Selasa, 26 November 2013

Cerita 06 - Dua Depresi

KUTELEPON dr. Anton Iskandardinata, Sp. KJ., yang semasa SD kukenal sebagai Otto. Kukatakan padanya, sepertinya aku butuh bantuan. Dengan suaranya yang berat lagi lambat-lambat namun lembut, ia tanya keperluanku, yang membuatku terdiam. Ia membantuku dengan menyebut beberapa nama asing yang sepertinya obat-obatan, lengkap dengan khasiat masing-masing. Kukatakan bahwa yang kubutuhkan pertama-tama adalah telinga seorang psikiater, yang barangkali setelahnya bisa menentukan apakah aku butuh obat atau tidak. Pelik juga. Soalnya profesi sambilan Otto adalah makelar obat-obatan—obat penenang. Bagaimanapun ia satu-satunya psikiater yang kukenal, yang kuharap dapat memanfaatkan jasanya secara cuma-cuma.

            “Biar saya perjelas,” katanya. “Saya psikiater, bukan psikolog. Beda, Desi. Dan walaupun saya psikiater, saya enggak praktik di luar. Kalau kamu ingin jadi pasien saya, kamu sebaiknya terdaftar di instansi saya. Kecuali kalau kamu ada uang lebih. Ada barang, ada uang, Desi.”

            “Tapi, kamu bilang, kapanpun saya butuh bantuan…” kuungkit momen ketika ia menyerahkan kartu namanya padaku, ketika kami tidak sengaja bertemu di restoran, ketika aku menemani tetanggaku yang ternyata pelanggannya. “Ah. Ya sudahlah.” Aku memang hanya butuh tidur berhari-hari sampai galauku reda sendiri—seperti biasanya.

            “Gini deh. Kamu ke rumah saya aja. Entar malam. Jam delapan.”

            “Duh. Enggak bisa lebih malam lagi, Dok? Perempuan macam apa saya malam-malam ke rumah lelaki,” yang baru pertama kali jumpa setelah belasan tahun, dulunya pun tidak akrab.

            “Baiklah, kalau gitu mau kamu. Minggu siang. Di rumah orangtua saya.”           

            Beberapa hari kemudian kubonceng ojek melewati rumah-rumah yang akan meletupkan anganmu untuk tinggal di dalamnya, dengan ruangan-ruangan lega dan mewah, taman-taman surgawi nan asri, anjing pirang berlarian mengitari kolam air mancur di halaman, dan satpam mengadang di gerbang. Kuajukan kata sandi: Saya temannya Anton.

Satpam itu mengantarku sampai muka pintu, membukakan pintu. Lalu aku keluyuran sendiri. Tidak seorangpun menyambutku. Bahkan setelah kumasuki ruangan tengah yang mahalapang dengan interior menakjubkan yang bikin mata sulit terpejam, orang yang kutemui hanya sosok-sosok dalam parade potret di satu sisi ruangan, tampak begitu terhormat dan berwibawa dalam pakaian formal. Kubayangkan saja seorang perempuan berdandanan menor menuruni tangga lebar yang melingkar di pojok ruangan, dengan paras sinis bak tokoh antagonis dalam sinetron menghardikku untuk menggosok bersih-bersih permukaan marmer di seantero rumah, sampai aku bisa menyaksikan pantulan wajahku sendiri, aku tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya aku putri kandung pemilik rumah megah ini, tapi si jahanam itu mengasingkanku ke rumah keluarga dengan ekonomi pas-pasan duapuluhan tahun lalu.

“Desi!” Sang hero pun menyelamatkan protagonis wanita dari kebengongan. Ia duduk di pinggir kolam renang dengan pancingan di satu tangan, mengenakan kaus polo, celana bermuda, dan sandal buaya. Aku duduk di bangku satunya, mengerjap demi mendapati lele-lele berkeliaran di dasar air yang saking bening hingga memantulkan lingkaran-lingkaran bertepi keemasan, yang jadi tidak indah jika terpahat di paha perempuan—stretchmark, kalau kamu tidak paham maksudku. “Naik apa ke sini?” Angkot tiga kali, sambung ojek. “Mau mancing juga?” Enggak. “Pancingnya satu lagi, Lim!” Teriaknya entah ke mana, pada siapa, tapi sejurus kemudian seorang lelaki muncul untuk mempersembahkan sebatang pancingan. Otto menunjukkan padaku cara memasang umpan berupa daging… sirloin!?... di mata kail, lalu melemparkannya hingga tali senar melambung jauh ke tengah kolam. “Mancing bagus buat pikiran…” Kukira ia telah melatih senyumnya sejak yang senantiasa ia tunjukkan padaku semasa SD, dan hasilnya mengesankan.

Kami memancing dalam sepi, sampai ia berkata lagi, “Katanya lele suka makan tahi ya.”

“Katanya sih.”

Di meja di antara kami, seorang perempuan meletakkan piring berisi penganan, yang di toko mesti berharga Rp 5000++/potong, dan seteko teh hangat dengan aroma tidak biasa, lalu sepasang cangkir dan tatakan masing-masing.

“Kalau bikin bilik enaknya di mana ya? Di situ, di situ, apa di situ?” Ia menunjuk sisi kolam satu per satu.

“Emangnya siapa yang mau buang muatan di situ?”

Ia mengedikkan bahu, tersenyum.

“Kok lele sih?” Ganti aku yang memecah hening.

“Dulu pernah, mujair, mas, gurami… Tapi, masak lagi enak-enak mancing, masih ada juga yang nyebur. Lele ini hebat, Desi, herdernya air tawar.”

“Oh…” Ternyata di dunia ini ada juga ya, orang yang tidak melihat bedanya empang dengan kolam renang, maksudku, walau keduanya sama-sama bisa digunakan untuk berenang, tapi masing-masing memiliki peruntukan bagi spesies yang berbeda. Dan menurutku, dengan permukaan keramik sebersih dan air sejernih itu, balok luas yang menjorok ke bawah ini lebih tepat digunakan sebagai tempat berenang bagi manusia. Mungkin mereka memang bukan lele biasa. “Bagus ya lelenya.”

Tawanya pecah sedikit, seakan tidak ada gunanya menyatakan hal yang sudah pasti. “Lele itu… lucu.” Hm… Aku mengangguk-angguk. Walau tidak mengubah pendapatku kalau anak kucing dan penguin dan panda tetaplah yang terlucu. “Bisa enggak kamu bayangin, hewan kok,” ia tersengal geli, “berkumis…” Kucing juga berkumis, ingin kubilang begitu… “…kayak engkoh-engkoh.” …kayak Naruto.

Pancingku sontak terasa berat. Dengan antusias, Otto menyemangatiku untuk terus mengail. Lele itu terangkat, lalu, karena tidak tahu apa yang mesti kulakukan, kulempar begitu saja ke tepian. Kamipun membungkuk, mengamatinya menggelepar.

“Ternyata bukan cuman tahi, lele juga suka sama kamu, Desi,” senyumnya.

Karena tidak pasti itu pujian atau hinaan, aku diam saja.

Ia mencabut kail dari mulut lele itu, lalu melontarkannya lagi ke kolam. Perjuanganku terasa sia-sia, walau sedari tadi aku pegang pancing tanpa mengharap apa-apa, dan lagi, sebetulnya aku ke sini buat apa sih?

“Anu… Itu… Yang di telepon…”

“Ah… Iya, iya. Udah mau gelap, Desi, tanggung, kita makan dulu ya.”

“Ini aja cukup…” kutunjuk kudapan yang belum tandas. Teh ini juga sayang kalau tidak dihabiskan.

“Makan berat dong.”

Demikianlah aku menuruti keinginan tuan rumah yang ingin beramah-tamah.

Meja di ruang makan begitu besar, membuatku menerka-nerka seberapa banyak makanan dan minuman yang bisa muat. Begitu jarangnya percakapan di antara kami, aku perlu membuat diriku merasa nyaman, aku cari-cari apa yang bisa dikatakan, “Menunya lele ya?”

Reaksinya sama sekali tidak kuduga, dengan muka merengut begitu, “Tega-teganya kamu makan hewan selucu itu, Desi,” seolah lele sama haramnya dengan sirip hiu.

“Tapi waktu di Rempah Kampung itu kamu mesenin saya lele…” kusinggung pertemuan kami sebelumnya.

“Tidak di rumah ini.”

Putus lagi pertukaran kata di antara kami. Aku menunduk selama makanan dan perabot disuguhkan, menimbulkan denting pelan saat diletakkan di meja marmer ini, ragam aroma berpadu dan meraba-raba rongga hidungku.

“Sepi ya,” kucoba lagi mengail pembicaraan.

“Ya. Cuman saya sendiri.”

“Katanya rumah orangtua kamu.”

“Pada pergi.”

Setelah kami selesai dengan santapan masing-masing, aku bilang padanya kalau aku mau salat. Ia mengarahkanku ke musala, yang membuatku heran. Musala dan anjing dalam satu rumah merupakan perpaduan janggal bagiku. Hah. Sudahlah. Aku butuh air bukan sekadar untuk wudu, jadi ia menunjukkan letak kamar mandi terdekat. Kamar mandi yang begitu lega dan bersih dan wangi hingga aku ingin merebahkan diri di bak mandinya yang seukuran kasur di kamarku itu, dan menaruh meja di depan kloset duduknya untuk menulis, dan memindahkan seluruh isi kamarku ke sana sekalian.

Selesai menunaikan keperluanku, kulihat Otto menanti di ruangan temaram dekat kolam, dengan sofa-sofa dan meja panjang, guci-guci dan beragam barang antik lain menemani dalam bisu di pojok-pojok. Aku duduk di sofa dekat Otto.

Dengan anggun, ia mengangkat cangklong yang semula menggantung di sudut mulutnya. Asap mengepul gemulai, menebar harum lembut… “Jadi, apa yang mau kamu ceritakan, Desi?”

 

KUBUKA sesi itu dengan, “Saya enggak tahu kenapa saya selalu sedih, seolah udah bawaan saya untuk selalu sedih.”

            “Sejak kapan kamu merasa seperti itu?” Si psikiater menautkan jemari di atas perutnya yang rata, meletakkan punggungnya pada sandaran sofa yang nyaman. Sepasang kakinya yang jenjang dengan rambut-rambut panjang berselonjor, yang satu bertumpu pada yang lain.

            “Mungkin… SMA…” Tapi aku ingat saat SMP pun aku tidak memiliki banyak teman, sepertinya pada masa itupun aku bersedih. Bahkan ketika masih SD… Kekeluarkan saja segala kesuraman hidupku yang terlintas dalam benak, tanpa mengacuhkan susunannya. “Kadang saya enggak sadar kalau saya bersedih. Orang bilang saya kelihatan murung. Muka saya masam. Padahal saya merasa biasa-biasa saja. Lalu saat kuliah… saya mulai merasa gampang lelah. Waktu itu saya pikir saya darah rendah. Saya mulai minum obat penambah darah, tapi enggak lama. Bahkan ketika saya bisa makan tiga kali sehari dengan sayuran hijau pun...” Pernah ada yang mengatakan cara jalanku seperti menyeret langkah, cara tertawaku seperti memendam beban. Orang melihatku tidak bersemangat, dan kusadari mereka memang benar. “Hidup jarang menguntungkan. Memang kadang saya merasa baikan dan enggak mempermasalahkan apa-apa. Tapi seringnya saya merasa ada enggaknya saya di dunia ini sama saja. Saya enggak akan bisa jadi apa-apa. Saya enggak bakal bisa berbuat lebih…” bicaraku mulai tersendat. “…sampai saya merasa kehadiran saya malah mengganggu buat orang lain. Orang-orang mulai bersikap seolah-olah saya ini menjengkelkan. Saya selalu merasa bersalah. Dan makin hari saya makin sensitif saja, terus-terusan mengasihani diri, dan enggak berani berbuat apapun lagi karena takut membuat kesalahan, dan orang-orang makin enggak menyukai saya. Saya enggak bisa nyeritain masalah saya sama orang lain, karena saya pasti sudah menangis duluan, dan saya jadi susah ngomong…“ dan aku merasa sekarang hal itu akan segera terulang, “…saya enggak tahu kenapa. Saya enggak ingin menangis. Tapi sepertinya emosi dengan pikiran saya enggak sejalan. Pikiran saya ingin saya terus menjalankan apa yang seharusnya. Tapi emosi saya…” dan terjadilah, tangisku membungkam mulut, aku benamkan kepala dalam pangkuan. Setelah menyedot ingus berkali-kali, dan mengusap wajah ke rok, barulah aku menatapnya kembali, “Ma—maaf Otto. Punya… tisu?” Oh… cairan kental mengalir lagi dalam lubang hidungku, ia menarik sapu tangan dari celananya, walau aku lihat kotak tisu di pojok ruangan, begitu jauhnya… kulepas ingus ke secarik kain yang begitu wangi… wangi lelaki… Buat kamu aja, terdengar suaranya.

            “Kamu tahu, Desi,” ucapnya, setelah lama aku tidak sanggup melanjutkan, “dari SD kamu memang begitu. Selalu murung, kelihatan sedih. Dan kamu memperburuknya dengan menyendiri…”

            Kujawab dengan sedu.

            “Kamu pernah coba bunuh diri, Desi?”

            Memikirkannya saja membuatku menangis.

            “Kamu memang menyedihkan, Desi.”

            Seduku menjadi-jadi.

            “Tiap kali melihat kamu, saya jadi enggak senang.”

            Kuangkat kepala. Berusaha bicara walau disedak tangis, “Gara-gara itu, dulu kamu suka ngejek saya?”

            “Apa cara lain supaya kamu bereaksi?”

            “Kamu kan bisa agak… simpati,” dan bukannya memecah-belah perasaanku… oh… tahukah Otto, selalu kuharapkan senyummu padaku yang tidak dinuansai cemooh. “Kamu selalu ngejek saya… yang lainnya ikutan ngejek saya…” dan meruntuhkan kepercayaan diriku untuk seterusnya!

            Ia mendesah, tanpa melepaskan tatapannya padaku yang sarat prihatin. “Teruskan, Desi. Teruskan…” Baru aku membuka mulutku lagi, “Tunggu…” Mendadak ia bangkit. Kupakai kesempatan itu untuk mengambil kotak tisu, meraup isinya banyak-banyak lalu menjejalkannya ke mukaku. Ia kembali dengan botol hitam besar, yang kalau tidak melihat sumbat dan pelapisnya yang tampak artistik, aku bakal menyangka isinya kecap. “Mau, Desi?” Tidak perlu kujawab pertanyaan retoris itu. Ia hanya bawa satu gelas piala kecil. Satu tegukan. “Teruskan.”

            Mulai kualami periode-periode di mana aku terlalu lembam untuk bangkit dari kasur. Orangtuaku menyuruh adikku mengantar makanan dan minuman ke kamarku. Tidak ada siang di kamarku, gorden selalu menutup jendela. Yang bisa kupikirkan hanya hal-hal yang tidak aku miliki. Segala yang tampak padaku, maupun dalam diriku, hanya membuatku nelangsa. Bahkan kukira penjaja sapu keliling lebih beruntung dariku. Aku hanya perempuan dari kalangan menengah yang terhimpit. Orang selalu mengejar yang di atas kalau bukan melongok yang di bawah. Orang mengira hidupku mapan, tapi sesungguhnya tidak ada yang sungguh-sungguh hirau akan kebutuhanku. Kupikir sebaiknya memang aku tidak bertemu orang-orang lagi, kehadiranku hanya membuat mereka sebal. Aku takut melamar pekerjaan, aku takut tidak bisa mengerjakan tugas-tugas dengan benar. Tiap pagi akupun takut kalau orangtuaku tidak bangun lagi, dan ketakutanku menjadi-jadi ketika bapakku betulan tidak bangun lagi dan yang tersisa tinggal ibuku, bagaimana aku bisa mengurus adik-adikku sendirian… Memang ada adikku yang sudah bisa mengurus dirinya sendiri, dan sepertinya ia yang bakal mengurus kakaknya yang disfungsi dan adiknya yang lebih kecil kalau orangtua kami sudah tidak bersisa sama sekali. Dan kalau satu kejadian membuat keluargaku sama sekali tidak bersisa, aku akan membuat orang lain membunuhku: berlari ke tengah jalan tol, mondar-mandir di lapangan tentara berlatih menembak, mengganggu mahasiswa semester tiga belas—apapun, supaya bukan aku sendiri yang bersalah…

Baru-baru ini kuusir sahabatku. Yang muda saja tidak respek padaku. Lelaki yang kuharapkan untuk menikahiku malah menghilang, tabunganku ikut melayang. Seekor kucing jantan masuk ke kamarku melalui celah pintu beranda yang sedikit terbuka, dan meninggalkan tandanya yang menyengat di balik lemari. Bahkan wilayahku, satu-satunya tempat di mana aku bisa berkubang dengan aman dan nyaman, dirampas kucing! Aku mulai menyetel lagu berjudul “Suicide is Painless”[1] berulang-ulang, barangkali lama-lama akan kudapatkan keberanian… aku tidak bisa bayangkan hidup sampai usia lanjut dalam kehinaan diri dan keibaan orang-orang. Kalau aku berulang tahun, kuharap orang mendoakanku untuk pendek umurnya serta mulia karena bait “panjang umurnya, panjang umurnya,” jadi begitu mengerikan untuk didengar. Aku menangis saat mendengar lagu “Animal Instinct”[2], karena menyadari tidak ada lelaki yang mau menikahiku, sehingga aku tidak akan pernah punya anak, dan kalaupun punya, bagaimana kalau aku tidak bisa menjaganya dan ia akan merutukku karena menyeretnya ke dunia yang pahit ini…  

            Seteguk lagi cairan gelap yang Otto gelontorkan ke mulut. Tonjolan di lehernya bergerak-gerak seraya ia letakkan cangkir di meja, dan menuang lagi isi botol. “Enggak heran kamu punya konsep diri yang buruk, Desi. Saya enggak pakai kacamata aja wajah kamu masih kelihatan jelek. Ditambah segala ketakutan kamu itu, pantas hidup kamu enggak maju-maju. Kamu memang menyedihkan…” Ia memandangku entah miris entah jijik, lalu menyesap cairan di gelas. “Dan orang-orang seperti kamu terus berdatangan, enggak ada habis-habisnya…” Perkataannya membuatku tertegun. Jelas bukan begini respons yang kuharapkan. Kalau konsep diriku demikian buruk, bukankah seharusnya ia membantuku memperbaikinya? Alih-alih memegang notes dan pulpen dan mendiagnosis masalahku—seperti di film-film, ia malah menggenggam botol minuman keras. Kuusap titik-titik yang mungkin masih menggenang di wajahku. “Selalu ada orang menyedihkan baru, menggantikan orang menyedihkan lama. Gelandangan tua di jalan, enggak ada yang kenal, akhirnya jadi kadaver di lab. Potongan tangannya, Desi, diperjualbelikan buat belajar mahasiswa di rumah…” terdiam, matanya merunduk, lalu padaku lagi, “Mau lihat, Desi? Kayaknya saya masih nyimpen…” Aku menggeleng. Ia mengocok-ngocok cairan yang tersisa di dasar gelas, lalu menelannya. “Gelandangan mati, terus lahir bayi, invalid. Seumur hidup dia tumbuh, berjuang supaya enggak malu, nunjukkin kalau mereka juga bisa melakukan sesuatu. Orang yang enggak cacat badan, cacat otaknya, Desi. Tapi mereka orang-orang yang bahagia. Mereka beruntung udah bisa meninggalkan dunia, tinggal badannya aja yang belum. Tapi saya, Desi,” jempolnya menunjuk dada, “saya yang tugasnya narikin lagi mereka ke dunia yang kata kamu pahit ini. Penjahat saya ini, Desi.” Mulutku tidak jadi menyangkal, mengingat profesi sambilan Otto sebagai makelar obat penenang… yang sebetulnya kan… ilegal…?

            Ia menawarkan minumannya sekali lagi. Aku menggeleng.

            “Emangnya minuman keras… bisa membantu?”

            Tawanya meledak, “Kalau enggak keras, mana bisa tahan, Desi?” namun terdengar getir di telingaku. Entahlah apa maksudnya. Memang aku kenal tunangannya, dan ingat apa yang terakhir kali perempuan itu curahkan padaku mengenai kisah-sedih-di-atas-ranjang... Aku tidak ingin menghubung-hubungkannya sama sekali…

            “Kamu sembahyang kan, Desi?”

            “Ya,” kataku pelan.

            “Dan kamu masih merasa sedih?”

            “…ya,” semakin pelan.

            “Kok bisa, Desi, bukankah Tuhan harusnya bikin kamu tenang?”

            “Mungkin cara sembahyang saya yang salah.”

            “Betul itu. Tuhan enggak mungkin salah. Kamu yang diciptakan untuk salah, kamu memang harusnya salah, dan depresi.”

            Aku benar-benar tidak nyaman membicarakan ketuhanan, aku bisu saja.

            “Kenapa, Desi? Bukannya kamu ingin ngomongin yang sedih-sedih? Belum ngomongin pasien saya. Ada, Desi, puluhan tahun dipasung. Yang ngurus cuman emaknya. Emaknya meninggal enggak ada yang tahu. Berminggu-minggu dudukin tahinya sendiri, makan tahinya sendiri…” Aku menunduk. “Ada lagi, Desi, orang-orang kampungnya bilang dia enggak waras karena kecilnya diculik wewe. Ini yang bikin sedih orang yang enggak waras itu apa orang-orang kampungnya, zaman sekarang kok percaya takhayul. Bisa aja kan, ternyata cuman dipinjam bentar sama pedofil.” Aku makin menunduk. Kalau metode penanganannya adalah menceritakan yang sedih-sedih hingga aku merasa kesedihanku tidak lagi berarti, ia mulai berhasil. Ataukah ini servis yang layak kudapatkan karena ia tahu aku enggan membayar? Seolah membenarkan pikiranku, yang pertama, ia berkata lagi, “Di rumah sakit banyak cerita sedih,” dan ia terus menceritakannya, dan tidak lagi menuang cairan ke gelas, melainkan langsung reguk dari botol. Ceritanya tidak kunjung berakhir. Sepertinya ia sama sekali tidak memerhatikanku melirik-lirik jam sedari tadi. Ia mengambil botol baru, dan lanjut bercerita. Tentang mereka yang makan roti berjamur dan capcai berbelatung dari bak sampah. Tentang mereka yang tidak pernah ditengok lagi keluarganya. Tentang mereka yang ditaruh di jalan karena kapasitas yang terbatas di rumah sakit. “Jumlah mereka makin banyak, Desi.” Tentang mereka yang menolak untuk sembuh, untuk merasakan lagi kejamnya dunia. Dan cairan gahar itu terus ditenggaknya seperti anak sekolahan minum air mineral sehabis lari dua puluh putaran. Wajahnya sudah lama merah. Aku tidak yakin matanya yang setengah melek setengah merem itu benar-benar melihat, maksudku, mungkin saja yang dilihatnya sudah lain dari yang senyatanya ada.

            Bukannya menyampaikan kalau aku harus pulang atau terancam tidak mendapat angkot, yang meluncur dari mulutku malah, “Kamu enggak apa-apa minum terus kayak gitu?”

            “Kesedihan itu enggak masuk akal, Desi. Makanya, pakai akal kamu…” akan kuturuti sekiranya tidak keluar dari mulut orang yang mabuk.

            Posisiku siaga kalau-kalau tubuhnya mendadak oleng dan terempas ke lantai. Tapi ia malah merayap dengan kecepatan zombi yang masih berusaha menggapai mangsa walau kepalanya sudah dipentung berkali-kali, sampai di tepi kolam mulutnya menyemburkan cairan keruh. Suara dari lehernya begitu mengkhawatirkan seolah ada pompa tidak kasatmata dengan kekuatan tinggi menyedot isi perutnya agar habis tanpa sisa, membanjiri lele-lele… Tergopoh-gopoh kudekati. Dengan canggung ujung-ujung jariku mengurut tengkuknya yang dingin dan lembap. Kalau saja ia suamiku, akan kulakukan lebih dari ini!

            “Tadi kamu ingin kasih mereka tahi, sekarang yang kamu kasih cuman produk setengah jadi.”

            Kekehnya keselak muntah.

 

KUHAMPIRI para pembantu agar keluar dari persembunyian mereka. Sejurus kemudian, satu telah memijat kaki kiri sang majikan, satu di kaki kanan, satu di pundak dan lengan, dan satu lagi berjaga dengan segelas air putih hangat. Aroma minyak (dari botol dengan entah akar apa di dalamnya itu) meruap. Mata Otto terkancing. Mulutnya terbuka. Tubuhnya tenggelam di sofa dengan sandaran rebah. Sebelum ia tertidur…

            “Otto, saya harus pulang.”

            Matanya rekah perlahan.

            “Pakai apa?” Angkot. “Masih ada angkot gitu… Ke jalannya naik apa?” Ojek. “Jam segini ojek. Entar diculik.” Kamu ada sopir kan. “Sopir lagi enggak kerja.” Pinjam telepon deh, panggil taksi. “Nginep ajalah.”

            Demikian sang pangeran memutuskan. Ia menyuruh seseorang bernama Inah menyiapkan kamar. Para abdi dalem pun bubar. Otto bangkit walau agak sempoyongan.

            “Boleh yang ada kuncinya enggak?”

            Muka kusut itu tidak menjawab.

Inah mengantarku ke lantai atas, memasuki lorong yang di kedua sisinya terdapat pintu-pintu. Di sisi pintu, aku menungguinya membenahi kamar, sampai ia keluar dengan setumpuk lipatan kain. “Udah, Mbak…” Ia pun lalu. Aku mengecek gagang pintu, di sebelah luar dan di sebelah dalam. Tidak ada kunci.

Kurasakan bayangan menimpaku dari belakang, disusul napas yang berat, dan beban mendarat di pundak… Kutendang orang itu tanpa peduli bagian apa yang kena. “Kalau kamu pingin ini, kamu mesti izin bapakku dulu, brengsek!”

Terkapar di lantai, kepalanya merosot di dinding, ia terlalu payah untuk menatapku dengan sengit. “Kamu jatuhin saya… Kamu jatuhin saya, Perempuan…”

“Maaf, Otto, maaf…!” Demi apapun yang kupikirkan! Barangkali tadi ia hanya bermaksud cari pegangan karena langkahnya goyah. Dengan panik aku tarik lengan Otto, tapi ia hela lagi. Ia berusaha bangun sendiri, tapi tergeletak lagi. “Saya bantuin ya,” aku coba tarik lengannya lagi, tapi sisa tenaga malah ia kerahkan untuk menyentak pertolonganku. “Mau saya panggilin yang lain aja?”

“Enggak usah. Saya tidur di sini aja.” Ia membuka genggamannya. “Nih...” Tanpa daya, kunci itu bergulir ke lantai.

“Jangan gitu…” Kuperhatikan napasnya makin payah, dan tubuhnya gemetar. Sesekali wajahnya mengernyit seperti nyeri. Napasnya mulai tersengal, lalu terisak. Oh… Perempuan memang mudah menangis. Tapi kalau lelaki yang menangis tentu karena pedihnya sudah tidak tertahankan! “Otto… Kenapa, Otto? Ada apa? Cerita aja. Jangan malu-malu. Enggak bakal saya omongin ke siapa-siapa. Kalau habis ini kamu enggak pingin ketemu saya lagi juga enggak apa-apa...” Tapi ia menggeleng-geleng saja. Sepertinya yang ia inginkan hanya pergi dari sini, tapi pijakan tangannya saja tidak kuasa menopang sisa tubuhnya untuk bangkit, atau aku yang pergi, tapi mana enak aku meninggalkannya dalam keadaan kalut begitu. “Otto… Kamu kaya dan pintar dan ganteng dan tunangan kamu cantik dan perhatian dan…” tidak ada di sini… “…orang-orang memuja kamu. Apa lagi yang kamu sedihkan, Otto? Kamu cemas kenapa?”

“…enggak pantas, Desi, enggak pantas…” tanpa aku dengar jelas apa yang menurutnya tidak pantas itu… ia tersedusedan. “…gimana kamu bisa tenang dengan begitu banyak derita di sekeliling kamu… dengan orang-orang seperti kamu di dunia ini…”

“Tapi Otto, kamu bukannya enggak berbuat apa-apa. Kamu kerja di RSJ. Kamu ngobatin orang-orang gila. Kamu bantu orang-orang supaya gampang ngedapetin obat penenang … Kamu sudah mengurangi sedikit beban dunia, Otto…”

“Lihat rumah ini, Desi…” Ia mulai bisa menyandarkan punggungnya di dinding, sementara sebelah tangannya melayap ke mana-mana. “Orang macam apa, Desi, orang-orang macam apa yang tinggal di sini, melindungi diri sendiri dari pahitnya hidup di jalan…?” suaranya tercekat. “Orang-orang pengecut, Desi… Mereka hanya ingin kenikmatan untuk mereka sendiri…”

“Otto…” ganti aku yang merengek. “Kita ngomongin Arifin aja deh,” atau apapunlah! Sudah cukup berpedih-pedih malam ini! Arifin? “Itu. Pasien yang kapan itu mau kamu jodohin sama saya.” Dia udah mati. “Loh?” Dia suka gitu. Bosan di rumah sakit, terus tahu-tahu manjat tiang listrik… Bagaimana orang bisa segampang itu menghilangkan nyawanya sendiri, Desiii…? Tangannya merenggut bagian bawah bajuku. Aku mengerang. “Kamu harus kuat, Otto. Kamu psikiaternya! Kamu yang ngerti!”

Ia berhenti tersengguk, seolah baru menyadari kata-kataku. “Ya. Saya emang tahu. Tolong, Desi… Di kamar…”

“Jangan obat penenang!” kataku, dan kujawab tatapannya, “Kamu tahu kan saya sama tunangan kamu…” …kukira mantan model itu sudah menceritakan kedekatan kami semasa SMP, dan bagaimana upayanya membenahiku sebagaimana ia mengurusi Otto, “dia cerita…” …riwayat kejiwaan kamu, kenapa mesti kambuh di saat aku perlu bantuan kamu sih!

Dipotongnya ucapanku. “Gimana kamu bisa tidur, Desi?”

“Tiduran di kasur. Terus merem.”

Kali ini ia membiarkanku membantunya berdiri, kendati tubuhnya jauh lebih besar dariku. Belum selangkah, kakinya selip. Aku memekik sementara tubuhnya terbanting. Sesaat aku terdiam karena kagetku. Ia tidak bergerak lagi. Hanya dengkur. Kuambil selimut dari kamar yang akan kutempati, lalu kututupi tubuhnya. Setelah itu aku masuk kamar tanpa lupa mengunci pintu. Ia pasti punya kunci serep, tapi keadaannya yang seperti itu melunturkan kecurigaanku. Aku benamkan tubuh ke balik bedcover. Beberapa lama telingaku awas, tapi tampaknya ia tidak membuat suara apa-apa. Posisiku berganti-ganti dengan gelisah. Kurenungkan rumah yang sunyi di hari Minggu, penyebab orang menggantungkan diri pada obat penenang dan alkohol, dan tunangan yang tidak bisa memuaskan kekasih yang tidak bisa memuaskan lagi di tempat tidur dan akibatnya minggat ke tempat yang hanya ia dan Tuhan yang tahu… lalu akupun tertidur.

Tiba-tiba ia merangkak di atasku. “Biar jelek, kamu perempuan, Desi…” Senyumnya tidak bisa kuartikan dengan pasti—antara menawan sampai mengerikan…

Aku tersentak, dan susah lelap lagi. Aku tidak bisa mengatupkan mata tanpa terbayang Otto mengelus-elus lelenya tersayang… yang ikan apa yang lain…?

Sayup-sayup azan subuh. Aku tidak bisa tunggu lebih lama. Aku putuskan untuk joging dari rumah ini sampai jalan raya. Angkot pasti sudah beroperasi.

Tidak kutemukan Otto di lorong, melainkan di sofa lantai bawah, bergelung dalam selimut yang kusampirkan semalam. Aku mendekatinya dalam jarak tertentu. Ingin aku meletakkan tangan di bawah hidungnya untuk memastikan ia masih bernapas, tapi kuurungkan karena takut tergoda merayapkan jari ke bagian tubuh lain.

Akhirnya kulewati lagi gerbang itu, meninggalkan satpam yang mungkin terheran-heran… Sepagi ini pulang setelah semalaman di rumah lelaki yang tidak menikah denganku… aku merasa seperti perempuan nakal.

Tidak ada yang lebih kuinginkan saat ini selain tidur.[]



[1] Soundtrack film MASH, dikatakan sutradaranya sebagai lagu terbodoh di dunia namun ternyata popularitasnya malah melampaui film itu sendiri. Lirik lagu ini dikarang putranya yang berumur 14 tahun.

[2] Lagunya The Cranberries

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain