Walaupun tahu bahwa Deraz dan Zahra
sudah “putus”, anak-anak OSIS masih beramah-tamah pada gadis itu. Malah hari
ini pada jam istirahat di Kabita anak-anak berhasil memaksa Zahra untuk ikut
duduk lagi bersama mereka. Terima kasih kepada Friska yang membawa pisang molen
yang secara tidak semena-mena diklaim anak-anak sebagai buatan sendiri, supaya
Zahra semakin sungkan untuk menolak.
Keheningan malam mencekam diri
setianya sukma sekejap
Kasihan wanita terlena yang pernah kucinta
Benar saja. Setelah berbasa-basi
secukupnya, anak-anak langsung menembak Zahra.
“Zahra, kamu udah enggak bareng Deraz
lagi?”
“Eh ….”
“Sayang lo, Zahra, secara Deraz itu
…” anak-anak membacakan riwayat hidup Deraz mulai dari pengalaman organisasi
sampai daftar prestasi.
Yang cewek-cewek menambahkan,
“gantengnya kayak Anjasmara, Ponco Buwono, Primus Yustisio, Teuku Ryan,” dengan
mengabsen semua bintang sinetron paling rupawan, “diblender, dimasukin ke
loyang, dioven, dan disantap hangat-hangat ….”
“Euh, sedap.”
“Seperti pisang molen ini,” imbuh
Gilang seraya meraup satu potong lagi dari kotak bekal Friska.
“Kurang apa sih Deraz?”
“Iya, kan enggak boleh kufur nikmat,
Zahra.”
Kumandangkanlah segala perasaan
yang masih selalu tersisa
ke dalam alunan birama bernada penyesalan
Serta-merta Zahra berdiri. “Maaf,
saya ada perlu.” Ia berbalik dan meninggalkan anak-anak OSIS yang tertegun.
Mereka memandangi kepergian Zahra yang kemudian berpapasan dengan Deraz. Namun
Deraz melengos sedang Zahra berjalan semakin cepat—hampir-hampir berlari.
Anak-anak merasa prihatin.
Katakanlah, kemana hilangnya
rasa bahagia
yang pernah menggelora dalam hayatku
Kusayangi, lembutnya sentuhan
semesra senyuman
pancaran ronanya hanya membekas kini
Komentar bermunculan.
“Sekalinya pacaran, eh, punya cewek,
eh, HTS-an, ceweknya lebih milih Tuhan. Bener-bener level tinggilah si Deraz.
Orang mah ceweknya sama ditikung sama cowok lain, ini mah saingannya sama
Tuhan.”
“Dalem banget itu.”
“Ceweknya juga enggak sembarangan,
anjir. Levelnya bukan duniawi lagi, tapi akhirat!”
“Serem, anjir.”
“Zahra kuat, ya.”
Dia takkan lupa dirinya
sekian lama terpikat dengan tali asmara
Akankah kita menggali lagi kenangan itu[1]
“Lagu naon sih ieu? Asa jadul pisan. Jigana mah dari tahun delapan puluhan, yeuh.”
“Siapa sih yang ngisi gig KOMBAS hari ini?”
“Vocal Group, kan?”
“Ah, si Ipong ieu mah.”
Memang Ipong juga telah menjadi orang
penting di ekskul Vocal Group dan tidak berada bersama mereka saat itu.
Ipong memerhatikan bahwa belakangan
ini Deraz bukan yang biasanya. Bukan Deraz yang bertampang datar dan bernada
dingin. Bukan pula Deraz yang diam-diam tersenyum sendiri dengan pipi merah
jambu. Melainkan Deraz yang sendu, hanya sendu. Ipong juga mendengar
desas-desus yang mengatakan bahwa Zahra menyambit Deraz pakai batu, yang sulit
dipercaya tetapi ia ingin memercayainya karena lucu saja membayangkannya.
Ipong mengajak Deraz menginap lagi di
rumahnya. Deraz mengiyakan.
Tadinya Ipong hendak memberikan
wejangan dan penghiburan, berbicara dari hati ke hati. Tetapi Deraz malah
membawa laptop lungsuran Bunda dan serius mengerjakan laporan OH Bazar. Mau
tidak mau Ipong menurut dan membantu Deraz. Ketika tiba kesempatan Ipong untuk
mengatakan, “Lu tuh sadar reputasi, Raz. Cari kecengan lain kek, buat pengalihan,”
Deraz malah mematikan laptop lalu merebahkan diri di kasur.
Karena Deraz tidak kunjung menjawab,
Ipong bertanya, “Udah mau tidur?”
“Hm,” Deraz yang memunggungi Ipong
menyahut.
Ipong mematikan lampu kamar.
Malam-malam sebelum tidur Papa Ipong
punya ritual memetik gitar sembari mendendangkan tembang-tembang lawas
favoritnya. Karena sudah beberapa kali menginap di rumah Ipong, Deraz sampai
hafal urutannya: “Hitam Manis”, “Duri dan Cinta”, lalu “Kala Surya Gemilang”.
Suara Papa Ipong yang mantan Bintang Radio begitu merdu membawakannya. Sungguh
rangkaian lagu pengantar tidur yang melenakan. Apalagi sewaktu Deraz masih
dekat-dekatnya dengan Zahra, lirik-lirik yang puitis itu diresapinya betul
hingga ia terharu.
Sungai berliku bagai kehidupan
dua remaja bermesraan
lembah dan ngarai gunung lautan
bukan halangan
Saat itu ia merasa begitu yakin akan
hubungannya dengan Zahra. Tetapi kini ketika mendengar Papa Ipong
menyanyikannya, ia malah mengusap sudut mata. Memang kamar sudah gelap. Deraz
menoleh pada Ipong yang memunggungi dia di tempat tidur sebelah atas.
Terakhir kali Deraz bertemu Zahra di
sekolah, gadis itu masih memancarkan hawa minta dijauhi. Mana tahu Zahra
sebenarnya hendak memutus hubungan dengan Deraz untuk sementara saja sampai
pikirannya jernih. Tetapi dengan Deraz mengembalikan diary miliknya, Zahra betul-betul marah sampai melempar batu jamrah
segala. Kalaupun Deraz terus menyimpan diary
itu, bagaimana jika nanti ia dan Zahra betul-betul dapat bersama dan akhirnya
ketahuan juga? Akankah mereka seperti Jaka Tarub dan Nawang Wulan—cerita asli
Indonesia yang diringkas Deraz ketika SD hingga memenangkan voucer belanja buku
senilai lima ratus ribu rupiah dari Bobo?
Seketika itu juga terpikir oleh
Deraz: kenapa ia tidak mengembalikan diary
Zahra lewat pos saja tanpa mencantumkan identitas pengirim? Ia bisa mampir ke
perumahan Zahra sekadar untuk mencatat nama jalan dan nomor rumahnya, pada
waktu yang kira-kira bukan jadwal gadis itu menyapu teras dan menyiram tanaman.
Sekonyong-konyong terasa oleh Deraz dirinya memang lebih goblok daripada sopir
angkot.
Bagaimanapun juga, kenapa diary saja menjadi perkara yang teramat
penting? Zahra mungkin merasa malu Deraz telah mengetahui bagian terintim dari
dunia batinnya, tetapi waktu akan memulihkannya. Mungkin setelah UAS Deraz bisa
mendekati Zahra lagi. Mungkin pada tahun ajaran baru. Mungkin sebelum Deraz
pergi ke Jerman. Mungkin setelah kembali dari Jerman, ia akan mencari tahu
kampus Zahra dan menyusul ke sana. Oh, tidak, Deraz kan mau kuliah di Jerman.
Mungkin setelah kembali dari Jerman, ia menyamperi Zahra langsung ke rumahnya
saja dan tidak akan menerima penolakan.
Hari nan syahdu kini kenyataan
dua belia bercintaan
kabut nan kelam badai dan hujan
bukan rintangan[2]
Sepertinya yang begitu hanya ada di
lagu.
Keesokan hari ketika Deraz hendak
pulang, Ipong membekalinya dengan kaset Terbaik
Terbaik, Pandawa Lima, Bintang Lima, dan Cintailah Cinta tanpa lupa memaparkan sejarah singkat berubahnya
Dewa 19 menjadi Dewa. Ia juga memberi bonus berupa kaset kompilasi Prambors.
“Lu butuh ini.”
Begitu tiba di rumahnya sendiri,
Deraz memulai dari Terbaik Terbaik
karena itu album keluaran paling lawas yang diberikan Ipong. Untuk beberapa
lama ia tidak bisa berpindah dari “Satu Hati (Kita Semestinya)”.
Setelah tidak kuat lagi mendengar
lagu itu, Deraz menukar kaset di dalam stereo dengan Pandawa Lima. Selesai mendengar “Kirana” yang diikuti “Aku di Sini
untukmu”, ia tidak mampu berbuat apa pun lagi selain memutar ulang kedua lagu tersebut,
lagi dan lagi, sampai ia pusing dan mukanya sakit.
Lagu-lagu di Bintang Lima, walaupun temanya serupa, namun lebih seperti
penghiburan. Deraz jadi ingin hadir sekiranya kelak Dewa mengadakan konser,
ikut melambai-lambaikan tangan bersama sekian Baladewa sembari menyanyikan
liriknya.
Setelah bengong sepanjang album Cintailah Cinta, Deraz berharap
lagu-lagu kompilasi Prambors memberikan suasana berbeda. Namun di akhir lagu
“Way Down Here without You” dari Superdrag ada salakan anjing. Deraz memutar
ulang lagu itu dan kenangan sewaktu mobil yang ditumpanginya meninggalkan rumah
Opa Buyut dengan Bruno mengejar di belakang berputar ulang pula di benaknya.
Bekas sambitan di dadanya kian
menusuk ketika teringat oleh Deraz kegagalannya di ISDC. Seandainya saja ia
masuk ke delapan besar kemudian tim WSDC, tentu sekarang ia sedang
habis-habisan mempersiapkan diri untuk mengharumkan nama bangsa di kancah debat
sekolah internasional—alih-alih meringkuk di pojok kamar mengelapi muka dengan
saputangan yang bukan harum Zahra karena sudah dicuci lagi.
Padahal Deraz belum sempat
menunjukkan pada Zahra cara membuat roti keset ala Oma Buyut. Lalu siapa yang
akan mewarisi resep Oma Buyut selanjutnya?
Selama hari-hari penuh lagu itu, Dean
tahu diri dan penuh pengertian. Tiap kali masuk kamar, ia berusaha untuk tidak
melihat ke arah Deraz apalagi membuat suara. Ia membeli balon dan mengikatkan
talinya pada pegangan daun lemari belajar Deraz. Ia menyetok es kado di kulkas.
Memang Dean suka tidak tega melihat penjual keliling.
Mendekati UAS, Deraz tidak tahu lagi
apa yang ia tangisi: semua yang telah luput dari hidupnya atau semua materi
pelajaran yang tidak kunjung ia pahami—entah akibat kebanyakan dispensasi atau
pikirannya terlalu keruh oleh perih. Harapan Deraz tinggal mengikuti Bimbel
OSIS Club, proker OSIS berupa les pelajaran bersama guru-guru di sekolah untuk
mengatasi permasalahan akademis yang biasa menimpa anak-anak OSIS. Ada saja
guru yang melengkapi lesnya dengan ceramah: “Berorganisasi itu baik, tapi jangan
sampai pelajaran keteteran!”
“Iya, Bu!” jawab anak-anak serempak.
Ketika Deraz mengembalikan
kaset-kaset Dewa/Dewa 19 beserta kompilasi Prambors ke rumah Ipong, anak itu
hendak meminjamkannya kaset-kaset pilihan lainnya. Deraz membaca sekilas nama dan
judul pada kaset-kaset itu. Tears for Fears, “Head over Heels”. Petshop Boys,
“What I Have Done to Deserve This?”. Rupanya tema kali ini duo 80’s British Pop.
Tetapi, sudah cukup. Deraz
menyerahkan kaset-kaset itu kembali pada Ipong. Sudah terlalu banyak lagu
tentang jatuh cinta dan patah hati yang mampir ke telinganya akhir-akhir ini
menggarami luka. Deraz ingin berhenti mendengarkan lagu-lagu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar