Jumat, 14 Desember 2018

(43)

Zahra dimarahi orang tuanya karena pulang malam. Perutnya sakit karena ia tidak sempat makan. Tetapi, andaipun Deraz menelepon, Zahra tidak akan berani melaporkan apa pun seperti biasanya. Zahra tidak bisa mengharapkan Deraz akan melipur segala pengalaman tidak enak ini. Ini belum apa-apa, Zahra. Deraz pasti sudah biasa pulang malam. Jangan-jangan Deraz sendiri pun sering lupa makan. Apakah Deraz punya penyakit mag? Mungkin semestinya Zahra yang mengingatkan Deraz supaya tidak lupa makan. Ah, tetapi, SMS-SMS sebelum ini saja tidak dibalas.

Pada Hari H Zahra minta izin pada orang tuanya untuk pulang malam lagi. Memang pada malam kemarin ia lupa minta izin, lagi tidak menyangka penyelesaian stan kelas akan sampai selarut itu. Sebagai penanggung jawab, ia merasa tidak enak jika pulang lebih dulu walaupun ia perempuan. Ia baru berani pulang bukan karena orang tuanya memarahi, melainkan karena cewek-cewek lain mulai pada pamit dan cowok-cowok menyanggupi untuk membereskan sisanya.

Orang tua Zahra tampak tidak senang mendengar anak perempuan mereka satu-satunya akan pulang malam lagi. “Enggak baik anak gadis pulang malam-malam. Enggak usah ikut acara-acara begitulah!” ujar mereka. Zahra merasa sedih karena ia hanya ingin aktif seperti anak-anak lain, lagi pula ini kesempatan yang diberikan Deraz. Zahra bilang akan mengusahakan supaya pulangnya tidak terlalu malam.

Zahra datang ke sekolah pukul sembilan pagi. Sekolah tampak semarak oleh aneka dekorasi mulai dari gerbang. Panitia berseliweran. Masih ada anak-anak kelas yang mempersiapkan kelas mereka. Setelah OH Bazar resmi dibuka, pengunjung yang baru memasuki kompleks SMANSON diarahkan untuk melihat-lihat isi sekolah berikut stan kelas dan stan ekskul lebih dulu. Mereka diberikan selembar kertas angket agar dapat memberikan masukan kepada sekolah di samping turut menentukan stan terbaik.

Sebagai penanggung jawab, Zahra merasa harus menunggui stan kelas sepanjang waktu betapapun kikuknya ia dalam menghadapi pengunjung yang melihat-lihat. Ia berharap Deraz tahu-tahu menampakkan diri dengan wajah cerah. Ia berharap Deraz melihat dan menghargai hasil kerja kerasnya, biarpun ada stan-stan lain yang jauh lebih menarik. Alih-alih meminjam buku yang sudah dipinjam dari lemari DKM seperti saran Muti, Zahra malah melamunkan kedatangan Deraz yang tidak kunjung terjadi. Ia ingin mengirim SMS pada Deraz untuk menariknya kemari, tetapi perasaannya selalu menahan. Deraz mestilah punya hal lain yang lebih penting untuk dikerjakan daripada melihat stan kelasnya sendiri yang rombeng.

Semakin sore, dari suara-suara yang terdengar acara di area panggung dan stan vendor semakin meriah. MC yang diundang panitia dari salah satu radio anak muda telah tampil dan tampaknya membawakan acara dengan seru. Anak-anak kelas yang turut menjagai stan bersama Zahra tertarik untuk melihat ke sana bergantian. “Zahra, kamu ikut enggak?” tegur mereka. Mengingat tiket yang sudah telanjur dibelinya, Zahra beranjak bersama mereka setelah kembali dari menunaikan salat magrib di masjid SMANSON.

Deraz ingat salat, tidak, ya? Zahra tidak melihatnya sewaktu di masjid.

Semakin gelap, semakin terkenal band yang mengisi panggung dan semakin banyak pengunjung yang berkumpul di depannya. Suara yang keluar dari alat pengeras suara sangat memekakkan. Pukulan drum berdentam-dentam di dada Zahra. Ia mengenal nama dan lagu band-band itu, tetapi tidak benar-benar menikmati riuhnya menyaksikan penampilan musik secara langsung. Ia lebih suka mendengarkannya lewat radio di kamarnya sembari belajar atau bersantai. Ia heran betapa orang-orang lainnya terlihat begitu asyik dalam suasana begini, termasuk anak-anak yang membawanya kemari.

Ketika melihat-lihat ke sekeliling itulah Zahra mendapati Deraz. Sementara Zahra ada di sisi lapangan, Deraz berada lebih di belakang tetapi tepat menghadap tengah-tengah panggung. Deraz bersandar pada pagar pembatas dan tersenyum menatap panggung. Zahra sampai meluputkan aksi panggung band yang tengah membagi-bagikan mi instan pada penonton saking pemandangan Deraz lebih menarik. Cowok itu terlihat begitu keren dengan segala atribut panitia: kaus merah bergambar logo-logo sponsor, handy talkie dalam genggaman, co-card menggantung dari leher, kain merah melilit pergelangan tangan. Entah apakah Deraz sempat tidur dan mandi, tetapi kok bisa ia tampak segar setelah mengurus acara ini berhari-hari di sekolah? Sementara Zahra yang semalam sempat pulang lalu paginya mandi saja petang ini merasa kucel sekucel-kucelnya di samping letih teramat sangat.

Deraz menoleh ketika ada cewek yang mendekatinya. Dari berbagai atribut yang dikenakannya, mestilah cewek itu panitia juga. Dari wajahnya, sepertinya ia adik kelas. Rambutnya lurus dan wajahnya yang putih bersinar kena sorot lampu. Lalu cewek itu ikut berdiri di samping Deraz dan keduanya bercakap-cakap. Zahra berpaling. Memang cewek tipe begitu lebih serasi berdampingan dengan Deraz. Lalu setelah ini Deraz akan menyadari bahwa cewek tipe begitu lebih pantas untuknya daripada Zahra yang kusam dan tidak bisa apa-apa. Besar kemungkinan acara seintensif OH Bazar menimbulkan cinta lokasi. Lalu tiada berarti lagi perasaan yang pernah diungkapkan Deraz itu. Lagi pula, apakah perkataan cowok bisa dipercaya? Mungkin Deraz diam-diam berhubungan dengan cewek lain seperti diam-diamnya hubungan dengan Zahra. Mungkin Deraz mendekati Zahra karena ingin melengkapi koleksinya saja. Ia ingin mencoba cewek dari berbagai tipe. Zahra merasa kesal sendiri membayangkan kebenaran semua itu.

Zahra menoleh lagi pada Deraz. Ia tercengang mendapati ada lebih banyak cewek di sekeliling Deraz: yang rambut pendek, rambut panjang, sampai berjilbab. Zahra tidak memerhatikan apakah mereka semua beratribut panitia karena keburu memalingkan wajah lagi. Memang semua cewek lebih pantas bersama Deraz kecuali dirinya! Sekali lagi Zahra menatap wajah Deraz yang berseri. Entah apa yang Deraz tertawakan bersama para cewek itu. Kenapa juga tiba-tiba ada banyak cewek menimbrung Deraz?

Zahra menyentuh anak di dekatnya dan mengatakan hendak kembali ke stan kelas saja.

Tetapi, Zahra tidak sanggup berlama-lama di stan kelas. Area tersebut sudah sepi. Zahra tidak hendak mencampuri anak-anak yang mengobrol. Lagi pula ia sibuk bergumul dengan perasaan buruknya sendiri. Setelah beberapa bimbang apakah ia boleh pulang, mengingat tanggung jawabnya sebagai penanggung jawab, Zahra memberanikan diri mendekati anak-anak. Rupanya mereka juga ingin meninggalkan stan kelas dan beralih ke area panggung saja. Setelah bertanya kepada panitia, mereka serempak pergi dari tempat itu.

Sebelum berpisah, anak-anak sempat menanyai Zahra apakah ia tertarik mengikuti jurit malam. Zahra baru mengetahui ada acara yang baru akan dimulai pada pukul sepuluh itu. Lengkap sekali acara ini—pantas Deraz sibuk sekali biarpun masih sempat bergurau dengan cewek-cewek! Zahra menggeleng seraya memaksakan senyum.

Sembari berjalan pulang, Zahra sesak dari dada ke muka. Cowok macam apaan Deraz itu. Katanya suka, tetapi kemudian Zahra diabaikan begitu saja. Jangankan mengantar Zahra pulang ketika sudah gelap begini, stan kelasnya sendiri tidak ditengok! Padahal Zahra tengah berusaha memaklumi kesibukan Deraz, kegalakannya akibat itu. Padahal Zahra tengah berusaha meredakan sakit hati setelah dikatai “bego”. Padahal Zahra tengah berusaha menerima SMS-SMS yang tidak dibalas, telepon-telepon yang tidak lagi berdatangan. Belum lagi PR yang disontek begitu saja—ternyata Deraz sama saja dengan Dean! Katanya suka, tetapi Deraz tidak menjaga dirinya dari cewek-cewek lain. Deraz tidak berbuat lebih. Deraz tidak selalu ada untuknya. Deraz tidak menomorsatukan dirinya.

Astagfirullah. Tangis Zahra pecah tidak menahankan pikirannya yang menjadi liar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain