Rabu, 12 Desember 2018

(41)

Zahra merasa Deraz ada benarnya. Selama ini ia cuma pesuruh DKM, khususnya bidang kaderisasi. Menjadi penanggung jawab stan kelas pada OH Bazar dapat memberinya kesempatan untuk belajar memimpin. Kesempatan itu datang dengan mudah pula. Ia tidak perlu mengajukan dirinya sendiri. Deraz yang telah melakukan itu untuk Zahra dan anak-anak setuju saja. Deraz juga telah memerinci pekerjaan-pekerjaan yang mesti dilakukan Zahra. Lagi pula, Zahra bertanggung jawab untuk satu bulan saja untuk acara satu hari dan bukan untuk satu tahun kepengurusan. Kapan lagi ada kesempatan seperti ini?

Tetapi, untuk melakukan pekerjaan awal—mengumpulkan anak-anak—saja sulitnya bukan main. Di kelas ia cuma dekat dengan Deraz serta Muti dan Ria yang anak DKM. Zahra merasa segan meminta bantuan Deraz yang sudah sibuk dengan segudang urusannya sendiri. Muti dan Ria pun tidak bisa dimintai bantuan. Malah ketika Zahra diputuskan menjadi penanggung jawab stan kelas, mereka mengingatkannya pada agenda DKM.

“Zahra, pas hari itu kan kita mau ada MABIT sekalian kaderisasi anak kelas X.”

Zahra merasa bersalah karena tidak bisa membela dirinya sendiri ketika ditunjuk. Padahal ia bisa mengatakan bahwa dirinya telah bergabung dengan DKM. Tetapi penunjukan itu berlangsung dengan cepat. Zahra masih terkesima akan kesempatannya untuk memegang posisi penting sampai-sampai tidak ingat akan agenda DKM itu. Tahu-tahu anak-anak sudah pada bubar saja karena banyak yang sudah ditunggu acara masing-masing.

“Enggak apa-apa sih. Cuma, maaf aja kami enggak bisa bantu. Soalnya kan aku sama Muti pengurus inti DKM, jadi enggak mungkin absen. Apalagi ini kaderisasi terakhir untuk menentukan calon-calon pengurus selanjutnya,” ucap Ria.

“Mmm, memangnya acaranya DKM enggak bisa diundur, ya?” Zahra memberanikan diri.

“Enggak bisa, Zahra. Kita udah telanjur pesan tempat, ustaz, dan sebagainya. Lagian, sebenarnya DKM enggak mendukung Bazar.”

“Tapi stan kelas kan sebenarnya acara OH,” Zahra menyanggah pelan.

“Waktu kita hidup di dunia ini kan sangat berharga untuk mengumpulkan bekal di akhirat, sayang kalau malah dipakai untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Semuanya bakal dipertanggungjawabkan di akhirat, Ukhti.” ujar Ria.

“Astagfirullah …” ucap Zahra. Yang ada di pikirannya cuma ini kesempatan untuk mengembangkan diri, tidak sampai ke situ! Tetapi ia malu mengungkapkannya kepada mereka. Cuma Deraz yang mengerti.

Melihat paras Zahra yang seperti kehabisan napas, Muti berkata lembut, "Enggak apa-apa, Zahra. Kita ngerti kok. Kamu fokus ke stan kelas aja. Kami percaya kamu bisa nungguin stan kelas sambil ngerjain hal-hal yang bermanfaat. Baca buku islami gitu, misalnya. Kamu bisa pinjam dari lemari DKM.”

Zahra menyanggupi saran Muti. Lagi pula—Zahra menghibur diri—dalam acara DKM tersebut ia tidak mengemban tanggung jawab apa pun. Kalaupun ia hadir, itu untuk mendapat tambahan siraman rohani.

Maka Zahra memulai usaha mengumpulkan anak-anak dari cewek-cewek yang duduk di dekatnya dulu, lalu mereka yang pernah mengerjakan tugas kelompok bersama dirinya. Sepulang sekolah di kelas mereka melangsungkan rapat untuk membahas tema stan. Tetapi belum lama rapat berjalan, anak-anak pada asyik mengobrol sendiri tanpa mengindahkan Zahra. Ketika hendak menyela anak-anak, suara Zahra tidak terdengar. Serta-merta Zahra merasa yang hendak dikatakannya memang tidak berguna. Lalu tahu-tahu ada anak yang pamit hendak pulang, disusul anak lain yang punya acara ekskul, dan seterusnya hingga yang tersisa cuma Zahra. Zahra menghibur diri karena dalam pertemuan itu setidaknya sudah ada beberapa ide yang tercetus.

Hari-hari berikutnya, tiap kali Zahra hendak berkumpul lagi, anak-anak mengatakan, “Acaranya kan masih lama. Santai aja kali!”

Santai aja kali! Tiap kali memikirkan stan, perkataan itu terngiang-ngiang di kepala Zahra. Ia jadi sungkan hendak mengumpulkan anak-anak lagi. Memikirkan harus mendekati anak-anak, menarik perhatian dan mengarahkan mereka saat rapat membuatnya gelisah. Di sisi lain, ia lega karena dapat menunda itu semua.

Hari-hari berlalu. Sampai kapan rapat kelas ditunda? Pelaksanaan OH Bazar dua minggu lagi.

Zahra mencoba langsung maju mengumumkan rapat begitu pelajaran terakhir usai dan guru meninggalkan kelas. Tetapi sudah ada beberapa anak telanjur keluar. Memang sebagian besar anak masih berada di kelas, namun Zahra merasa sangat tersiksa selama mencoba untuk menarik perhatian dan mengarahkan mereka. Ucapannya kacau balau. Tangannya bergetar ketika menuliskan ide-ide yang telah dihasilkan pertemuan sebelumnya di papan tulis. Salah tulis. Penghapus jatuh. Beberapa kali anak-anak asyik berunding sendiri sementara ia cuma mendengarkan sembari mematung di depan. Lalu mulailah ada anak yang mendadak punya acara lain. Anak-anak lain ikutan. Zahra merasa sudah kehabisan energi untuk menahan mereka. Ia tidak suka melakukan ini, tetapi nasi sudah menjadi bubur. Lagi pula, bukankah ia sendiri yang ingin aktif?

Seandainya ada Deraz, kemungkinan ia akan membantu. Tetapi hari itu Deraz ada dispensasi.

“Tunggu dulu. Kita putusin dulu temanya baru bubar,” Ria menahan anak-anak yang hendak pergi. Zahra tidak menyangka akhwat itu akan bersuara. “Ayo kita voting.”

“Jumlah kita enggak lengkap,” sahut seorang anak.

“Kalau yang hadir dua per tiga, itu sudah memenuhi kuorum.”

Zahra bersyukur jumlah anak yang hadir ternyata memenuhi kuorum. Pada pertemuan itu tema stan kelas diputuskan, kemudian anak-anak sudah tidak tahan lagi untuk bubar. Zahra tidak lupa mengucapkan terima kasih pada Ria yang membalasnya dengan senyum.

 

Walaupun tema stan kelas sudah ditentukan, mereka masih harus memerincinya lalu mengadakan alat, bahan, perlengkapan, dan sebagainya. Zahra mencoba mengonsep sendiri dekorasi stan kelas lalu memperlihatkannya pada beberapa anak dengan pendekatan personal. Ia merasa lebih nyaman begitu, apalagi ketika mereka menanggapi dengan menyetujui atau memberikan masukan. Tetapi, bagaimanapun, pada akhirnya, ia mesti mensosialisasikannya pada seluruh kelas. Ia merasa stres tiap kali teringat bahwa ia mesti mengumpulkan anak-anak lagi, dan lagi. Ia pernah iseng mengirim SMS pada Deraz, meminta bantuannya untuk menahan anak-anak di kelas sepulang sekolah. Tetapi Deraz menjawab, “Masak gitu aja enggak bisa?”

Zahra berusaha mengerti bahwa bagi Deraz ini merupakan persoalan yang sangat kecil. Deraz sendiri mengungkapkan bahwa walaupun segalanya telah disiapkan dari jauh-jauh hari dan kemajuan serta hambatan selalu dipantau, semakin mendekati waktu pelaksanaan OH Bazar ada saja masalah menghampiri. Perhatian Deraz benar-benar tercurah pada OH Bazar. Jangankan menelepon Zahra, membalas SMS saja semakin jarang. Kalaupun Deraz mendekati Zahra, itu ketika ada maunya saja.

Pernah Deraz meminjam PR Zahra bukan untuk dibandingkan seperti biasa, melainkan untuk dijiplak begitu saja! Dari bangkunya di barisan kiri kelas, Zahra memerhatikan Deraz yang duduk di barisan kanan kelas menyalin jawaban dari buku tulis satu ke buku tulis lain tanpa memperlihatkan upaya untuk memikirkannya. Sudah begitu, dengan santai Deraz menepuk pipi Zahra dulu dengan buku tulis itu sebelum menyerahkannya. Zahra tersentak ketika selepas kepergian Deraz ia mendapati Muti tertegun memerhatikannya.

Ketika Deraz mendekati Zahra lagi, itu karena hendak menawarinya untuk membeli tiket Bazar.

“Eh, harus beli tiket? Tapi kan aku penanggung jawab stan kelas?” tanya Zahra kaget.

“Stan kelas sama panggung beda area. Buat nonton panggung, tetap harus beli tiket,” jelas Deraz.

“Aku enggak dapat gratis?” Zahra mengingat Deraz pernah menraktirnya beberapa kali. Kenapa kali ini tidak?

“Sayangnya enggak. Uang dari sponsor ada yang belum turun. Jadi kita butuh dana cepat,” jawab Deraz dengan tampang menyesal. “Tiga puluh ribu aja,” mendadak ia menjadi preman.

Zahra menghitung sisa uang jajan minggu itu di dompetnya. Setelah membeli tiket yang tidak benar-benar diinginkannya itu, ia tidak akan bisa jajan lagi sampai minggu depan.

Zahra mengerti Deraz sibuk, orang penting. Tetapi sebelum ini rasanya tidak begini amat. Sebelum ini ia sudah suka mencuri pandang ke arah Deraz sekadar untuk menikmati parasnya, tetapi kali ini disertai rasa kehilangan. Apalagi sejak mereka tidak duduk sebangku. Betapapun Deraz telah menyatakan perasaannya, tetapi dengan jarak yang begini jauh Zahra merasa dipermainkan. Benarkah perasaan Deraz itu? Kenapa sekarang Zahra malah diabaikan? Yang menenangkan hati Zahra hanya ketika ia memandang Deraz, lalu cowok itu tahu-tahu menoleh, melihat padanya, dan tersenyum. Tetapi ketika Deraz tidak menyadari sama sekali bahwa Zahra memandanginya, hati gadis itu tercelus.

Adakalanya radar mereka sama-sama bekerja pada waktu yang tidak tepat. Saat itu sehabis asar. Zahra yang baru selesai dari rapat DKM berjalan ke gerbang melewati pelataran gedung olahraga, yang tengah diisi Deraz dan panitia OH Bazar. Zahra memerhatikan Deraz yang memberikan pengarahan, dan seketika itu juga cowok itu melihatnya dan tersenyum. Zahra tersenyum senang karena mendapat perhatian Deraz lagi. Namun senyumnya tidak bertahan lama karena tahu-tahu terdengar sorakan.

“Fokus, Pak, fokus!”

“Deraz matanya love-love!”

Serta-merta Zahra berpaling dan menunduk. Ia mempercepat langkah diiringi tawa anak-anak. Ia sempat mendengar ada yang berteriak, “Aih, Deraz wajahnya merah kitu, meni cute!” sebelum melewati gerbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain