Senin, 11 November 2013

Di Balik Obsesi

Aku harus menulis tentang cerpen Virginia Woolf, “Solid Objects” (bisa dibaca di sini), sebab hanya dengan cara inilah aku bisa melaju ke cerpen Harper berikutnya.

Cerpen ini sudah menahanku berbulan-bulan. Cerpen ini yang membuatku kembali ke cerpen Harper dengan jumlah halaman paling sedikit dan belajar menerjemahkannya. Dan ketika urutannya kembali ke cerpen ini, aku menyerah dengan belajar terjemah. Begitupun dengan menulis pembacaan.

Pembukaannya sudah bikin aku ngeri.

The only thing that moved upon the vast semicircle of the beach was one small black spot. As it came nearer to the ribs and spine of the stranded pilchard boat, it became apparent from a certain tenuity in its blackness that this spot possessed four legs; and moment by moment it became more unmistakable that it was composed of the persons of two young men. …

Dan seterusnya hingga berbelas-belas baris—hanya untuk memberitahu pembaca kalau ada dua pria sedang jalan-jalan di pantai.

Jangan ditanya bagaimana adegan-adegan selanjutnya.

Cerpen ini menceritakan tentang seorang pria yang terobsesi dengan batu yang ia temukan di pantai, hingga ia mencari lebih banyak batu lagi dan mengabaikan karier politiknya. Orang-orangpun meninggalkannya, begitupun sahabatnya.

Sulit memahami pikiran orang yang terobsesi. Nah. Melalui gambaran yang kaya itulah, agaknya cerpen ini hendak memahamkan bagaimana daya tarik suatu objek dapat membuat seseorang terobsesi.

But how had the piece of china been broken into this remarkable shape? A careful examination put it beyond doubt that the star shape was accidental, which made it all the more strange, and it seemed to be pirouetting through space, winking light like a fistful star. The contrast between the china so vivid and alert, and the glass so mute and contemplative, fascinated him, and wondering and amazed he asked himself how the two came to exist in the same world, let alone to stand upon the same narrow strip of marble in the same room. The question remained unanswered.

Dan bagaimana obsesi itu menenggelamkannya hingga ia kehilangan banyak hal lain.

As his standard became higher and his taste more severe the disappointments were innumerable, but always some gleam of hope, some piece of china or glass curiously marked or broken, lured him on. Day after day passed. He was no longer young. His career—that is his political career—was a thing of the past. People gave up visiting him. He was too silent to be worth asking to dinner. He never talked to anyone about his serious ambitions; their lack of understanding was apparent in their behaviour.

Makna yang lebih dalam mungkin ada pada kata “solid”—yang menjadi bagian dari judul cerpen ini. Kata tersebut bisa berarti “kuat, kukuh”, sebagaimana obsesi mencengkeram hasrat seorang manusia (tsah!). Makna yang lebih dalam lagi… tanya kritikus yang memang berkompeten dalam mengkaji teks yaa.

Cerpen-cerpen Harper yang kubaca sebelumnya terbilang simpel. Dari jumlah halamannya, tentu, bahasanya, juga dari bagaimana adegan demi adegan disampaikan. Ulasan sebagian di antaranya pun pabalatak di internet, sehingga membantuku dalam memahami cerpen tersebut. Untuk “Solid Objects” rada sepi—atau aku yang kadung malas menelusuri. Ditambah kemampuanku dalam memahami bahasa Inggris yang pas-pasan, cerpen ini terbilang sulit buatku. Padahal Virginia Woolf dikenal justru karena tekniknya yang canggih itu, yang, menurutku sih, “ribet”—he. Satu tekniknya yang menonjol adalah arus kesadaran aka stream of consciousness, yang seolah ingin menunjukkan jalan pikiran manusia, yang suka melompat-lompat ke sana kemari, tidak mesti terarah (seperti saat menulis catatan harian hohoho…). Barangkali gayanya yang “rumit” itu sekaligus menunjukkan pikirannya yang “rumit”—ia juga dikenal mengidap gangguan jiwa hingga mendorongnya untuk bunuh diri, kisah hidupnya bisa ditengok lewat film The Hours di mana ia diperankan oleh Nicole Kidman dengan hidung palsu.

Bicara soal obsesi. Orang mungkin tidak mengerti bagaimana orang lainnya bisa begitu terobsesi. Tapi kadang orang yang terobsesi itu sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa begitu terobsesi. Bagaimana satu hal bisa menendang jauh-jauh ketertarikan pada banyak hal lain. Dari negeri yang sama dengan Virginia Woolf, band Suede menggambarkan topik yang sama lewat lagunya, “Obsessions”.

Obsessions in my head don’t connect with my intellect, it’s called obsession can you handle it?


Kamu tidak sendiri. Tiap orang mungkin punya obsesinya masing-masing :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain