Minggu-minggu menjelang OH Bazar rancangan dekorasi berserakan
di berbagai titik di sekolah. Tiap kali melewatinya, Zahra merasa iri.
Seandainya ia aktif di ekskul, tentu ia menjadi bagian dari gotong royong itu.
Anak-anak di kelas-kelas lain juga sepertinya kompak dibandingkan dengan
anak-anak XI IPA 9.
Karena sulit mendekati anak-anak
yang sudah pada punya bagian sendiri di OH Bazar, Zahra mencoba mendekati
anak-anak perempuan yang tidak aktif di mana-mana. Ada dua anak yang mau
menemani Zahra berbelanja bahan. Harapan Zahra tumbuh sedikit. Sepertinya tiga
anak cukup untuk mendekorasi stan kelas.
Jumat pagi stan-stan mulai
didirikan sehingga setelah jumatan anak-anak sudah dapat menghias bagiannya
masing-masing. Zahra masih berusaha mendekati anak-anak lain. Tetapi dengan
mudah yang perempuan mengelak. Yang laki-laki berdalih akan kembali setelah
jumatan, tetapi tidak menepati. Dua anak perempuan yang tadinya mau membantu
Zahra mendadak tidak bisa.
“Maaf, Zahra, ibu aku lagi opname
di rumah sakit. Sekarang giliran aku jaga,” kata yang satu.
“Aku juga ternyata enggak bisa,
Zahra. Sepupu aku di luar kota mau nikah besok, terus keluarga aku pada mau
berangkat sore ini juga,” kata yang lain.
Setelah melepas kepergian mereka
dengan pasrah, Zahra menghela napas. Begitu mudah mereka meninggalkannya. Zahra
berpikir bahwa seandainya ia tidak menjadi penanggung jawab dan tidak ada niat
untuk mengembangkan diri di tahun kedua SMA, ia akan seperti mereka. Ia akan
menyelinap seusai sekolah supaya tidak usah menghabiskan waktu bersama
orang-orang yang tidak membuatnya nyaman untuk acara yang tidak begitu penting.
Tahun lalu ia sendiri tidak berpartisipasi apa-apa untuk stan kelasnya saat OH.
Sekarang, ketika ia ingin berubah dan membutuhkan orang-orang, barulah terasa
akibat dari perbuatannya itu.
Stan di kanan, kiri, dan depan stan
XI IPA 9 mulai berwarna-warni. Anak-anak bergerak cepat seusai pelajaran
terakhir sebelum jumatan. Tampaknya cuma stan XI IPA 9 yang diisi satu orang,
sedang stan-stan lain paling sedikit digarap tiga orang. Zahra merasa
membutuhkan satu orang saja, paling tidak sekadar untuk menemani. Sembari
membereskan barang, Zahra berangan-angan. Seandainya saja Deraz mundur sebentar
dari kesibukannya sebagai ketua panitia untuk membantu Zahra di sini.
Seandainya saja Deraz sama sekali bukan orang penting, melainkan anak biasa
yang leluasa untuk membantunya di sini.
Zahra terkesiap ketika Deraz
benar-benar muncul. Namun ia tidak bisa girang melihat tampang Deraz.
“Belum apa-apa?” nada Deraz
mendinginkan punggung Zahra.
“Susah ngumpulin anak-anak,” Zahra
menyahut pelan.
Deraz tidak tersenyum. “Terus kamu
cuma ngelamun kayak orang bego?”
Zahra tertegun. Apakah Deraz tidak
melihat tangan Zahra yang memegang karton dan double tape?
“Kamu udah SMS-in semua anak di
kelas, belum? SMS terus, kek, telepon, apa, gitu,“ Deraz ketus lagi.
“Tapi dari mana dapat nomor semua
anak sekelas?”
“Ya, cari! Itu tugas kamu!”
Handy talkie Deraz keburu berbunyi.
“Delapan enam, delapan enam, Kijang
Toyota.”
“Ya,” jawab Deraz.
“Ipong katanya kangen Papa Deraz.”
“Bohong, Raz!”
“Yang serius.”
“Raz, itu ada polisi di depan.
Nanyain perizinan tea. Bukannya udah
beres?”
Deraz meninggalkan Zahra begitu
saja sembari berbicara pada handy talkie.
Seketika Zahra tidak kuasa menahan air mata. Ia mengusap wajah sembari
menghadap bagian dalam stan. Ia seolah-olah terus mendengar Deraz berbicara
pada dirinya dengan nada serupa tadi. Gitu
aja nangis! Cengeng! Enggak becus!
Tetes yang meluap dari matanya bertambah-tambah. Deraz bahkan tidak menanyakan
apakah Zahra sudah makan siang. Padahal perut Zahra sudah berkeruyuk tetapi ia
tidak berani meninggalkan stan.
Zahra mulai terisak, ketika ada
yang menyentuh pundaknya. Cepat-cepat ia mengusap wajah. Ketika berbalik, ia
mendapati Soraya dan Friska.
“Zahra kenapa?”
Zahra menggeleng. Ia berusaha
tersenyum lalu berbalik badan hendak melanjutkan pekerjaan.
“Dimarahin Deraz, ya?” lanjut
Soraya.
“Enggak apa-apa kok,” Zahra
menyahut sengau sembari mengisap ingus. Betapa malunya ada yang menyaksikan!
Zahra menyadari bahwa apa pun yang Deraz perbuat, pasti ada yang memerhatikan.
“Kita juga biasa kok dimarahin sama
dia,” ucap Friska.
Zahra termenung.
“Apalagi pas Bazar gini tekanannya
gede. Banyak masalah enggak terduga.”
“Nanti juga dia biasa lagi.”
Berangsur-angsur Zahra menjadi
tenang. Nada mereka sungguh simpatik. Namun ia tidak tahu mesti berkata apa.
Soraya dan Friska memerhatikan stan XI IPA 9 masih polos.
“Anak-anak XI IPA 9 pada ke mana?”
Zahra menggeleng. “Pada susah
diajak kumpul.”
“Lu kenal anak XI IPA 9, Ka?” tanya
Soraya pada Friska.
“Mmm, sebentar gue lihat.”
Friska duduk lalu menyalakan
ponselnya dan memindai kontak. Soraya berbuat sama. Zahra ikut-ikutan. Ia
bersimpuh di dekat mereka. Sebentar kemudian kedua cewek itu sibuk menelepon.
“Bantuin dong ini kelas lu. Iya,
gue tahu lu sibuk sama ekskul lu. Tapi masak di kelas lu yang datang cuma
seorang? Memang di ekskul lu yang datang berapa?”
“Iya, ini belum ada apa-apa nih.
Kosong pisan.”
“Candra itu XI IPA 9 juga, bukan,
ya? Zahra?”
Zahra memerhatikan Soraya dan
Friska bergantian. Ia merasa memahami sebabnya anak-anak OSIS dipandang sebagai
elite. Mereka penuh inisiatif. Nada bicara mereka berani, tegas, persuasif,
malah memaksa jika diperlukan. Zahra menyadari pembawaannya sendiri lemah dan
tidak meyakinkan. Pantas saja anak-anak tidak ada yang mau mendengarkan apalagi
menurutinya.
Selain itu, Zahra memerhatikan
betapa cantiknya Soraya. Kulitnya putih, rambutnya panjang seperti bintang
iklan sampo. Ia pernah melihat Soraya berlatih dance di lapangan dengan anak-anak ekskulnya dan gerakannya sangat
luwes. Kenapa Deraz tidak menyukai cewek yang seperti itu saja? Lagi pula,
kalau Deraz galak, Soraya pasti bisa lebih galak.
“Woi, ngerumpi aja! Kerja!” Jati
meneriaki Soraya dan Friska dari jauh.
“Iya, ini juga lagi kerja kali!”
suara Soraya nyaring.
Kedua cewek OSIS itu duduk dan
menelepon sampai tidak ada lagi yang bisa dihubungi di daftar kontak mereka.
“Kita cabut dulu, ya, Zahra. Entar
pasti ada yang datang kok.” Mereka meyakinkan Zahra sebelum beranjak.
Zahra mengangguk antusias. “Terima
kasih, ya!”
Mereka tersenyum. “Ini kan acara
kita bersama!”
Zahra merasa pulih. Kalaupun tidak
ada yang datang, ia akan mencoba menyelesaikan ini sendirian. Inilah saatnya
belajar untuk menunaikan tanggung jawab.
Tidak lama kemudian memang ada
beberapa anak XI IPA 9 yang datang. Mereka langsung bertanya apa yang perlu
dikerjakan. Zahra menanggapi dengan sebaik-baiknya. Ide-ide baru bermunculan
dari anak-anak. Zahra menerimanya saja. Ia menyadari bahwa anak-anak lain
memiliki jiwa kepemimpinan yang lebih kuat daripada dirinya. Tetapi, yang
penting stan ini jadi dalam semalam. Ia juga terus memerhatikan cara anak-anak
berbicara dan bersikap. Dalam kesempatan ini barangkali ia penanggung jawab
yang payah. Tetapi sedikitnya ia mempelajari kemampuan anak-anak dalam
memengaruhi satu sama lain yang menurutnya merupakan bagian dari kepemimpinan.
Beberapa anak bolak-balik karena
menyambi pekerjaan lain. Tiap kali ada anak baru yang datang, bertambah lagi
ide baru. Anak yang tadinya hendak menjaga ibunya di rumah sakit juga muncul
karena rupanya ada anggota keluarga yang dapat menggantikannya. Tema stan XI
IPA 9 menjadi tidak keruan, namun Zahra terhibur oleh kreativitas mereka. Malah
ia mulai menikmati kebersamaan dengan anak-anak. Stan mulai meriah oleh
berbagai hiasan yang bahannya dicomot anak-anak dari mana saja.
Zahra mundur untuk memandang stan
kelasnya dari jarak agak jauh. Sementara ini hasilnya tidak jelek. Perlu
sentuhan apa lagi, ya? Zahra mencari inspirasi dengan mengedarkan pandang ke
sekitar. Ia melihat Deraz melintas. Masih saja Deraz berbicara pada handy talkie. Seandainya Deraz menoleh,
mendapati Zahra menatapnya, dan tersenyum, ketakutan gadis itu padanya akan
luruh. Tetapi radar Deraz mengalami eror lagi kali ini, terganggu oleh
sinyal-sinyal OH Bazar yang berseliweran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar