Rabu, 19 Desember 2018

(48)

Lagi-lagi Zahra tidak bisa dihubungi. SMS tidak berbalas. Telepon malah dijawab dengan, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan area.” Mau mendekati Zahra di dalam atau di luar kelas Deraz sungkan. Ia tidak sabar menunggu sampai Zahra mendapat tamu bulanannya lagi sehingga gadis itu berdiam saja di kelas pada jam istirahat. (Ia benar-benar menandainya di kalender PDA dengan kode rahasia.)

Sementara Deraz hanya bisa mengamati Zahra dari jauh. Gadis itu sama sekali tidak terlihat bahagia bersama anak-anak DKM. Ia menunduk lebih sering daripada ketika masih duduk sebangku dengan Deraz. Kalaupun ia mengangkat wajah dan tersenyum, seperti yang dipaksakan dan tipis saja.

Sampai suatu sore seusai keperluannya di sekolah Deraz menghampiri rumah Zahra. Ia memencet bel berkali-kali, namun tidak ada yang keluar. “Zahra!” Ia memanggil-manggil seperti anak kecil menyamperi temannya untuk mengajak main.

Lama kemudian keluar anak lelaki yang kurang lebih seusia dengan adik Deraz. Mukanya seperti yang habis menempel berjam-jam di bantal. “Zahra enggak ada,” ucapnya.

Bohong! Deraz menatap anak itu untuk memastikannya. Namun yang ditatap malah membalasnya dengan mata setengah mengatup.

“Saya Deraz. Tolong sampaikan ke Zahra kalau saya kemari. Terima kasih!”

Anak itu memandangi kepergian Deraz dengan bingung.

 

Yang didapat Deraz keesokan harinya malah draf novel dan saputangan Opa Buyut di kolong bangkunya. Mestilah Zahra meletakkan itu ketika Deraz sedang di luar kelas pada jam istirahat. Deraz menatap Zahra di seberang kelas dengan geram. Gadis itu menunduk saja, seakan-akan memang membatasi pandangannya supaya tidak sampai ke zona laki-laki apalagi bangku Deraz. Namun Deraz tidak bisa segera bertindak karena pelajaran sudah dimulai.

 

Seusai sekolah, begitu Zahra hendak keluar dari kelas, Deraz menghampiri dan menjambret lengan gadis itu. Ia tidak menghiraukan teguran Muti dan Ria ataupun pandangan anak-anak lain di sepanjang jalan. Zahra berusaha merebut tangannya kembali namun cekalan Deraz semakin keras dan langkahnya begitu panjang lagi cepat-cepat. Terhuyung-huyung Zahra diseret Deraz sampai ke lapangan DBD di belakang sekolah.

Deraz mencampakkan tangan Zahra.

“Dengar, ya, kamu tahu kenapa saya narik kamu ke sini!”

Zahra mengkeret.

“Apa ini gara-gara kamu disidang sama DKM?” cecar Deraz.

Zahra terisak dan mencebik.

Benar! Pasti benar!

Zahra memunggungi Deraz. Ketika Deraz berpindah ke hadapannya, Zahra berbalik lagi. Tangan Deraz ditampiknya. Zahra lebih memilih lengan seragamnya daripada saputangan yang disodorkan Deraz. Melihat pundak Zahra yang gemetar, suara Deraz melunak.

“Kamu keluar aja deh dari DKM. Kalau mau belajar berteman, berorganisasi, ekskul lain banyak, Komunitas di luar sekolah apalagi. Saya bisa bantu kamu cari yang baru. Kalau mau belajar agama, enggak mesti sama mereka. Kan bisa baca buku. Cari guru ngaji yang bijaksana. Mereka tuh sama aja kayak kita. Sama-sama baru cari ilmu. Enggak perlulah mereka ngerasa paling bener sendiri. Rasa suka itu fitrah, enggak perlu berlebihan nanggepinnya. Tengah-tengah ajalah. Enggak perlu so ekstrem. Kamu enggak perlu orang-orang yang mengajari kamu untuk berpikiran negatif!”

Seketika itu Muti dan Ria menghampiri Zahra. Muti merangkul Zahra sementara Ria menggiringnya pelan supaya beranjak.

“DKM enggak usah mencampuri urusan pribadi lah!” tegur Deraz.

“Kami berkewajiban mengingatkan saudari kami dalam kebaikan.” Ria mengerling pada Deraz dengan tak kalah galak.

“Mengingatkan? Dengan ancaman? Dengan prasangka? Apa DKM enggak bisa sekadar berorganisasi—“

“DKM bukan sekadar organisasi, tapi juga pembelajaran tentang Islam, dan Islam itu cara hidup yang menyeluruh. Islam memang mengurusi masalah pribadi!” tegas Ria. “Zahra sudah memilih dan dia bukan milik antum.”

Deraz tersengat. Namun, sementara ia berdebat dengan Ria, Zahra melepaskan diri dari rangkulan Muti dan berlari meninggalkan mereka.

“Zahra!” kejar Muti. Serta-merta Ria menyusulnya.

Deraz tertahan. Tidak lucu berkejaran dengan mereka.

 

Malam itu ketika mengeluarkan isi ranselnya ke meja belajar, Deraz mendapati barang-barangnya yang dikembalikan Zahra.

Disorot remang lampu meja belajar Deraz menyibak helai per helai draf novelnya. Terdapat coretan-coretan tipis pensil, kata-kata Indonesia mengartikan kata-kata Inggris. Terselip pula tiket bioskop dan … foto? Bahkan foto pun ikut dikembalikan! Deraz memandang wajah-wajah yang sedang tersenyum ceria itu. Padahal Alf dan Ipong menyertai mereka. Mereka tidak cuma berdua. Sampai sebegitunya Zahra ingin menutup hubungan dengannya?

Kenapa tidak sekalian saja Zahra memuntahkan roti buatannya, makanan yang pernah dibayarinya?!

Deraz terduduk di kursi belajar.

Kenapa sih?

Ia mengusap wajahnya dengan kedua belah tangan dan menatap langit-langit kamar yang telah digelapkan.

Kenapa ia tidak bisa memiliki satu orang saja yang begitu ia sayang dalam hidupnya?

Oma Buyut, Opa Buyut, Pak Karman, mereka Dia panggil. Bruno Dia jauhkan. Dean lebih memilih teman-temannya. Zahra … lebih memilih … Dia?

Kenapa sih orang-orang itu mesti mencampuri hubungannya dengan Zahra dengan membawa-bawa Tuhan segala? Kenapa mereka tidak membiarkan Tuhan berada di tempat-Nya sendiri, dengan urusan-Nya sendiri? Kenapa mereka mesti mengaitkan segala sesuatunya dengan Tuhan dan memengaruhi Zahra? Kenapa Zahra lebih memilih mereka daripada dirinya? Memangnya Deraz kurang apa? Bukankah Deraz telah mencoba berbaikan dengan Zahra? Bukankah Deraz hanya ingin berbuat kebaikan untuk gadis itu? Bukankah Deraz selalu menahan diri dari menyentuh gadis itu?

Mata nanar Deraz menatap lipatan saputangan Opa Buyut di meja belajar. Air mata Zahra pernah meresap di situ. Deraz mengangkat saputangan itu dan menciumnya. Harumnya mengembalikan Deraz pada masa ketika mereka masih duduk sebangku. Tiap kali Zahra hendak keluar dari bangku dan melewati Deraz, aroma itu membelai rongga hidungnya. Masakkah ia tidak boleh merasakannya lagi?

Masakkah ia tidak boleh sekadar berhubungan baik dengan gadis itu: berbicara padanya, mendengar suaranya, berbagi bersama dirinya, menghabiskan waktu dengannya?

Memangnya apa yang salah dengan itu semua?

Masakkah Zahra benar-benar tidak ingin berhubungan dengannya lagi?

Masakkah Zahra bukan perempuan yang tepat?

Deraz menangkupkan wajahnya pada saputangan.

Masakkah ia tidak boleh merasakan kebahagiaan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain