—judulnya biar mirip judul
novel HAMKA: Dijemput Mamaknya
Mama ingin
memukulnya. Bibe tahu itu. Dari gerenyot muka Mama. Tangan yang terkepal rapat.
Hawa yang naik ke ubun-ubun. Gerahnya Mama memukul-mukul jantung Bibe.
Bertahun-tahun jadi anak Mama, Bibe
insaf bentakan saja tidak cukup untuk membuatnya kapok. Bibe kasihan melihat
Mama menahan-nahan begitu. Bibe saja suka tidak bisa menahan-nahan. Bibe suka
mengambil selembar-dua dari dompet Mama karena tidak bisa menahan-nahan saat
tukang bakso atau gerobak es krim lewat depan rumah. Bibe suka tidak bisa
menahan-nahan untuk tidak menggambari dinding dengan matahari karena ingin
menghangatkan rumah. Bibe suka tidak bisa menahan-nahan untuk tidak memasukkan
anak kucing ke dalam rumah, dan membiarkan kotorannya tercecer-cecer di lantai.
Bibe suka tidak bisa menahan-nahan apapun bahkan apabila itu membuat Mama mesti
menahan-nahan untuk tidak memukulnya. Jangankan menjewer, mencubit saja Mama
tidak!
“Mama… pukul aja…” cicit Bibe tanpa
bermaksud menantang. Malah tubuhnya makin mengkeret karena tatapan Mama. Kedua
tangan Bibe berpelukan di depan dada, seakan hendak melindungi satu sama lain
dari luapan amarah Mama. Suara Bibe bergetar. Ia siap menangis kalau Mama
benar-benar memukulnya. Dari bagaimana Mama membanting-banting barang, Bibe
tahu Mama memang ingin memukulnya.
“Temen-temen aku juga pernah dipukul
mamanya, papanya…” Nita pernah dilempar pakai payung. Bayu pernah ditoyor
sampai bibirnya membentur laci. Axel pernah didorong sampai terjengkang. Sedang
yang bisa Bibe pamerkan hanya, “Tante juga pernah nampar aku…”
Mata Mama makin membesar. Mama
menghentak-hentak langkah ke kamar adiknya.
“Berani-beraninya kamu nampar
anakku, heh?!” Lalu Bibe dengar kulit bertemu kulit dengan kerasnya.
Bibe tidak berani bersuara lagi,
selain patuh saja pada kata-kata Mama. Habisin
makanan kamu! Kerjain PR! Sikat gigi! Tidur!
Bibe terus membolak-balik badan di
kasur. Sempat ia terlelap, tapi terjaga lagi. Terpejam lagi sebentar, lalu
matanya terbuka lagi. Pada waktu-waktu tersebut ia masih dengar cakap-cakap
dari TV. Ia mengintip. Mama masih menonton dalam gelap. Setelah entah berapa
kali lagi Bibe terlelap-terjaga, suasana akhirnya sunyi.
Pintu kamar Mama tertutup. Bibe
mengendap-endap ke pintu kamar Tante, yang juga tertutup. Tampak cahaya di
bawah pintu. Ia mengetuk pelan. “Tante… Tante…” suaranya tidak kalah pelan.
Tidak ada jawaban. Bibe mengambil kertas dan krayon, lalu menulis besar-besar:
“TANTE MAAFIN AKU YA.” Ia dorong kertas tersebut hingga melewati celah di bawah
pintu.
Bibe lalu menggambari kertas lain
sembari telungkup di depan pintu, dengan penerangan sekadarnya.
Terdengar gagang ditarik. Pintu
terbuka. Bibe mendongak. Tante berdiri sambil memegang kertas bertuliskan:
“DIMAAFIN.”
Keduanya tersenyum.
Bibe masuk ke kamar tantenya, lalu
mereka berbisik-bisik di tempat tidur.
“Kamu tuh aneh. Malah minta
dipukul.”
“Temen-temen aku pada pernah.”
“Habis kayaknya Mama pingin pukul
aku,” kata Bibe lagi.
“Kamunya bandel sih. Ayo, tidur
aja.” Tante membaringkan tubuhnya sambil tangannya mendorong Bibe agar rebah
juga. Tapi Bibe bangun lagi.
“Tapi kok Mama enggak pernah mukul?”
“Soalnya dipukul itu sakit.”
“Iya aku tahu. Aku kan karate.”
Tante yang sudah memejamkan matanya
itu pun tersenyum.
“Makanya jangan bandel, biar enggak
dipukul.”
“Tapi Mama enggak pernah mukul.”
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Enggak mau.”
“Kenapa enggak mau?”
“Dipukul itu sakit.”
“Tante mah jawabnya gitu-gitu aja!”
“Sakitnya enggak cuman di kulit,
Bibe, tapi di dalam juga.”
“Di dalam apa?”
“Di hati. Sakit hati.”
“Enggak ah.”
“Udah, Bibe, jangan ngarep-ngarepin
dipukul Mama.”
“Enggak kok.”
Tante diam. Bibe takut Tante tidur
betulan.
“Tapi tadi Mama pingin mukul aku,
Tante.”
“Enggak. Enggak pingin.”
“Tapi temen aku kalau orangtuanya
marah suka mukul, Tante.”
“Mamanya Bibe enggak.”
“Kenapa Mama enggak pingin mukul,
Tante?”
“Ah!”
“Tapi aku yakin Mama pingin mukul
aku, Tante. Tante!” Bibe mengguncang-guncang tubuh Tante sampai yang empunya
kesal.
“Ya gitu, Bibe, kalau dulunya sering
dipukulin. Udah, sekarang tidur aja.”
“Dipukulin siapa?”
“Mamanya.”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar