Jumat, 07 Desember 2018

(36)

Semester genap dimulai. Anak-anak OSIS terus bersikap Sok Kenal Sok Dekat pada Zahra. Ketika bertemu Zahra (yang selalu diiringi akhwat-akhwat), mereka tersenyum bahkan menyapa gadis itu. Kadang anak-anak OSIS mengajak Zahra ikut duduk lagi bersama mereka, walaupun selalu ditolak dengan halus karena gadis itu sudah kapok. Kadang Zahra melaporkan tentang anak-anak OSIS pada Deraz, yang cuma ditanggapi dengan geli.

“Kenapa sih mereka suka banget ngomong …” Zahra terdengar ragu menyebutkannya, “anjir?”

“Memang kenapa?”

“Mmm … bukannya itu kasar, ya? Pelesetan dari … mmm … guguk?”

“Kalau menurut mereka sih anjir itu singkatan dari anak tajir. Jadi kalau mereka bilang anjir ke satu sama lain, itu kayak saling mendoakan supaya kelak bakal tajir.”

“Masak sih?”

“Hihihi. Enggak tahu.” Deraz cuma menyampaikan yang pernah ia dengar. Malah anak-anak OSIS juga mengatakan bahwa “anjing” itu sesungguhnya singkatan dari “anak emejing—amazing” namun Deraz tahu bahwa itu terlalu bodoh untuk diteruskan pada Zahra.

Suatu siang sepulang sekolah, beberapa cewek OSIS mendatangi XI IPA 9. Mereka girang mendapati Zahra masih berada di kelas, sedang menjalankan tugas piket.

“Zahra, kita nonton Deraz tanding bola, yuk!”

Zahra tahu hari itu Deraz ada pertandingan sepak bola. Setelah jam istirahat tadi Deraz mendapat dispensasi untuk tidak meneruskan pelajaran karena akan mengikuti pertandingan tersebut. Zahra tidak berniat mendatanginya karena tidak ada teman, tetapi ia akan mendoakan Deraz. Deraz maklum saja. Sekarang tiba-tiba gerombolan cewek OSIS mengajaknya.

“Hayuk!”

“Saya selesein nyapu dulu, ya,” sahut Zahra yang ragu-ragu.

“Nanti pertandingannya keburu selesai! Sekarang aja udah dimulai!”

Takut-takut Zahra menghampiri beberapa anak sekelas yang juga sama-sama sedang menjalankan tugas piket. “Saya izin dulu, ya.” Untung mereka maklum.

Zahra bersama cewek-cewek OSIS berjalan sebentar ke pertigaan, menaiki angkot dua kali, yang masing-masingnya berjarak pendek, lalu kembali berjalan sampai ke lapangan tempat pertandingan dilangsungkan.

Begitu tiba, mereka bergabung dengan anak-anak SMANSON lain yang lebih awal berada di situ. Pertandingan sudah memasuki babak kedua. SMANSON kalah dua angka dari tim lawan. Anak-anak SMANSON terus bersorak menyemangati tim mereka, lengkap dengan memukulkan berpasang-pasang botol air mineral kosong.

Deraz tidak sengaja menoleh ka arah tribune dan mendapati Zahra menyempil di antara anak-anak SMANSON. Ia menoleh beberapa kali untuk memastikan. Semangatnya melonjak, padahal sebelumnya ia frustrasi karena dari dua gol yang sudah dicetak SMANSON tidak satu pun oleh dia. Keduanya digawangkan rekannya yang memang atlet dan bermain jauh lebih serius daripada dirinya.

Dalam sisa waktu babak terakhir itu, tim SMANSON berhasil mengejar ketinggalan dengan menyarangkan tiga gol. Semuanya oleh Deraz. Satu gol sempat diperkarakan. Tim lawan bersikeras itu terjadi ketika Deraz berada di kotak penalti. Deraz mengotot bahwa itu bukan offside. Akhirnya wasit meloloskan gol tersebut. SMANSON menang.

Seusai pertandingan, Zahra mengirim SMS pada Deraz. Zahra melapor bahwa ia datang ke pertandingan dan menyelamati Deraz atas kemenangan timnya. “Tadi aku lihat kamu yang ngegol,” tidak lupa Zahra menambahkan.

Zahra hendak pamit, namun Deraz membalas, “Jangan dulu pulang. Tungguin.”

Cewek-cewek OSIS yang tadi mengajak Zahra datang kini mengajak gadis itu pulang. “Duluan aja,” kata Zahra. “Saya pulangnya nanti.”

“Oooh, mau nungguin—“ Soraya segera ditepuk Jati.

“Hei, itu urusan pribadi,” tegur Jati.

Soraya mengikik. Anak-anak OSIS mendadahi Zahra dan berlalu.

Deraz selesai dengan timnya. Ia berlari menghampiri Zahra yang menunggu di tribune.

“Lama?”

Zahra berdiri dan menggeleng seraya tersenyum melihat Deraz yang kulitnya jadi cokelat dan merah sekaligus.

“Sebentar—“ Deraz melepaskan ransel lalu mengeluarkan botol minum.

Baru seteguk yang ia tenggak ketika Zahra menegur, “Deraz minumnya pakai tangan kanan, sambil duduk.”

“Oh, iya.” Deraz duduk di bangku tribune lalu menukar tangan kiri dengan tangan kanan.

Meni buru-buru,” komentar Zahra.

“Biar cepet ketemu sama kamu,” Deraz mengambil jeda dari minum.

Zahra terperangah menatap Deraz yang melagak berkonsentrasi pada minum.

“Yuk!” Deraz berdiri dan kembali memasukkan botol minum ke ransel.

Saat itu sudah menjelang asar. Cuaca cerah namun cukup teduh. Angin sepoi-sepoi. Deraz bermaksud untuk kembali ke sekolah mengambil sepeda. Ia dan Zahra melangkah bersama menuju jalan yang dilewati angkot rute mereka. Deraz menyombong, “Tadi SMANSON ngegol lima, yang tiganya sama aku.”

Ketiganya buat kamu ….

“Wah, hebat,” puji Zahra. “Kalau di supermarket, udah dapat piring cantik.”

Deraz melirik Zahra. Terpikir olehnya untuk membalas, “Kalau aku sih, dapat gadis cantik,” tetapi ditahannya. Malah ia memalingkan muka karena merasa wajahnya memanas. Ia sendiri heran belakangan ini otaknya menjadi pabrik gombalan garing. Dengar-dengar Ayah semasa mudanya punya banyak pacar. Itu menjadi bahan tangkisan Zara ketika Ayah meledek pacarnya. Jangan-jangan yang menurun dari Ayah pada Deraz bukan fisik semata, melainkan juga keterampilan merayu.

Ketika Deraz melihat Zahra lagi, gadis itu menunduk seakan-akan mendengar kilas batin Deraz barusan. “Jangan nunduk dalam-dalam, entar nabrak,” tegur Deraz sembari terus memandang Zahra. Ingin sekali ia mencubit hidung gadis itu. Ia heran karena sebelum ini tidak pernah mendengar anak-anak menyebut Zahra. Ia heran betapa sepertinya gadis itu terlihat memesona hanya di matanya. Ia tidak harus berebut dengan siapa pun untuk mendapatkan Zahra. Wajah gadis itu bukan semacam yang ada di baliho atau televisi, melainkan bagai spesies eksotis yang untuk memahami keindahannya diperlukan mata yang jeli—milik Deraz seorang. Apakah ini pertanda bahwa Zahra memang diciptakan khusus untuknya?

Lalu Deraz menabrak motor yang hendak dimundurkan dari parkiran ke jalan. Zahra sulit menahan tawa. Deraz merasa malu sekali.

Setelah melalui motor yang sudah melaju ke jalan itu, keduanya kembali berjalan beriringan. Zahra masih geli, sedang Deraz grogi. Mereka sama-sama hening dan melirik, namun tidak pernah kena pada satu sama lain karena keburu mengembalikan mata ke depan.

Ketika melirik lagi, tatapan Deraz jatuh ke sisi bawah. Tangan Zahra yang mungil terjuntai bebas. Jantung Deraz berdegup. Jarinya mencoba menggapai, tetapi kembali lagi.

Mereka keburu tiba di persimpangan jalan. Begitu lampu merah, Deraz memandang Zahra yang mendahuluinya menyeberang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain