Rabu, 05 Desember 2018

(34)

Tidak seperti Dean yang menikmati naik angkot bahkan kerap mengobrol dengan sopirnya ataupun ibu-ibu tak dikenal, Deraz semakin lama menjadi membenci angkot. Ia kesal ketika angkot mengetem lama-lama. Ia kesal mendengarkan curahan hati sopir angkot. Ia kesal ketika bertemu dengan copet. Ia kesal dengan rute angkot yang berputar-putar. Ia kesal dilirik-lirik cewek-cewek sekolahan sampai ibu-ibu pengajian sepanjang perjalanan. Ia kesal ketika lututnya bersenggolan dengan lutut penumpang lain. Ia kesal ketika lututnya dijadikan tumpuan tangan oleh orang yang hendak keluar atau masuk angkot. Ia kesal ketika pundaknya jadi sandaran tidur orang di sebelahnya. Ia kesal berdesak-desakkan dengan sesama penumpang angkot. Ia kesal ketika angkot berubah menjadi sauna dengan bau keringat yang beraneka ragam. Ia kesal ketika tidak mendapat tempat duduk paling depan di samping sopir angkot lebih tepatnya lagi di sebelah pintu. Ia kesal ketika ketiduran di angkot lalu kebablasan. Ia kesal ketika angkot terjebak dalam kemacetan. Ia kesal ketika mulas di angkot sementara tujuannya tidak kunjung sampai. Ia kesal ketika tidak punya uang pas untuk membayar ongkos angkot. Ia kesal ketika dihardik sopir angkot karena uang yang diberikannya kurang padahal menurutnya sendiri pas. Entah sudah berapa kali ia beradu mulut dengan sopir angkot, dan entah sudah berapa banyak pencopet yang diusirnya keluar dari angkot. Kekesalan yang pada awalnya hanya sepintas lalu lama-kelamaan bertimbun menjadi benci.

Memang tidak setiap hari merupakan hari yang buruk dengan angkot. Banyak hari berlalu biasa-biasa saja: angkot lengang dan tidak sering berhenti, sopirnya tenteram, tidak ada copet. Biarpun ketika ada kejadian buruk lagi itu mengakumulasi kebencian di hati Deraz dan menjadikan lagu “Sopir Angkot Goblok” dari Mesin Tempur sebagai favoritnya. Tetapi bukan bom waktu kebencian yang memicu Deraz memutuskan untuk beralih kendaraan, melainkan justru pemandangan anak tetangga yang bersepeda dari rumah ke sekolahnya. Anak itu bersekolah di SMP yang sama dengan Deraz. Seketika itu, Deraz yang sudah menjadi siswa kelas X bertanya-tanya kenapa selama di SMP ia tidak pernah berpikiran untuk mengendarai sepeda dari rumah ke sekolah—seperti si anak tetangga! Padahal jarak dari SMP tersebut dua kilometer lebih jauh daripada SMANSON ke rumah. Deraz merasa dikalahkan anak SMP yang di matanya tampak perkasa itu.

Deraz mengutarakan keinginannya untuk bersepeda ke sekolah pada Bunda.

“Ya, boleh. Itu ada sepeda Ayah.”

“Saya ingin sepeda sendiri.”

“Belinya sama Ayah aja, ya. Ayah yang tahu sepeda.”

Maka sementara waktu Deraz menggunakan sepeda Ayah sampai yang empunya ada waktu untuk menemaninya membeli. Begitu mobil Ayah mendekati Jalan Veteran, mata Deraz langsung mencari-cari toko yang terlihat paling bagus. Setelah memasuki toko pilihannya, Deraz menghendaki sepeda yang lebih bagus daripada milik Ayah dan si anak tetangga. Tetapi, biarpun Ayah mantan atlet balap sepeda yang kini menyambi pelatih atlet balap sepeda, pertimbangannya dalam memilihkan sepeda untuk Deraz sangatlah ekonomis. Padahal Deraz kadung jatuh hati pada sepeda paling mahal di toko itu.

“Kamu mau sekolah atau jadi pembalap?” Ayah berusaha sabar.

“Sepeda ini untuk transportasi ke mana-mana dalam kota, jadi saya ingin yang bagus sekalian,” Deraz berkukuh.

“Bagus itu enggak perlu mahal. Yang ini juga bagus dan memadai buat keperluan sehari-hari mah,” Ayah tidak mau kalah.

Keduanya sama mengotot sekaligus ingin cepat-cepat keluar dari toko.

“Saya beli pakai uang sendiri,” putus Deraz, walaupun tidak ingat saldo di rekeningnya dan tidak tahu letak ATM di daerah itu.

Ayah mengusap wajah dan mengalah.

Ketika Ayah ada waktu lagi pada akhir pekan, sebelum subuh ia membangunkan Deraz dan memaksa untuk ikut touring ke Lembang bersama komunitas sepedanya. “Sepeda mahal-mahal, sayang kalau enggak diuji!” Ayah menegaskan alasannya.

Sepanjang perjalanan Ayah menggenjot Deraz sampai ia mengetahui fungsi setiap bagian sepedanya—yang ternyata bukan sekadar kayuh, putar gigi, dan rem. Setelah mencela-cela begitu, ketika berkumpul bersama teman-temannya di titik peristirahatan, Ayah malah menjadikan Deraz trofi berjalan. Teman-teman Ayah memandang Deraz dengan kagum sembari mengungkapkan betapa miripnya anak-beranak itu sementara yang dipandang berusaha keras menahan masam.

Lalu ketika bersepeda menuruni lereng, Deraz disusul perempuan. Tatapan sekilas perempuan itu pada Deraz seperti yang menantang. Deraz tersulut untuk mendahului perempuan itu, tetapi malah terperosok ke semak-semak dan kakinya terkilir. Dengan menumpang mobil bak yang dimiliki komunitas tersebut, Ayah membawa Deraz ke tukang urut. Entah kenapa perempuan itu serta. Sudah begitu, ia mengakak ketika Deraz berteriak sementara kakinya ditarik-tarik tukang urut.

Sementara Ayah membayar tukang urut, barulah Deraz memerhatikan perempuan itu. Rambutnya seperti mi, kulitnya agak gelap. Wajahnya familier, malah mirip Ayah yang berarti juga mirip Deraz. Sepertinya ia mahasiswi, atau lebih tua. Malah mereka sempat bercakap. Perempuan itu rupanya juga memerhatikan Deraz. “Oh, kamu tuh si anak Jerman yang enggak mau pulang,” ucapnya.

Deraz menatap perempuan itu dengan bingung.

“Kalau Dean tampangnya enggak sengak kayak kamu sih,” perempuan itu menambahkan.

“Kamu siapa sih?” balas Deraz.

Perempuan itu melengos dan tidak berkata-kata lagi. Deraz juga kehilangan minat padanya. Namun ia sempat mendengar Ayah menegur perempuan itu, “Ke Enin dulu enggak?”

Kaki Deraz langsung bisa digunakan untuk mengayuh sepeda lagi. Mobil bak kembali pada komunitas dan perempuan itu berpisah jalan dari mereka. Ketika bersisian dengan Ayah dalam perjalanan pulang bersepeda, Deraz bertanya, “Tadi itu siapa?”

Ayah menatap Deraz kaget. “Itu Teh Della,” ujarnya.

“Teh Della?”

“Teh Della … kakak Deraz beda ibu.”

Ganti Deraz yang kaget. “Ayah punya istri lagi?”

“Yang dulu,” sahut Ayah.

Melihat tampang Ayah, Deraz segan hendak bertanya lagi. Tetapi timbul samar-samar dalam ingatannya bahwa ia memang pernah melihat perempuan itu di rumah Enin. Sepertinya saat itu perempuan tersebut sudah SMA sementara Deraz masih SD. Perempuan itu duduk menyendiri di ujung sofa dengan wajah merengut, sampai Dean menghampiri dan menyapanya dengan senyum ramah. Zara agak jauh di belakang Dean, melirik perempuan itu dengan segan. Deraz sendiri ingin cepat-cepat pulang karena tidak betah dengan rumah Enin yang kumuh lagi bau ayam dan nasi basi.

 

Tiba lagi akhir pekan ketika Ayah luang. Deraz waspada Ayah akan mengajaknya bersepeda bersama komunitas lagi. Deraz mengantisipasi itu dengan janjian jalan bersama Zahra, sehingga ketika Ayah benar-benar mengajaknya, ia punya alasan valid, “Saya udah ada janji sama teman.”

Ayah mengerutkan kening. “Ini kan jarang-jarang. Kalau sama teman kan bisa kapan aja.”

“Mmm,” Deraz tidak berani menatap ayah, suaranya pun pelan saja, “bukan teman biasa.”

Ayah dan Bunda sama-sama tidak suka Zara pacaran, tetapi ketika tahu Dean jadian dengan Rieka, mereka malah memanfaatkannya untuk mengarahkan anak itu. Bunda menyuruh Dean mengajak Rieka ke rumah karena mau mengobrol. Sedangkan Ayah—begitu tahu bahwa Rieka lulusan SMP negeri favorit, pengurus OSIS, dan anak Vocal Group—menyentil Dean, “Pacar kamu aja gitu. Masak kamu mau enggak jadi apa-apa? Mulai belajar tanggung jawab atuh, minimal sama diri sendiri dulu. Sok sekarang kamu push up dulu lima puluh kali biar ototnya mekar sedikit!”

Karena itu, biarpun malu, Deraz penasaran juga sekiranya Ayah tahu bahwa ia juga punya seseorang.

“Pacar?”

“Bukan.”

“Perempuan?”

Ya iyalah, pakai tanya lagi, Deraz menunjukkan kekesalan. “Iya.”

“Belum pacar, tapi?”

“Saya tidak pacaran.”

Kening Ayah semakin berkerut. Namun ia tidak berkata apa-apa lagi dan meninggalkan Deraz.

Ayah sendiri jadinya tidak berangkat. Ketika melihat Deraz sudah siap dan hendak menaiki sepeda, ia menegur, “Mau sepedaan bareng?”

“Enggak.”

“Janjian di mana?”

“BIP.”

“Mau ngapain aja memang?”

Tanya-tanya melulu! “Jalan-jalan aja.”

“Terus dianya naik apa?”

“Angkot, paling-paling.”

“Kamunya juga naik angkot atuh. Pulangnya anterin sampai rumah.” Kegelian Ayah terasa meledek.

Deraz terhenti. Idih, meni teu romantis!, terngiang perkataan yang terlontar dari Alf dan Ipong pada kesempatan lain. Tanpa pikir panjang, ia menyepak standar sepeda ke posisi semula. Lalu ia melempar salam sembari menuju pagar rumah memunggungi Ayah.

Dari rumah ke BIP Deraz cuma perlu satu kali naik angkot. Angkot yang Deraz naiki hanya diisi oleh sopir. Walaupun bangku favoritnya di samping sopir kosong melompong, kali ini Deraz memilih duduk di belakang—tepatnya di ujung dekat pintu. Angin sejuk bercampur hangat pada pagi beranjak siang itu menyamankan Deraz. Terlebih, sepanjang perjalanan sopir tidak berkata apa-apa dan tidak mengetem biarpun tidak ada penumpang lain. Macet pun tidak. Seakan-akan pada waktu itu angkot berikut jalanan memang disediakan khusus untuk Deraz.

Setibanya di BIP, Deraz menunggu Zahra sekalian melihat-lihat buku di Toko Gunung Agung. Sesekali ia menyalakan ponsel untuk mengirim SMS pada Zahra atau mengecek balasannya. Padahal pada pertemuan yang lalu Zahra cuma terlambat lima menit, sedang sekarang sudah hampir satu jam!

Lalu Zahra hadir di depan Deraz dengan membungkuk-bungkuk. “Maaf …!”

“Ya udah,” kekesalan Deraz seketika lenyap.

Deraz baru hendak menanyakan sebabnya Zahra terlambat ketika melihat ada coreng putih di pipi gadis itu. Sepertinya itu bubuk. Susu? Tepung? Zahra habis apa sih? Serta-merta Deraz mengeluarkan saputangan Opa Buyut dari saku celana, gatal hendak menyingkirkan coreng itu. Zahra tersetrum begitu Deraz menyentuh pipinya.

“Kenapa?!”

Deraz ikut kaget.

“Mmm, ada semut.” Deraz menyentuh pipinya sendiri, memberi tahu Zahra mana yang bercoreng.

Zahra mengusap-usap bagian yang disentuh Deraz tadi.

“Masih ada.”

“Enggak kerasa apa-apa.”

“Euh ….” Dengan kikuk Deraz menjangkau pipi Zahra lagi. Kali ini Zahra membiarkan Deraz mengusap pipinya beberapa kali walaupun sambil menjengit. “Udah.”

“Terima kasih,” sahut Zahra gugup. “Kok bisa ada semut, ya.”

Mungkin karena kamu … Deraz tidak meneruskan pikirannya. Wajahnya keburu memanas.

“Mau lihat-lihat buku dulu?” tawar Deraz, karena mereka masih berada di toko Gunung Agung. Zahra mengiyakan. Deraz mengikuti Zahra melayap dari satu rak ke rak lain, sembari memerhatikan buku demi buku yang diambil dan dibaca sampul belakangnya oleh gadis itu sebelum dikembalikan ke tempatnya lagi. “Kamu sukanya baca apa sih?”

“Mmm, aku baca apa aja yang ada di Mbak Zia—sepupu aku. Soalnya aku biasa minjem ke dia. Kalau beli sendiri, kadang suka enggak boleh.”

Ada orang tua tidak membolehkan anaknya membeli buku? Sebangkrut itukah orang tua Zahra? “Kenapa enggak boleh?”

“Soalnya kalau baca novel katanya kurang bermanfaat.”

“Hm.”

“Eh … novel Deraz.” Zahra teringat pada bundel kertas HVS yang Deraz berikan selepas UAS semester ganjil. Deraz bilang itu untuk mengisi liburan semesteran Zahra. Zahra terkejut ketika mengetahui bahwa ternyata Deraz juga bisa menulis novel. Terlebih lagi, novel itu ditulis dalam bahasa Inggris. “Aku belum selesai bacanya, hehe.” Zahra tersenyum malu.

“Santai aja.”

“Kalau novel Deraz bermanfaat, soalnya aku jadi belajar bahasa Inggris,” ucap Zahra, tanpa mengungkapkan betapa repotnya membaca sembari membuka kamus tiap sebentar. Apalagi jika tebal bundel tersebut hampir tiga ratus halaman.

“Hm.” Deraz tersenyum seraya mengangguk dengan dada berdebar. “Kamu pembaca pertama lo.”

“Oh ….”

“Isinya gimana?”

“Ah ….” Bagaimana mengungkapkan novel yang penuh adegan kekerasan dan tiap sepuluh halaman ada karakter yang mati—dengan kata-kata yang enak didengar? “Seru. Menegangkan.”

Senyum Deraz terus mengembang. Ia menahan diri dari menceritakan bahwa novel itu pelampiasannya sejak ia dilarang Bunda mengikuti klub kickboxing lagi.

Setelah puas melihat buku, Deraz dan Zahra keluar dari Toko Gunung Agung. Keduanya berjalan tidak tentu arah sembari mengobrol. Dari lantai dua, mereka ke lantai tiga, lalu lantai empat, turun sampai lantai satu, naik lagi ke lantai tiga, dan kembali ke lantai dua. Lalu mereka makan di salah satu tempat yang tersedia di mal itu.

“Jadi kamu kemarin ranking berapa?” Deraz membuka kembali percakapan setelah pesanan mereka tiba.

Ranking empat. Turun terus dari semester-semester sebelumnya,” ucap Zahra lesu.

“Padahal makin rajin bikin catatan, ya,” ledek Deraz.

“Iya, aku jadi bertanya-tanya apa gunanya bikin catatan bagus-bagus kalau enggak meresap ke otak.”

“Lo, kan biar aku bisa pinjem buat difotokopi. Terus aku belajar dari situ. Ada gunanya dong.”

“Mmm, masak cuma buat itu.”

“Iya, memang cuma buat itu.” Deraz tertawa, sembari bertanya-tanya apakah Zahra menyadari bahwa ia sedang menggodanya. Cuma buat aku.

“Ya syukurlah, paling enggak ada gunanya buat kamu,” sahut Zahra.

“Atau enggak, kamu perbanyak, terus jual ke teman-teman.”

“Ih, enggak. Memangnya kamu mau jualin?”

“Enggak mau.”

“Ih ….” Zahra menggumam sebal. “Kamu sendiri ranking berapa?”

Ranking satu ….”

“Ih, curang!”

“… delapan.”

“Hah?”

Ranking satu delapan.”

Ranking satu delapan?” Zahra berpikir. “Ranking delapan belas, maksud kamu?”

“He eh.”

“Katanya mau ranking satu,” Zahra mendapat angin untuk balas meledek.

“Semester sebelumnya ranking sembilan belas, jadi mending dong ada kemajuan,” ujar Deraz bangga.

Zahra mengerti. “Iya sih, lumayan,” ia mengakui.

“Kan berkat kamu.”

Melihat Zahra tertegun, Deraz cepat-cepat mengalihkan topik. “Jadi gimana DKM? Udah ngerjain apa aja?”

“Mmm, kata Ria aku bantuin dia di Kaderisasi. Aku kirim SMS, ngingetin anak-anak buat mentoring, ngikutin mentoringnya, bikin absen, ngefotokopi form ibadah harian—“

“Bener, kan, pakai provider aku lebih murah kirim SMS ke sekalian banyak?”

“Iya.” Zahra tersenyum, lalu melanjutkan, “Terus ada MABIT-MABIT juga. Lumayanlah, tiap acara DKM tuh ada ilmu baru yang masuk. Cuman aku masih gagap waktu giliran ngasih kultum.”

“Kamu kan udah kuajarin pidato.”

“Iya, belum biasa aja ….” Zahra mengalihkan topik yang tidak disukainya, “Kalau Deraz masih ikutan mentoring, enggak?”

Deraz kerap kali diajak ikut mentoring lagi, juga MABIT dan berbagai acara DKM lain. Deraz pernah mengikutinya beberapa kali, tetapi lebih sering ajakan itu bentrok dengan agenda yang menjadi prioritasnya. Deraz menggeleng pada Zahra.

Setelah makan, mereka salat zuhur kemudian menuju pangkalan angkot di bawah matahari siang yang teramat terik. Jurusan mereka sama. Sudah ada beberapa orang dalam angkot yang mereka naiki. Zahra yang masuk lebih dulu mendapat tempat duduk di sebelah dalam, sedang Deraz di dekat pintu. Seiring dengan bertambahnya penumpang angkot, Zahra tergeser terus hingga terpojok sementara Deraz bergeming.

Sesekali Deraz menoleh ke belakang pada Zahra. Gadis itu tertidur dengan kepala menyandar pada kaca belakang angkot. Deraz merasa kasihan pada gadis itu. Ia ingin cepat-cepat berusia tujuh belas tahun, membuat KTP kemudian SIM, dan meminjam mobil Bunda yang ber-AC dengan pengharum antimual. Tetapi, kalau ia lolos seleksi AFS, itu berarti penantiannya bertambah satu tahun lagi.

Walaupun Deraz terkena langsung embusan angin dari pintu, peluhnya tetap menitik. Ia mengeluarkan saputangan Opa Buyut dari saku celana dan mengusap bagian atas kepalanya, lalu menyadari bahwa ada wangi yang berbeda pada lipatan kain itu. Wanginya selembut bedak bayi. Serta-merta Deraz menoleh lagi pada Zahra. Namun pandangannya langsung terpaku pada lelaki bertopi, berjaket kulit, dengan ransel di pangkuan yang duduk di sebelah Zahra—lebih tepatnya, pada tangan lelaki itu. Ritsleting tas di pangkuan Zahra membuka sedikit demi sedikit.

Deraz berdecak. Ia menggeser posisi duduknya. Orang yang tertidur di sampingnya terkesiap karena gerakan kaki Deraz yang mendesak menjangkau ke belakang. Ujung sepatu Deraz menyenggol-nyenggol sepatu lelaki itu. Lalu tiba-tiba ada yang menghentikan angkot. Beberapa orang serempak turun termasuk lelaki itu, namun Deraz mencengkeram tangannya. “Balikin!” pelotot Deraz. Lelaki itu berusaha melepaskan tangannya yang semakin erat dicekal Deraz. Dompet dilemparkannya hingga mengenai lutut Zahra dan menyadarkan gadis itu. Lalu ia terbirit-birit menyusul kawanannya yang sudah jauh.

Baik sopir maupun sisa penumpang melepas kepergian orang-orang itu dengan gerutu. Zahra antara bingung dan pusing mengambil dompetnya yang entah bagaimana tergeletak tepat di atas sepatunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain