Senin, 24 Desember 2018

(53)

Walaupun tahu bahwa Deraz dan Zahra sudah “putus”, anak-anak OSIS masih beramah-tamah pada gadis itu. Malah hari ini pada jam istirahat di Kabita anak-anak berhasil memaksa Zahra untuk ikut duduk lagi bersama mereka. Terima kasih kepada Friska yang membawa pisang molen yang secara tidak semena-mena diklaim anak-anak sebagai buatan sendiri, supaya Zahra semakin sungkan untuk menolak.

 

Keheningan malam mencekam diri

setianya sukma sekejap

Kasihan wanita terlena yang pernah kucinta

 

Benar saja. Setelah berbasa-basi secukupnya, anak-anak langsung menembak Zahra.

“Zahra, kamu udah enggak bareng Deraz lagi?”

“Eh ….”

“Sayang lo, Zahra, secara Deraz itu …” anak-anak membacakan riwayat hidup Deraz mulai dari pengalaman organisasi sampai daftar prestasi.

Yang cewek-cewek menambahkan, “gantengnya kayak Anjasmara, Ponco Buwono, Primus Yustisio, Teuku Ryan,” dengan mengabsen semua bintang sinetron paling rupawan, “diblender, dimasukin ke loyang, dioven, dan disantap hangat-hangat ….”

“Euh, sedap.”

“Seperti pisang molen ini,” imbuh Gilang seraya meraup satu potong lagi dari kotak bekal Friska.

“Kurang apa sih Deraz?”

“Iya, kan enggak boleh kufur nikmat, Zahra.”

 

Kumandangkanlah segala perasaan

yang masih selalu tersisa

ke dalam alunan birama bernada penyesalan

 

Serta-merta Zahra berdiri. “Maaf, saya ada perlu.” Ia berbalik dan meninggalkan anak-anak OSIS yang tertegun. Mereka memandangi kepergian Zahra yang kemudian berpapasan dengan Deraz. Namun Deraz melengos sedang Zahra berjalan semakin cepat—hampir-hampir berlari. Anak-anak merasa prihatin.

 

Katakanlah, kemana hilangnya

rasa bahagia

yang pernah menggelora dalam hayatku

Kusayangi, lembutnya sentuhan

semesra senyuman

pancaran ronanya hanya membekas kini

 

Komentar bermunculan.

“Sekalinya pacaran, eh, punya cewek, eh, HTS-an, ceweknya lebih milih Tuhan. Bener-bener level tinggilah si Deraz. Orang mah ceweknya sama ditikung sama cowok lain, ini mah saingannya sama Tuhan.”

“Dalem banget itu.”

“Ceweknya juga enggak sembarangan, anjir. Levelnya bukan duniawi lagi, tapi akhirat!”

“Serem, anjir.”

“Zahra kuat, ya.”

 

Dia takkan lupa dirinya

sekian lama terpikat dengan tali asmara

Akankah kita menggali lagi kenangan itu[1]

 

“Lagu naon sih ieu? Asa jadul pisan. Jigana mah dari tahun delapan puluhan, yeuh.”

“Siapa sih yang ngisi gig KOMBAS hari ini?”

“Vocal Group, kan?”

“Ah, si Ipong ieu mah.”

Memang Ipong juga telah menjadi orang penting di ekskul Vocal Group dan tidak berada bersama mereka saat itu.

 

Ipong memerhatikan bahwa belakangan ini Deraz bukan yang biasanya. Bukan Deraz yang bertampang datar dan bernada dingin. Bukan pula Deraz yang diam-diam tersenyum sendiri dengan pipi merah jambu. Melainkan Deraz yang sendu, hanya sendu. Ipong juga mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa Zahra menyambit Deraz pakai batu, yang sulit dipercaya tetapi ia ingin memercayainya karena lucu saja membayangkannya.

Ipong mengajak Deraz menginap lagi di rumahnya. Deraz mengiyakan.

Tadinya Ipong hendak memberikan wejangan dan penghiburan, berbicara dari hati ke hati. Tetapi Deraz malah membawa laptop lungsuran Bunda dan serius mengerjakan laporan OH Bazar. Mau tidak mau Ipong menurut dan membantu Deraz. Ketika tiba kesempatan Ipong untuk mengatakan, “Lu tuh sadar reputasi, Raz. Cari kecengan lain kek, buat pengalihan,” Deraz malah mematikan laptop lalu merebahkan diri di kasur.

Karena Deraz tidak kunjung menjawab, Ipong bertanya, “Udah mau tidur?”

“Hm,” Deraz yang memunggungi Ipong menyahut.

Ipong mematikan lampu kamar.

 

Malam-malam sebelum tidur Papa Ipong punya ritual memetik gitar sembari mendendangkan tembang-tembang lawas favoritnya. Karena sudah beberapa kali menginap di rumah Ipong, Deraz sampai hafal urutannya: “Hitam Manis”, “Duri dan Cinta”, lalu “Kala Surya Gemilang”. Suara Papa Ipong yang mantan Bintang Radio begitu merdu membawakannya. Sungguh rangkaian lagu pengantar tidur yang melenakan. Apalagi sewaktu Deraz masih dekat-dekatnya dengan Zahra, lirik-lirik yang puitis itu diresapinya betul hingga ia terharu.

 

Sungai berliku bagai kehidupan

dua remaja bermesraan

lembah dan ngarai gunung lautan

bukan halangan

 

Saat itu ia merasa begitu yakin akan hubungannya dengan Zahra. Tetapi kini ketika mendengar Papa Ipong menyanyikannya, ia malah mengusap sudut mata. Memang kamar sudah gelap. Deraz menoleh pada Ipong yang memunggungi dia di tempat tidur sebelah atas.

Terakhir kali Deraz bertemu Zahra di sekolah, gadis itu masih memancarkan hawa minta dijauhi. Mana tahu Zahra sebenarnya hendak memutus hubungan dengan Deraz untuk sementara saja sampai pikirannya jernih. Tetapi dengan Deraz mengembalikan diary miliknya, Zahra betul-betul marah sampai melempar batu jamrah segala. Kalaupun Deraz terus menyimpan diary itu, bagaimana jika nanti ia dan Zahra betul-betul dapat bersama dan akhirnya ketahuan juga? Akankah mereka seperti Jaka Tarub dan Nawang Wulan—cerita asli Indonesia yang diringkas Deraz ketika SD hingga memenangkan voucer belanja buku senilai lima ratus ribu rupiah dari Bobo?

Seketika itu juga terpikir oleh Deraz: kenapa ia tidak mengembalikan diary Zahra lewat pos saja tanpa mencantumkan identitas pengirim? Ia bisa mampir ke perumahan Zahra sekadar untuk mencatat nama jalan dan nomor rumahnya, pada waktu yang kira-kira bukan jadwal gadis itu menyapu teras dan menyiram tanaman. Sekonyong-konyong terasa oleh Deraz dirinya memang lebih goblok daripada sopir angkot.

Bagaimanapun juga, kenapa diary saja menjadi perkara yang teramat penting? Zahra mungkin merasa malu Deraz telah mengetahui bagian terintim dari dunia batinnya, tetapi waktu akan memulihkannya. Mungkin setelah UAS Deraz bisa mendekati Zahra lagi. Mungkin pada tahun ajaran baru. Mungkin sebelum Deraz pergi ke Jerman. Mungkin setelah kembali dari Jerman, ia akan mencari tahu kampus Zahra dan menyusul ke sana. Oh, tidak, Deraz kan mau kuliah di Jerman. Mungkin setelah kembali dari Jerman, ia menyamperi Zahra langsung ke rumahnya saja dan tidak akan menerima penolakan.

 

Hari nan syahdu kini kenyataan

dua belia bercintaan

kabut nan kelam badai dan hujan

bukan rintangan[2]

 

Sepertinya yang begitu hanya ada di lagu.

 

Keesokan hari ketika Deraz hendak pulang, Ipong membekalinya dengan kaset Terbaik Terbaik, Pandawa Lima, Bintang Lima, dan Cintailah Cinta tanpa lupa memaparkan sejarah singkat berubahnya Dewa 19 menjadi Dewa. Ia juga memberi bonus berupa kaset kompilasi Prambors. “Lu butuh ini.”

Begitu tiba di rumahnya sendiri, Deraz memulai dari Terbaik Terbaik karena itu album keluaran paling lawas yang diberikan Ipong. Untuk beberapa lama ia tidak bisa berpindah dari “Satu Hati (Kita Semestinya)”.

Setelah tidak kuat lagi mendengar lagu itu, Deraz menukar kaset di dalam stereo dengan Pandawa Lima. Selesai mendengar “Kirana” yang diikuti “Aku di Sini untukmu”, ia tidak mampu berbuat apa pun lagi selain memutar ulang kedua lagu tersebut, lagi dan lagi, sampai ia pusing dan mukanya sakit.

Lagu-lagu di Bintang Lima, walaupun temanya serupa, namun lebih seperti penghiburan. Deraz jadi ingin hadir sekiranya kelak Dewa mengadakan konser, ikut melambai-lambaikan tangan bersama sekian Baladewa sembari menyanyikan liriknya.

Setelah bengong sepanjang album Cintailah Cinta, Deraz berharap lagu-lagu kompilasi Prambors memberikan suasana berbeda. Namun di akhir lagu “Way Down Here without You” dari Superdrag ada salakan anjing. Deraz memutar ulang lagu itu dan kenangan sewaktu mobil yang ditumpanginya meninggalkan rumah Opa Buyut dengan Bruno mengejar di belakang berputar ulang pula di benaknya.

Bekas sambitan di dadanya kian menusuk ketika teringat oleh Deraz kegagalannya di ISDC. Seandainya saja ia masuk ke delapan besar kemudian tim WSDC, tentu sekarang ia sedang habis-habisan mempersiapkan diri untuk mengharumkan nama bangsa di kancah debat sekolah internasional—alih-alih meringkuk di pojok kamar mengelapi muka dengan saputangan yang bukan harum Zahra karena sudah dicuci lagi.

Padahal Deraz belum sempat menunjukkan pada Zahra cara membuat roti keset ala Oma Buyut. Lalu siapa yang akan mewarisi resep Oma Buyut selanjutnya?

Selama hari-hari penuh lagu itu, Dean tahu diri dan penuh pengertian. Tiap kali masuk kamar, ia berusaha untuk tidak melihat ke arah Deraz apalagi membuat suara. Ia membeli balon dan mengikatkan talinya pada pegangan daun lemari belajar Deraz. Ia menyetok es kado di kulkas. Memang Dean suka tidak tega melihat penjual keliling.

Mendekati UAS, Deraz tidak tahu lagi apa yang ia tangisi: semua yang telah luput dari hidupnya atau semua materi pelajaran yang tidak kunjung ia pahami—entah akibat kebanyakan dispensasi atau pikirannya terlalu keruh oleh perih. Harapan Deraz tinggal mengikuti Bimbel OSIS Club, proker OSIS berupa les pelajaran bersama guru-guru di sekolah untuk mengatasi permasalahan akademis yang biasa menimpa anak-anak OSIS. Ada saja guru yang melengkapi lesnya dengan ceramah: “Berorganisasi itu baik, tapi jangan sampai pelajaran keteteran!”

“Iya, Bu!” jawab anak-anak serempak.

 

Ketika Deraz mengembalikan kaset-kaset Dewa/Dewa 19 beserta kompilasi Prambors ke rumah Ipong, anak itu hendak meminjamkannya kaset-kaset pilihan lainnya. Deraz membaca sekilas nama dan judul pada kaset-kaset itu. Tears for Fears, “Head over Heels”. Petshop Boys, “What I Have Done to Deserve This?”. Rupanya tema kali ini duo 80’s British Pop.

Tetapi, sudah cukup. Deraz menyerahkan kaset-kaset itu kembali pada Ipong. Sudah terlalu banyak lagu tentang jatuh cinta dan patah hati yang mampir ke telinganya akhir-akhir ini menggarami luka. Deraz ingin berhenti mendengarkan lagu-lagu.



[1] “Hanya Membekas Kini” - Chaseiro

[2] “Kala Surya Gemilang” - The Kid Brothers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain