Surat yang ditunggu-tunggu tiba pada Februari. Deraz merasa
ingin menangis membaca isinya. Tidak saja ia lolos seleksi internasional AFS,
tetapi juga mendapatkan penempatan di Jerman. Jerman! Banyak partisipan yang
mendapat penempatan tidak sesuai dengan negara tujuannya. Tetapi Deraz
mendapatkannya! Keberuntungan macam apa ini?! Deraz akan bertemu Bruno! Deraz
menjadi yakin Bruno masih hidup pada usia yang mestinya sudah sangat senja
kini. Karena itulah ia diloloskan ke Jerman, untuk bertemu Bruno! Ini pertanda.
Terima kasih, ya Allah, batin Deraz.
Tetapi itu artinya dalam setengah
tahun ini ia akan meninggalkan Zahra. Walaupun hanya setahun, tetapi ….
Mungkinkah ini saatnya untuk …?
Deraz mengajak Zahra makan di kafe tanpa menyebut nama tempat
yang ia rencanakan.
“Malam Minggu, yuk?”
“Jangan malam-malam.”
“Siang?” Deraz mengernyit.
“Iya.” Zahra melengkapinya dengan
anggukan.
“Pakai baju bagus, ya,” pesan Deraz
pada pagi ketika Sabtu yang dinantikan tiba.
“Selama ini baju aku enggak bagus?”
Zahra khawatir.
“Bagus,” Deraz suka gaya Zahra yang
sederhana lagi sopan namun tetap nyaman dipandang. Tetapi kali ia hendak
mengajak Zahra ke tempat yang kelasnya di atas kafe di mal-mal.
“Pakai baju buat ke undangan,
gitu?”
Deraz belum pernah melihat pakaian
yang Zahra kenakan ke resepsi pernikahan. Tetapi jika yang Zahra maksud seperti
yang biasa Deraz lihat di acara-acara tersebut, maka ia menjawab,
“Tengah-tengahlah.”
“Entar aku ke rumah kamu,” sambung
Deraz.
“Enggak ketemuan langsung di
tempatnya?”
“Enggak. Aku pengin bareng sama
kamu. Kasih tahu, ya, kalau udah siap.”
Deraz menunggu SMS Zahra yang
memberitahukan bahwa gadis itu sudah siap. Sesekali ia mengirim SMS
menanyakannya. Tetapi Zahra selalu menjawab, “Belum.” Deraz kembali memendam
gerutu, sampai Zahra mengirim, “Udah.”
Zahra takjub ketika melihat Deraz
datang ke rumahnya dengan taksi.
“Mau bilang ke orang tua kamu dulu
….”
“Enggak usah. Memang kita mau
ngapain?”
“Oh. Oke.” Deraz membukakan pintu
belakang taksi untuk Zahra.
Zahra menganga ketika taksi
berhenti di muka jalan masuk menuju kafe yang besar itu. Pengunjungnya cukup
banyak walaupun belum malam. Deraz memilih tempat duduk di dekat dinding kaca
yang bersisian dengan taman, agak memojok. Pelayan datang memberikan buku menu
dan menjelaskan sajian spesial hari itu. Deraz punya pilihan sendiri, namun
Zahra agak lama memilih. Menu di tempat ini rata-rata di atas budget-nya, dan Zahra merasa tidak
nyaman ditunggui pelayan. Ia membolak-balik halaman, membandingkan harga, mencari
yang paling murah walaupun itu kurang menggugah seleranya. Sudah begitu, Zahra
tidak tahu cara mengucapkan nama pilihannya dengan benar. Jadi ia menunjuk saja
tulisan yang dimaksudnya, biar pelayan itu saja yang mengucapkan.
Deraz menunggu sampai mereka
selesai menyantap makanan. Selagi menyeruput minumannya, Zahra menyadari bahwa
Deraz diam memerhatikannya. Zahra menggumam bertanya. Ia meletakkan minuman dan
balas memandang Deraz sampai malu sendiri dan menundukkan pandang.
“Aku mau kasih kabar sama kamu,”
ucap Deraz akhirnya. “Aku lolos AFS. Agustus nanti aku berangkat ke Jerman.”
Zahra terperangah. “Oh.
Alhamdulillah.”
Namun Deraz tidak membalas senyum
Zahra, malah cenderung muram. “Kemungkinan kita enggak akan bisa sering SMS dan
telepon lagi. Dan, itu berat, karena ….”
Karena Deraz tidak kunjung
melanjutkan, malah menatap ke arah lain, Zahra menyambung, “Iya, kalau hubungan
internasional pasti mahal.” Zahra heran. Padahal AC di restoran ini kencang,
tetapi kenapa wajah Deraz seperti yang kepanasan? “Pakai apa atuh, ya? E-mail? Friendster? Facebook? Tapi entar aku bikin dulu. Atau …
surat-suratan kayak orang zaman dulu. Sahabat penaan. Kayaknya seru.”
Deraz bergeming. Zahra menjadi
salah tingkah.
Zahra semakin bingung mesti berbuat
apa karena ketika Deraz menoleh, yang dikatakannya malah, “Aku suka sama kamu.”
Lekas-lekas Zahra berpikir bahwa
Deraz mungkin hanya ingin mengapresiasi persahabatan mereka selama ini ...?
Bukankah dulu itu yang dikatakannya, bahwa mereka … sahabat?
“Aku juga,” jawab Zahra.
“Oh …. Iya?” Wajah Deraz kembali
memerah.
“Iya …. Kan … kita … sahabat?”
Deraz terdiam. “Bukan itu,”
sahutnya kemudian. “Sebenarnya aku suka kamu dari awal kita sebangku. Tapi ….”
Sementara Deraz memikirkan kalimat yang tepat, Zahra menundukkan kepala. Lama
kemudian, Deraz menyadari bahwa Zahra mulai terisak.
Tentu saja Deraz bingung. Apalagi
ketika Zahra berkata, “Tapi, aku belum siap nikah.”
“Kenapa … tiba-tiba jadi nikah?”
Zahra cuma terisak.
“Zahra, jangankan nikah, kita
sama-sama enggak mau pacaran, kan? Karena itu, aku ngajak kita bersahabat dulu.
Tapi … sebenarnya … aku ngerasa kita … lebih dari sahabat. Aku cuma … pengin
kamu tahu. Tapi itu enggak ngubah hubungan kita, pacaran atau enggak.
Sejujurnya, aku enggak peduli sih soal status, mau orang nyebutnya apa. Biar
apa adanya aja. Enggak usah pakai embel-embel.”
“Aku masih pengin sekolah dulu …
kuliah, kerja, baru nikah.”
“Aku juga,” Deraz menyetujui.
“Kenapa Deraz suka sama aku? Aku
mah bukan apa-apa.”
“Iya, memang. Kamu juga suka
cemberut, pasif banget, ….”
“Malah nambahin ….” Zahra mengusap
matanya dengan punggung tangan.
Deraz menjadi geli. Ia mulai merasa
agak santai. “Justru itu, aku enggak ngelihat kamu dari … ada apanya.”
Tiba-tiba segalanya pada Zahra menjadi terasa menarik. Ketika memikirkan
sebabnya demikian, ia hilang akal. Mungkinkah ini yang namanya ... cinta
sejati? Entah sejak kapan Deraz sudah tidak mempertanyakan lagi sebabnya ia
menyukai Zahra. Ia telah menerima takdir (?) itu dan merengkuhnya. Cinta itu
dirasa, bukan dipikir. Kalau dipikir, tidak akan ada habisnya karena toh rasa
yang berkuasa.
Zahra semakin terisak.
“Kenapa?” tanya Deraz pelan. “Kamu
enggak suka … kalau aku suka sama kamu?”
“Bukan itu ….” Walaupun Zahra terus
mengusapi wajahnya, namun tetes air mata jelas terlihat. Deraz baru teringat
bahwa ia selalu berbekal saputangan Opa Buyut. Ia mengeluarkan benda itu dan
ingin mengusapkannya sendiri pada wajah Zahra, namun ditahannya. Saputangan itu
bergeming sesaat di depan muka Zahra, sebelum diambil gadis itu.
“Tapi aku apa?” Zahra mengulang
lagi dengan parau. Wajahnya tersembunyi di balik saputangan.
Deraz tersenyum. Benar-benar deh.
Untung ia memilih tempat yang agak tersembunyi. “Kamu mungkin enggak bisa
ngelihat sendiri tentang diri kamu. Orang lain juga. Tapi aku bisa. Kamu ….”
Deraz tidak sampai hati
mengatakannya terus terang. Ia khawatir tangis Zahra tidak akan berhenti. Ia
menunggu sampai Zahra mulai tenang.
“Terus kita gimana?” tanya Zahra
tersendat.
“Ya, kayak biasa aja ….
Bersahabat,” untuk selamanya. Deraz tersenyum. Ia membayangkan jadi bersahabat
pena dengan Zahra selama berada di Jerman, lalu mereka kembali bersama, satu
kampus, lulus bareng, kerja bareng, … dan singkat cerita, surat-surat mereka
dipajang dalam pigura di kamar seperti Ayah dan Bunda memamerkan trofi dan
sebagainya di ruang tengah ….
Deraz memanggil pelayan untuk
meminta bill. Zahra termangu
memandangi Deraz yang menyelesaikan proses pembayaran. Di luar hujan malah
turun dengan begitu deras.
“Tuh, lihat. Gara-gara kamu nangis,
langitnya ikutan juga,” ucap Deraz sambil menoleh pada Zahra yang serta-merta
merajuk. Deraz tersenyum.
Mendadak ia teringat pada rajutan
merah yang ditemukannya di sofa dalam kunjungannya ke rumah Zahra. Baru
terpikir olehnya, kenapa Zahra memilih warna merah, ya? Zahra seakan-akan
mengetahui bahwa itu warna kesukaan Deraz.
“Di Jerman kalau winter dingin banget,” ujar Deraz. Ia
hendak melanjutkan dengan, “apalagi kalau jauhan sama kamu,” namun ditahannya.
Ia melihat Zahra juga tersenyum sendiri sembari memandang jendela.
Jangan-jangan Zahra mendengar yang diucapkan batinnya barusan? Jangan-jangan
mereka memang satu hati dan sekarang sudah dapat bertelepati? Jangan-jangan
Zahra sedang membayangkan untuk menyiapkan rajutan itu menjadi … syal, mungkin
… dan memberikannya pada Deraz sebelum pergi ke Jerman? “Kamu mikirin apa?”
selidik Deraz. Entah kenapa dadanya berdebar.
“Enggak,” Zahra melengkapinya
dengan bergeleng.
“Dusta ih, dosa.”
“Udah lupa ….”
“Masak? Baru aja.”
“Udah lupain aja!” Zahra
menuntaskan kalimatnya. Deraz mendengus geli.
“Belajar ngerajutnya yang rajin,
ya,” Deraz mencoba menyiratkan maksudnya. “Terus kalau udah bisa ngerajut, kamu
belajar ngejahit: bikin kemeja, piama, ….”
“Sekalian aja buka pabrik,” sambung
Zahra.
“Enggak usah sampai buka pabrik.
Jahit buat suami kamu aja entar ….”
“Ih, masih jauh, tahu.”
“Kadang perjalanan jauh tuh enggak
kerasa lo.”
Lalu keduanya sama-sama tersipu
sambil bertatapan.
Memerhatikan Deraz, Zahra
memberanikan diri berkata, “Deraz wajahnya suka merah.”
“Oh, ya?” Deraz memalingkan
wajahnya dari Zahra. Napasnya bertambah sesak.
“Kenapa sih?”
“Alergi kali.”
“Alergi apa?”
Alergi kamu. “Kepiting.”
“Memang kamu tadi pesan kepiting?”
“Enggak sih.”
Sampai pukul lima seperempat, hujan
belum kunjung berhenti.
“Belum salat asar,” sahut Zahra.
“Oh, iya, ya.”
Mereka beranjak. Deraz menemukan
letak musala, yang ternyata sepi. Setelah berwudu, dan Zahra tengah mengenakan
mukena di musala, Deraz menawarkan, “Mau bareng?”
Zahra mengiyakan.
Selesai salat, hujan mereda.
Sembari menunggu taksi, mereka berdiri di pelataran restoran. Deraz memandang
Zahra dan tebersit lagi pikiran konyol di benaknya. Ia baru menyadari bahwa
tinggi gadis itu berada sedikit di bawah pundaknya. Jadi mata Zahra sejajar
dengan dada Deraz. Kalau Zahra menangis …. Deraz menggetok kepala dan melempar
mata ke arah lain. Namun khayalannya terus membayangkan jantungnya yang ikut
menjadi basah.
Selama di taksi dalam perjalanan
pulang, berkali-kali Deraz melirik Zahra. Gadis itu terus saja memandang ke
jendela. Sesekali ia kembali mengusap mata dengan saputangan Opa Buyut. Deraz
merasa bimbang. Ia ingin memeluk gadis itu, tetapi apa-apaan? Berkali-kali ia
mengurungkan niat. Ketika menunduk, ia melihat tangan Zahra di pangkuan. Ia
ingin meraihnya, menggenggamnya, seakan-akan dengan begitu akan menenteramkan
hati gadis itu.
Langit semakin gelap. Azan magrib
mengalun samar.
Deraz melayangkan tatapan ke depan
dan mendapati di kaca spion tengah sepasang mata sopir taksi memandangnya,
seakan-akan tengah menantikan terjadinya sesuatu. Deraz memalingkan wajah ke
jendela. Namun sebentar kemudian ia kembali melirik pada kaca spion tengah.
Sopir taksi itu masih memandanginya, tetapi kali tatapannya seperti yang
menantang. Deraz menjadi kesal. Ia mengembalikan pandangan ke jendela, tetapi lalu
menengok Zahra. Pose gadis itu tidak berubah. Tetapi kemudian Zahra balas
menengok padanya, mungkin karena melihat pantulan Deraz yang menatapnya pada
jendela. Deraz buru-buru menoleh ke arah lain.
Perjalanan terasa lambat, lagi
menggalaukan.
Pegang. Jangan. Pegang. Jangan.
Pegang. Jangan.
Tahu-tahu taksi sampai di rumah
Zahra. Langit sudah gelap benar pada magrib itu. Deraz mengantar Zahra sampai
ke pagar.
“Perlu bilang orang tua kamu?”
“Enggak usah!”
“Oke. Udah, ya?”
“Dadah,” ucap Zahra sebelum menggeser
pagar sampai menutup rapat.
Deraz kembali duduk di bangku
belakang taksi. SMS Zahra langsung mampir begitu kendaraan itu melaju lagi.
“Maaf, saputangannya kebawa.”
“Enggak apa-apa,” balas Deraz,
“buat kamu aja.”
“Ih, masak gitu? Nanti aku cuci
dulu, ya.”
Deraz merasa tidak hendak membalas.
Ia memasukkan ponsel ke saku celana dan tidak sengaja pandangannya melayang ke
kaca spion depan. Tatapan sopir taksi itu mengejeknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar