Senin, 10 Desember 2018

(39)

Ketika Deraz mencolek pipinya dengan pensil, Zahra membalas dengan mengoper lipatan kertas kecil. Deraz membuka lipatan itu dan membaca, “Kelihatan sama anak-anak DKM.” Deraz malah menengok ke belakang. Zahra lekas-lekas menunduk ke arah lain.

Zahra pernah menyaksikan para akhwat kelepasan membicarakan Deraz dengan penuh kekaguman. Tidak lama kemudian, mereka beristigfar dan malah beralih pada Zahra.

“Zahra, kamu deket, ya, sama Deraz?”

“Mmm, kan sebangku.” Zahra tidak berani mengatakan mereka bersahabat seperti kepada anak-anak OSIS. Waktu itu Deraz belum menyatakan perasaan kepadanya.

“Eh, kenapa sih kamu bisa sebangku sama Deraz?” tanya Muti.

“Mungkin karena enggak ada bangku lain?” balas Zahra.

Muti dan Ria yang sekelas dengan Zahra termenung.

“Gimana rasanya sebangku sama Deraz?” tanya Anisa usil.

Ria segera menjawil lutut Anisa yang lekas beristigfar.

Zahra tersipu seraya menunduk. “Biasa aja. Lagian kan Deraz sering dispen.”

“Hati-hati, lo, Zahra, jangan terlalu deket,” ucap Ria.

“Jaga hati.” Muti tersenyum.

Baru pada hari itu di akhir Februari anak-anak DKM menindaklanjuti percakapan tersebut. Begitu guru pelajaran terakhir keluar dari kelas, Ria maju dan mengajukan usulan pergiliran bangku. Ia membagi kelas sehingga sisi kanan untuk laki-laki sedang sisi kiri untuk perempuan. Ia juga membuat suatu sistem sehingga setiap anak berpindah kursi dan mendapat teman sebangku yang berbeda setiap hari berdasarkan daftar absen. Ada beberapa anak yang mengajukan pertanyaan lalu Ria menjelaskan.

Deraz sendiri merasa tidak ada masalah dengan usulan itu. Ia akan berpisah bangku dengan Zahra setelah berbulan-bulan yang mendekatkan mereka. Anggap saja ini pemanasan sebelum Deraz pergi ke Jerman. Jarak beberapa meter tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ribuan kilometer yang akan memisahkan mereka nanti, tetapi yang lebih penting tidak ada jarak di antara dua hati.

Deraz menatap Zahra bak serdadu yang akan berangkat ke medan perang.

Anak-anak akhirnya menyetujui usulan Ria. Ria menempelkan selembar kertas yang menerangkan tentang sistemnya tadi di papan informasi kelas kalau-kalau nanti ada yang masih bingung.

Begitu pertemuan dibubarkan, Deraz menegur Zahra, “Habis ini kamu ada kumpul DKM?”

“Enggak.”

“Langsung ke rumah?”

“Iya.”

Zahra baru menyadari Deraz membarengi langkahnya ketika berada di luar kelas. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar lalu tersekat saat bertatapan sepintas dengan Muti dan Ria sementara kedua akhwat itu berjalan ke arah lain. Zahra buru-buru berpaling dan menunduk.

“Kenapa?”

“Kamu mau ke mana?”

“Ke gerbang?”

“Mau apa?”

“Nganterin kamu?”

“Enggak usah.”

“Kenapa?”

“Aku bisa jalan sendiri.”

Deraz mengerutkan kening. “Biasanya juga kita jalan bareng ke sana.”

“Iya, tapi kan kamu cuma nganterin aku.”

“Memangnya kenapa?”

“Kelihatan anak-anak ….”

Deraz mengedarkan pandangan ke sekitar lalu kembali pada Zahra. “Anak-anak apa sih?” Ia tidak mendapati seorang pun tengah melihat pada mereka.

Zahra jadi geregetan. Tidak ada habisnya berdalih pada Deraz!

Begitu mereka sampai di gerbang, Zahra mengangkat sebelah tangannya dan tersenyum tipis pada Deraz. “Dah. Assalamualaikum.” Lalu ia berbalik dan melangkah bergegas seakan-akan tidak ingin diikuti.

“Alaikum salam.” Deraz melepas kepergian Zahra dengan heran.

 

Mentoring yang diikuti Zahra mulai membahas tentang cinta kepada Allah.

Teteh mentor mengatakan, “Coba, bagaimana perasaan kita jika menerima SMS dari orang yang kita suka?”

Zahra langsung teringat pada Deraz. Seketika ia merasa sangat terkait dengan yang disampaikan oleh teteh mentor sehingga menyimak baik-baik kelanjutannya.

“Bagaimana perasaan kita setelah mengirim balasan sama dia? Pasti kita ketar-ketir, kan. Aduh, kira-kira gimana, ya, dia nanggepin SMS kita? Kata-kata yang barusan aku kirim udah bener belum, ya?

“Nah, ke manusia aja kayak gitu, tapi pernah enggak sih kita mikirin hal yang sama tentang Allah? Pernah enggak kita mikirin segala yang udah kita terima dari Allah, perasaan kita saat menerimanya, dan bagaimana balasan yang kita berikan? Pernah enggak kita mikirin gimana kira-kira Allah nanggepin salat kita? Allah seneng enggak, ya, sama salat kita? Kita ikhlas enggak, ya, melakukannya?

“Padahal menurut Alquran Surat Al-Baqarah ayat 165, Allah harus dicintai lebih daripada cinta kita kepada ayah, ibu, kakak, semua-muanya, termasuk orang yang kita suka. Allah harus nomor satu. Kita enggak boleh mencintai Allah sejajar dengan cinta kepada selain-Nya, dan bagaimana kita tahu kalau kita sudah mencintai Allah lebih daripada apa pun? Apakah kita sudah benar-benar mengenal Allah, seperti kata ungkapan, tak kenal maka tak sayang?”

Malam itu ketika bertelepon dengan Deraz, Zahra menceritakan yang diperolehnya dari mentoring. Maksud Zahra barangkali yang dibaginya itu dapat menjadi dakwah juga untuk Deraz. Namun Deraz terdengar tidak ambil pusing.

Deraz juga pastinya tidak acuh bila Zahra menceritakan kejadian yang didapatinya di syuro DKM baru-baru ini. Ria menyinggung tentang etika mengirim SMS di lingkungan DKM. Ia menganjurkan supaya tidak menggunakan banyak titik dalam teks karena itu seperti yang “mengundang”. Ia juga menegur para ikhwan agar mengirim SMS yang penting saja. Zahra yang saat itu sedang diam-diam bertukar SMS dengan Deraz kontan menurunkan ponselnya.

Seusai syuro, Ria meminta Zahra menemaninya ke teras masjid. Zahra memerhatikan Ria berbicara dengan seorang ikhwan pengurus DKM. Keduanya melihat ke arah yang berlainan. Etiket berbicara yang pernah disampaikan Deraz tidak berlaku di sini.

 

Sehabis salat asar berjemaah di masjid, Deraz didekati beberapa ikhwan pengurus DKM. Memang kadang Deraz mengobrol sebentar bersama mereka ketika bertemu di masjid. Tetapi kali ini mereka mengajak Deraz duduk di sudut masjid yang mulai sepi seakan-akan hendak berbicara serius yang lebih daripada sekadar proker OSIS-DKM.

Ketua DKM berkata, “Akhir-akhir ini ada rumor bahwa antum berhubungan dengan seorang akhwat DKM. Kami takutnya ini menjadi fitnah.”

Deraz mengerti yang dimaksud oleh ketua DKM, tetapi ia menjawab dengan tegas, “Kalau ada rumor atau fitnah, itu hanya perbuatan orang yang suka berprasangka, dan bukan prasangka yang baik. Bukannya kita semestinya menjauhi prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa?”

Ikhwan-ikhwan terdiam mencerna perkataan Deraz. Lalu mereka berprasangka baik bahwa rumor itu tidak benar. “Alhamdulillah kalau begitu. Kami hanya ingin bertabayun dan menghindarkan diri dari fitnah.”

“Enggak apa-apa,” Deraz berucap dengan tenang lalu minta diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain