyodorkan kartu nama. “Kapanpun kamu butuh bantuan, Desi. Kapanpun.”

 

MEMASUKI jalanan menuju kompleks, riuh kendaraan tinggal sayup-sayup. Melewati kuburan, seonggok makhluk lusuh tak berharga yang diangkut Tian di balik punggungnya bertanya.

            “Emang psikiater boleh jualan obat?”

            Tidak ada jawaban.[]



[1] Maaf. Mendadak teringat lagu “Mencari Alasan” (Exist)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain