Lagi-lagi Zahra tidak bisa dihubungi.
SMS tidak berbalas. Telepon malah dijawab dengan, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan
area.” Mau mendekati Zahra di dalam atau di
luar kelas Deraz sungkan. Ia tidak sabar menunggu sampai Zahra mendapat tamu
bulanannya lagi sehingga gadis itu berdiam saja di kelas pada jam istirahat.
(Ia benar-benar menandainya di kalender PDA dengan kode rahasia.)
Sementara Deraz hanya bisa mengamati
Zahra dari jauh. Gadis itu sama sekali tidak terlihat bahagia bersama anak-anak
DKM. Ia menunduk lebih sering daripada ketika masih duduk sebangku dengan
Deraz. Kalaupun ia mengangkat wajah dan tersenyum, seperti yang dipaksakan dan
tipis saja.
Sampai suatu sore seusai keperluannya
di sekolah Deraz menghampiri rumah Zahra. Ia memencet bel berkali-kali, namun tidak ada yang keluar. “Zahra …!” Ia memanggil-manggil
seperti anak kecil menyamperi temannya untuk mengajak main.
Lama kemudian keluar anak lelaki yang kurang lebih seusia dengan adik Deraz. Mukanya seperti yang habis menempel berjam-jam di bantal. “Zahra enggak ada,” ucapnya.
Bohong! Deraz menatap anak itu untuk
memastikannya. Namun yang ditatap malah membalasnya dengan mata setengah
mengatup.
“Saya Deraz. Tolong sampaikan ke
Zahra kalau saya kemari. Terima kasih!”
Anak itu memandangi kepergian Deraz
dengan bingung.
Yang didapat Deraz keesokan harinya malah draf novel dan saputangan Opa Buyut di kolong bangkunya.
Mestilah Zahra meletakkan itu ketika Deraz sedang di luar kelas pada jam
istirahat. Deraz menatap Zahra di seberang kelas dengan geram. Gadis itu
menunduk saja, seakan-akan memang membatasi pandangannya supaya tidak sampai ke
zona laki-laki apalagi bangku Deraz. Namun Deraz tidak bisa segera bertindak
karena pelajaran sudah dimulai.
Seusai sekolah, begitu Zahra hendak keluar dari kelas, Deraz
menghampiri dan menjambret lengan gadis itu. Ia tidak menghiraukan teguran Muti dan
Ria ataupun pandangan anak-anak lain di sepanjang jalan. Zahra berusaha merebut
tangannya kembali namun cekalan Deraz semakin keras dan langkahnya begitu
panjang lagi cepat-cepat. Terhuyung-huyung Zahra diseret Deraz sampai ke
lapangan DBD di belakang sekolah.
Deraz mencampakkan tangan Zahra.
“Dengar, ya, kamu tahu kenapa saya
narik kamu ke sini!”
Zahra mengkeret.
“Apa ini gara-gara kamu disidang
sama DKM?” cecar Deraz.
Zahra terisak dan mencebik.
Benar! Pasti benar!
Zahra memunggungi Deraz. Ketika
Deraz berpindah ke hadapannya, Zahra berbalik lagi. Tangan Deraz ditampiknya.
Zahra lebih memilih lengan seragamnya daripada saputangan yang disodorkan
Deraz. Melihat pundak Zahra yang gemetar, suara Deraz melunak.
“Kamu keluar aja deh dari DKM.
Kalau mau belajar berteman, berorganisasi, ekskul lain banyak, Komunitas di
luar sekolah apalagi. Saya bisa bantu kamu cari yang baru. Kalau mau belajar
agama, enggak mesti sama mereka. Kan bisa baca buku. Cari guru ngaji yang
bijaksana. Mereka tuh sama aja kayak kita. Sama-sama baru cari ilmu. Enggak
perlulah mereka ngerasa paling bener sendiri. Rasa suka itu fitrah, enggak perlu
berlebihan nanggepinnya. Tengah-tengah ajalah. Enggak perlu so ekstrem. Kamu enggak perlu
orang-orang yang mengajari kamu untuk berpikiran negatif!”
Seketika itu Muti dan Ria
menghampiri Zahra. Muti merangkul Zahra sementara Ria menggiringnya pelan
supaya beranjak.
“DKM enggak usah mencampuri urusan
pribadi lah!” tegur Deraz.
“Kami berkewajiban mengingatkan
saudari kami dalam kebaikan.” Ria mengerling pada Deraz dengan tak kalah galak.
“Mengingatkan? Dengan ancaman?
Dengan prasangka? Apa DKM enggak bisa sekadar berorganisasi—“
“DKM bukan sekadar organisasi, tapi juga pembelajaran tentang Islam, dan Islam itu
cara hidup yang menyeluruh. Islam memang mengurusi masalah pribadi!” tegas Ria. “Zahra sudah memilih dan dia bukan milik antum.”
Deraz tersengat. Namun, sementara
ia berdebat dengan Ria, Zahra melepaskan diri dari rangkulan Muti dan berlari
meninggalkan mereka.
“Zahra!” kejar Muti. Serta-merta
Ria menyusulnya.
Deraz tertahan. Tidak lucu berkejaran dengan mereka.
Malam itu ketika mengeluarkan isi ranselnya ke meja belajar, Deraz mendapati
barang-barangnya yang dikembalikan Zahra.
Disorot remang lampu meja belajar
Deraz menyibak helai per helai draf novelnya. Terdapat coretan-coretan tipis pensil, kata-kata Indonesia mengartikan
kata-kata Inggris. Terselip pula tiket bioskop dan … foto? Bahkan foto pun ikut dikembalikan! Deraz memandang
wajah-wajah yang sedang tersenyum ceria itu. Padahal Alf dan Ipong menyertai
mereka. Mereka tidak cuma berdua. Sampai sebegitunya Zahra ingin menutup
hubungan dengannya?
Kenapa tidak sekalian saja Zahra
memuntahkan roti buatannya, makanan yang pernah dibayarinya?!
Deraz terduduk di kursi belajar.
Kenapa sih?
Ia mengusap wajahnya dengan kedua
belah tangan dan menatap langit-langit kamar yang telah digelapkan.
Kenapa ia tidak bisa memiliki satu
orang saja yang begitu ia sayang dalam hidupnya?
Oma Buyut, Opa Buyut, Pak Karman,
mereka Dia panggil. Bruno Dia jauhkan. Dean lebih memilih teman-temannya. Zahra
… lebih memilih … Dia?
Kenapa sih orang-orang itu mesti
mencampuri hubungannya dengan Zahra dengan membawa-bawa Tuhan segala? Kenapa
mereka tidak membiarkan Tuhan berada di tempat-Nya sendiri, dengan urusan-Nya
sendiri? Kenapa mereka mesti mengaitkan segala sesuatunya dengan Tuhan dan
memengaruhi Zahra? Kenapa Zahra lebih memilih mereka daripada dirinya?
Memangnya Deraz kurang apa? Bukankah Deraz telah mencoba berbaikan dengan
Zahra? Bukankah Deraz hanya ingin berbuat kebaikan untuk gadis itu? Bukankah
Deraz selalu menahan diri dari menyentuh gadis itu?
Mata nanar Deraz menatap lipatan
saputangan Opa Buyut di meja belajar. Air mata Zahra pernah meresap di situ.
Deraz mengangkat saputangan itu dan menciumnya. Harumnya mengembalikan Deraz
pada masa ketika mereka masih duduk sebangku. Tiap kali Zahra hendak keluar
dari bangku dan melewati Deraz, aroma itu membelai rongga hidungnya. Masakkah
ia tidak boleh merasakannya lagi?
Masakkah ia tidak boleh sekadar
berhubungan baik dengan gadis itu: berbicara padanya, mendengar suaranya,
berbagi bersama dirinya, menghabiskan waktu dengannya?
Memangnya apa yang salah dengan itu
semua?
Masakkah Zahra benar-benar tidak
ingin berhubungan dengannya lagi?
Masakkah Zahra bukan perempuan yang
tepat?
Deraz menangkupkan wajahnya pada
saputangan.
Masakkah ia tidak boleh merasakan
kebahagiaan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar