Membanjir
sudah anjuran agar baca-tulis jadi kebiasaan. Sementara bagi saya baca-tulis
bukan lagi kebaikan. Alih-alih bersosialisasi, saya lebih memilih untuk
menyendiri—untuk membaca lalu menulis. Saya kurang acuh sama pendidikan formal
yang saya tempuh, padahal seyogianya pengetahuan tidak cukup diperoleh hanya
dari buku. Saya lebih suka mengulas masalah yang saya alami dalam sebentuk
novel, alih-alih memecahkannya. Antusiasme saya pada budaya (baca: literer) yang dijunjung tinggi ini bukannya bikin
hidup saya jadi lancar. Seperti
ungkapan khas raja dangdut kita: TER-LA-LU!
Memang, minat
saya pada kepengarangan tumbuh. Memang, kemampuan verbal saya lumayan ketimbang
beberapa orang. Memang, saya bisa menghasilkan tulisan yang dimuat media. Tapi.
Apa yang saya baca tidak membentuk saya jadi pribadi yang luhur. Apa yang saya tulis tidak menghindarkan saya dari depresi. Saya tetap makhluk apatis tiada berguna. Percuma
banyak membaca dan menulis.
Tapi pemikiran itu sudah berlalu. Saya mendapati bahwa orang yang gila baca-tulis tidak melulu
yang notabene tidak bisa gaul. You are
NOT JUST what you read. Kepribadian dibentuk bukan hanya oleh bacaan. Maka
saya tidak lagi menyalahkan buku, sekarang saya menyalahkan orangtua[1]. Bacaan sebagus
apapun tidaklah bermanfaat apabila kebaikan di dalamnya tidak diamalkan.
Pengarang sehebat apapun bukanlah pahlawan apabila pesan yang ia sampaikan
tidak diamalkan. Perlu kerja sama antara pengarang dengan pembaca untuk menoreh
rahmat di semesta alam.
Saya tidak ingin cuman jadi pemikir, tapi juga eksekutor!
Kerisauan
saya pun berganti. Cemburu banget sama orang yang tidak serius sama kepengarangannya,
tapi karyanya bagus—dan laris! Seolah ia tidak perlu banyak upaya. Padahal ada
yang sebagian besar waktunya telah dihabiskan untuk membaca lalu menulis, tapi
hasilnya dikasih gratis pun orang tak mau mengapresiasi. Sia-sialah hidup.
Karena konon sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi sekitarnya, dan
saya gelisah apakah saya sudah demikian. Memikirkannya bikin saya ingin
menangis. Menulis ternyata tidak sekadar menulis, tapi juga marketing!
Tapi pemikiran itu pun sudah berlalu. Kemajuan teknologi sudah menguntungkan, kenapa risau? Ingin
terpublikasikan—lempar saja ke blog kek,
Kekom kek. Ingin menulis ya menulis saja, terus!, walau yang baca cuman hantu![2]
Maka
sekarang saya tengok lagi manfaat dari mempelajari literature dengan ringan. Jika boleh, saya kutip saja langsung dari
The Heath Guide to Literature (Bergman
dan Epstein, 1987, DC Heath and Company).
…stories tell the child that life has its difficulties which
can be met and overcome. …fairy tales are not “escape” reading—stories read to
avoid reality—rather they “confront the child squarely with the basic human
predicaments.” …by showing how things might be,
could be, or ought to be, writers indicate the consequences of
actions. …authors can also show us examples of an ideal world. … Stories are a
helpful and enjoyable way to learn lessons in proper behavior. The moral tale
instructs us how to be better people, and the political story can convey a
potent message. Literature can also show us how the mind works.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar