Renata yang baru pulang dari Brazil
mengajak Deraz bertemu di McDonald’s. Ia yang menghubungi Deraz lebih dulu
sejak obrolan mereka tentang ISDC. Ia hendak memberikan oleh-oleh: sebungkus
kopi dan sepasang sandal jepit kembang-kembang. Deraz mesem ketika menerima
yang terakhir.
“I
didn’t know your size, so …” ucap Renata sementara Deraz mencoba sepasang
sandal itu.
“Nah,
these fit me. Thanks.”
“Are
you gonna wear them in German?”
“Sure,
for the summer. I’ll bring them.”
“Do
show me your picture wearing them.”
“I
will.”
“Those
are so gay, you know?”
“Then
what do you want me to do?!”
Keduanya tertawa.
“Well,
maybe you can give them to your brother,” sahut Renata dengan tampang
menyesal karena jauh-jauh sampai ke Brazil malah memberikan Deraz sandal jepit
begitu. Tetapi ia telah meyakinkan Deraz bahwa kopinya sangat mantap.
“Yeah,
or maybe for his girlfriend.”
“Dean
has a girlfriend?!” Renata tidak percaya.
“Yeah! They’ve been together for almost a year now.”
Seketika terlintas pertanyaan di
benak Renata yang setelah beberapa lama terdiam barulah ia ajukan pada Deraz, “How’s it with the girl?” betapapun
ragu-ragu pada awalnya. Apalagi ketika Deraz tidak segera menjawab. Senyum
Deraz setelah menerima sandal jepit kembang-kembang berangsur-angsur meredup
walaupun tidak lenyap sama sekali. Tatapannya merunduk.
“It
didn’t work.”
Deraz sudah siap seandainya Renata
hendak menertawainya. Namun Renata bergeming. Wajahnya sedatar paras Deraz.
“Care
for a Big Mac?” tawar Renata.
“Yeah.”
Renata bangkit dari kursi lalu
membelikan Deraz dua bungkus hamburger, lengkap dengan tambahan kentang goreng
dan Coca-cola untuk dirinya sendiri.
“I
can’t believe Dean manages it better than you.”
“Haha.”
Selanjutnya mereka hanya membicarakan
tentang pengalaman Renata selama tinggal di Paraná, serta persiapan Deraz ke
Jerman.
Agustus tiba. Hari kepergian Deraz
semakin dekat. Anak-anak OSIS menghampiri Deraz.
“Kita mau ngadain farewell party buat kamu,” ujar mereka.
Jadi sewaktu turbud ia dilempari
bahan-bahan roti itu maksudnya apa? Tetapi mau tidak mau Deraz menanggapi
gagasan itu, “Oh, boleh. Di mana?”
“Di rumah kamu dong.”
“Si Adip mau nengokin ibu kamu,” ucap
Gilang, yang segera disikut oleh yang bersangkutan.
“Kita udah bilang sama Dean.”
Deraz terperangah. Kok sama Dean.
Yang mau pergi siapa, yang punya rumah siapa.
Mau tidak mau Deraz menyampaikan
keinginan anak-anak OSIS kepada orang tuanya. Ayah sedang ada dinas sehingga
tidak akan berada di rumah pada akhir pekan itu. Bunda bersedia untuk
menyiapkan makanan dan minuman, sebelum mengungsi ke mal. Zara yang ingin ikut
Bunda mengungsi turut membantu menyiapkan segalanya. Walaupun halaman belakang sepertinya
cukup untuk dijadikan tempat pesta, Bunda menyuruh Deraz untuk membereskan
ruang televisi sekalian. Meja ditepikan dan dikosongkan untuk menyajikan
penganan. Maka hari itu hanya Dean yang akan menemani Deraz menjamu anak-anak.
Dean mengajukan diri menjadi DJ, yang tugasnya menggonta-ganti CD di stereo
serta membesarkan atau mengecilkan volume sesuai dengan keperluan. Lagi pula,
pacarnya yang Sekretaris Umum OSIS juga akan datang.
Anak-anak berdatangan menjelang
siang. Motor-motor diparkir di carport
yang sudah kosong dari mobil Bunda. Yang membawa mobil memarkirkannya di sisi
jalan. Ada juga beberapa cewek yang datang bersama-sama menaiki angkot lalu
mengirimi Deraz SMS menanyakan jalan. Cowok-cowok kecewa karena hanya mendapati
Dean yang bergolek manja di sofa ruang televisi alih-alih ibu si kembar yang
menurut mereka masih seperti mbak-mbak mahasiswi di usia paruh baya.
Belum lagi acara dimulai, hujan lebat
turun. Anak-anak berjejal di ruang televisi yang sudah tidak ada televisinya
karena sementara itu dipindahkan ke kamar. Mereka berdiri membentuk lingkaran
di tengah-tengah ruangan. Acara dibuka dengan sambutan dari Alf selaku
Mitratama.
“Kita di sini sekalian mau
bermaaf-maafan. Kita mohon maaf sekiranya suka bikin kamu kesel, moyokin kamu, ngecandain kamu. Kita cuma
ingin membentuk suasana kekeluargaan yang akrab, supaya enggak melulu merasa
terbebani oleh tanggung jawab yang besar, tapi juga supaya OSIS tuh bisa jadi
sesuatu yang fun. Eh, malah
jangan-jangan sebenarnya sedari awal Deraz memang sudah menganggap kita sebagai
keluarga. Karena, di hadapan keluargalah kita menunjukkan wajah asli kita.”
“Wuuu …!” Anak-anak bertepuk tangan
“Wajah aslinya Deraz, ya, gitu, tampan!” ada yang menceletuk.
Anak-anak tertawa.
Deraz menunduk saja sembari tersenyum tipis.
“Deraz, lu enggak minta maaf juga sama kita?”
“Maaf buat apa?” Deraz mengangkat kepala dengan sok angkuh.
“Maaf karena selama ini lu nyebelin lah!”
“Maaf karena enggak mau bagi-bagi apel sama roti!”
Mereka tertawa lagi. Namun hingga tawa reda Deraz tidak
kunjung berkata apa-apa, malah menunduk lagi.
“Lu bener-bener enggak mau minta maaf, Raz?!”
“Biarin atuh si
Deraz mikir dulu! Juara speech mah
gitu, kalau ngomong dipilih-pilih dulu!”
Anak-anak memerhatikan tiap kali Deraz mengangkat kepala
seakan-akan ada yang hendak keluar dari mulutnya, ia malah menunduk lagi.
Hingga beberapa saat kemudian, anak-anak memutuskan. “Udah, udah, kita ngerti
kok. Perasaan memang enggak selalu bisa diucapkan dengan kata-kata.”
“Euh ….” Deraz tidak hendak menyerah. Namun yang terputar di
benaknya hanyalah banyolan receh anak-anak OSIS, yang mungkin akan
dirindukannya selama ia berada di luar negeri dan tidak akan pernah didengarnya
lagi bahkan ketika ia pulang nanti. “Saya cuma ingin bilang … kalian …” Deraz
terdiam, “ … terbaik.” Ia bertepuk tangan pelan namun mantap.
“Aaah ….” Cewek-cewek OSIS menyuarakan keharuan. Bahkan ada
yang menitikkan air mata. Yang lain ikut bertepuk tangan.
“Kita di sini tuh semuanya sayang sama kamu, Raz,” ucap
Soraya yang termasuk ke barisan cewek terharu.
“Kita? Lu aja kali!” tanggap Jati.
“Eh, terus cowok gue mau dikemanain?”
“Perkuat pusat, perluas cabang atuh. Pusat di ITB, cabangnya di Jerman!” sambut Gilang.
Anak-anak meriuhkan.
“Eh, lagian, pas Deraz balik ke sini tuh dia masih berondong,
gue udah tante-tante.”
“Lu kira Deraz AFS di galaksi seberang?!”
“Ya, kenapa juga lu nyebut mahasiswa ITB om-om?”
“Ya, enggak apa-apa kali lu sama berondong juga. Lu kan bakal
tante girang.”
Tawa riuh lagi.
“Eh, anjir, gue doain jadi om senang, siah!”
“Jadi om tajir aja enggak apa-apa.”
Anak-anak lain lalu bergiliran menyampaikan testimoni yang
diliputi canda tawa.
“Testimoni terakhir! Testimoni terakhir!” seseorang berseru
yang ternyata merupakan kode. Beberapa cewek OSIS menyelinap ke dapur tempat
mereka masuk tadi.
“Deraz, kita punya hadiah buat kamu, lo!” cetus Soraya
sembari mengerling ke arah dapur. Sesaat kemudian, beberapa cewek OSIS keluar
dari sana dengan menggiring tamu rahasia.
Melihat siapa yang muncul, Deraz malah memalingkan muka
dengan kepalan tangan menutupi mulut. Cewek-cewek OSIS terus mendorong Zahra.
Cowok-cowok OSIS juga tidak kalah semangat mendorong Deraz. Sampai keduanya
berhadapan dengan jarak kurang dari setengah meter. Tetapi tidak ada satu pun
yang angkat suara. Keduanya sama-sama menunduk ke arah lain.
“Aaah, malu-malu!”
“Malu meureun kalau
dilihatin mah!”
Anak-anak lalu menggiring keduanya melewati pintu Perancis
yang membatasi ruang televisi dengan teras belakang. Lalu pintu ditutup
sehingga hanya ada mereka berdua di situ, tetapi anak-anak masih dapat
mengintip lewat kaca. Walaupun hujan sudah tidak selebat tadi, namun suaranya
masih menyamarkan percakapan yang mungkin terjadi di teras. Mereka tidak bisa
mendengar Deraz mengambil inisiatif menegur Zahra. Namun mereka bisa melihat
Zahra mengeluarkan kado dari tas yang tersampir di pundaknya.
“Nanti aja dibukanya,” ucap Zahra yang hanya terdengar oleh
Deraz.
Deraz malah membuka kado itu seketika. Di balik sampul kado
ada kotak merah gelap. Begitu membuka penutup kotak itu, ia menemukan lipatan
syal rajutan semerah Manchester United.
Deraz dan Zahra terhenti sejenak karena melihat anak-anak
yang masih mengintip menggedor kaca dengan riuh.
Terdengar dari dalam ada yang berteriak, “Berisik, woi!”
biarpun teredam.
“Cuekin aja,” ucap Deraz.
Zahra tersipu, lalu melanjutkan, “Maaf, aku baru bisanya
bikin itu.”
“Enggak apa-apa.” Deraz tersenyum sembari meletakkan kotak
yang sebagiannya masih bersalut sampul kado. Ia langsung mengenakan syal itu.
“Cocok?” Ia bergaya dengan memasukkan kedua tangannya ke saku celana jin.
“Mmm, tapi masak bajunya kaus?”
Deraz mesem. Ia memasukkan syal itu ke kotak lagi. “Terima
kasih.”
Walaupun Zahra menunduk, namun Deraz dapat melihat gadis itu
tersenyum manis sekali.
“Maaf juga ….” Zahra berkata lagi. “Aku … udah nyuekin kamu,
udah ….”
“Udah, udah,” ucap Deraz. “Yang penting habis ini kita terus
menjaga silaturahmi. Lagian satu tahun itu enggak lama.”
“Iya. Deraz baik-baik, ya, di sana.” Zahra tersipu. “Rasanya
udah enggak sabar nunggu Deraz pulang.”
Deraz tersenyum geli. “Aku kan masih di sini.”
“Deraz. Oi.”
Deraz baru menyadari bahwa anak-anak sudah tidak lagi berdiri
melingkar dengan ia menjadi pusatnya. Dean menyetel album Sushi 3003: A Spectacullar Collection of Japanese Clubpop yang
dibeli Deraz di Disc Tarra hanya karena tertarik pada sampulnya yang bernuansa
futuristik, dan kini telah sampai pada “Bond Street” dari Les 5-4-3-2-1. Alf
dan Ipong yang sama-sama raja DDR telah mengubah ruang televisi menjadi arena
joget. Anak-anak pada berlomba memamerkan gerakan konyol. “Ikutan dong, Raz!”
ujar Soraya. “Ini semua kan demi lu. Enggak usah sok jaim gitu deh.”
Deraz menanggapi Soraya dengan kernyitan masam. Namun ia
pasrah saja ketika Soraya menarik tangannya ke tengah ruangan. Sementara
badannya bergoyang dengan enggan, tatapannya mengarah pada pintu Perancis yang
tertutup melindungi anak-anak dari hujan angin. Ia melanjutkan khayalannya akan
hujan rinai yang melatari obrolan syahdu.
Sore itu hujan telah berhenti sama sekali seiring dengan diakhirinya farewell party. Anak-anak berpikiran
untuk melanjutkannya dengan acara karaoke di Dago Plaza. Tumben Deraz
mengiyakan ajakan.
Yang lebih menakjubkan, Deraz mau ketika disuruh menyanyi. Malah
ia berinisiatif memilih “Dua Sejoli” dari Dewa. Ia juga cuek ketika di awal
lagu anak-anak serempak mundur sehingga tinggal ia sendiri yang melantunkan
lirik pada mikrofon.
Anak-anak terpukau bukan karena suara Deraz yang buta nada
lagi jauh dari mirip Once, melainkan karena ia membawakan lagu itu dengan
sepenuh ekspresi jiwa. Bahkan matanya tidak selalu mengikuti lirik yang
bergerak di layar, seakan-akan lagu tersebut memang keluar dari hatinya
sendiri. Sementara bagian instrumen, anak-anak bersorak menyemangati Deraz.
Begitu lirik dimulai lagi, mereka lantas mendorong Soraya
agar mendampingi Deraz di depan. Anak-anak semakin kaget ketika Deraz menyambut
Soraya. Ia bertingkah seakan-akan lagu itu memang dinyanyikannya untuk Soraya,
sampai tangannya menyentuh dadanya sendiri. Mata Deraz tidak lepas dari Soraya
yang parasnya menoleh bertanya-tanya pada anak-anak, Si Deraz kesambet apa?
Anak-anak menggeleng tetapi mereka menyuruh Soraya mengikuti
saja.
Apalagi ketika lirik sampai di bagian “… bertekuk lutut di hadapmu …” Deraz benar-benar menekuk lutut dan
mengulurkan sebelah tangannya pada Soraya dengan ekspresi meyakinkan. Anak-anak
bersorak dan bersuit sekuat tenaga sementara Soraya mengipas-ngipasi leher
dengan tangan dan megap-megap seperti yang kepanasan sedang tangannya yang lain
menyambut uluran Deraz, yang segera dilepas lagi oleh cowok itu begitu bait
berganti dan ia berdiri. Lagu itu diselesaikan bersama anak-anak yang kembali
turut bernyanyi.
Pada jeda pergantian lagu, Soraya menanyai Deraz dengan
semringah bercampur genit, “Yang tadi teh
beneran?”
“Apa?” Deraz menoleh.
Melihat tampang Deraz sedatar ubin yang sudah diukur dengan
waterpas, Soraya kembali ke tempat duduk dengan memutar mata dan memanyunkan
bibir.
“Anjir, meni watir!”
Anak-anak menertawainya.
Mereka melanjutkan karaoke dengan beramai-ramai menyanyikan
lagu lainnya dari Dewa seperti “Separuh Napas” dan “Sayap-sayap Patah”. Deraz
turut menyumbang suara dengan semangat. Sungguh ironis bahwa selama
minggu-minggu sebelum UAS Deraz menyetel album Dewa terus-terusan sampai hafal
kebanyakan liriknya, tetapi hanya sedikit rumus Kimia yang melekat di otaknya.
“Kucoba kembangkan
sayap patahku …” anak-anak mengeroyoki mikrofon yang cuma dua.
“Na na na ...”
Ipong melengkapi.
“’Tuk terbang tinggi
lagi di angkasa ….”
“Na na na ….”
“Melayang melukis awan,
merangkai awan, awan mendung ….”
“Kucoba kembangkan
sayap-sayap patah …” walaupun suaranya sudah berubah menjadi bocah SMP,
Ipong masih merdu saat menyanyi.
Keluar dari ruang karaoke, anak-anak mengadang Deraz, Ipong, dan Soraya.
“Foto keluarga dulu!”
“Foto keluarga naon?”
Ipong mewakili keengganan yang lain. Namun anak-anak berhasil memaksa ketiganya
untuk berderet berlatarkan dinding.
Pada jepretan-jepretan awal, mereka tampak segan. Namun berangsur-angsur,
satu per satu mulai tersenyum dan bergaya. Pada jepretan terakhir, Deraz dan
Soraya bersama-sama mengangkat Ipong yang membentangkan kedua lengannya seperti
hendak terbang. Ketiganya berseri-seri menampakkan gigi dan begitu lepas.
Walaupun sedetik kemudian, Soraya sudah tidak kuat mengangkat betis Ipong.
Deraz yang kaget karena mendadak beban berat sebelah ikut melepas pegangan.
Ipong berdebum di lantai.
Anak-anak tertawa. “Pesawatnya jatuh deh!”
Setelah berfoto beramai-ramai, barulah mereka hendak pulang.
Sekali lagi, anak-anak melepas Deraz yang hendak menebeng mobil Yoga.
“Hati-hati di jalan, ya, Raz.”
“Jangan lupain kita, lo, Raz.”
Deraz tersenyum dan melambaikan tangan pada mereka sebelum
memasuki mobil. “Terima kasih, ya!” kata-katanya yang terakhir.
Justru ketika Deraz hendak pergi jauh, anak-anak OSIS baru
menyaksikan sisi lain dirinya. Memang kepergian Deraz hanya setahun. Tetapi,
ketika ia kembali nanti, mereka sudah tidak ada lagi di SMANSON.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar