MALADEWI Kiamanola. Kapan aku ke mal untuk membeli persediaan bulanan,
gambarnya terpampang besar-besar di dinding luar butik yang menjual keperluan
bridal. Kapan aku mengganti-ganti saluran di TV, dia memamerkan kulitnya yang
sehat dan mulus untuk produk kecantikan bertaraf internasional. Kapan aku
secara tidak biasanya membolak-balik koran, rubrik “NAMA & PERISTIWA” memberitakan
pertunangannya dengan seorang psikiater muda—putra guru besar perguruan tinggi
terkemuka di Bandung. Kapan aku di kamar membaca novel yang dibuat khusus untuk
menghibur wanita berumur seperempat abad ke atas (dan masih lajang), dia muncul
di ambang pintu. Aku menjerit.
Dia memeluk-ciumku,
kentara betul maksudnya melekatkan wanginya di tubuhku yang apak, “I miss you…” dulu aku suka bagaimana dia
memiliki panggilan khusus untukku—panggilan kesayangan, “…Echi,” sebelum aku
tahu nama itu berarti “mesum” dalam bahasa Jepang, “…aku enggak bakal ngebiarin
kamu lepas lagi…” dan sekarang, pertanyaan yang paling aku benci, yang paling
sukar ditentukan jawabannya dalam dunia ini, “Gimana kabarnya?”
“Kok kamu bisa di sini?”
“Oh…” Dia mendesah. Seakan
itu pertanyaan yang paling dia tunggu-tunggu, yang jawabannya jauh lebih mudah ketimbang
yang diajukan juri Miss Universe padanya bertahun-tahun lalu. “Kamu buru-buru
pamit sih pas kita ketemu di Rempah Kampung itu. Aku sampai enggak sempat tanya
nomor kamu… So, at first, I asked Tony (Tony? Aku kira Otto. Ternyata mereka orang
yang sama). He said you’re the most
memorable friend he ever had in elementary (…masak?). Terus aku dikasih
nomornya Mas Putra (tetanggaku yang pelanggan Otto, eh, Tony). Then I called him, and,” Dia mengangkat kedua
tangannya dengan senyum puas, “Here I am…!
Kamu sih… pindah rumah enggak bilang-bilang…” Matanya melorot pada buku yang
terbuka di pangkuanku. “Kamu lagi baca apa?” Tanyanya kurespons dengan melempar
buku itu ke ujung tempat tidur, terus membentur lantai. Untung dia datang
ketika aku tidak sedang menonton versi audio visualnya, aku tidak sedang begitu
kepanasan belakangan ini—kalau kamu tahu maksudku. Ganti jemarinya kelayapan di
rambutku, membenahi ikal-ikal, “Uuh… Kamu enggak berubah, Echi…” kutepis halus.
“Jadi, kali ini kamu
pingin apa? Nyeret aku ke salon? FO? Permak sehari jadi kayak di film-film itu?
Ngenalin aku ke temen-temen cowok kamu?” Ya. Aku harap. “Basi!”
Dia menggeleng sambil
tersenyum, turut menyandarkan punggungnya di dinding di sampingku. “Aku punya
pepatah. Orang yang berteman dengan tukang besi kecipratan apinya, yang
berteman dengan penjual parfum ketularan wanginya.” Aku hendak menyela, Itu kan hadis, tapi tangannya lebih
cepat. Botol kaca keluar dari tas tangannya, lalu ia semprotkan ke ceruk sikuku.
Kontan aku menarik lengan. “Gucci,” cicitnya. Tapi aku tidak terkesan. Hidungku
tidak bisa bedakan wangi parfum mahal dengan wangi cologne murah yang dibeli di minimarket, sama halnya antara kopi
ketengan dengan kopi Starbucks—sama saja bagi lidahku. Yang aku bisa bedakan
cuman harganya. Yang satu bisa menghemat kebutuhan sehari-hari sampai seminggu.
“Aku akan pakai cara yang lebih smooth.”
“Maksudnya…?”
Ya. Aku tahu. Menurut
standarnya, aku mesti mandi dua kali sehari, memeriksakan mukaku ke klinik
kecantikan, membeli (atau minimal memermak pakaian lama sehingga terlihat
bagai) pakaian baru setidaknya sebulan sekali, bahkan mencabuti rambut-rambut
halus di sekujur tubuhku…
Karena itulah dia tidak seharusnya berada di sini.
Dia meraih tanganku,
menggenggamnya. “Kita pelan-pelan, Echi. Kita mulai dari dalam.” Sebelah
tangannya menyentuh dadanya sendiri.
Waktu itu aku belum tahu
kalau maksudnya dia bakal mengunjungiku tiap minggu, mengusik kedamaianku dalam
kepompong yang nyaman.
PARA pembantu yang sedang menyuapi anak majikan berbisik-bisik ketika
perempuan itu memarkir mobilnya yang besar di jalanan sempit depan rumahku.
Memang masih tersisa ruang untuk satu mobil lewat, walau harus naik ke
pelataran rumah seberang. Mestinya para bibik itu tidak ragu lagi. Itu memang
Maladewi Kiamanola yang kadang mereka lihat di TV sambil memarut kelapa atau
menyetrika.
Manola menyalami Mama
dengan sopan, juga meletakkan sekotak roti made
in Mall di meja makan. Pada adikku, yang cowok, dengan tulus dia berikan
servis kilat berupa senyum yang dosisnya sanggup menggetarkan jiwa tujuh hari
tujuh malam.
Lalu Mama berteriak dari
lantai bawah supaya aku menyambut temanku.
Baru saja aku melihat ujung tangga, dia sudah di sana. Setelah beberapa langkah,
dia berhenti untuk menengok telapak kakinya yang telanjang. Aku sendiri—kami
sekeluarga—selalu mengenakan sandal di rumah. Lain kali biar dia bawa sandal
sendiri.
Sepuluh menit mengobrol dengannya sudah membuat mata batinku
terbuka. Aku bisa lihat angka dua juta di rambutnya, satu juta di jemarinya, empat
juta di tasnya, satu juta di gelangnya, lima juta di blusnya… Aku kira Diane
von Furstenbeg, Manolo Blahnik, Harvey Nichols, Elliott Lucca, Cassis Rose,
Paris Hilton, Miki Moto (saudaranya Ajino Moto?) itu nama teman-temannya, tapi
ternyata nama apa-apa yang dikenakannya—dan yang tersimpan dalam closet-nya. Tentu saja closet di sini bukan berarti tempat
buang air besar, biasanya terbuat dari porselen dan dipasang dalam kamar kecil.
Periksalah kamus bahasa Inggris alih-alih KBBI.
“Etalase berjalan,” aku kelepasan.
“That’s rude!”
Kuliah Dasar-dasar Fesyen berlangsung tiga SKS saja
(mahasiswa waras manapun tidak bakal mengharapkan kuliah dengan jumlah SKS
lebih dari itu!) karena dosennya punya kepentingan lain. Aku menemaninya ke
lantai bawah. “Lain kali parkirnya di sini aja,” kataku tanpa berharap “lain
kali” itu bakalan ada. Aku tunjukkan jalan lain di dekat rumahku yang tidak
lebih sering dilalui kendaraan.
“Oke,” sahutnya.
Saat mengekorinya menuju mobil, aku perhatikan langkahnya
seperti kucing, tapi aku sama sekali tidak tergoda untuk membelai-belainya, lagipula
biasanya aku belai kucing pakai kaki. Seketika angka enam juta terbit dari
sepatunya. Mataku terbelalak. Perempuan ini berjalan dengan pisau di tumitnya! Dia
bisa mencolok mata penjahat yang mengadangnya di jalan dengan itu. Seorang
model memang hebat.
MANOLA menginap di rumahku. Asyik…
asyik… begitulah reaksiku, dulu.
Dia keluar dari kamar mandi dalam balutan mantel handuk.
Handuk lainnya berwarna senada tergelung di atas kepala. Tatapnya memindai
sejenak bidang di lantai yang akan dijadikan landasan bagi bokong indahnya. Dia
mungkin berharap aku duduk di tempat tidur. Tapi akhirnya dia selonjor juga di
sampingku, di lantai yang bermotifkan garis-garis lengkung hitam—rontokan
rambutku. Belasan tahun lalu, Manola-remaja keluar dari kamar mandi dengan
handuk tersampir di pundak. “Eh, ada kecoak nyangkut,” sadarnya begitu sampai
di kamarku. Jemarinya menarik sungut kecoak lalu melemparnya begitu saja keluar
jendela. Lalu menyengir padaku seolah yang barusan cuman debu. Kamar mandi di
rumahku, baik yang dulu maupun yang sekarang, memang sering kali menyimpan
kejutan. Entah kecoak, kelabang, atau cacing. Manola yang tidak diskriminatif,
terhadap hewan sekalipun, melihat para penghuni kamar mandi tersebut sama
wajarnya seperti melihat anjing, kucing, atau kambing di jalan. Tapi lain lubuk
lain belalang, lain dulu lain sekarang. Yang sekarang: “Kamar mandinya jarang
dibersihin ya?” Dia tersenyum sesopan mungkin saat mengucapkannya.
Kotak perkakas montir
menyimpan bermacam kunci. Kotak perkakas Manola menyimpan tabung bermacam
ukuran yang aku tidak tertarik mengetahui kegunaan isi masing-masing.
“Itu persiapan kamu
sebelum tidur?”
“He eh.” Jemarinya
mengoles krim pada kedua belah pipi dengan gerakan memutar. “Kamu?”
“Enggak ada. Langsung
tidur aja.”
Untuk perlengkapan mandi
dan rias saja, masing-masing dia taruh dalam wadah tersendiri.
Dia sudah tidak lagi
membubuhkan odol ke jerawatnya, wajahnya terpelihara dari segala gundukan dan
noda yang tidak diinginkan. Tidak ada lagi wadah lonjong dalam tasnya, berisi
kacamata tebal—ya bingkainya ya lensanya—karena matanya sudah dilasik. Tidak
ada lagi serabut kecokelatan di ketiaknya, yang dengan bangga dia pamerkan saat
pelajaran renang. Tidak ada lagi jamur di kuku jempol kakinya—pastinya kuku itu
sudah lama dicabut. Rambutnya dulu bahkan lebih megar dan sukar diatur dari
rambutku, sekarang jadi penurut.
Dia mengganti mantel
handuknya dengan kaus tanpa lengan dan celana bokser. Dulu aku sempat mengira
hanya dua potong itu model pakaian yang dia punya. Kausnya bergambar tokoh
kartun, personil band, atau angka.
Celananya polos atau bermotif polkadot, kembang, love-love…
“Kamu banyak berubah,”
kataku.
“People always change.”
Kedua tangannya meraih
kedua tanganku. Tangan kanannya di tangan kiriku. Tangan kiriku di tangan kanannya.
Begitulah caranya menyambutku tiap aku menyongsongnya. Lalu kami jalan
beriringan dengan tangan saling menggenggam, berayun-ayun, diangkat
tinggi-tinggi, membiarkan orang menerobos di bawahnya, walau tentu saja aku
mesti jinjit sedang tubuhnya merendah ke arahku karena panjang jangkauan tangan
kami berbeda. Kadang dia jalan sambil mendekap pundakku dari belakang.
Dia suka meniru kucing
mandi, bilang kalau habis makan yang manis tidak menemukan yang asin, jilat
badan sendiri saja. Dia suka mencari lagu-lagu norak dari segala zaman dan
bahasa, mengajakku menyanyikan dan menarikannya bersama seakan kami sedang
bikin videoklip, musik favoritnya adalah dangdut jaipong karena bikin hatinya
bergoyang tidak keruan.
“Mau… dansagila?”
Dia menggeleng sambil
tersenyum. “No. Tonight we’re doing
Woman’s Talk.”
YANG Manola maksud dengan Woman’s
Talk itu adalah membicarakan tunangannya.
“Sebelumnya aku mau
tanya. Waktu kamu bilang, eh, Otto bilang aku the most memorable friend-nya waktu SD itu maksudnya apa ya?”
Dia juga tidak tahu,
tidak tanya.
“Emang Tony waktu SD
kayak gimana, Echi? Udah ganteng belum?”
O tentu saja! Otto sudah ganteng
dari lahir (ya mana tahu!). Kalau saja Manola tahu bagaimana aku kesengsem pada
Otto waktu itu, tentu dia bakal memikirkan ulang pertunangan mereka. Kalau saja
Manola waktu itu tahu bagaimana sikap
Otto padaku setelah menyadari perhatianku, tentu harga diriku tidak bakal lebur
amat karena dia tidak bakal membiarkan lelaki itu menghancurkannya. Kukira sih
begitu. Mengingat kiprah Manola sebagai aktivis anti-bullying semasa SMP.
“Jadi kamu suka Otto
karena ganteng?”
“Oh! Bukan cuman itu!”
Dia tersipu. “Kamu tahu kan dari dulu aku kepingin banget nikah sama dokter?”
Aku ingat. Daftar cita-cita Manola. Setelah menjadi aktivis-sosial-kemanusiaan-lingkungan-hidup-PeaceCorp-Greenpeace-WWF-pokoknya-apapun-yang-mulia-semacam-itulah,
dia ingin bersuamikan dokter. Jadi mereka bisa memperbaiki taraf kesehatan
penduduk dunia bersama-sama.
“Tapi calon suami kamu kerja
di RSJ, Manola, bukan di WHO.”
“Ah Echi… Kenyataan kan
enggak mesti persis dengan yang awalnya kita mimpiin… Kita mesti nge-review cita-cita kita dari waktu ke
waktu. Improvement!”
Realistis kali ya
maksudnya.
“Terus, Echi, dia kan
lebih tinggi dari aku…” Manola sering memandang rendah pada cowok-cowok, karena
tubuhnya yang memang melampaui tinggi kebanyakan dari mereka. “Aku 179. Dia 179,5.”
“Tetep aja kamu enggak
bisa pakai high heels kalau jalan
bareng dia.”
“Terus rumahnya, Echi.”
“Hidup kamu kan udah
glamor. Harusnya kamu biasa aja dong biarpun rumahnya mewah juga.”
“Ah Echi… Aku kan udah
enggak ada rumah lagi di Bandung. Jadinya waktu aku ada event di sini, Mami ngajakin aku tinggal di rumah mereka aja, biar
enggak repot-repot lagi cari hotel. Terus di sana aku jadi punya kamar gitu
deh, khusus buat aku.”
“Terus…?”
Pada satu malam, Otto
mengetuk pintu kamarnya. Manola membukakan. Otto bersandar di kosen, belum bisa
tidur. “Kepikiran kamu,” katanya.
Lalu mereka melakukan itu.
“Oh,” aku manggut-manggut
dengan tengkuk mendingin, “gitu…”
Setelah selesai, Manola
mengira senyum Otto menyiratkan kepuasan, dan lelaki itu hendak memujinya, tapi
ternyata yang dikatakan adalah, “Udah pernah ya?”
Manola pun gundah,
bertanya-tanya dalam hati. Jangan-jangan
Otto masih kolot.
Aku kolot.
Kalau Manola mengatakan
dengan jujur, Otto bakal lapor pada orangtuanya. Pertunangan mereka terancam
batal.
Tapi Otto tidak
mempermasalahkannya.
“Jadinya aku pingin tahu,
Chi, yang sebelumnya sama Tony itu kayak apa…” nada Manola seperti hendak
mengadu teknik.
“Emang kamu pertama kali
sama siapa?” Lagakku seolah bukan pertama kali ini mendengarkan secara langsung cerita seseorang tentang
perse(itu)annya.
“Sama desainer aku.”
Putri dongeng pun punya
kans besar untuk terbakar di neraka. Hahahaha…
“Terus… antara si Ottong
dengan pak desainer…”
“Ah Echi…” Dia mencolek
lenganku. “Tony ukurannya standar kok.”
Memang yang standar itu
seperti apa. Bagaimana dia tahu yang standar kalau tidak membandingkannya
dengan yang besar atau yang kecil. Ukuran apa sih ini omong-omong?
“Tapi dipikir-pikir,
seumur ini Tony belum nyiapin rumah sendiri. Kalau udah married entar kan enggak nyaman lagi kalau terus tinggal sama
orangtua. Kalau cuman ngandalin gaji pemerintah aja, gimana bisa bangun rumah
mewah juga? Nerusin sekolah enggak mau, buka praktik di luar enggak mau. Pulang
kerja malah nongkrong di klub, jualan obat.”
“Materialistic!” aku kelepasan.
“Chi… Dia tuh udah
terlanjur betah di rumah orangtuanya…”
Tidak jauh dong bedaku
dengan calon suaminya?
“Tapi kamu tahu enggak?”
Mendadak keresahannya raib. “Dia tuh kalau malem jadi sensitif… banget.” Dia
sepertinya membutuhkan jeda untuk menimbang apakah “sensitif” di sini
berkonotasi positif atau sebaliknya, eh, sebetulnya aku yang mulai
menerka-nerka apa “sensitif” di sini merujuk pada, ehm… bagian tubuh tertentu…
lalu dia tersenyum lagi. “Dia suka bikin puisi, biarpun tulisannya aku enggak
ngerti.” Tatapnya menerawang ke ventilasi. “Tapi ada deng yang masih kebaca.
Judulnya, ‘Bunga-bunga Beku’…”
Kamu tahu enggak kalau Tony lulus dari SMA umur 16 tahun? Kamu tahu
enggak kalau dia baca textbook kedokteran
udah kayak baca komik aja?
“Kalian sebelumnya udah
berapa lama pacaran sih? Kok kamu kayak yang kurang kenal dia gitu…”
“Kita kan dijodohin.
Sebelumnya aku enggak kenal dia sama sekali.”
SEMASA SMP Manola tinggal di rumah omnya. Dia yang sering ke rumahku,
sedang aku tidak pernah tahu di mana tempat tinggalnya itu. Walau aku temannya
yang paling dekat, aku cuman boleh tahu kalau orangtuanya sudah bercerai, dan
hubungannya dengan sang ibu begitu buruk sampai-sampai membuatnya mengusap mata
kalau pembicaraan mengarah ke sana. Pada penghujung masa SMP, Manola dan ibunya
berbaikan. Sejak itu pula, hubunganku dengan Manola merenggang. Kami
melanjutkan ke SMA yang berbeda. Mulanya kami sering jumpa, dan tiap kali jumpa
itulah aku merasakan perubahan berangsur-angsur pada Manola. Alisnya dicukur.
Gayanya berpakaian mulai modis. Pandangannya lebih fleksibel. Berpacaran.
Pergaulannya meluas, dia sering mengajakku jalan bareng teman-temannya yang
baru. Makin lama aku merasa dia lebih nyambung mengobrol dengan mereka
ketimbang denganku. Sampai akhirnya aku tahu kalau sudah bertahun-tahun lamanya
dia merintis karier modelling. Bahkan
semasa masih menjadi sesama makhluk marginal pun, sebetulnya dia mampu membedakan
orang dari apa yang mereka kenakan—such a
snob in disguise! Dia bilang dia hanya ingin membahagiakan ibunya. Sungguh
mulia. Dia ingin aku merasa nyaman juga dengan dunianya yang baru. Dia mulai
memberi masukan padaku, mengomentari caraku dalam memandang sesuatu, dalam
berpakaian, berbicara, berjalan… mengatur-aturku. Lalu dia pindah ke Jakarta
supaya lebih dekat dengan ibunya, selain memudahkan mobilitas karena kariernya
kian menanjak. Dia masih menyempatkan diri untuk menghadiri seremoni kelulusan di
SMA-ku, karena aku juara umum, dan mesti didandani… salah satu momen terburuk
dalam hidupku. Dia cuman tamu tapi tetap menonjol karena sosoknya yang mulai
populer di media, dandanannya walau kasual tetap elegan. Sementara aku seperti
salah satu penari di videoklip dangdut jaipong yang suka kami tonton dan tiru buat
seru-seruan, semasa masih akrab—dia senang mengoleksi VCD begituan. Perpisahan
di SMA-ku menjadi perpisahan kami juga. Dia makin sulit menyisihkan waktu untuk
mengunjungiku di Bandung, jarang menghubungiku maupun membalas pesanku. Dia
lebih mengutamakan pacarnya, koleganya, siapanya ketimbang aku. Sirnalah segala
gombal-gambil persahabatan yang ternyata hanya berlaku di film-film remaja.
Akupun jadi malas menonton TV karena ogah ketemu mukanya. Sampai aku memutuskan
untuk memutus semua kontak sama sekali. Selain dengan Manola, pertemananku
tidak pernah berarti. Aku ganti simcard. Tidak
seorangpun tahu nomorku kecuali keluarga dan perusahaan-perusahaan yang aku
lamar. Lalu tiap kali aku mengundurkan diri dari satu pekerjaan, satu simcard lagi yang melayang ke bak
sampah. Nomor baru untuk pekerjaan baru.
Hening pecah oleh suara
Manola.
“We’re still BFF, aren’t we?”
“BFF kan Best Friend Forever jadi ya… Forever,” jawabku tanpa niat.
“That’s true.”
Kepalaku teleng. Mataku
memicing ke tempat tidur di samping, di bawah. Senyumnya padaku.
PAGI-PAGI Manola sudah pergi dengan mobilnya. Entah untuk berapa lama
lagi.
Aku kembali ke lantai
atas. Tidak sengaja aku lihat sesuatu di dasar plastik yang membungkus
keranjang sampah di depan kamar mandi. Mata mendekat…
Testpack.
Tidak heran.
BEDAKNYA MAC. Bedakku Marcks—bedak nenek-nenek.
“Bibir jangan dikulitin
gitu. Nih. Ada lipgloss, lipbalm, atau mau yang tube?”
Menyadari kalau pembenahan mukaku membutuhkan tangan yang
lebih ahli, “Pedicure aja deh,”
katanya. Aku julurkan sepasang kakiku yang pecah-pecah di bantalan jempol dan
tumit. Dia mendesah. “I don’t know what
to say ‘bout you, Desi.”
Dengan ringan hati aku
coba membantunya, “Aku orang yang bebas jadi diriku sendiri.”
“Have you ever had a boyfriend, Desi?”
“Enggak.”
“No wonder you never have...”
“Kalau gitu kamu bisa enggak
kenalin aku sama teman kamu yang model ganteng gitu? Pasti banyak kan?” Manola tergugu.
“Tapi kamu kasian kan kalau teman-teman kamu yang model itu dipasangin sama
aku? Soalnya aku enggak pantes sama mereka. Sadarlah, Manola, minyak tuh enggak
bisa nyatu sama air.” Sebetulnya ingin kusambung dengan, PERGI KAMU! ENGGAK BOLEH ADA
YANG LEBIH CANTIK DARI AKU DI KAMAR INI!, tapi kesabaranku masih.
“You know, Desi. Tony wants you to have better life too.”
Tony? Eh. Otto? Yang
membuatku jadi olok-olok anak-anak satu angkatan semasa SD itu? “Nonsense.”
Mata Manola membesar. “We’ll see in case Tony could help.” Dia
meraih ponsel, menunjuk-nunjuk layar, dan mengaktifkan loudspeaker. Nada sambung.
“Kenalannya paling cuman
pasien RSJ, pecandu obat penenang, bapak-bapak sesama dokter orang gila!”
cibirku.
Otto tidak mungkin
mengangkat. Sekarang jam kerja. Dia pegawai negeri yang profesional.
“…ya…?” yang lambat di
seberang. “Diminum dulu ya obatnya ya,” dia mesti menujukannya pada lain orang.
“Tony!”
Meminggir. Konsentrasi
kutanam dalam-dalam pada tekstur di dinding.
“Aku lagi di rumah Desi,
Sayang…”
Cat bagian sini dua mili
lebih tebal dari bagian sana.
“Inget enggak, waktu kita
ngomongin masalah Desi itu?”
Apa lagi yang lebih
menyenangkan bagi pasangan rupawan-rupawati selain membicarakan nasib teman
mereka yang jomlo lagi odoh?
Ah! Bercak apa ini.
Kenapa jejak kucing bisa sampai setinggi ini.
“Ada …” suara Otto.
“…pak dokter… pak
dokter…” lamat-lamat.
“Mungkin Desi cocok sama
Arifin. Masih muda kok… Dua delapan…” Kuping. Kenapa kau mengkhianatiku. Manola
mengerling ke arahku dengan senyum. “Lumayanlah…” lanjut Otto, moga-moga yang
dimaksud adalah tampang, “…cuman stadium dua. ARGH! Arifin! Jangan ikut-ikutan
Nengsih gigit tangan saya!”
“…habis katanya tangan
pak dokter enak sih…”
Panggilan ditutup.
“Jangan putus asa, Desi.”
“Udah putus.”
“Kita sambung lagi.”
“Pakai lem? Isolasi?” Aku
mendengus. Aku baru sadar “isolasi” bukan saja lembaran plastik dengan perekat
di baliknya, tapi juga berarti “pengucilan”. Artinya, aku memang sudah
melakukan tindakan untuk keputusasaanku.
Kepala Manola berpaling
ke beranda yang pintu dan gordennya tersibak lebar, barangkali hendak
mensterilkan penglihatannya yang sedari tadi terkontaminasi wujudku.
“Jobless,” gumamnya.
“Heh. Kata siapa aku
enggak punya pekerjaan. Tadi aku udah nyapu teras sama nyuci piring ya. Aku tuh
punya kesibukan lebih banyak dari yang kamu kira.” Kebetulan aku pegang buku.
“Dan sekarang aku lagi merintis profesi jadi penulis. Seorang penulis itu harus
banyak-banyak baca,” walaupun yang dipegang tanganku seringnya komik Doraemon (termasuk saat ini) ketimbang
salah satu novel Pramoedya Ananta Toer.
“Kamu mau jadi penulis?”
Perkataanku barusan mengulas sedikit senyum di bibirnya. “Mau nulis apa?”
“Aku mau nulis tentang…”
Mataku memindainya dari ubun-ubun sampai puncak lutut, karena dia sedang
bersimpuh di depanku, lalu bergeser ke ujung jemari kakinya yang berkutek,
“kepalsuan.”
“…pembajakan?” Mungkin
yang terlintas dalam kepalanya adalah Dulce & Banana—sepupu jauh Dolce
& Gabana.
“Bukan… Aku mau nulis
tentang kepura-puraan manusia. Manusia yang membohongi dirinya sendiri.”
“Oh.” Dia menepis angin.
“It’s human nature, Desi. A human being DOES have to pretend.
Kalau enggak pura-pura kamu enggak bisa profesional, Desi. Mereka bakal lebih
suka main Wedding Dash pas jam kerja atau nongkrong di Sushi Tei instead of… doing such a boring job!”
“Manusia harus bekerja sesuai dengan
keinginan hatinya, Manola. Dia harus jujur sama dirinya sendiri.”
“Kamu enggak bisa selalu ngikutin
keinginan hati kamu aja, Desi.”
“Aku bisa,” bahkan
kutambahkan lewat bahasa mata, Lihat aku
sekarang!
“Kapan mau dewasa, Desi?”
PANASNYA kupingku cukup untuk membakar jagung.
Tentang pemotretan yang
dia lakukan di Kepulauan Maladewa—tempat orangtuanya berbulan madu.
Tentang pengalamannya
mengikuti ajang Ratu Sejagat.
“Modelling, modelling aja. That’s
too much.” Berdekatan dengan Manola bikin kemampuanku berbahasa Inggris
jadi lancar.
“Ya enggaklah. I wanted to show them I have brain.”
Telunjuknya mengetuk-ngetuk pelipisnya yang bening.
“Emang mesti ikut kayak
gituan ya buat nunjukin kalau punya otak?” sungutku. Lagipula dia mentok di
sepuluh besar.
Dia tertawa. Lalu lanjut membakar jagung di kupingku.
“Brosur wisata berjalan!” aku kelepasan.
Bahkan untuk membuatnya tersinggung pun aku gagal. Malah
pendar menghiasi matanya yang cemerlang. “Sadarlah, Desi, banyak kesenangan di
luar sana. Kamu bisa dapetin banyak hal ketimbang cuman di kamar…”
“You certainly have no
idea what’s within introvert’s head.”
“… get a job, get
money, get a life…”
She
certainly doesn’t pay any attention... YA MUNSYI… ampuni kawulamu
yang mencampuraduk bahasa ini…!
“Kalau kamu recokin aku terus, gimana aku bisa kerja?”
“Oh. Iya. Kamu ingin jadi penulis ya?”
“Iyakulaginulis,” ucapku senewen.
“Udah sampai mana?”
Sampai di pikiran.
DIA kembali dari fashion week di
Milan dengan oleh-oleh untuk Mama, adikku, dan, pastinya, untukku. Seraya
memegang persembahannya untukku, dia membuka pintu lemari di kamarku sambil
berkata, “Coba kita lihat ini bisa di-mix
and match sama apa,” dan menemukan tumpukan koper yang tidak pernah
dipakai. Dia membuka pintu lemari lain yang menempel dengan meja belajar (ehm, kerja),
dan, cilukbakekok!, seru tumpukan
buku dan majalah lawas di dalam sana. Wow. Dia terkejut. “Baju-baju kamu di
mana?”
“Biasanya sih aku ngambil
dari lemari Mama.”
“Kamu enggak punya baju?”
Betapa mengenaskan diriku di matanya.
“Ya punyalah.” Bagaimana dengan blus dan rok yang kupakai
semasa masih karyawati? Modelnya memang begitu-begitu saja. Saking sedikit aku
gabung saja dengan punya Mama. Hemat tempat. “Lagian aku kan kerja di rumah.
Aku enggak perlu banyak baju.”
“Tapi kalau mau pergi-pergi—“
“Aku jarang pergi-pergi.”
“Astaga! Desi! Kamu emang enggak pernah pergi-pergi!” Dia
bersimpuh lagi di depanku. “Kita belanja ya?”
“Aku enggak punya uang.”
“Enggak usah dipikirin. Yang penting kamu punya beberapa dulu.
Nanti kalau kamu udah kerja, kamu bisa beli sendiri.”
“Enggak usah sok jadi mama aku deh.”
“Oh! Enggak! Desi!”
“Aku enggak mau jalan sama kamu!”
“Why?!”
Aku tidak mau lagi disangka pembantu sedang membuntuti
majikannya!
“Mau pakai baju apapun aku tetep jelek!”
“Enggak, Desi… Makanya kita pilih baju yang tepat, yang bisa
nutupin kekurangan kamu…”
Dan selanjutnya kita beli make
up, sepatu, tata rambut di salon mahal, aksesori, dan cake dan kopi di kafe, dan, “Aku enggak mau jadi orang kayak kamu.”
Aku tidak sudi mencari uang hanya demi mempertahankan gaya hidup seperti itu!
“Absolutely, nooo! We just make the best of you! Dibikin
cantik kok enggak mau.”
“Aku udah ngerasa baik-baik aja kayak gini.”
“Fine in your mind!
Kamu enggak tahu apa kata orang kalau tahu kondisi kamu sekarang, Desi?”
“Aku enggak peduli.”
“Ya! Kamu harus! Kamu harus peduli sama orang-orang! Ini
balasan kamu sama orang-orang yang udah peduli sama kamu?”
“Enggak ada yang peduli sama aku.” Pipiku penuh. Mataku
penuh.
“Ada. Desi. Kamu pikir buat apa aku di sini? Kamu enggak tahu
mama kamu sedih lihat keadaan kamu kayak gini?”
“Ngapain kamu ngomong-ngomong sama mama aku?!”
“Desi…”
Aku menarik selimut lalu membuat lumpia manusia.
Dia menyebut namaku sekali lagi.
“Pulang ke alammu sana.” Manapun itu. Sinetron. Metropop.
Negeri dongeng.
Punggungku sudah sakit karena lama meringkuk. Pengap juga
dalam selimut. Tapi kehadirannya masih terasa. Entah apa yang dia lakukan untuk
membuang waktu sampai, akhirnya… terdengar,
“Aku ada acara, Desi. Hopefully you have
made up your mind pas aku ke sini lagi.”
Tidak akan.
MANOLA suka muncul tahu-tahu, padahal aku tidak bisa mengunci kamarku.
Pada satu periode terburuk dalam hidupku, aku mengunci kamarku hingga
berhari-hari. Aku keluar hanya untuk mengeluarkan hasil metabolisme di kamar
mandi, itupun ketika merasa pasti semua orang di rumah tengah lelap pada dini
hari. Setelah berbagai cara yang orangtuaku tempuh untuk menyelamatkanku, tidak pernah ada kunci tertancap di gagang pintu
kamarku lagi.
Siang-siang dia
membangunkanku yang baru beberapa jam terlelap. Kalau selama ini dia menjalani
kehidupan yang bagai mimpi, kenapa aku tidak boleh menjalani mimpiku sendiri?!
“Salut ya kamu masih bisa
luangin waktu buat aku. Enggak ada kesibukan lain gitu? Jalan di meja?”
sindirku.
“Aku kan udah resign dari fashion industry, udah dari tahun kapan…” Sekarang kesibukannya,
selain menghadiri acara-acara sosial yang memerlukannya sebagai pemanis, adalah
menangkis tawaran untuk berperan di film ini sinetron itu iklan anu dan banyak
lagi, dan mengurus Otto.
“Ma-no-laa… Dia tuh udah
(kalau aku sebut umurnya kamu bakal tahu umurku juga) tahun, diurus-urus gitu
kayak anak kecil aja.” Begitupun yang dia lakukan padaku! Stop caring any adult like a baby! “It’s not like the first time you fall in love, rite?” Jumlah
pacarnya sebelum ini saja sudah selusin! Eh. Tahu deh. Like I’m an infotainment-junkie—huh!—aduh—MUNSYI…! “or IS IT?”
“Chi… Aku tuh udah enggak
ingin terlalu banyak publisitas…”
“How come? Kamu kan ingin menyelamatkan dunia. Ya butuh publisitas
lah. Pakai ketenaran kamu buat cari support.”
“No. I need no more exposure.”
“Kan wajar kalau jadi aktivis itu
terkenal,” dan mati tidak wajar. “Munir. Marsinah. Gie.” Perasaanku saja atau
aku sedang bicara dengan Manola yang lama…
“I wanna do something good… unknown.”
I see. Upaya seorang Maladewi Kiamanola memermak temannya yang
buruk rupa buruk jiwa pastinya tidak mengandung nilai berita.
“People always care about what you wear, what you think, what you do,
what you say…”
“Kalau aku sih no one,” mataku bersiap menitikkan air
saat mulutku mengucapkannya.
“You have to be what people expect… ‘Til one day you asked yourself: What am I?”
“Manusia harus
berpura-pura, Manola,” aku mengingatkannya.
“That’s true, Echi. Kita enggak perlu lebih banyak lagi orang egois
di muka bumi.”
Moga bukan aku yang dia
maksud.
“Dari dulu I adore you, Desi. You always do what you want. So natural. No pretending at all. Kamu
adalah temenku yang paling beda, paling khusus, paling spesial, paling…
istimewa!” oh sekarang kamu sudah membaca tesaurus bahasa Indonesia, Manola,
baguslah, tesaurus berjalan!
“Jelas aja. Teman kamu
pasti hedonis semua, snob!”
“Desi… Kalau kamu bedain
orang dari snob enggaknya ya sama
aja, berarti kamu juga snob.”
Masak!? Aku harus
mengaduk-aduk isi Oxford Learner’s Pocket
Dictionary lagi!
“Sampai mana tadi? Oh,
ya, kamu… kamu… kamu temen aku yang paling… lain dari yang lain! Tapi Desi,
kalau kamu gitu terus, kamu bakal susah buat maju…”
KALAU bukan Manola yang bertandang, Tian (aka Mas Putra) yang datang untuk pinjam uang. Aku tidak tahu ke
mana mesti lari. Aku tidak begitu suka pergi keluar rumah. Juga tidak ada orang
lain yang rumahnya bisa menjadi tempatku mengungsi.
Dengan berat, untuk pertama kali dalam tahun-tahun ini, aku
kembali melebarkan koran dan meneliti kolom-kolom yang memedihkan mataku itu.
Aku juga membeli simcard baru supaya
ada nomor yang bisa kucantumkan dalam Curriculum Vitae. Sialnya, Manola
menemukan ponselku yang sudah aktif lagi itu. Dengan senyum kemenangan, dia masukkan
nomornya ke ponselku, lalu melakukan panggilan ke ponselnya.
MANOLA menginap lagi.
Karena aku makin malas
meladeninya, dia memulai malam dengan bercengkerama bareng Mama di lantai
bawah. Kalau aku laki-laki, Mama bakal memimpikan Manola sebagai menantu. Malam
melarut, dia kembali. Di beranda dia menelepon kekasihnya. “Jangan loudspeaker!” aku wanti-wanti.
Belum lama padahal,
Manola masuk lagi dengan raut sebal. “…ketiduran lagi!”
“Iyalah. Udah tengah
malam tahu.”
“Tapi ini malam Minggu!”
“Emang enggak boleh tidur
rada cepet ya pas malam Minggu?”
“Kamu enggak tahu
masalahnya, Desi. Dia pasti nenggak lagi!”
“Tuak?” Maksudku bercanda
tapi dia menanggapinya dengan gemas.
“Obat penenang!”
“Emang dia serusuh apa
sampai mesti ditenangkan?”
“Enggak ada
rusuh-rusuhan! Dia tuh emang doyan! Uh! Lele!”
“Sabar. Sabar,” walau
nadaku jauh dari menyabarkan.
Dia jatuh ke tempat
tidur. Setelah beberapa lama berbaring, “Mau tidur sekarang, Desi?” Aku iyakan
sajalah. Lampu dimatikan. Tapi setelah beberapa lama lagi, aku tengok matanya
masih terbuka.
“Kenapa seorang psikiater
bisa ikut-ikutan pakai obat penenang segala, Manola?”
“Bukan cuman make, Desi.
Dia jualan! Semua dia cobain dulu sendiri, riklona, alprazolam, xanax, camlet,
dextro, zypras, valium, ashwagandha, …” Manola terus merapal nama obat-obatan
sefasih mendata merek-merek pakaian, “…GANJA!, baru dia kasih rekomendasi ke
orang-orang. Kalau baju sih mending ya. Ini obat, Desi, obat! Nenggak obat udah
kayak makan permen aja!” Tapi kenapa?
“Nostalgia!” Heh? “Sebetulnya dia tuh
udah lama sembuh, Desi, tapi pas aku ingetin, dia bilangnya ya, lagi pingin nostalgia
aja.”
Aku paham betapa lovely Manola bagi emak-emak. Tidak
hanya mamaku, tapi juga mamanya Otto. Satu hari Mami, begitu Manola
menyebutnya, menangis-nangis di hadapannya, “Kamu harus tahu, Mano. Pada
akhirnya kamu bakal tahu…” Aku bisa membayangkan perasaan Manola saat Mami
menceritakan tragedi berdarah menjelang Otto lulus SMA. Tengah malam anak itu
membangunkan orangtuanya dengan tubuh berlumuran darah… dahi, leher, tangan,
bahkan kaki… Meleset dugaan rumah lagi disatroni maling psikopat. Selagi dibawa
ke UGD, Otto bilang pada mamanya, “Dikira spidol, enggak tahunya silet…” Sejak
itu keganjilannya terungkap. Pagi sampai sore, dia berlagak normal. Tapi malam,
dia terus menangis. Biar dipeluk, biar diusap. Kekalutannya tidak reda. Dia
bilang dirinya berdosa. Dia harus menghukum dirinya sampai mati. Satu hari dia
mengemudikan mobil, dia sengaja menabrakkan diri. Sejak itu sopir menemaninya
ke mana-mana.
“Tapi dalam kondisi gitu
aja dia masih bisa lulus ujian PTN. Kedokteran lagi…” selaku.
“Pintar ya pintar aja,”
dan orang pintar harus kuliah di Kedokteran.
Obat penenang tidak hanya
mengontrol syaraf Otto yang mengadat, tapi juga menjuruskan minatnya pada
psikiatri. Benar saja. Otto lalu menunjukkan bakatnya berempati dengan pengidap
gangguan jiwa. Pernah Manola menghampiri Otto di tempat kerjanya. “Uuh… Dia tuh
sama orang gila aja tahan dengerin berjam-jam. Tapi kalau aku yang pingin
ngobrol sama dia, ngeliat aku aja enggak!”
Manola ragu dengan
perasaan Otto padanya. “Belum sekalipun, Desi, dia bilang cinta atau sayang sama
aku.” Apalagi setelah insiden yang menimpa cincin tunangan Otto. “Kamu tahu,
Desi, ada satu pasien yang cuman pingin dikasih obat sama Tony. Siapa itu
namanya… uh… Nengsih, Nancy, ya, si Nancy! Tapi pas Tony masukin obat ke mulutnya
tuh dia sukanya gigit. Duh… kan bahaya, Des, kalau Tony sampai kena rabies
gimana coba? Udah gitu, Des, udah gitu...” Tampang Manola makin memilukan.
Nadanya melamban, “Kapan si Nancy itu gigit tangannya Tony sampai cincinnya
keambil juga—ketelen gitu! Akhirnya sih bisa dikeluarin, tapi jadinya si Nancy
muntah gitu. Tony kan ogah pakai cincin bekas muntah. Bilangnya, Entar ajalah beli lagi! Tapi sampai
sekarang enggak pergi-pergi! Diingetin malah ngambek!” Diam. “Tapi… tapi… aku
enggak bisa lama-lama marah sama Tony, Des…”
Manola menangkupkan kedua
belah tangannya ke muka. Aku kira dia bakal terisak lalu terguncang-guncang.
Ketika dia membuka tangannya, mukanya berleleran air dari mata dan hidung. Tapi
anganku tidak terkabul. Tidak ada ingus. Walau mukanya memang lecek. Dia
menghela napas.
“Kamu tahu kan, Desi,
obat-obatan kayak gitu tuh efeknya bisa macem-macem…” suaranya terpelintir tapi
kembali normal, “Kemarin… kemarin…” Dia tersengguk tapi tidak setetes pun air
loncat dari matanya. “Pas kita mau make
love…” AAANGH… Tidakmaudengartidakmaudengar… “Dia… dia…” Tapi bagaimanapun
aku masih berlagak setel kuping biar muka memelas risi, “…dia enggak bisa…”
suaranya mengecil lagi.
“Enggak bisa apa?”
“Duh… Desi! Biarpun kamu
kawinnya baru seribu tahun lagi tapi seenggaknya pengetahuan seks kamu di-upgrade dong!”
“Enggak bisa…” aku
mengacungkan telunjuk, lalu, tanda tanya.
Kepalanya malah
berpaling. Mata terpejam. Bogem di dahi. Mendesah panjang…. sekali. Terbayang
malam itu mereka mencoba berkali-kali sampai Otto menangis-nangis, menginginkan
puncak lebih dari apapun. Dia hanya ingin rileks dengan cara yang wajar
(menurutnya) malam itu, tanpa harus meletakkan berbutir-butir tablet ke
mulutnya. Manola berusaha menenangkannya sepanjang malam. “Dia tuh gitu, Desi. Berubah-ubah.
Kadang seneng make, kadang sadar, terus setop… Terus kalau lagi semangat aja,
rasanya kayak dilempar-lempar ke surga. Tapi kalau lagi down gitu… pinginnya cepet… Cepet klimaks. Cepet rileks. Cepet
tidur. Enggak peduli aku udah nyampe apa belum.” Aku sudah tidak bisa tangkap
lagi apa yang sebenarnya Manola ingin racaukan.
“Seenggaknya dia akhirnya sadar kalau ngobat itu enggak
baik…” Aku rebah seraya mengangkat selimut untuk kembali menyelubungiku,
bersiap memulihkan kepolosan kanak-kanak lewat mimpi.
“Enggak, Desi. Dia
bakalan minum lebih banyak lagi.”
BAGI orang yang siklus tidurnya normal, sekarang baru jam sepuluh pagi.
Tapi bagiku yang terbiasa tidur habis subuh, rasanya seperti tengah malam.
Bagaimana reaksimu ketika ada yang membangunkanmu pada tengah malam?
Merenggutmu dengan paksa dari mimpi seru? Aku menggeragap ketika getaran itu
menyetrum telinga. Sebetulnya, aku enggan mengangkat. Tapi dalam kondisi
begitu, refleks bekerja lebih cepat dari pikiran.
“Ya?!”
“…Tony kolaps, Echi…”
Sedu sedan.
KALAU saja bukan orang yang mengaku sahabat terbaikku itu. Kalau saja bukan keadaan genting yang dia laporkan. Aku tidak mengerti kenapa ikut tegang.
Buat apa juga aku tanya Otto dirawat di rumah sakit mana, kamar berapa. Seolah
aku bakal jenguk saja.
Tapi aku melakukannya.
Penampilanku mesti bak
orang dari kampung hendak menjenguk famili di rumah sakit kota, dengan
fasilitas kelas III. Padahal yang aku tengok adalah anak orang penting di rumah
sakit itu. Kelas I tentu saja. Ruangan untuk satu orang dengan kertas dinding warna
pastel, vas isi kembang-kembang yang dibawa langsung dari Lembang, TV
bersaluran internasional, dan AC—pelembap Manola mesti sangat bermanfaat di
sini.
Jumat yang terik ketika
aku duduk di kursi di samping ranjang Otto. Kegantengan tidak kuasa menyamarkan
indikasi ketidakberesan pada tampangnya. Pasir berserak di bagian bawah
mukanya. Beberapa jumput rambutnya berdiri, beberapa lainnya rebah. Seragam pasiennya
ringsek di bagian lengan. Matanya setengah melek. Aku tahu pandangnya itu
bertanya, “Kamu ngapain sih di sini?” Karena aku mantan pengagummu yang peduli,
asal kamu tahu. Selain karena ulah tunanganmu itu(!) padaku belakangan ini
hingga memaksaku menunjukkan solidaritas. Maka yang bisa aku berikan padamu
hanyalah kalimat yang mesti terdengar dungu bagimu, seperti, “Kebanyakan obat penenang
itu kayak bunuh diri ya.”
“Hm…”
“Aku juga kadang kepingin
bunuh diri. Tapi sialnya aku punya agama. Jadinya, tiap kali aku kepikiran
bunuh diri…” romaku meremang, “…aku teringat kobaran api neraka…”
Menyadari seringainya,
aku sadar tidak ada gunanya berceramah pada orang yang tidak tahu agama.
“Maaf, Desi. Saya mau
muntah.”
Pintu belum tertutup
benar, ketika terdengar suara seperti kerongkongannya hendak keluar.
OTTO pulih dengan cepat. Kamis masuk. Minggu keluar. Senin bekerja.
Dan Manola datang ke
rumahku.
Aku terbangun karena
mendengar sedunya di lantai bawah. Siang begini biasanya hanya aku yang di
rumah. Aku menemukan dia di ruang tengah.
Jelas dia tidak bisa
memajang mukanya di depan kamera dengan tampang seperti itu, kecuali dia sedang
memerankan protagonis dalam film melodrama.
“Aku harus gimana lagi,
Desi? Biar dia berhenti minum pil-pil setan itu?”
Pagi ini Otto masih saja menenggak beberapa butir. Baginya, insiden
kemarin itu tidak pernah ada.
Aku bisa mengerti Manola. Dia hanya ingin
jadi dewi, menyelamatkan orang-orang.
Otto berkata pada Manola dengan tenangnya, “Kamu mestinya terima kasih
sama mereka. Kalau enggak ada mereka, pertunangan kita juga enggak ada.”
Aku juga bisa mengerti
Otto. Segala perhatian dari orang yang menunjukkan kebaikannya pada kita itu
memuakkan.
“Ya udahlah, Manola.
Berhenti jadi orang munafik. Kalau enggak tahan sama dia, ya udah putusin aja,
kan baru tunangan…”
“Nay! Aku enggak munafik!”
“Ya. Kamu munafik. Kamu
enggak berani jadi diri kamu sebenarnya.”
“Aku enggak munafik,
Desi. Itu kesadaranku sendiri buat jadi orang yang lebih baik,” suaranya
mengeras.
“Ya. Kamu munafik,”
kataku lebih kencang. “Kamu enggak perlu maksain diri kalau kamu emang enggak
suka.”
“That’s why you end up like this! A shabby hobo… living low life…”
Aku tidak tahu artinya “hobo” (atau jangan-jangan “homo”?) tapi aku pernah baca “shabby” di kamus.
“Jadi gitu ya kamu
ngeliat aku selama ini? Cuman jembel, hah?”
“Yes! You are! The lady is a tramp! Orang kayak kamu cuman ingin lari
dari kenyataan selamanya!”
“Tapi aku enggak munafik!
Aku bukan bonekanya orang-orang yang gila penampilan dan status!”
“Ah! Cukup! Emang sia-sia
coba ngubah orang kayak kamu! Selamanya kamu bakal jadi gelandangan di tempat
sampah, Desi!” Dia menarik tasnya dari meja.
“Kamu juga sama aja!
Sia-sia! Otto aja nyia-nyiain kamu! Enggak ada yang butuh bantuan kamu, Manola!
Aku udah senang hidup kayak gini! Kamu cuman ganggu ketenanganku aja!” Aku
terus meneriakinya sampai dia keluar rumah, sampai dia membanting pintu
mobilnya, sampai mobilnya membumbung dan hilang di belokan.
BFF. Muluk-muluk. Buat apa berteman selamanya kalau selama itu kita
menyakiti satu sama lain.
MANOLA tidak pernah datang lagi. Kabar dari tempat yang aku lamar juga
tidak pernah datang. Memindai CV-ku saja, orang tahu aku mampu profesional
kurang dari setahun. Yang datang malah pak pos menyampaikan surat. Zaman
sekarang?
Separuh bagian belakang
surat itu nyaris penuh oleh perangko. Dari K. M. di… mana itu Marewe-rewe? PO
BOX lagi. Secarik kertas terlipat di dalamnya. Kubuka.
Dear Desi.
Aku harap surat ini sampai. Aku rada lupa alamat kamu.
Sekarang aku di Marewe-rewe. Enggak ada yang tahu aku pergi. Aku cuman
bawa ransel, satu. Tadinya aku mau naik pesawat ke Wakatobi, tapi terus aku
sambung kendaraan lainnya, asal aja, yang penting aku bisa pergi sejauh
mungkin. Dan di sinilah aku. Listrik harus pakai genset jadi rasanya pakai gadget juga percuma. Warga sini nyaris enggak ada
yang punya HP. HP aku juga udah eror… Nyemplung waktu aku pakai buat foto
anak-anak. Pantai sini indah banget, Desi. Airnya jernih banget kayak air
mineral. Betah aku nyebur lama-lama. Kejar-kejaran sama ikan, bintang laut,
kepiting. Eh Spongebob juga ada loh. Tapi yang paling bikin aku senang di sini
anak-anaknya. Polos-polos gitu. Pada pintar nangkapin ikan sama manjat pohon.
Tapi sedihnya mereka belum pada bisa baca, Desi. Padahal aku taksir yang paling
gede sering sama aku itu ada kali harusnya kelas 2 SMP, tapi baca ini ibu budi
aja masih terbata-bata. Sekolah di sini jauh banget, Desi. Pergi jalan kaki
pagi-pagi, sampainya bisa sore. Orang harus punya kenalan di daerah sana biar
enggak usah bolak-balik, kejauhan, percuma. Hari ini kebetulan aku ikut ke
kota. Seminggu sekali warga yang aku tumpangin ke sana buat beli keperluan
sehari-hari. Pas aku lihat ada kantor pos, mendadak aku ingat kamu dan pingin
ngabarin. Yah, walau mungkin kamu masih marah sama aku. Aku enggak benar-benar
maksud ngatain yang kemarin, Desi. Tapi aku benci dibilang munafik. Dan setelah
aku sampai di sini, aku harap kamu ngerti, Desi, aku orang yang berjuang buat
ngejar cita-cita aku. Sekarang aku bebas ngelakuin apa yang aku mau. Aku harap
kamu juga terus berjuang dengan kebebasan kamu itu, Desi, apapun cita-cita
kamu. Kamu benar, aku enggak perlu mikirin Anton (aka Tony aka Otto—Des) lagi. Biarin aja tuh anak manja nyariin aku.
Aku enggak mau peduli sama dia lagi. Di sini aku bisa berguna buat lebih banyak
orang. Ngajarin anak-anak baca sama nulis. Bahasa Indonesia mereka aja enggak
fasih. Apalagi bahasa Inggris. Aku juga pingin belajar bahasa mereka. Potensi
wisata di sini bagus banget, tapi masih terpencil. Kalau aja warga tahu. Aku
pingin ngajarin bahasa Inggris ke mereka.
Sekarang aku ngerasa udah nemuin tempatku, Desi. Aku harap kamu juga…
Segera.
Miss You As Always
K. M.
Kusobek-sobek surat itu, lalu kutaburkan ke pot-pot tanaman.
Manola pasti senang tulisannya bermanfaat bagi lingkungan hidup.
Kenapa… Kenapa Manola bisa melakukan segalanya.
Kenapa… Kenapa dia harus begitu mulia sampai aku merasa
begitu nista kalau membandingkan diri dengannya.
Aku tidak bernyali untuk apapun. Aku hanya bisa memencilkan
diri di kamar, sementara dia sampai ke tempat yang hanya dia dan Tuhan yang
tahu di mana itu. Mengendarai sepeda di jalan raya saja aku tidak berani,
apalagi bunuh diri…
Sebentar saja aku tersengguk-sengguk di kamar. Setidaknya
sekarang aku bisa kembali berbahasa Indonesia dengan baik dan benar—I try. Kupancal sepeda. Barangkali putar-putar
kompleks bisa bikin gondokku rada encer. Kulewati kios koran. Terpampang tulisan
besar-besar di satu tabloid, memberitakan hilangnya Maladewi Kiamanola.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar