Rabu, 26 Desember 2018

(55)

Renata yang baru pulang dari Brazil mengajak Deraz bertemu di McDonald’s. Ia yang menghubungi Deraz lebih dulu sejak obrolan mereka tentang ISDC. Ia hendak memberikan oleh-oleh: sebungkus kopi dan sepasang sandal jepit kembang-kembang. Deraz mesem ketika menerima yang terakhir.

I didn’t know your size, so …” ucap Renata sementara Deraz mencoba sepasang sandal itu.

Nah, these fit me. Thanks.”

Are you gonna wear them in German?”

Sure, for the summer. I’ll bring them.”

Do show me your picture wearing them.

I will.”

Those are so gay, you know?”

Then what do you want me to do?!”

Keduanya tertawa.

Well, maybe you can give them to your brother,” sahut Renata dengan tampang menyesal karena jauh-jauh sampai ke Brazil malah memberikan Deraz sandal jepit begitu. Tetapi ia telah meyakinkan Deraz bahwa kopinya sangat mantap.

Yeah, or maybe for his girlfriend.”

Dean has a girlfriend?!” Renata tidak percaya.

Yeah! They’ve been together for almost a year now.”

Seketika terlintas pertanyaan di benak Renata yang setelah beberapa lama terdiam barulah ia ajukan pada Deraz, “How’s it with the girl?” betapapun ragu-ragu pada awalnya. Apalagi ketika Deraz tidak segera menjawab. Senyum Deraz setelah menerima sandal jepit kembang-kembang berangsur-angsur meredup walaupun tidak lenyap sama sekali. Tatapannya merunduk.

It didn’t work.”

Deraz sudah siap seandainya Renata hendak menertawainya. Namun Renata bergeming. Wajahnya sedatar paras Deraz.

Care for a Big Mac?” tawar Renata.

Yeah.”

Renata bangkit dari kursi lalu membelikan Deraz dua bungkus hamburger, lengkap dengan tambahan kentang goreng dan Coca-cola untuk dirinya sendiri.

I can’t believe Dean manages it better than you.”

“Haha.”

Selanjutnya mereka hanya membicarakan tentang pengalaman Renata selama tinggal di Paraná, serta persiapan Deraz ke Jerman.

 

Agustus tiba. Hari kepergian Deraz semakin dekat. Anak-anak OSIS menghampiri Deraz.

“Kita mau ngadain farewell party buat kamu,” ujar mereka.

Jadi sewaktu turbud ia dilempari bahan-bahan roti itu maksudnya apa? Tetapi mau tidak mau Deraz menanggapi gagasan itu, “Oh, boleh. Di mana?”

“Di rumah kamu dong.”

“Si Adip mau nengokin ibu kamu,” ucap Gilang, yang segera disikut oleh yang bersangkutan.

“Kita udah bilang sama Dean.”

Deraz terperangah. Kok sama Dean. Yang mau pergi siapa, yang punya rumah siapa.

Mau tidak mau Deraz menyampaikan keinginan anak-anak OSIS kepada orang tuanya. Ayah sedang ada dinas sehingga tidak akan berada di rumah pada akhir pekan itu. Bunda bersedia untuk menyiapkan makanan dan minuman, sebelum mengungsi ke mal. Zara yang ingin ikut Bunda mengungsi turut membantu menyiapkan segalanya. Walaupun halaman belakang sepertinya cukup untuk dijadikan tempat pesta, Bunda menyuruh Deraz untuk membereskan ruang televisi sekalian. Meja ditepikan dan dikosongkan untuk menyajikan penganan. Maka hari itu hanya Dean yang akan menemani Deraz menjamu anak-anak. Dean mengajukan diri menjadi DJ, yang tugasnya menggonta-ganti CD di stereo serta membesarkan atau mengecilkan volume sesuai dengan keperluan. Lagi pula, pacarnya yang Sekretaris Umum OSIS juga akan datang.

Anak-anak berdatangan menjelang siang. Motor-motor diparkir di carport yang sudah kosong dari mobil Bunda. Yang membawa mobil memarkirkannya di sisi jalan. Ada juga beberapa cewek yang datang bersama-sama menaiki angkot lalu mengirimi Deraz SMS menanyakan jalan. Cowok-cowok kecewa karena hanya mendapati Dean yang bergolek manja di sofa ruang televisi alih-alih ibu si kembar yang menurut mereka masih seperti mbak-mbak mahasiswi di usia paruh baya.

Belum lagi acara dimulai, hujan lebat turun. Anak-anak berjejal di ruang televisi yang sudah tidak ada televisinya karena sementara itu dipindahkan ke kamar. Mereka berdiri membentuk lingkaran di tengah-tengah ruangan. Acara dibuka dengan sambutan dari Alf selaku Mitratama.

“Kita di sini sekalian mau bermaaf-maafan. Kita mohon maaf sekiranya suka bikin kamu kesel, moyokin kamu, ngecandain kamu. Kita cuma ingin membentuk suasana kekeluargaan yang akrab, supaya enggak melulu merasa terbebani oleh tanggung jawab yang besar, tapi juga supaya OSIS tuh bisa jadi sesuatu yang fun. Eh, malah jangan-jangan sebenarnya sedari awal Deraz memang sudah menganggap kita sebagai keluarga. Karena, di hadapan keluargalah kita menunjukkan wajah asli kita.”

“Wuuu …!” Anak-anak bertepuk tangan

“Wajah aslinya Deraz, ya, gitu, tampan!” ada yang menceletuk.

Anak-anak tertawa.

Deraz menunduk saja sembari tersenyum tipis.

“Deraz, lu enggak minta maaf juga sama kita?”

“Maaf buat apa?” Deraz mengangkat kepala dengan sok angkuh.

“Maaf karena selama ini lu nyebelin lah!”

“Maaf karena enggak mau bagi-bagi apel sama roti!”

Mereka tertawa lagi. Namun hingga tawa reda Deraz tidak kunjung berkata apa-apa, malah menunduk lagi.

“Lu bener-bener enggak mau minta maaf, Raz?!”

“Biarin atuh si Deraz mikir dulu! Juara speech mah gitu, kalau ngomong dipilih-pilih dulu!”

Anak-anak memerhatikan tiap kali Deraz mengangkat kepala seakan-akan ada yang hendak keluar dari mulutnya, ia malah menunduk lagi. Hingga beberapa saat kemudian, anak-anak memutuskan. “Udah, udah, kita ngerti kok. Perasaan memang enggak selalu bisa diucapkan dengan kata-kata.”

“Euh ….” Deraz tidak hendak menyerah. Namun yang terputar di benaknya hanyalah banyolan receh anak-anak OSIS, yang mungkin akan dirindukannya selama ia berada di luar negeri dan tidak akan pernah didengarnya lagi bahkan ketika ia pulang nanti. “Saya cuma ingin bilang … kalian …” Deraz terdiam, “ … terbaik.” Ia bertepuk tangan pelan namun mantap.

“Aaah ….” Cewek-cewek OSIS menyuarakan keharuan. Bahkan ada yang menitikkan air mata. Yang lain ikut bertepuk tangan.

“Kita di sini tuh semuanya sayang sama kamu, Raz,” ucap Soraya yang termasuk ke barisan cewek terharu.

“Kita? Lu aja kali!” tanggap Jati.

“Eh, terus cowok gue mau dikemanain?”

“Perkuat pusat, perluas cabang atuh. Pusat di ITB, cabangnya di Jerman!” sambut Gilang.

Anak-anak meriuhkan.

“Eh, lagian, pas Deraz balik ke sini tuh dia masih berondong, gue udah tante-tante.”

“Lu kira Deraz AFS di galaksi seberang?!”

“Ya, kenapa juga lu nyebut mahasiswa ITB om-om?”

“Ya, enggak apa-apa kali lu sama berondong juga. Lu kan bakal tante girang.”

Tawa riuh lagi.

“Eh, anjir, gue doain jadi om senang, siah!”

“Jadi om tajir aja enggak apa-apa.”

Anak-anak lain lalu bergiliran menyampaikan testimoni yang diliputi canda tawa.

“Testimoni terakhir! Testimoni terakhir!” seseorang berseru yang ternyata merupakan kode. Beberapa cewek OSIS menyelinap ke dapur tempat mereka masuk tadi.

“Deraz, kita punya hadiah buat kamu, lo!” cetus Soraya sembari mengerling ke arah dapur. Sesaat kemudian, beberapa cewek OSIS keluar dari sana dengan menggiring tamu rahasia.

Melihat siapa yang muncul, Deraz malah memalingkan muka dengan kepalan tangan menutupi mulut. Cewek-cewek OSIS terus mendorong Zahra. Cowok-cowok OSIS juga tidak kalah semangat mendorong Deraz. Sampai keduanya berhadapan dengan jarak kurang dari setengah meter. Tetapi tidak ada satu pun yang angkat suara. Keduanya sama-sama menunduk ke arah lain.

“Aaah, malu-malu!”

“Malu meureun kalau dilihatin mah!”

Anak-anak lalu menggiring keduanya melewati pintu Perancis yang membatasi ruang televisi dengan teras belakang. Lalu pintu ditutup sehingga hanya ada mereka berdua di situ, tetapi anak-anak masih dapat mengintip lewat kaca. Walaupun hujan sudah tidak selebat tadi, namun suaranya masih menyamarkan percakapan yang mungkin terjadi di teras. Mereka tidak bisa mendengar Deraz mengambil inisiatif menegur Zahra. Namun mereka bisa melihat Zahra mengeluarkan kado dari tas yang tersampir di pundaknya.

“Nanti aja dibukanya,” ucap Zahra yang hanya terdengar oleh Deraz.

Deraz malah membuka kado itu seketika. Di balik sampul kado ada kotak merah gelap. Begitu membuka penutup kotak itu, ia menemukan lipatan syal rajutan semerah Manchester United.

Deraz dan Zahra terhenti sejenak karena melihat anak-anak yang masih mengintip menggedor kaca dengan riuh.

Terdengar dari dalam ada yang berteriak, “Berisik, woi!” biarpun teredam.

“Cuekin aja,” ucap Deraz.

Zahra tersipu, lalu melanjutkan, “Maaf, aku baru bisanya bikin itu.”

“Enggak apa-apa.” Deraz tersenyum sembari meletakkan kotak yang sebagiannya masih bersalut sampul kado. Ia langsung mengenakan syal itu. “Cocok?” Ia bergaya dengan memasukkan kedua tangannya ke saku celana jin.

“Mmm, tapi masak bajunya kaus?”

Deraz mesem. Ia memasukkan syal itu ke kotak lagi. “Terima kasih.”

Walaupun Zahra menunduk, namun Deraz dapat melihat gadis itu tersenyum manis sekali.

“Maaf juga ….” Zahra berkata lagi. “Aku … udah nyuekin kamu, udah ….”

“Udah, udah,” ucap Deraz. “Yang penting habis ini kita terus menjaga silaturahmi. Lagian satu tahun itu enggak lama.”

“Iya. Deraz baik-baik, ya, di sana.” Zahra tersipu. “Rasanya udah enggak sabar nunggu Deraz pulang.”

Deraz tersenyum geli. “Aku kan masih di sini.”

“Deraz. Oi.”

Deraz baru menyadari bahwa anak-anak sudah tidak lagi berdiri melingkar dengan ia menjadi pusatnya. Dean menyetel album Sushi 3003: A Spectacullar Collection of Japanese Clubpop yang dibeli Deraz di Disc Tarra hanya karena tertarik pada sampulnya yang bernuansa futuristik, dan kini telah sampai pada “Bond Street” dari Les 5-4-3-2-1. Alf dan Ipong yang sama-sama raja DDR telah mengubah ruang televisi menjadi arena joget. Anak-anak pada berlomba memamerkan gerakan konyol. “Ikutan dong, Raz!” ujar Soraya. “Ini semua kan demi lu. Enggak usah sok jaim gitu deh.”

Deraz menanggapi Soraya dengan kernyitan masam. Namun ia pasrah saja ketika Soraya menarik tangannya ke tengah ruangan. Sementara badannya bergoyang dengan enggan, tatapannya mengarah pada pintu Perancis yang tertutup melindungi anak-anak dari hujan angin. Ia melanjutkan khayalannya akan hujan rinai yang melatari obrolan syahdu.

 

Sore itu hujan telah berhenti sama sekali seiring dengan diakhirinya farewell party. Anak-anak berpikiran untuk melanjutkannya dengan acara karaoke di Dago Plaza. Tumben Deraz mengiyakan ajakan.

Yang lebih menakjubkan, Deraz mau ketika disuruh menyanyi. Malah ia berinisiatif memilih “Dua Sejoli” dari Dewa. Ia juga cuek ketika di awal lagu anak-anak serempak mundur sehingga tinggal ia sendiri yang melantunkan lirik pada mikrofon.

Anak-anak terpukau bukan karena suara Deraz yang buta nada lagi jauh dari mirip Once, melainkan karena ia membawakan lagu itu dengan sepenuh ekspresi jiwa. Bahkan matanya tidak selalu mengikuti lirik yang bergerak di layar, seakan-akan lagu tersebut memang keluar dari hatinya sendiri. Sementara bagian instrumen, anak-anak bersorak menyemangati Deraz.

Begitu lirik dimulai lagi, mereka lantas mendorong Soraya agar mendampingi Deraz di depan. Anak-anak semakin kaget ketika Deraz menyambut Soraya. Ia bertingkah seakan-akan lagu itu memang dinyanyikannya untuk Soraya, sampai tangannya menyentuh dadanya sendiri. Mata Deraz tidak lepas dari Soraya yang parasnya menoleh bertanya-tanya pada anak-anak, Si Deraz kesambet apa?

Anak-anak menggeleng tetapi mereka menyuruh Soraya mengikuti saja.

Apalagi ketika lirik sampai di bagian “… bertekuk lutut di hadapmu …” Deraz benar-benar menekuk lutut dan mengulurkan sebelah tangannya pada Soraya dengan ekspresi meyakinkan. Anak-anak bersorak dan bersuit sekuat tenaga sementara Soraya mengipas-ngipasi leher dengan tangan dan megap-megap seperti yang kepanasan sedang tangannya yang lain menyambut uluran Deraz, yang segera dilepas lagi oleh cowok itu begitu bait berganti dan ia berdiri. Lagu itu diselesaikan bersama anak-anak yang kembali turut bernyanyi.

Pada jeda pergantian lagu, Soraya menanyai Deraz dengan semringah bercampur genit, “Yang tadi teh beneran?”

“Apa?” Deraz menoleh.

Melihat tampang Deraz sedatar ubin yang sudah diukur dengan waterpas, Soraya kembali ke tempat duduk dengan memutar mata dan memanyunkan bibir.

“Anjir, meni watir!” Anak-anak menertawainya.

Mereka melanjutkan karaoke dengan beramai-ramai menyanyikan lagu lainnya dari Dewa seperti “Separuh Napas” dan “Sayap-sayap Patah”. Deraz turut menyumbang suara dengan semangat. Sungguh ironis bahwa selama minggu-minggu sebelum UAS Deraz menyetel album Dewa terus-terusan sampai hafal kebanyakan liriknya, tetapi hanya sedikit rumus Kimia yang melekat di otaknya.

Kucoba kembangkan sayap patahku …” anak-anak mengeroyoki mikrofon yang cuma dua.

Na na na ...” Ipong melengkapi.

’Tuk terbang tinggi lagi di angkasa ….”

Na na na ….”

Melayang melukis awan, merangkai awan, awan mendung ….”

Kucoba kembangkan sayap-sayap patah …” walaupun suaranya sudah berubah menjadi bocah SMP, Ipong masih merdu saat menyanyi.

 

Keluar dari ruang karaoke, anak-anak mengadang Deraz, Ipong, dan Soraya. “Foto keluarga dulu!”

“Foto keluarga naon?” Ipong mewakili keengganan yang lain. Namun anak-anak berhasil memaksa ketiganya untuk berderet berlatarkan dinding.

Pada jepretan-jepretan awal, mereka tampak segan. Namun berangsur-angsur, satu per satu mulai tersenyum dan bergaya. Pada jepretan terakhir, Deraz dan Soraya bersama-sama mengangkat Ipong yang membentangkan kedua lengannya seperti hendak terbang. Ketiganya berseri-seri menampakkan gigi dan begitu lepas. Walaupun sedetik kemudian, Soraya sudah tidak kuat mengangkat betis Ipong. Deraz yang kaget karena mendadak beban berat sebelah ikut melepas pegangan. Ipong berdebum di lantai.

Anak-anak tertawa. “Pesawatnya jatuh deh!”

Setelah berfoto beramai-ramai, barulah mereka hendak pulang. Sekali lagi, anak-anak melepas Deraz yang hendak menebeng mobil Yoga.

“Hati-hati di jalan, ya, Raz.”

“Jangan lupain kita, lo, Raz.”

Deraz tersenyum dan melambaikan tangan pada mereka sebelum memasuki mobil. “Terima kasih, ya!” kata-katanya yang terakhir.

Justru ketika Deraz hendak pergi jauh, anak-anak OSIS baru menyaksikan sisi lain dirinya. Memang kepergian Deraz hanya setahun. Tetapi, ketika ia kembali nanti, mereka sudah tidak ada lagi di SMANSON.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain