Zahra merasa Deraz ada benarnya. Selama ini ia cuma pesuruh
DKM, khususnya bidang kaderisasi. Menjadi penanggung jawab stan kelas pada OH
Bazar dapat memberinya kesempatan untuk belajar memimpin. Kesempatan itu datang
dengan mudah pula. Ia tidak perlu mengajukan dirinya sendiri. Deraz yang telah
melakukan itu untuk Zahra dan anak-anak setuju saja. Deraz juga telah memerinci
pekerjaan-pekerjaan yang mesti dilakukan Zahra. Lagi pula, Zahra bertanggung
jawab untuk satu bulan saja untuk acara satu hari dan bukan untuk satu tahun
kepengurusan. Kapan lagi ada kesempatan seperti ini?
Tetapi, untuk melakukan pekerjaan
awal—mengumpulkan anak-anak—saja sulitnya bukan main. Di kelas ia cuma dekat
dengan Deraz serta Muti dan Ria yang anak DKM. Zahra merasa segan meminta
bantuan Deraz yang sudah sibuk dengan segudang urusannya sendiri. Muti dan Ria
pun tidak bisa dimintai bantuan. Malah ketika Zahra diputuskan menjadi
penanggung jawab stan kelas, mereka mengingatkannya pada agenda DKM.
“Zahra, pas hari itu kan kita mau
ada MABIT sekalian kaderisasi anak kelas X.”
Zahra merasa bersalah karena tidak
bisa membela dirinya sendiri ketika ditunjuk. Padahal ia bisa mengatakan bahwa
dirinya telah bergabung dengan DKM. Tetapi penunjukan itu berlangsung dengan
cepat. Zahra masih terkesima akan kesempatannya untuk memegang posisi penting
sampai-sampai tidak ingat akan agenda DKM itu. Tahu-tahu anak-anak sudah pada
bubar saja karena banyak yang sudah ditunggu acara masing-masing.
“Enggak apa-apa sih. Cuma, maaf aja
kami enggak bisa bantu. Soalnya kan aku sama Muti pengurus inti DKM, jadi
enggak mungkin absen. Apalagi ini kaderisasi terakhir untuk menentukan
calon-calon pengurus selanjutnya,” ucap Ria.
“Mmm, memangnya acaranya DKM enggak
bisa diundur, ya?” Zahra memberanikan diri.
“Enggak bisa, Zahra. Kita udah
telanjur pesan tempat, ustaz, dan sebagainya. Lagian, sebenarnya DKM enggak
mendukung Bazar.”
“Tapi stan kelas kan sebenarnya
acara OH,” Zahra menyanggah pelan.
“Waktu kita hidup di dunia ini kan
sangat berharga untuk mengumpulkan bekal di akhirat, sayang kalau malah dipakai
untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Semuanya bakal dipertanggungjawabkan di
akhirat, Ukhti.” ujar Ria.
“Astagfirullah …” ucap Zahra. Yang
ada di pikirannya cuma ini kesempatan untuk mengembangkan diri, tidak sampai ke
situ! Tetapi ia malu mengungkapkannya kepada mereka. Cuma Deraz yang mengerti.
Melihat paras Zahra yang seperti
kehabisan napas, Muti berkata lembut, "Enggak apa-apa, Zahra. Kita ngerti kok.
Kamu fokus ke stan kelas aja. Kami percaya kamu bisa nungguin stan kelas sambil
ngerjain hal-hal yang bermanfaat. Baca buku islami gitu, misalnya. Kamu bisa
pinjam dari lemari DKM.”
Zahra menyanggupi saran Muti. Lagi
pula—Zahra menghibur diri—dalam acara DKM tersebut ia tidak mengemban tanggung
jawab apa pun. Kalaupun ia hadir, itu untuk mendapat tambahan siraman rohani.
Maka Zahra memulai usaha
mengumpulkan anak-anak dari cewek-cewek yang duduk di dekatnya dulu, lalu
mereka yang pernah mengerjakan tugas kelompok bersama dirinya. Sepulang sekolah
di kelas mereka melangsungkan rapat untuk membahas tema stan. Tetapi belum lama
rapat berjalan, anak-anak pada asyik mengobrol sendiri tanpa mengindahkan
Zahra. Ketika hendak menyela anak-anak, suara Zahra tidak terdengar.
Serta-merta Zahra merasa yang hendak dikatakannya memang tidak berguna. Lalu
tahu-tahu ada anak yang pamit hendak pulang, disusul anak lain yang punya acara
ekskul, dan seterusnya hingga yang tersisa cuma Zahra. Zahra menghibur diri
karena dalam pertemuan itu setidaknya sudah ada beberapa ide yang tercetus.
Hari-hari berikutnya, tiap kali
Zahra hendak berkumpul lagi, anak-anak mengatakan, “Acaranya kan masih lama.
Santai aja kali!”
Santai aja kali! Tiap kali memikirkan
stan, perkataan itu terngiang-ngiang di kepala Zahra. Ia jadi sungkan hendak
mengumpulkan anak-anak lagi. Memikirkan harus mendekati anak-anak, menarik
perhatian dan mengarahkan mereka saat rapat membuatnya gelisah. Di sisi lain,
ia lega karena dapat menunda itu semua.
Hari-hari berlalu. Sampai kapan
rapat kelas ditunda? Pelaksanaan OH Bazar dua minggu lagi.
Zahra mencoba langsung maju
mengumumkan rapat begitu pelajaran terakhir usai dan guru meninggalkan kelas.
Tetapi sudah ada beberapa anak telanjur keluar. Memang sebagian besar anak
masih berada di kelas, namun Zahra merasa sangat tersiksa selama mencoba untuk
menarik perhatian dan mengarahkan mereka. Ucapannya kacau balau. Tangannya
bergetar ketika menuliskan ide-ide yang telah dihasilkan pertemuan sebelumnya
di papan tulis. Salah tulis. Penghapus jatuh. Beberapa kali anak-anak asyik
berunding sendiri sementara ia cuma mendengarkan sembari mematung di depan.
Lalu mulailah ada anak yang mendadak punya acara lain. Anak-anak lain ikutan.
Zahra merasa sudah kehabisan energi untuk menahan mereka. Ia tidak suka
melakukan ini, tetapi nasi sudah menjadi bubur. Lagi pula, bukankah ia sendiri
yang ingin aktif?
Seandainya ada Deraz, kemungkinan
ia akan membantu. Tetapi hari itu Deraz ada dispensasi.
“Tunggu dulu. Kita putusin dulu
temanya baru bubar,” Ria menahan anak-anak yang hendak pergi. Zahra tidak
menyangka akhwat itu akan bersuara. “Ayo kita voting.”
“Jumlah kita enggak lengkap,” sahut
seorang anak.
“Kalau yang hadir dua per tiga, itu
sudah memenuhi kuorum.”
Zahra bersyukur jumlah anak yang
hadir ternyata memenuhi kuorum. Pada pertemuan itu tema stan kelas diputuskan,
kemudian anak-anak sudah tidak tahan lagi untuk bubar. Zahra tidak lupa
mengucapkan terima kasih pada Ria yang membalasnya dengan senyum.
Walaupun tema stan kelas sudah ditentukan, mereka masih harus
memerincinya lalu mengadakan alat, bahan, perlengkapan, dan sebagainya. Zahra
mencoba mengonsep sendiri dekorasi stan kelas lalu memperlihatkannya pada
beberapa anak dengan pendekatan personal. Ia merasa lebih nyaman begitu,
apalagi ketika mereka menanggapi dengan menyetujui atau memberikan masukan.
Tetapi, bagaimanapun, pada akhirnya, ia mesti mensosialisasikannya pada seluruh
kelas. Ia merasa stres tiap kali teringat bahwa ia mesti mengumpulkan anak-anak
lagi, dan lagi. Ia pernah iseng mengirim SMS pada Deraz, meminta bantuannya
untuk menahan anak-anak di kelas sepulang sekolah. Tetapi Deraz menjawab,
“Masak gitu aja enggak bisa?”
Zahra berusaha mengerti bahwa bagi
Deraz ini merupakan persoalan yang sangat kecil. Deraz sendiri mengungkapkan
bahwa walaupun segalanya telah disiapkan dari jauh-jauh hari dan kemajuan serta
hambatan selalu dipantau, semakin mendekati waktu pelaksanaan OH Bazar ada saja
masalah menghampiri. Perhatian Deraz benar-benar tercurah pada OH Bazar. Jangankan
menelepon Zahra, membalas SMS saja semakin jarang. Kalaupun Deraz mendekati
Zahra, itu ketika ada maunya saja.
Pernah Deraz meminjam PR Zahra
bukan untuk dibandingkan seperti biasa, melainkan untuk dijiplak begitu saja!
Dari bangkunya di barisan kiri kelas, Zahra memerhatikan Deraz yang duduk di
barisan kanan kelas menyalin jawaban dari buku tulis satu ke buku tulis lain
tanpa memperlihatkan upaya untuk memikirkannya. Sudah begitu, dengan santai
Deraz menepuk pipi Zahra dulu dengan buku tulis itu sebelum menyerahkannya.
Zahra tersentak ketika selepas kepergian Deraz ia mendapati Muti tertegun
memerhatikannya.
Ketika Deraz mendekati Zahra lagi,
itu karena hendak menawarinya untuk membeli tiket Bazar.
“Eh, harus beli tiket? Tapi kan aku
penanggung jawab stan kelas?” tanya Zahra kaget.
“Stan kelas sama panggung beda
area. Buat nonton panggung, tetap harus beli tiket,” jelas Deraz.
“Aku enggak dapat gratis?” Zahra
mengingat Deraz pernah menraktirnya beberapa kali. Kenapa kali ini tidak?
“Sayangnya enggak. Uang dari
sponsor ada yang belum turun. Jadi kita butuh dana cepat,” jawab Deraz dengan
tampang menyesal. “Tiga puluh ribu aja,” mendadak ia menjadi preman.
Zahra menghitung sisa uang jajan
minggu itu di dompetnya. Setelah membeli tiket yang tidak benar-benar
diinginkannya itu, ia tidak akan bisa jajan lagi sampai minggu depan.
Zahra mengerti Deraz sibuk, orang
penting. Tetapi sebelum ini rasanya tidak begini amat. Sebelum ini ia sudah
suka mencuri pandang ke arah Deraz sekadar untuk menikmati parasnya, tetapi
kali ini disertai rasa kehilangan. Apalagi sejak mereka tidak duduk sebangku.
Betapapun Deraz telah menyatakan perasaannya, tetapi dengan jarak yang begini
jauh Zahra merasa dipermainkan. Benarkah perasaan Deraz itu? Kenapa sekarang
Zahra malah diabaikan? Yang menenangkan hati Zahra hanya ketika ia memandang
Deraz, lalu cowok itu tahu-tahu menoleh, melihat padanya, dan tersenyum. Tetapi
ketika Deraz tidak menyadari sama sekali bahwa Zahra memandanginya, hati gadis
itu tercelus.
Adakalanya radar mereka sama-sama
bekerja pada waktu yang tidak tepat. Saat itu sehabis asar. Zahra yang baru
selesai dari rapat DKM berjalan ke gerbang melewati pelataran gedung olahraga,
yang tengah diisi Deraz dan panitia OH Bazar. Zahra memerhatikan Deraz yang
memberikan pengarahan, dan seketika itu juga cowok itu melihatnya dan
tersenyum. Zahra tersenyum senang karena mendapat perhatian Deraz lagi. Namun
senyumnya tidak bertahan lama karena tahu-tahu terdengar sorakan.
“Fokus, Pak, fokus!”
“Deraz matanya love-love!”
Serta-merta Zahra berpaling dan
menunduk. Ia mempercepat langkah diiringi tawa anak-anak. Ia sempat mendengar
ada yang berteriak, “Aih, Deraz wajahnya merah kitu, meni cute!” sebelum
melewati gerbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar