Dikenang-kenang,
perkenalan saya dengan fiksi diawali dari fiksi fantasi—fikfan. Sailormoon. Doraemon. Minky Momo. Power
Ranger. Ultraman. Ninja Hatori. P-Man. Dr. Slump. Pokemon. Hunter X Hunter. Saya
mengkhayalkan fikfan dengan boneka-boneka saya. Saya mengkhayalkan fikfan
sembari belajar menggambar. Seorang putri yang menikah dengan musang.
Sekumpulan anak yang kesasar ke lain dunia. Makhluk-makhluk berbentuk aneh.
Kemudian
saya kenal dengan fiksi islami, teenlit,
sampai fiksi serius. Kadang mampir ke forum tertentu di dunia maya, dan
mendapati antusiasme terhadap fikfan. Namun saya berpikir—wew ini bukan untuk
saya. Saya tidak mengerti kenapa banyak anak negeri gandrung banget sama yang
semacam The Lord of The Rings begitu,
kenapa tidak mengolah yang bernuansa lokal (walau jatuhnya mistis). Saya rumit
dengan nama-nama asing, barangkali asal. Jadilah saya terdorong untuk bikin
fikfan tradisional… tapi baru angan…
Kemudian
saya “didoktrin” Eyang soal fiksi yang “baik” adalah yang tidak sekadar mengumbar
sensasi. Kemudian saya iseng tes di http://www.mypersonality.info/, dan katanya saya INFP—makna penting buat saya.
Sesungguhnya saya bukan tidak pernah menulis fikfan sama
sekali. Semula tidak dimaksudkan sebagai fikfan. Namun memang demikian kemasan
yang saya pikir pas untuk menyampaikan substansi cerita. Salah satunya bisa
ditengok di sini. Saya juga terpikir beberapa ide, kebanyakan low fantasy, yang saya tidak tahu kapan
saya bakal sanggup menggarapnya.
Saya
melirik betul fikfan, ketika saya hendak menggarap proyek yang lebih dari
sekadar slice of life. Saya ingin
aksi, kehebohan, segala macam sensasi!, dalam novel ini. Saya ingin sebuah
metafiksi—fiksi yang membicarakan tentang fikfan. Saya pun berburu fikfan (or I thought so) kembali,
mulai dari 6000 Mil di Bawah Laut, Garuda 5 Utusan Iblis, Biru Indigo, Nagabumi I, Nibiru, dan
seterusnya.
Sebelumnya,
dari seseorang saya menemukan sumber belajar fikfan seperti blog Fikfanindo hingga Kastil Fantasi—komunitas
yang mewadahi para penggemar fikfan di Indonesia. Ditambah dengan
tercemplungnya saya ke Kekom. Banyak nian yang meminati fikfan. Bahkan saya
kira interaksi dengan fikfan-mania justru lebih mudah. Semangat mereka dalam
berbagi ilmu kepenulisan juga luar biasa *aplaus. Perlahan benak saya pun
terdistraksi—eh “distraksi” belum ada di KBBI loh.
Memang
saya masih kepayahan dalam memahami fikfan. Ada cerita yang saking WAH,
sampai-sampai saya pening dengan detailnya. Ada cerita yang saya tidak habis
pikir mengenai latarnya. Saya bingung dengan konsep baru yang ditawarkan. Membaca fikfan tertentu bikin saya mengalami semacam "gegar dunia". Bagaimana sesungguhnya konvensi dalam perfikfanan? Apa
yang dimaksud dengan fikfan? Apa saja yang tergolong fikfan? Makna apa yang bisa diambil dari cerita
ini? Akhirnya saya putuskan untuk tidak memusingkannya, melainkan menikmatinya saja! Seolah ini konsekuensi yang harus saya hadapi kalo ingin mengembangkan imajinasi.
Lamat-lamat
saya memahami kenapa begitu banyak anak negeri yang gandrung sama fikfan… yang
tidak bernuansa lokal. Globalisasi. Satu kata itu berhasil membungkam tanya. Sayangnya
saya sudah tidak lagi tergugah dengan manga
dan anime, apalagi game.
Bagaimanapun juga ide untuk digarap menjadi novel(-novel) dengan genre fantasi pernah mendatangi benak saya. Saya merasa “harus” mewujudkan mereka. Maka saya “harus” mulai melangkahkan kaki di jagat perfikfanan. Sekaligus untuk menemukan petunjuk. Konon, dalam kehidupan beda antara realitas dengan fantasi itu remang-remang.
Bagaimanapun juga ide untuk digarap menjadi novel(-novel) dengan genre fantasi pernah mendatangi benak saya. Saya merasa “harus” mewujudkan mereka. Maka saya “harus” mulai melangkahkan kaki di jagat perfikfanan. Sekaligus untuk menemukan petunjuk. Konon, dalam kehidupan beda antara realitas dengan fantasi itu remang-remang.
Bismillah.
sekadar tanggapan untuk ini serta satu suggestiondi The Heath Guide to Literature
Tidak ada komentar:
Posting Komentar