Aku harus menulis tentang cerpen Virginia Woolf, “Solid Objects” (bisa dibaca di sini),
sebab hanya dengan cara inilah aku bisa melaju ke cerpen Harper berikutnya.
Cerpen ini
sudah menahanku berbulan-bulan. Cerpen ini yang membuatku kembali ke cerpen Harper dengan jumlah halaman paling
sedikit dan belajar menerjemahkannya. Dan ketika urutannya kembali ke cerpen
ini, aku menyerah dengan belajar terjemah. Begitupun dengan menulis pembacaan.
Pembukaannya
sudah bikin aku ngeri.
The only
thing that moved upon the vast semicircle of the beach was one small black
spot. As it came nearer to the ribs and spine of the stranded pilchard boat, it
became apparent from a certain tenuity in its blackness that this spot
possessed four legs; and moment by moment it became more unmistakable that it
was composed of the persons of two young men. …
Dan
seterusnya hingga berbelas-belas baris—hanya untuk memberitahu pembaca kalau
ada dua pria sedang jalan-jalan di pantai.
Jangan
ditanya bagaimana adegan-adegan selanjutnya.
Cerpen ini
menceritakan tentang seorang pria yang terobsesi dengan batu yang ia temukan di
pantai, hingga ia mencari lebih banyak batu lagi dan mengabaikan karier
politiknya. Orang-orangpun meninggalkannya, begitupun sahabatnya.
Sulit
memahami pikiran orang yang terobsesi. Nah. Melalui gambaran yang kaya itulah,
agaknya cerpen ini hendak memahamkan bagaimana daya tarik suatu objek dapat
membuat seseorang terobsesi.
But how
had the piece of china been broken into this remarkable shape? A careful
examination put it beyond doubt that the star shape was accidental, which made
it all the more strange, and it seemed to be pirouetting through space, winking
light like a fistful star. The contrast between the china so vivid and alert,
and the glass so mute and contemplative, fascinated him, and wondering and
amazed he asked himself how the two came to exist in the same world, let alone
to stand upon the same narrow strip of marble in the same room. The question
remained unanswered.
Dan
bagaimana obsesi itu menenggelamkannya hingga ia kehilangan banyak hal lain.
As his
standard became higher and his taste more severe the disappointments were
innumerable, but always some gleam of hope, some piece of china or glass
curiously marked or broken, lured him on. Day after day passed. He was no
longer young. His career—that is his political career—was a thing of the past.
People gave up visiting him. He was too silent to be worth asking to dinner. He
never talked to anyone about his serious ambitions; their lack of understanding
was apparent in their behaviour.
Makna yang
lebih dalam mungkin ada pada kata “solid”—yang menjadi bagian dari judul cerpen
ini. Kata tersebut bisa berarti “kuat, kukuh”, sebagaimana obsesi mencengkeram
hasrat seorang manusia (tsah!). Makna yang lebih dalam lagi… tanya kritikus
yang memang berkompeten dalam mengkaji teks yaa.
Cerpen-cerpen
Harper yang kubaca sebelumnya
terbilang simpel. Dari jumlah halamannya, tentu, bahasanya, juga dari bagaimana
adegan demi adegan disampaikan. Ulasan sebagian di antaranya pun pabalatak di internet, sehingga
membantuku dalam memahami cerpen tersebut. Untuk “Solid Objects” rada sepi—atau
aku yang kadung malas menelusuri. Ditambah kemampuanku dalam memahami bahasa
Inggris yang pas-pasan, cerpen ini terbilang sulit buatku. Padahal Virginia
Woolf dikenal justru karena tekniknya yang canggih itu, yang, menurutku sih, “ribet”—he.
Satu tekniknya yang menonjol adalah arus kesadaran aka stream of consciousness, yang seolah ingin menunjukkan jalan
pikiran manusia, yang suka melompat-lompat ke sana kemari, tidak mesti terarah
(seperti saat menulis catatan harian hohoho…). Barangkali gayanya yang “rumit”
itu sekaligus menunjukkan pikirannya yang “rumit”—ia juga dikenal mengidap
gangguan jiwa hingga mendorongnya untuk bunuh diri, kisah hidupnya bisa
ditengok lewat film The Hours di mana
ia diperankan oleh Nicole Kidman dengan hidung palsu.
Bicara
soal obsesi. Orang mungkin tidak mengerti bagaimana orang lainnya bisa begitu
terobsesi. Tapi kadang orang yang terobsesi itu sendiri tidak mengerti kenapa
ia bisa begitu terobsesi. Bagaimana satu hal bisa menendang jauh-jauh ketertarikan
pada banyak hal lain. Dari negeri yang sama dengan Virginia Woolf, band Suede menggambarkan topik yang sama
lewat lagunya, “Obsessions”.
Obsessions
in my head don’t connect with my intellect, it’s called obsession can you
handle it?
Kamu tidak sendiri. Tiap orang mungkin punya obsesinya masing-masing :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar