Zahra dimarahi orang tuanya karena pulang malam. Perutnya
sakit karena ia tidak sempat makan. Tetapi, andaipun Deraz menelepon, Zahra
tidak akan berani melaporkan apa pun seperti biasanya. Zahra tidak bisa
mengharapkan Deraz akan melipur segala pengalaman tidak enak ini. Ini belum
apa-apa, Zahra. Deraz pasti sudah biasa pulang malam. Jangan-jangan Deraz
sendiri pun sering lupa makan. Apakah Deraz punya penyakit mag? Mungkin semestinya
Zahra yang mengingatkan Deraz supaya tidak lupa makan. Ah, tetapi, SMS-SMS
sebelum ini saja tidak dibalas.
Pada Hari H Zahra minta izin pada
orang tuanya untuk pulang malam lagi. Memang pada malam kemarin ia lupa minta
izin, lagi tidak menyangka penyelesaian stan kelas akan sampai selarut itu.
Sebagai penanggung jawab, ia merasa tidak enak jika pulang lebih dulu walaupun
ia perempuan. Ia baru berani pulang bukan karena orang tuanya memarahi,
melainkan karena cewek-cewek lain mulai pada pamit dan cowok-cowok menyanggupi
untuk membereskan sisanya.
Orang tua Zahra tampak tidak senang
mendengar anak perempuan mereka satu-satunya akan pulang malam lagi. “Enggak
baik anak gadis pulang malam-malam. Enggak usah ikut acara-acara begitulah!”
ujar mereka. Zahra merasa sedih karena ia hanya ingin aktif seperti anak-anak
lain, lagi pula ini kesempatan yang diberikan Deraz. Zahra bilang akan
mengusahakan supaya pulangnya tidak terlalu malam.
Zahra datang ke sekolah pukul
sembilan pagi. Sekolah tampak semarak oleh aneka dekorasi mulai dari gerbang.
Panitia berseliweran. Masih ada anak-anak kelas yang mempersiapkan kelas
mereka. Setelah OH Bazar resmi dibuka, pengunjung yang baru memasuki kompleks
SMANSON diarahkan untuk melihat-lihat isi sekolah berikut stan kelas dan stan
ekskul lebih dulu. Mereka diberikan selembar kertas angket agar dapat
memberikan masukan kepada sekolah di samping turut menentukan stan terbaik.
Sebagai penanggung jawab, Zahra
merasa harus menunggui stan kelas sepanjang waktu betapapun kikuknya ia dalam
menghadapi pengunjung yang melihat-lihat. Ia berharap Deraz tahu-tahu
menampakkan diri dengan wajah cerah. Ia berharap Deraz melihat dan menghargai
hasil kerja kerasnya, biarpun ada stan-stan lain yang jauh lebih menarik.
Alih-alih meminjam buku yang sudah dipinjam dari lemari DKM seperti saran Muti,
Zahra malah melamunkan kedatangan Deraz yang tidak kunjung terjadi. Ia ingin
mengirim SMS pada Deraz untuk menariknya kemari, tetapi perasaannya selalu
menahan. Deraz mestilah punya hal lain yang lebih penting untuk dikerjakan
daripada melihat stan kelasnya sendiri yang rombeng.
Semakin sore, dari suara-suara yang
terdengar acara di area panggung dan stan vendor
semakin meriah. MC yang diundang panitia dari salah satu radio anak muda telah
tampil dan tampaknya membawakan acara dengan seru. Anak-anak kelas yang turut
menjagai stan bersama Zahra tertarik untuk melihat ke sana bergantian. “Zahra,
kamu ikut enggak?” tegur mereka. Mengingat tiket yang sudah telanjur dibelinya,
Zahra beranjak bersama mereka setelah kembali dari menunaikan salat magrib di
masjid SMANSON.
Deraz ingat salat, tidak, ya? Zahra
tidak melihatnya sewaktu di masjid.
Semakin gelap, semakin terkenal band yang mengisi panggung dan semakin
banyak pengunjung yang berkumpul di depannya. Suara yang keluar dari alat
pengeras suara sangat memekakkan. Pukulan drum berdentam-dentam di dada Zahra.
Ia mengenal nama dan lagu band-band itu, tetapi tidak benar-benar
menikmati riuhnya menyaksikan penampilan musik secara langsung. Ia lebih suka
mendengarkannya lewat radio di kamarnya sembari belajar atau bersantai. Ia
heran betapa orang-orang lainnya terlihat begitu asyik dalam suasana begini,
termasuk anak-anak yang membawanya kemari.
Ketika melihat-lihat ke sekeliling
itulah Zahra mendapati Deraz. Sementara Zahra ada di sisi lapangan, Deraz
berada lebih di belakang tetapi tepat menghadap tengah-tengah panggung. Deraz
bersandar pada pagar pembatas dan tersenyum menatap panggung. Zahra sampai
meluputkan aksi panggung band yang
tengah membagi-bagikan mi instan pada penonton saking pemandangan Deraz lebih
menarik. Cowok itu terlihat begitu keren dengan segala atribut panitia: kaus
merah bergambar logo-logo sponsor, handy
talkie dalam genggaman, co-card
menggantung dari leher, kain merah melilit pergelangan tangan. Entah apakah
Deraz sempat tidur dan mandi, tetapi kok bisa ia tampak segar setelah mengurus
acara ini berhari-hari di sekolah? Sementara Zahra yang semalam sempat pulang
lalu paginya mandi saja petang ini merasa kucel sekucel-kucelnya di samping
letih teramat sangat.
Deraz menoleh ketika ada cewek yang
mendekatinya. Dari berbagai atribut yang dikenakannya, mestilah cewek itu
panitia juga. Dari wajahnya, sepertinya ia adik kelas. Rambutnya lurus dan
wajahnya yang putih bersinar kena sorot lampu. Lalu cewek itu ikut berdiri di
samping Deraz dan keduanya bercakap-cakap. Zahra berpaling. Memang cewek tipe
begitu lebih serasi berdampingan dengan Deraz. Lalu setelah ini Deraz akan
menyadari bahwa cewek tipe begitu lebih pantas untuknya daripada Zahra yang
kusam dan tidak bisa apa-apa. Besar kemungkinan acara seintensif OH Bazar
menimbulkan cinta lokasi. Lalu tiada berarti lagi perasaan yang pernah
diungkapkan Deraz itu. Lagi pula, apakah perkataan cowok bisa dipercaya?
Mungkin Deraz diam-diam berhubungan dengan cewek lain seperti diam-diamnya
hubungan dengan Zahra. Mungkin Deraz mendekati Zahra karena ingin melengkapi
koleksinya saja. Ia ingin mencoba cewek dari berbagai tipe. Zahra merasa kesal
sendiri membayangkan kebenaran semua itu.
Zahra menoleh lagi pada Deraz. Ia
tercengang mendapati ada lebih banyak cewek di sekeliling Deraz: yang rambut
pendek, rambut panjang, sampai berjilbab. Zahra tidak memerhatikan apakah
mereka semua beratribut panitia karena keburu memalingkan wajah lagi. Memang
semua cewek lebih pantas bersama Deraz kecuali dirinya! Sekali lagi Zahra
menatap wajah Deraz yang berseri. Entah apa yang Deraz tertawakan bersama para
cewek itu. Kenapa juga tiba-tiba ada banyak cewek menimbrung Deraz?
Zahra menyentuh anak di dekatnya
dan mengatakan hendak kembali ke stan kelas saja.
Tetapi, Zahra tidak sanggup
berlama-lama di stan kelas. Area tersebut sudah sepi. Zahra tidak hendak
mencampuri anak-anak yang mengobrol. Lagi pula ia sibuk bergumul dengan
perasaan buruknya sendiri. Setelah beberapa bimbang apakah ia boleh pulang,
mengingat tanggung jawabnya sebagai penanggung jawab, Zahra memberanikan diri
mendekati anak-anak. Rupanya mereka juga ingin meninggalkan stan kelas dan
beralih ke area panggung saja. Setelah bertanya kepada panitia, mereka serempak
pergi dari tempat itu.
Sebelum berpisah, anak-anak sempat
menanyai Zahra apakah ia tertarik mengikuti jurit malam. Zahra baru mengetahui
ada acara yang baru akan dimulai pada pukul sepuluh itu. Lengkap sekali acara
ini—pantas Deraz sibuk sekali biarpun masih sempat bergurau dengan cewek-cewek!
Zahra menggeleng seraya memaksakan senyum.
Sembari berjalan pulang, Zahra
sesak dari dada ke muka. Cowok macam apaan Deraz itu. Katanya suka, tetapi
kemudian Zahra diabaikan begitu saja. Jangankan mengantar Zahra pulang ketika
sudah gelap begini, stan kelasnya sendiri tidak ditengok! Padahal Zahra tengah
berusaha memaklumi kesibukan Deraz, kegalakannya akibat itu. Padahal Zahra
tengah berusaha meredakan sakit hati setelah dikatai “bego”. Padahal Zahra
tengah berusaha menerima SMS-SMS yang tidak dibalas, telepon-telepon yang tidak
lagi berdatangan. Belum lagi PR yang disontek begitu saja—ternyata Deraz sama
saja dengan Dean! Katanya suka, tetapi Deraz tidak menjaga dirinya dari
cewek-cewek lain. Deraz tidak berbuat lebih. Deraz tidak selalu ada untuknya.
Deraz tidak menomorsatukan dirinya.
Astagfirullah. Tangis Zahra pecah
tidak menahankan pikirannya yang menjadi liar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar