Semester genap dimulai. Anak-anak OSIS terus bersikap Sok
Kenal Sok Dekat pada Zahra. Ketika bertemu Zahra (yang selalu diiringi
akhwat-akhwat), mereka tersenyum bahkan menyapa gadis itu. Kadang anak-anak
OSIS mengajak Zahra ikut duduk lagi bersama mereka, walaupun selalu ditolak
dengan halus karena gadis itu sudah kapok. Kadang Zahra melaporkan tentang
anak-anak OSIS pada Deraz, yang cuma ditanggapi dengan geli.
“Kenapa sih mereka suka banget
ngomong …” Zahra terdengar ragu menyebutkannya, “anjir?”
“Memang kenapa?”
“Mmm … bukannya itu kasar, ya?
Pelesetan dari … mmm … guguk?”
“Kalau menurut mereka sih anjir itu singkatan dari anak tajir. Jadi kalau mereka bilang anjir ke satu sama lain, itu kayak
saling mendoakan supaya kelak bakal tajir.”
“Masak sih?”
“Hihihi. Enggak tahu.” Deraz cuma
menyampaikan yang pernah ia dengar. Malah anak-anak OSIS juga mengatakan bahwa
“anjing” itu sesungguhnya singkatan dari “anak emejing—amazing” namun Deraz tahu bahwa itu terlalu bodoh untuk diteruskan
pada Zahra.
Suatu siang sepulang sekolah,
beberapa cewek OSIS mendatangi XI IPA 9. Mereka girang mendapati Zahra masih
berada di kelas, sedang menjalankan tugas piket.
“Zahra, kita nonton Deraz tanding
bola, yuk!”
Zahra tahu hari itu Deraz ada
pertandingan sepak bola. Setelah jam istirahat tadi Deraz mendapat dispensasi
untuk tidak meneruskan pelajaran karena akan mengikuti pertandingan tersebut.
Zahra tidak berniat mendatanginya karena tidak ada teman, tetapi ia akan
mendoakan Deraz. Deraz maklum saja. Sekarang tiba-tiba gerombolan cewek OSIS
mengajaknya.
“Hayuk!”
“Saya selesein nyapu dulu, ya,”
sahut Zahra yang ragu-ragu.
“Nanti pertandingannya keburu
selesai! Sekarang aja udah dimulai!”
Takut-takut Zahra menghampiri
beberapa anak sekelas yang juga sama-sama sedang menjalankan tugas piket. “Saya
izin dulu, ya.” Untung mereka maklum.
Zahra bersama cewek-cewek OSIS
berjalan sebentar ke pertigaan, menaiki angkot dua kali, yang masing-masingnya
berjarak pendek, lalu kembali berjalan sampai ke lapangan tempat pertandingan
dilangsungkan.
Begitu tiba, mereka bergabung
dengan anak-anak SMANSON lain yang lebih awal berada di situ. Pertandingan
sudah memasuki babak kedua. SMANSON kalah dua angka dari tim lawan. Anak-anak
SMANSON terus bersorak menyemangati tim mereka, lengkap dengan memukulkan
berpasang-pasang botol air mineral kosong.
Deraz tidak sengaja menoleh ka arah
tribune dan mendapati Zahra menyempil di antara anak-anak SMANSON. Ia menoleh
beberapa kali untuk memastikan. Semangatnya melonjak, padahal sebelumnya ia
frustrasi karena dari dua gol yang sudah
dicetak SMANSON tidak satu pun oleh dia. Keduanya digawangkan rekannya yang memang
atlet dan bermain jauh lebih serius daripada dirinya.
Dalam sisa waktu babak terakhir
itu, tim SMANSON berhasil mengejar ketinggalan dengan menyarangkan tiga gol.
Semuanya oleh Deraz. Satu gol sempat diperkarakan. Tim lawan bersikeras itu
terjadi ketika Deraz berada di kotak penalti. Deraz mengotot bahwa itu bukan offside. Akhirnya wasit meloloskan gol
tersebut. SMANSON menang.
Seusai pertandingan, Zahra mengirim
SMS pada Deraz. Zahra melapor bahwa ia datang ke pertandingan dan menyelamati
Deraz atas kemenangan timnya. “Tadi aku lihat kamu yang ngegol,” tidak lupa
Zahra menambahkan.
Zahra hendak pamit, namun Deraz
membalas, “Jangan dulu pulang. Tungguin.”
Cewek-cewek OSIS yang tadi mengajak
Zahra datang kini mengajak gadis itu pulang. “Duluan aja,” kata Zahra. “Saya
pulangnya nanti.”
“Oooh, mau nungguin—“ Soraya segera
ditepuk Jati.
“Hei, itu urusan pribadi,” tegur
Jati.
Soraya mengikik. Anak-anak OSIS
mendadahi Zahra dan berlalu.
Deraz selesai dengan timnya. Ia
berlari menghampiri Zahra yang menunggu di tribune.
“Lama?”
Zahra berdiri dan menggeleng seraya
tersenyum melihat Deraz yang kulitnya jadi cokelat dan merah sekaligus.
“Sebentar—“ Deraz melepaskan ransel
lalu mengeluarkan botol minum.
Baru seteguk yang ia tenggak ketika
Zahra menegur, “Deraz minumnya pakai tangan kanan, sambil duduk.”
“Oh, iya.” Deraz duduk di bangku tribune lalu menukar tangan kiri
dengan tangan kanan.
“Meni buru-buru,” komentar Zahra.
“Biar cepet ketemu sama kamu,” Deraz
mengambil jeda dari minum.
Zahra terperangah menatap Deraz yang
melagak berkonsentrasi pada minum.
“Yuk!” Deraz berdiri dan kembali
memasukkan botol minum ke ransel.
Saat itu sudah menjelang asar.
Cuaca cerah namun cukup teduh. Angin sepoi-sepoi. Deraz bermaksud untuk kembali
ke sekolah mengambil sepeda. Ia dan Zahra melangkah bersama menuju jalan yang dilewati
angkot rute mereka. Deraz menyombong, “Tadi SMANSON ngegol lima, yang tiganya
sama aku.”
Ketiganya buat kamu ….
“Wah, hebat,” puji Zahra. “Kalau di
supermarket, udah dapat piring cantik.”
Deraz melirik Zahra. Terpikir
olehnya untuk membalas, “Kalau aku sih, dapat gadis cantik,” tetapi ditahannya.
Malah ia memalingkan muka karena merasa wajahnya memanas. Ia sendiri heran
belakangan ini otaknya menjadi pabrik gombalan garing. Dengar-dengar Ayah
semasa mudanya punya banyak pacar. Itu menjadi bahan tangkisan Zara ketika Ayah meledek pacarnya. Jangan-jangan yang menurun dari Ayah pada Deraz bukan fisik
semata, melainkan juga keterampilan merayu.
Ketika Deraz melihat Zahra lagi,
gadis itu menunduk seakan-akan mendengar kilas batin Deraz barusan. “Jangan
nunduk dalam-dalam, entar nabrak,” tegur Deraz sembari terus memandang Zahra. Ingin sekali ia mencubit hidung gadis itu. Ia heran karena sebelum ini tidak
pernah mendengar anak-anak menyebut Zahra. Ia heran betapa sepertinya gadis itu
terlihat memesona hanya di matanya. Ia tidak harus berebut dengan siapa pun
untuk mendapatkan Zahra. Wajah gadis itu bukan semacam yang ada di baliho atau
televisi, melainkan bagai spesies eksotis yang untuk memahami keindahannya
diperlukan mata yang jeli—milik Deraz seorang. Apakah ini pertanda bahwa Zahra
memang diciptakan khusus untuknya?
Lalu Deraz menabrak motor yang hendak dimundurkan dari parkiran ke jalan. Zahra
sulit menahan tawa. Deraz merasa malu sekali.
Setelah melalui motor yang sudah
melaju ke jalan itu, keduanya kembali berjalan beriringan. Zahra masih geli,
sedang Deraz grogi. Mereka sama-sama hening dan melirik, namun tidak pernah
kena pada satu sama lain karena keburu mengembalikan mata ke depan.
Ketika melirik lagi, tatapan Deraz
jatuh ke sisi bawah. Tangan Zahra yang mungil terjuntai bebas. Jantung Deraz
berdegup. Jarinya mencoba menggapai, tetapi kembali lagi.
Mereka keburu tiba di persimpangan jalan. Begitu lampu merah, Deraz memandang Zahra yang mendahuluinya menyeberang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar