Arderaz. Zahra. Dari nama saja mereka
sudah melengkapi. Arderaz berawalan huruf “a” dan berakhiran huruf “z”, sedang
Zahra berawalan huruf “z” dan berakhiran huruf “a”. Ujung dan pangkal saling
bertemu, seperti Yin dan Yang. Deraz kebanyakan membaca artikel feng shui.
Tiada hari tanpa momen yang berkesan
dengan Zahra.
Kini Deraz tahu bahwa Zahra gadis
yang sangat minder. Tetapi segala kekurangan diri yang Zahra ungkapkan pada
Deraz tidak menjadi masalah. Deraz malah melihat itu sebagai peluang untuk
menjadikan dirinya semakin berarti bagi Zahra.
Misal ketika Zahra akan mendapat
giliran berpidato dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Deraz menceritakan
pengalaman awalnya saat mengikuti lomba debat dan pidato di SMP, yang Zahra dengarkan
dengan takjub sekaligus sangsi. Zahra tidak percaya Deraz juga pernah gagap dan
gugup sampai berkeringat banyak. Deraz bahkan meninjau teks pidato Zahra,
memperbaikinya, membuatkan sontekan, dan memberikan strategi. Ketika Zahra
maju, tiap kali ia lupa hendak mengatakan apa, dilihatnya Deraz, yang
membantunya dengan gerak bibir dan cue
cards, yang cepat-cepat diturunkan lagi ke bawah meja begitu Pak Guru
melirik.
Misal pula ketika Zahra menceritakan
tentang keraguannya untuk menjadi dokter. Rupanya Papa Zahra sudah tidak
bekerja. Sebelumnya Papa Zahra punya perusahaan di Jakarta. Namun sekitar dua
tahun lalu perusahaan itu dinyatakan pailit dan merugi, sampai-sampai mereka
sekeluarga harus menjual rumah dan pindah ke rumah Kakek Zahra. “Mas Imin baru
kuliah. Mas Ardi juga mau kuliah tahun depan. Kedokteran kan mahal biayanya.
Jadi enggak tahu kalau nanti masih ada uang buat aku kuliah atau enggak. Mama
cuma guru yayasan. Gajinya kecil,” ungkap Zahra sendu.
Deraz justru senang mendengar itu.
Bukan atas kesulitan yang menimpa Zahra sekeluarga, melainkan karena ia mulai
melihat jalan bagi kebersamaan mereka di masa depan. Akhirnya arah hidup Zahra
bersesuaian dengan cita-citanya! Setidaknya, itu dapat diarahkan. Ia merasa
kejatuhan Papa Zahra memang sudah ditakdirkan terjadi karena Deraz yang akan
mengambil alih untuk menjaga putrinya.
“Kamu belajar bahasa Jerman aja dari
sekarang, terus nanti kita sama-sama cari beasiswa kuliah gratis di sana. Kamu
pernah dengar DAAD?”
“Belajar bahasa Jerman? Kursusnya berapa?”
Zahra sudah takut saja mesti meminta biaya yang tidak sedikit pada orang tuanya
untuk kursus bahasa Jerman.
“Aku bisa ajarin kamu.”
Namun Zahra punya kekhawatiran lain.
“Tapi aku belum tahu mau jadi dokter apa. Lagian, kalau jadi dokter, aku mesti
sering ketemu orang.”
“Jadi dokter hewan aja,” mendadak
Deraz menjadi konselor karier, seperti
opa buyutku.
“Nanti kalau pasiennya anjing,
gimana? Kan najis.”
“Kamu bisa pakai sarung tangan.”
“Bener juga sih.”
Zahra bercerita lebih lanjut tentang
ibunya yang membelikan dia buku-buku keterampilan: memasak kue kering, merajut,
dan sebagainya. Deraz kegirangan mendengar itu.
“Mungkin Mama pikir sebaiknya aku
belajar wirausaha aja, terus nyari duit kuliah sendiri dari jualan. Tapi aku
enggak mau jualan. Kalau sama-sama mesti ketemu orang, aku mending jadi dokter
daripada wirausaha. Tapi kalau enggak ada duit, enggak bisa kuliah.”
“Hei, hei, Zahra,” Deraz menenangkan,
“Pertama, kamu kan bisa cari beasiswa kayak aku bilang. Kedua, memangnya mama
kamu bilang kalau kamu harus jualan? Enggak, kan? Itu baru prasangka kamu.
Enggak ada salahnya dari sekarang kamu belajar keterampilan kayak gitu.
Kalaupun kamu enggak dapat beasiswa atau enggak suka jualan, kamu bisa jadi ibu
rumah tangga dan punya anak banyak. Jadi kamu tetap punya kesibukan di rumah.”
“Tapi kalau nanti suami aku nasibnya
kayak papa aku, gimana? Aku mesti tetap kerja buat nombokin, kan?”
“Oh, enggak. Suami kamu nanti pekerja
keras dan punya skill tinggi. Jadi
dia akan selalu punya pekerjaan dan gajinya besar,” Deraz begitu yakin, “lebih
dari cukup buat keluarganya hidup layak. Kamu enggak usah khawatir. Kamu
belajar masak yang enak aja buat suami kamu: kue, roti, sup, apfelstrudel, bretzel, schwarzwalder
kirschtorte, ….” Deraz mendaftar berbagai masakan yang pernah dibuatkan Oma
Buyut untuknya.
“Itu apa? Aku mah tahunya sayur asem,
sayur lodeh, tumis kangkung, ….”
“Kamu harus belajar segala macam
masakan. Jangan cuma masakan lokal. Siapa tahu nanti kamu tinggalnya di luar
negeri sama suami kamu. Ke Jerman, gitu, misalnya.”
“Kenapa Jerman?”
Warum nicht? “Misalnya aja.”
“Mmm …. Aku pengin cobain belajar
masakan Jepang sama Korea.”
“Kenapa Jepang sama Korea? Jepang
masakannya amis. Korea pedas-pedas asam ….” Deraz menyeringai mengingat
kunjungannya ketika diajak makan oleh Bunda di restoran-restoran asing. Ia
terus berpidato tentang keunggulan masakan Eropa. Zahra mendengarkannya dengan
bingung.
Zahra mulai membawakan kue kering
buatannya untuk Deraz. Warna tiap potong kue bergradasi. Bentuknya juga tidak ada
yang sama, padahal cetakannya hanya satu. Kadang rasanya seperti Lego, kadang
menyerupai dodol.
Teringat oleh Deraz ketika sewaktu di
SD Dean ditawari nastar buatan teman sekelas mereka. Dean mengajak Deraz untuk
mencicipi juga. Setelah sepotong kue itu sampai di mulutnya, Deraz ingin
melepeh karena rasanya seperti pasir.
Namun Dean malah memuji, “ Mmm, enak.
Bikin lagi yang banyak. Entar aku bagi sama bakteri-bakteri di perut aku ….”
“Kamu makan semua, gitu?” tanya anak
perempuan teman sekelas mereka itu.
“… juga sama kecoak, tikus, cacing,
belatung, dan hewan pengurai lainnya,” Dean masih hafal soal ulangan IPA yang
baru berlalu, berikut jawabannya. Mendengar perkataan Dean, Deraz tersenyum
karena mengira sebetulnya Dean juga ingin membuang seluruh isi kotak bekal itu
ke tempat sampah. Ketika melihat temannya manyun, Dean menambahkan, “Enggak atuh, bercanda. Sini aku habisin.”
“Ih, jangan. Mau dibagi-bagiin buat
yang lain.”
Tentu saja Deraz tidak akan memakai
cara Dean.
“Buat lagi lebih sering. Lama-lama pasti
enak.” Deraz menyemangati.
“Jadi itu enggak enak?” tanya Zahra
murung.
“Eh ….” Deraz menjadi salah tingkah.
“Maksudnya …. Buat lagi yang banyak, biar aku bagi sama bakteri-bakteri di
perut aku.” Deraz mengerutkan kening mendengar ucapannya sendiri.
Zahra berusaha mencerna kata-kata
itu.
Telepon terus berlanjut, bahkan lebih
sering dan lebih lama.
Sepulang dari kursus bahasa Jerman,
sehabis mandi, Deraz menelepon Zahra sembari menggeletak di tempat tidur. Zahra
bertanya apakah Deraz sudah belajar untuk ulangan besok. Deraz yang normal
pasti menjawab bahwa sehabis ini ia akan belajar satu-dua jam sebelum tidur,
atau jika sudah lelah menyetel alarm pukul tiga-empat pagi dan biar Dean yang
membangunkannya nanti. Malah sebenarnya ia sudah menyempatkan diri untuk
belajar sembari menunggu kelas di tempat kursus, karena tahu bahwa setibanya di
rumah nanti ia hanya ingin menelepon Zahra. Maka Deraz menjawab, “Males, ah.
Capek.”
“Eeeh …” tegur Zahra. “Katanya kamu
mau ranking satu?”
“Kamu udah mau tidur?”
“Belum.”
“Temenin dong belajar.”
Deraz bangkit dan duduk di meja
belajar, mengeluarkan buku-bukunya dan alat tulis. Sembari mendengar Zahra
merangkum drama Korea yang ditontonnya tadi sore, di buku tulisnya ia
menggambar rumah, anjing, bunga, bunga, dan bunga. Ia bahkan tidak benar-benar
mendengarkan Zahra. Ia hanya suka mendengar suara gadis itu yang terasa
bagaikan usapan kain sutra di telinga.
Tahu-tahu saja Zahra berkata,
“Kayaknya aku harus tidur sekarang. Nanti susah bangun.”
“Ya udah.”
Deraz kembali menggeletak di tempat
tidur dan lanjut bertukar SMS dengan Zahra sampai pukul satu dini hari.
Kali berikutnya, Zahra tidak lupa
berpesan, “Kita teleponannya sampai jam sembilan aja, ya? Biar gampang
bangunnya buat salat tahajud.”
“Oh, iya. Bangunin aku juga dong. Aku
juga mau salat tahajud,” sambut Deraz. “Missed
call, ya.”
“Insya Allah.”
Pukul sepuluh malam, tidak kunjung
ada SMS balasan dari Zahra. Deraz memejamkan mata sembari memeluk guling dan
mengenang setiap momen yang baru ia lewatkan bersama Zahra hingga tertidur.
Pukul tiga dini hari, Dean terbangun
karena mendengar ponsel Deraz berbunyi. Ia terseok-seok mendekati meja belajar
Deraz dan membaca nama di layar ponsel. “Die
Blume?” Deraz menyimpan kontak dengan nama samaran?
“Halo?” angkat Dean. Suaranya di
telepon saat baru bangun tidur terdengar mirip suara Deraz.
“Bangun. Udah jam tiga,” suara di
seberang kecil sekali, seakan-akan tidak ingin membangunkan siapa pun lagi.
Dean terdiam, lalu menebak, “Zahra?”
“Ya?”
“Kenapa kamu nelepon jam gini?”
Telepon ditutup.
Dean menendang betis Deraz dengan
sebal. Tetapi yang ditendang malah berbalik memunggunginya sembari tetap
memeluk guling.
Pukul setengah tujuh pagi di kelas,
Zahra menyambut kedatangan Deraz dengan cemberut.
“Kok Dean yang ngangkat?”
Deraz baru menyadari bahwa Zahra
hendak membangunkan dia pukul tiga tadi. Deraz tertawa saja.
Namun Zahra terus cemberut sampai jam
istirahat. Ketika diajak akhwat-akhwat ke masjid, Zahra menggeleng sambil
meringis. “Aku lagi enggak.” Deraz menjadi maklum sekaligus geli.
Selepas kepergian akhwat-akhwat dan
tidak ada lagi anak yang tinggal di kelas selain mereka berdua, Deraz mencolek
pipi Zahra dengan pantat pulpen. “Katanya mau salat tahajud, tapi ternyata lagi
enggak salat.”
“Ih ….” Zahra menghindari colekan
Deraz berikutnya. “Baru keluar pas subuh.”
“Oh.” Deraz tidak benar-benar ingin
membicarakan itu sebetulnya. Tetapi ia terus melancarkan manuver dengan pantat
pulpen. Zahra mengambil buku dan berusaha menampik serangan Deraz. Malah ia
mendorong muka Deraz jauh-jauh dengan buku. Namun begitu buku Zahra lepas dari
mukanya, Deraz mulai lagi.
Sementara itu, Dean memasuki XI IPA 9
dan tertegun mendapati dua orang yang sedang saling membelai dengan perantaraan
alat tulis.
Zahra keburu melihat Dean dan segera
berhenti sembari menunduk dalam-dalam. Deraz menoleh. Dean menghampiri mereka
seraya membentangkan buku.
“Deraz, bantuin PR ….”
Deraz memindai barisan soal yang
diajukan Dean, lalu menengok Zahra yang terus menunduk sembari cemberut
maksimal. Deraz ingat bahwa kali terakhir ia membantu Dean mengerjakan PR,
maksudnya, mengerjakan PR Dean, setelahnya Zahra memberi tahu dia untuk
berhenti.
Deraz menyodorkan buku itu kembali
pada Dean. “Saya bantu, tapi kamu yang ngerjain.”
Dean merajuk. “Tapi lebih cepet kalau
dikerjain sama kamu langsung. PR-nya dikumpulin habis istirahat ini. Waktunya
udah mepet!” Dean berlutut dengan kedua lengannya menjulur di permukaan meja
dan meratap. Wajah itu.
Deraz menoleh lagi pada Zahra, dan
memantapkan hati. Mungkin memang ini saatnya untuk melepas Dean, dan merengkuh
yang baru. “Enggak,” ucapnya sembari memancangkan mata pada dinding di
depannya, menghindari tatapan Dean.
Dean mengerang. Ia berdiri dan
mengambil PR-nya.
“Ya udah, kalau gitu! Moga-moga
kalian jadi pasangan berbahagia, dikaruniai keturunan saleh dan salehah!” sahut
Dean dengan nada menyumpahi. Deraz dan Zahra menatap Dean seraya mengerutkan
kening.
Terdengar di luar kelas Dean
berpapasan dengan pacarnya. “ Neng, Deraz enggak mau bantuin PR aku lagi!”
“Sini, sini, mana yang susah?” pacar
Dean sepertinya sangat keibuan.
Deraz menoleh pada Zahra. Gadis itu
sudah tersenyum lagi seakan-akan mengapresiasi keberhasilan Deraz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar