Ketika Deraz mencolek pipinya dengan
pensil, Zahra membalas dengan mengoper lipatan kertas kecil. Deraz membuka
lipatan itu dan membaca, “Kelihatan sama anak-anak DKM.” Deraz malah menengok
ke belakang. Zahra lekas-lekas menunduk ke arah lain.
Zahra pernah menyaksikan para akhwat
kelepasan membicarakan Deraz dengan penuh kekaguman. Tidak lama kemudian,
mereka beristigfar dan malah beralih pada Zahra.
“Zahra, kamu deket, ya, sama Deraz?”
“Mmm, kan sebangku.” Zahra tidak
berani mengatakan mereka bersahabat seperti kepada anak-anak OSIS. Waktu itu
Deraz belum menyatakan perasaan kepadanya.
“Eh, kenapa sih kamu bisa sebangku
sama Deraz?” tanya Muti.
“Mungkin karena enggak ada bangku
lain?” balas Zahra.
Muti dan Ria yang sekelas dengan
Zahra termenung.
“Gimana rasanya sebangku sama Deraz?”
tanya Anisa usil.
Ria segera menjawil lutut Anisa yang
lekas beristigfar.
Zahra tersipu seraya menunduk. “Biasa
aja. Lagian kan Deraz sering dispen.”
“Hati-hati, lo, Zahra, jangan terlalu
deket,” ucap Ria.
“Jaga hati.” Muti tersenyum.
Baru pada hari itu di akhir Februari
anak-anak DKM menindaklanjuti percakapan tersebut. Begitu guru pelajaran
terakhir keluar dari kelas, Ria maju dan mengajukan usulan pergiliran bangku.
Ia membagi kelas sehingga sisi kanan untuk laki-laki sedang sisi kiri untuk
perempuan. Ia juga membuat suatu sistem sehingga setiap anak berpindah kursi
dan mendapat teman sebangku yang berbeda setiap hari berdasarkan daftar absen.
Ada beberapa anak yang mengajukan pertanyaan lalu Ria menjelaskan.
Deraz sendiri merasa tidak ada
masalah dengan usulan itu. Ia akan berpisah bangku dengan Zahra setelah
berbulan-bulan yang mendekatkan mereka. Anggap saja ini pemanasan sebelum Deraz
pergi ke Jerman. Jarak beberapa meter tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
ribuan kilometer yang akan memisahkan mereka nanti, tetapi yang lebih penting
tidak ada jarak di antara dua hati.
Deraz menatap Zahra bak serdadu yang
akan berangkat ke medan perang.
Anak-anak akhirnya menyetujui usulan
Ria. Ria menempelkan selembar kertas yang menerangkan tentang sistemnya tadi di
papan informasi kelas kalau-kalau nanti ada yang masih bingung.
Begitu pertemuan dibubarkan, Deraz
menegur Zahra, “Habis ini kamu ada kumpul DKM?”
“Enggak.”
“Langsung ke rumah?”
“Iya.”
Zahra baru menyadari Deraz membarengi
langkahnya ketika berada di luar kelas. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar
lalu tersekat saat bertatapan sepintas dengan Muti dan Ria sementara kedua
akhwat itu berjalan ke arah lain. Zahra buru-buru berpaling dan menunduk.
“Kenapa?”
“Kamu mau ke mana?”
“Ke gerbang?”
“Mau apa?”
“Nganterin kamu?”
“Enggak usah.”
“Kenapa?”
“Aku bisa jalan sendiri.”
Deraz mengerutkan kening. “Biasanya
juga kita jalan bareng ke sana.”
“Iya, tapi kan kamu cuma nganterin
aku.”
“Memangnya kenapa?”
“Kelihatan anak-anak ….”
Deraz mengedarkan pandangan ke
sekitar lalu kembali pada Zahra. “Anak-anak apa sih?” Ia tidak mendapati
seorang pun tengah melihat pada mereka.
Zahra jadi geregetan. Tidak ada
habisnya berdalih pada Deraz!
Begitu mereka sampai di gerbang,
Zahra mengangkat sebelah tangannya dan tersenyum tipis pada Deraz. “Dah.
Assalamualaikum.” Lalu ia berbalik dan melangkah bergegas seakan-akan tidak
ingin diikuti.
“Alaikum salam.” Deraz melepas
kepergian Zahra dengan heran.
Mentoring yang diikuti Zahra mulai
membahas tentang cinta kepada Allah.
Teteh mentor mengatakan, “Coba,
bagaimana perasaan kita jika menerima SMS dari orang yang kita suka?”
Zahra langsung teringat pada Deraz.
Seketika ia merasa sangat terkait dengan yang disampaikan oleh teteh mentor
sehingga menyimak baik-baik kelanjutannya.
“Bagaimana perasaan kita setelah
mengirim balasan sama dia? Pasti kita ketar-ketir, kan. Aduh, kira-kira gimana,
ya, dia nanggepin SMS kita? Kata-kata yang barusan aku kirim udah bener belum,
ya?
“Nah, ke manusia aja kayak gitu, tapi
pernah enggak sih kita mikirin hal yang sama tentang Allah? Pernah enggak kita
mikirin segala yang udah kita terima dari Allah, perasaan kita saat
menerimanya, dan bagaimana balasan yang kita berikan? Pernah enggak kita
mikirin gimana kira-kira Allah nanggepin salat kita? Allah seneng enggak, ya,
sama salat kita? Kita ikhlas enggak, ya, melakukannya?
“Padahal menurut Alquran Surat
Al-Baqarah ayat 165, Allah harus dicintai lebih daripada cinta kita kepada
ayah, ibu, kakak, semua-muanya, termasuk orang yang kita suka. Allah harus
nomor satu. Kita enggak boleh mencintai Allah sejajar dengan cinta kepada
selain-Nya, dan bagaimana kita tahu kalau kita sudah mencintai Allah lebih
daripada apa pun? Apakah kita sudah benar-benar mengenal Allah, seperti kata
ungkapan, tak kenal maka tak sayang?”
Malam itu ketika bertelepon dengan
Deraz, Zahra menceritakan yang diperolehnya dari mentoring. Maksud Zahra
barangkali yang dibaginya itu dapat menjadi dakwah juga untuk Deraz. Namun
Deraz terdengar tidak ambil pusing.
Deraz juga pastinya tidak acuh bila
Zahra menceritakan kejadian yang didapatinya di syuro DKM baru-baru ini. Ria
menyinggung tentang etika mengirim SMS di lingkungan DKM. Ia menganjurkan
supaya tidak menggunakan banyak titik dalam teks karena itu seperti yang
“mengundang”. Ia juga menegur para ikhwan agar mengirim SMS yang penting saja.
Zahra yang saat itu sedang diam-diam bertukar SMS dengan Deraz kontan
menurunkan ponselnya.
Seusai syuro, Ria meminta Zahra
menemaninya ke teras masjid. Zahra memerhatikan Ria berbicara dengan seorang
ikhwan pengurus DKM. Keduanya melihat ke arah yang berlainan. Etiket berbicara
yang pernah disampaikan Deraz tidak berlaku di sini.
Sehabis salat asar berjemaah di
masjid, Deraz didekati beberapa ikhwan pengurus DKM. Memang kadang Deraz
mengobrol sebentar bersama mereka ketika bertemu di masjid. Tetapi kali ini
mereka mengajak Deraz duduk di sudut masjid yang mulai sepi seakan-akan hendak
berbicara serius yang lebih daripada sekadar proker OSIS-DKM.
Ketua DKM berkata, “Akhir-akhir ini
ada rumor bahwa antum berhubungan dengan seorang akhwat DKM.
Kami takutnya ini menjadi fitnah.”
Deraz mengerti yang dimaksud oleh
ketua DKM, tetapi ia menjawab dengan tegas, “Kalau ada rumor atau fitnah, itu
hanya perbuatan orang yang suka berprasangka, dan bukan prasangka yang baik.
Bukannya kita semestinya menjauhi prasangka, karena sebagian prasangka itu
dosa?”
Ikhwan-ikhwan terdiam mencerna
perkataan Deraz. Lalu mereka berprasangka baik bahwa rumor itu tidak benar.
“Alhamdulillah kalau begitu. Kami hanya ingin bertabayun dan menghindarkan diri
dari fitnah.”
“Enggak apa-apa,” Deraz berucap
dengan tenang lalu minta diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar