Tidak seperti Dean yang menikmati naik angkot bahkan kerap
mengobrol dengan sopirnya ataupun ibu-ibu tak dikenal, Deraz semakin lama
menjadi membenci angkot. Ia kesal ketika angkot mengetem lama-lama. Ia kesal
mendengarkan curahan hati sopir angkot. Ia kesal ketika bertemu dengan copet.
Ia kesal dengan rute angkot yang berputar-putar. Ia kesal dilirik-lirik
cewek-cewek sekolahan sampai ibu-ibu pengajian sepanjang perjalanan. Ia kesal
ketika lututnya bersenggolan dengan lutut penumpang lain. Ia kesal ketika lututnya
dijadikan tumpuan tangan oleh orang yang hendak keluar atau masuk angkot. Ia
kesal ketika pundaknya jadi sandaran tidur orang di sebelahnya. Ia kesal
berdesak-desakkan dengan sesama penumpang angkot. Ia kesal ketika angkot
berubah menjadi sauna dengan bau keringat yang beraneka ragam. Ia kesal ketika
tidak mendapat tempat duduk paling depan di samping sopir angkot lebih tepatnya
lagi di sebelah pintu. Ia kesal ketika ketiduran di angkot lalu kebablasan. Ia
kesal ketika angkot terjebak dalam kemacetan. Ia kesal ketika mulas di angkot
sementara tujuannya tidak kunjung sampai. Ia kesal ketika tidak punya uang pas
untuk membayar ongkos angkot. Ia kesal ketika dihardik sopir angkot karena uang
yang diberikannya kurang padahal menurutnya sendiri pas. Entah sudah berapa
kali ia beradu mulut dengan sopir angkot, dan entah sudah berapa banyak
pencopet yang diusirnya keluar dari angkot. Kekesalan yang pada awalnya hanya
sepintas lalu lama-kelamaan bertimbun menjadi benci.
Memang tidak setiap hari merupakan
hari yang buruk dengan angkot. Banyak hari berlalu biasa-biasa saja: angkot
lengang dan tidak sering berhenti, sopirnya tenteram, tidak ada copet. Biarpun
ketika ada kejadian buruk lagi itu mengakumulasi kebencian di hati Deraz dan
menjadikan lagu “Sopir Angkot Goblok” dari Mesin Tempur sebagai favoritnya.
Tetapi bukan bom waktu kebencian yang memicu Deraz memutuskan untuk beralih
kendaraan, melainkan justru pemandangan anak tetangga yang bersepeda dari rumah
ke sekolahnya. Anak itu bersekolah di SMP yang sama dengan Deraz. Seketika itu,
Deraz yang sudah menjadi siswa kelas X bertanya-tanya kenapa selama di SMP ia
tidak pernah berpikiran untuk mengendarai sepeda dari rumah ke sekolah—seperti
si anak tetangga! Padahal jarak dari SMP tersebut dua kilometer lebih jauh
daripada SMANSON ke rumah. Deraz merasa dikalahkan anak SMP yang di matanya
tampak perkasa itu.
Deraz mengutarakan keinginannya
untuk bersepeda ke sekolah pada Bunda.
“Ya, boleh. Itu ada sepeda Ayah.”
“Saya ingin sepeda sendiri.”
“Belinya sama Ayah aja, ya. Ayah
yang tahu sepeda.”
Maka sementara waktu Deraz
menggunakan sepeda Ayah sampai yang empunya ada waktu untuk menemaninya
membeli. Begitu mobil Ayah mendekati Jalan Veteran, mata Deraz
langsung mencari-cari toko yang terlihat paling bagus. Setelah memasuki toko
pilihannya, Deraz menghendaki sepeda yang lebih bagus daripada milik Ayah dan
si anak tetangga. Tetapi, biarpun Ayah mantan atlet balap sepeda yang kini
menyambi pelatih atlet balap sepeda, pertimbangannya dalam memilihkan sepeda
untuk Deraz sangatlah ekonomis. Padahal Deraz kadung jatuh hati pada sepeda
paling mahal di toko itu.
“Kamu mau sekolah atau jadi
pembalap?” Ayah berusaha sabar.
“Sepeda ini untuk transportasi ke
mana-mana dalam kota, jadi saya ingin yang bagus sekalian,” Deraz berkukuh.
“Bagus itu enggak perlu mahal. Yang
ini juga bagus dan memadai buat keperluan sehari-hari mah,” Ayah tidak mau
kalah.
Keduanya sama mengotot sekaligus
ingin cepat-cepat keluar dari toko.
“Saya beli pakai uang sendiri,”
putus Deraz, walaupun tidak ingat saldo di rekeningnya dan tidak tahu letak ATM
di daerah itu.
Ayah mengusap wajah dan mengalah.
Ketika Ayah ada waktu lagi pada
akhir pekan, sebelum subuh ia membangunkan Deraz dan memaksa untuk ikut touring ke Lembang bersama komunitas
sepedanya. “Sepeda mahal-mahal, sayang kalau enggak diuji!” Ayah menegaskan
alasannya.
Sepanjang perjalanan Ayah
menggenjot Deraz sampai ia mengetahui fungsi setiap bagian sepedanya—yang ternyata
bukan sekadar kayuh, putar gigi, dan rem. Setelah mencela-cela begitu, ketika
berkumpul bersama teman-temannya di titik peristirahatan, Ayah malah menjadikan
Deraz trofi berjalan. Teman-teman Ayah memandang Deraz dengan kagum sembari
mengungkapkan betapa miripnya anak-beranak itu sementara yang dipandang
berusaha keras menahan masam.
Lalu ketika bersepeda menuruni
lereng, Deraz disusul perempuan. Tatapan sekilas perempuan itu pada Deraz
seperti yang menantang. Deraz tersulut untuk mendahului perempuan itu, tetapi
malah terperosok ke semak-semak dan kakinya terkilir. Dengan menumpang mobil
bak yang dimiliki komunitas tersebut, Ayah membawa Deraz ke tukang urut. Entah
kenapa perempuan itu serta. Sudah begitu, ia mengakak ketika Deraz berteriak
sementara kakinya ditarik-tarik tukang urut.
Sementara Ayah membayar tukang
urut, barulah Deraz memerhatikan perempuan itu. Rambutnya seperti mi, kulitnya agak gelap.
Wajahnya familier, malah mirip Ayah yang berarti juga mirip Deraz. Sepertinya
ia mahasiswi, atau lebih tua. Malah mereka sempat bercakap. Perempuan itu
rupanya juga memerhatikan Deraz. “Oh, kamu tuh si anak Jerman yang enggak mau
pulang,” ucapnya.
Deraz menatap perempuan itu dengan
bingung.
“Kalau Dean tampangnya enggak
sengak kayak kamu sih,” perempuan itu menambahkan.
“Kamu siapa sih?” balas Deraz.
Perempuan itu melengos dan tidak
berkata-kata lagi. Deraz juga kehilangan minat padanya. Namun ia sempat
mendengar Ayah menegur perempuan itu, “Ke Enin dulu enggak?”
Kaki Deraz langsung bisa digunakan
untuk mengayuh sepeda lagi. Mobil bak kembali pada komunitas dan perempuan itu
berpisah jalan dari mereka. Ketika bersisian dengan Ayah dalam perjalanan
pulang bersepeda, Deraz bertanya, “Tadi itu siapa?”
Ayah menatap Deraz kaget. “Itu Teh
Della,” ujarnya.
“Teh Della?”
“Teh Della … kakak Deraz beda ibu.”
Ganti Deraz yang kaget. “Ayah punya
istri lagi?”
“Yang dulu,” sahut Ayah.
Melihat tampang Ayah, Deraz segan
hendak bertanya lagi. Tetapi timbul samar-samar dalam ingatannya bahwa ia
memang pernah melihat perempuan itu di rumah Enin. Sepertinya saat itu
perempuan tersebut sudah SMA sementara Deraz masih SD. Perempuan itu duduk menyendiri
di ujung sofa dengan wajah merengut, sampai Dean menghampiri dan menyapanya
dengan senyum ramah. Zara agak jauh di belakang Dean, melirik perempuan itu
dengan segan. Deraz sendiri ingin cepat-cepat pulang karena tidak betah dengan
rumah Enin yang kumuh lagi bau ayam dan nasi basi.
Tiba lagi akhir pekan ketika Ayah luang. Deraz waspada Ayah
akan mengajaknya bersepeda bersama komunitas lagi. Deraz mengantisipasi itu
dengan janjian jalan bersama Zahra, sehingga ketika Ayah benar-benar
mengajaknya, ia punya alasan valid, “Saya udah ada janji sama teman.”
Ayah mengerutkan kening. “Ini kan
jarang-jarang. Kalau sama teman kan bisa kapan aja.”
“Mmm,” Deraz tidak berani menatap
ayah, suaranya pun pelan saja, “bukan teman biasa.”
Ayah dan Bunda sama-sama tidak suka
Zara pacaran, tetapi ketika tahu Dean jadian dengan Rieka, mereka malah
memanfaatkannya untuk mengarahkan anak itu. Bunda menyuruh Dean mengajak Rieka
ke rumah karena mau mengobrol. Sedangkan Ayah—begitu tahu bahwa Rieka lulusan
SMP negeri favorit, pengurus OSIS, dan anak Vocal Group—menyentil Dean, “Pacar
kamu aja gitu. Masak kamu mau enggak jadi apa-apa? Mulai belajar tanggung jawab
atuh, minimal sama diri sendiri dulu.
Sok sekarang kamu push up dulu lima puluh kali biar
ototnya mekar sedikit!”
Karena itu, biarpun malu, Deraz
penasaran juga sekiranya Ayah tahu bahwa ia juga punya seseorang.
“Pacar?”
“Bukan.”
“Perempuan?”
Ya iyalah, pakai tanya lagi, Deraz menunjukkan
kekesalan. “Iya.”
“Belum pacar, tapi?”
“Saya tidak pacaran.”
Kening Ayah semakin berkerut. Namun
ia tidak berkata apa-apa lagi dan meninggalkan Deraz.
Ayah sendiri jadinya tidak
berangkat. Ketika melihat Deraz sudah siap dan hendak menaiki sepeda, ia
menegur, “Mau sepedaan bareng?”
“Enggak.”
“Janjian di mana?”
“BIP.”
“Mau ngapain aja memang?”
Tanya-tanya melulu! “Jalan-jalan aja.”
“Terus dianya naik apa?”
“Angkot, paling-paling.”
“Kamunya juga naik angkot atuh. Pulangnya anterin sampai rumah.”
Kegelian Ayah terasa meledek.
Deraz terhenti. Idih, meni teu romantis!, terngiang perkataan yang terlontar dari Alf dan Ipong
pada kesempatan lain. Tanpa pikir panjang, ia menyepak standar sepeda ke posisi
semula. Lalu ia melempar salam sembari menuju pagar rumah memunggungi Ayah.
Dari rumah ke BIP Deraz cuma perlu
satu kali naik angkot. Angkot yang Deraz naiki hanya diisi oleh sopir. Walaupun
bangku favoritnya di samping sopir kosong melompong, kali ini Deraz memilih
duduk di belakang—tepatnya di ujung dekat pintu. Angin sejuk bercampur hangat
pada pagi beranjak siang itu menyamankan Deraz. Terlebih, sepanjang perjalanan
sopir tidak berkata apa-apa dan tidak mengetem biarpun tidak ada penumpang
lain. Macet pun tidak. Seakan-akan pada waktu itu angkot berikut jalanan memang
disediakan khusus untuk Deraz.
Setibanya di BIP, Deraz menunggu
Zahra sekalian melihat-lihat buku di Toko Gunung Agung. Sesekali ia menyalakan
ponsel untuk mengirim SMS pada Zahra atau mengecek balasannya. Padahal pada
pertemuan yang lalu Zahra cuma terlambat lima menit, sedang sekarang sudah
hampir satu jam!
Lalu Zahra hadir di depan Deraz
dengan membungkuk-bungkuk. “Maaf …!”
“Ya udah,” kekesalan Deraz seketika
lenyap.
Deraz baru hendak menanyakan
sebabnya Zahra terlambat ketika melihat ada coreng putih di pipi gadis itu.
Sepertinya itu bubuk. Susu? Tepung? Zahra habis apa sih? Serta-merta Deraz
mengeluarkan saputangan Opa Buyut dari saku celana, gatal hendak menyingkirkan
coreng itu. Zahra tersetrum begitu Deraz menyentuh pipinya.
“Kenapa?!”
Deraz ikut kaget.
“Mmm, ada semut.” Deraz menyentuh
pipinya sendiri, memberi tahu Zahra mana yang bercoreng.
Zahra mengusap-usap bagian yang
disentuh Deraz tadi.
“Masih ada.”
“Enggak kerasa apa-apa.”
“Euh ….” Dengan kikuk Deraz
menjangkau pipi Zahra lagi. Kali ini Zahra membiarkan Deraz mengusap pipinya
beberapa kali walaupun sambil menjengit. “Udah.”
“Terima kasih,” sahut Zahra gugup.
“Kok bisa ada semut, ya.”
Mungkin karena kamu … Deraz tidak
meneruskan pikirannya. Wajahnya keburu memanas.
“Mau lihat-lihat buku dulu?” tawar
Deraz, karena mereka masih berada di toko Gunung Agung. Zahra mengiyakan. Deraz
mengikuti Zahra melayap dari satu rak ke rak lain, sembari memerhatikan buku
demi buku yang diambil dan dibaca sampul belakangnya oleh gadis itu sebelum
dikembalikan ke tempatnya lagi. “Kamu sukanya baca apa sih?”
“Mmm, aku baca apa aja yang ada di
Mbak Zia—sepupu aku. Soalnya aku biasa minjem ke dia. Kalau beli sendiri,
kadang suka enggak boleh.”
Ada orang tua tidak membolehkan
anaknya membeli buku? Sebangkrut itukah orang tua Zahra? “Kenapa enggak boleh?”
“Soalnya kalau baca novel katanya kurang
bermanfaat.”
“Hm.”
“Eh … novel Deraz.” Zahra teringat
pada bundel kertas HVS yang Deraz berikan selepas UAS semester ganjil. Deraz
bilang itu untuk mengisi liburan semesteran Zahra. Zahra terkejut ketika
mengetahui bahwa ternyata Deraz juga bisa menulis novel. Terlebih lagi, novel
itu ditulis dalam bahasa Inggris. “Aku belum selesai bacanya, hehe.” Zahra
tersenyum malu.
“Santai aja.”
“Kalau novel Deraz bermanfaat,
soalnya aku jadi belajar bahasa Inggris,” ucap Zahra, tanpa mengungkapkan
betapa repotnya membaca sembari membuka kamus tiap sebentar. Apalagi jika tebal
bundel tersebut hampir tiga ratus halaman.
“Hm.” Deraz tersenyum seraya
mengangguk dengan dada berdebar. “Kamu pembaca pertama lo.”
“Oh ….”
“Isinya gimana?”
“Ah ….” Bagaimana mengungkapkan novel
yang penuh adegan kekerasan dan tiap sepuluh halaman ada karakter yang
mati—dengan kata-kata yang enak didengar? “Seru. Menegangkan.”
Senyum Deraz terus mengembang. Ia
menahan diri dari menceritakan bahwa novel itu pelampiasannya sejak ia dilarang
Bunda mengikuti klub kickboxing lagi.
Setelah puas melihat buku, Deraz
dan Zahra keluar dari Toko Gunung Agung. Keduanya berjalan tidak tentu arah
sembari mengobrol. Dari lantai dua, mereka ke lantai tiga, lalu lantai empat,
turun sampai lantai satu, naik lagi ke lantai tiga, dan kembali ke lantai dua.
Lalu mereka makan di salah satu tempat yang tersedia di mal itu.
“Jadi kamu kemarin ranking berapa?” Deraz membuka kembali
percakapan setelah pesanan mereka tiba.
“Ranking empat. Turun terus dari semester-semester sebelumnya,” ucap
Zahra lesu.
“Padahal makin rajin bikin catatan,
ya,” ledek Deraz.
“Iya, aku jadi bertanya-tanya apa
gunanya bikin catatan bagus-bagus kalau enggak meresap ke otak.”
“Lo, kan biar aku bisa pinjem buat
difotokopi. Terus aku belajar dari situ. Ada gunanya dong.”
“Mmm, masak cuma buat itu.”
“Iya, memang cuma buat itu.” Deraz
tertawa, sembari bertanya-tanya apakah Zahra menyadari bahwa ia sedang
menggodanya. Cuma buat aku.
“Ya syukurlah, paling enggak ada
gunanya buat kamu,” sahut Zahra.
“Atau enggak, kamu perbanyak, terus
jual ke teman-teman.”
“Ih, enggak. Memangnya kamu mau
jualin?”
“Enggak mau.”
“Ih ….” Zahra menggumam sebal.
“Kamu sendiri ranking berapa?”
“Ranking satu ….”
“Ih, curang!”
“… delapan.”
“Hah?”
“Ranking satu delapan.”
“Ranking satu delapan?” Zahra berpikir. “Ranking delapan belas, maksud kamu?”
“He eh.”
“Katanya mau ranking satu,” Zahra mendapat angin untuk balas meledek.
“Semester sebelumnya ranking sembilan belas, jadi mending
dong ada kemajuan,” ujar Deraz bangga.
Zahra mengerti. “Iya sih, lumayan,”
ia mengakui.
“Kan berkat kamu.”
Melihat Zahra tertegun, Deraz
cepat-cepat mengalihkan topik. “Jadi gimana DKM? Udah ngerjain apa aja?”
“Mmm, kata Ria aku bantuin dia di
Kaderisasi. Aku kirim SMS, ngingetin anak-anak buat mentoring, ngikutin
mentoringnya, bikin absen, ngefotokopi form
ibadah harian—“
“Bener, kan, pakai provider aku lebih murah kirim SMS ke
sekalian banyak?”
“Iya.” Zahra tersenyum, lalu
melanjutkan, “Terus ada MABIT-MABIT juga. Lumayanlah, tiap acara DKM tuh ada
ilmu baru yang masuk. Cuman aku masih gagap waktu giliran ngasih kultum.”
“Kamu kan udah kuajarin pidato.”
“Iya, belum biasa aja ….” Zahra
mengalihkan topik yang tidak disukainya, “Kalau Deraz masih ikutan mentoring, enggak?”
Deraz kerap kali diajak ikut
mentoring lagi, juga MABIT dan berbagai acara DKM lain. Deraz pernah
mengikutinya beberapa kali, tetapi lebih sering ajakan itu bentrok dengan
agenda yang menjadi prioritasnya. Deraz menggeleng pada Zahra.
Setelah makan, mereka salat zuhur
kemudian menuju pangkalan angkot di bawah matahari siang yang teramat terik.
Jurusan mereka sama. Sudah ada beberapa orang dalam angkot yang mereka naiki.
Zahra yang masuk lebih dulu mendapat tempat duduk di sebelah dalam, sedang Deraz
di dekat pintu. Seiring dengan bertambahnya penumpang angkot, Zahra tergeser
terus hingga terpojok sementara Deraz bergeming.
Sesekali Deraz menoleh ke belakang
pada Zahra. Gadis itu tertidur dengan kepala menyandar pada kaca belakang
angkot. Deraz merasa kasihan pada gadis itu. Ia ingin cepat-cepat berusia tujuh
belas tahun, membuat KTP kemudian SIM, dan meminjam mobil Bunda yang ber-AC
dengan pengharum antimual. Tetapi, kalau ia lolos seleksi AFS, itu berarti
penantiannya bertambah satu tahun lagi.
Walaupun Deraz terkena langsung
embusan angin dari pintu, peluhnya tetap menitik. Ia mengeluarkan saputangan
Opa Buyut dari saku celana dan mengusap bagian atas kepalanya, lalu menyadari
bahwa ada wangi yang berbeda pada lipatan kain itu. Wanginya selembut bedak
bayi. Serta-merta Deraz menoleh lagi pada Zahra. Namun pandangannya langsung
terpaku pada lelaki bertopi, berjaket kulit, dengan ransel di pangkuan yang
duduk di sebelah Zahra—lebih tepatnya, pada tangan lelaki itu. Ritsleting tas
di pangkuan Zahra membuka sedikit demi sedikit.
Deraz berdecak. Ia menggeser posisi
duduknya. Orang yang tertidur di sampingnya terkesiap karena gerakan kaki Deraz
yang mendesak menjangkau ke belakang. Ujung sepatu Deraz menyenggol-nyenggol
sepatu lelaki itu. Lalu tiba-tiba ada yang menghentikan angkot. Beberapa orang
serempak turun termasuk lelaki itu, namun Deraz mencengkeram tangannya. “Balikin!”
pelotot Deraz. Lelaki itu berusaha melepaskan tangannya yang semakin erat
dicekal Deraz. Dompet dilemparkannya hingga mengenai lutut Zahra dan
menyadarkan gadis itu. Lalu ia terbirit-birit menyusul kawanannya yang sudah
jauh.
Baik sopir maupun sisa penumpang
melepas kepergian orang-orang itu dengan gerutu. Zahra antara bingung dan
pusing mengambil dompetnya yang entah bagaimana tergeletak tepat di atas
sepatunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar